Hijrah dan Khilafah
Di
satu sisi, tahun baru Hijrah sudah seharusnya diperingati dengan penuh
sukacita dan kegembiraan. Sebab, penetapan tahun Hijrah, sebagaimana
kita ketahui, