Ketua Lajnah
Maslahiyah DPP Arim Nasim mengatakan, ”Karena pola pikir pemerintah dan
para pendukung pemerintah baik DPR ataupun kalangan intelektualnya sudah
terjajah dengan pemikiran liberalisme dan kapitalisme. Yang ada di otak mereka
adalah pemikiran neoliberalisme dan kapitalisme," katanya.
Dalam pandangan sistem
neoliberalisme dan kapitalisme, kata Arim, sumber utama pendapatan negara untuk
membiayai kegiatan negara atau memberikan pelayanan kepada rakyat itu adalah
dengan jalan memungut kepada rakyat atau memalak rakyat baik dalam bentuk pajak
ataupun berbagai pungutan lainnya.
Maka, lanjutnya, tak
aneh jika sumberdaya itu diserahkan pengelolaannya kepada swasta. Sementara
negara untuk membiayai kegiatannya mencari dengan jalan memungut pajak. ”Jadi
bukan tidak bisa tapi memang yang ada di otaknya itu adalah memungut dari rakyat,”
jelas doktor ekonomi Islam ini.
Sejak kemerdekaan,
Indonesia memang terjebak dalam jerat kapitalisme global. Para penguasa di
Indonesia mau tidak mau mengikuti arahan Barat dalam mengambil kebijakan
negara. Para ekonom menyebut, kebijakan ekonomi Indonesia sama dan sebangun
dengan paket kebijakan Konsensus Washington. Implementasinya kian kental
setelah lndonesia masuk di era Reformasi.
Konsensus Washington
ini dalam garis besarnya terdiri atas, pertama,
pelaksanaan kebijakan anggaran yang ketat, termasuk penghapusan subsidi negara
dalam berbagai bentuknya. Kedua,
pelaksanaan liberalisasi sektor keuangan. Ketiga,
pelaksanaan liberalisasi sektor perdagangan. Keempat,
pelaksanaan privatisasi BUMN. Kebijakan ini dikontrol sepenuhnya oleh IMF dan
Bank Dunia.
Dalam paradigma
liberal inilah, swasta seolah menjadi raja sehingga mereka bisa menentukan arah
kebijakan. Apatah lagi, kini para pengusaha itu sendiri duduk di kursi
kekuasaan. Mereka menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan bisnisnya
masing-masing. Ini yang kini telah menjadi rahasia umum.
Dikuasai
Komprador
Kandisi ini, menurut
Ketua Lajnah Faaliyah DPP M. Rahmat Kurnia, tak lepas dari kenyataan bahwa
Indonesia sedang dikuasai oleh para komprador. Penguasa komprador adalah
penguasa yang menjadi kaki tangan negara asing, khususnya negara besar, dalam
hubungannya dengan rakyat.
Di antara
tanda-tandanya, kata Rahmat, mengikuti kebijakan asing, mengeluarkan
undang-undang (UU) yang lebih pro-asing daripada pro-rakyat, mengangkat pejabat
yang merupakan kader-kader asing, dan dalam bekerjasama dengan asing lebih
menjaga kepentingan asing daripada kepentingan bangsa sendiri.
Dalam praktiknya,
jelasnya, para komprador itu berkolaborasi dengan para pengusaha. Bahkan saat
ini penguasa itu adalah pengusaha itu sendiri. Sistem demokrasi akhirnya
melahirkan apa yang disebut para ahli politik sebagai negara perusahaan (corporate state).
Corporate state ini merupakan negara yang
penguasanya berkolaborasi dengan para pengusaha, baik dari dalam maupun luar
negeri, atau penguasa sekaligus pengusaha. Jangan heran jika di mana-mana
terjadi kapitalisasi pendidikan, privatisasi sumberdaya alam, BUMN dijual, kapitalisasi
layanan publik dan kapitalisasi politik.
”Negara menjadi
instrumen kepentingan bisnis dan mengabdi kepada pemilik modal yang sebagian
besar merupakan perusahaan asing dari negara besar seperti AS. Penguasa menjadi
pelayan bagi kepentingan asing, sembari mereguk manfaat bagi dirinya dan
kelompoknya,“ jelasnya.
Menurut M. Ismail Yusanto, "Kita boleh curiga
pemerintah sedang bertindak untuk kepentingan korporasi swasta, baik asing
maupun domestik. Dengan kata lain, pemerintah telah nyata-nyata memperkaya
korporasi dengan cara menindas rakyat," katanya.
Rezim
Pemalak, Cukup!
Saat membuka
perdagangan di Bursa Efek Jakarta di awal tahun 2016, Presiden Joko Widodo
menegaskan sikap pemerintah terkait proteksi kepada rakyat di era Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA). Ia menyatakan, tak ada lagi proteksi dan pemberian
subsidi.
”Jangan berharap bahwa
negara ini akan memproteksi, melindungi dan memberikan subsidi yang
besar-besaran," ujarnya. Menurutnya, proteksi dan pemberian subsidi akan
melemahkan daya saing Indonesia dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Pernyataan Jokowi
tersebut kian menegaskan arah kebijakan ekonomi Indonesia yang membebek kepada
kepentingan asing. Ekonomi Indonesia kian liberal, bahkan bisa jadi lebih
liberal dibandingkan negara liberal yang masih memproteksi produsen dalam
negerinya.
Di sisi lain, rezim
Jokowi terus memalak rakyat dengan pajak. Di awal pemerintahannya, ia langsung
meningkatkan target pajak gebesar 40 persen. Ini artinya, rakyat harus
menyubsidi pemerintah lebih besar lagi.
Menteri Keuangan
Bambang Brodjonegoro mengakui, target penerimaan pajak dalam APBN Perubahan
2015 yang naik sekira 40 persen di luar kebiasaan.
Biasanya paling besar
20 persen. Pemalakan besar-besaran ini pun memakan “korban” yakni Direktur
Jenderal Pajak Sigit Pradi Pramudito mengundurkan diri dari jabatannya, karena
tidak sanggup untuk memenuhi target penerimaan pajak yang dibebankan dalam APBN-P
2015 sebesar Rp1.294 trilyun. Rakyat pun kian berat dengan tagihan-tagihan
pajak.
Kini pemerintah
menargetkan pendapatan dari pajak lebih tinggi lagi, mencapai Rp1.546,7
trilyun. Padahal, tahun lalu saja, target yang lebih rendah hanya tercapai
sekitar 84 persen. Maka, dengan target yang demikian besar, pasti rakyat kian
dipalak. Semua sektor akan dikejar pajaknya. Semua harus bayar kepada negara.
Harus
Diakhiri
Maka, tidak ada jalan
lain kecuali menghentikan rezim pemalak ini. Caranya? M. Ismail Yusanto menjelaskan, mesti ada perubahan total dan
menyeluruh baik menyangkut pemimpinnya maupun sistemnya, karena kedua hal
inilah yang menjadi faktor utama pengaturan ekonomi khususnya yang sangat
liberal.
Untuk itu, lanjut
Ismail, masyarakat harus diajak mengerti bahwa semua problematika yang ada saat
ini, yang telah nyata-nyata membuat rakyat menderita, terjadi akibat
diberlakukannya sistem Sekuler, khususnya di bidang ekonomi dan politik. ”Oleh
karena itu, bila ingin semua persoalan itu tak lagi muncul, maka sistem
tersebut harus dihentikan segera, dan sekaligus diganti dengan sistem yang
lebih baik,” tandasnya.
Tak cukup ganti rezim,
tandasnya. Sistem yang baik itu harus berasal dari Dzat yang Maha Baik, itulah
Allah SWT dengan syariah-Nya. "Di sinilah pentingnya seruan bagi tegaknya
syariah dan khilafah, karena hanya dengan keduanyalah bakal terwujud rahmat
atau kebaikan bagi semua atau yang kita kenal sebagai rahmatan lil 'alamin,” tegas Ismail.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 166
---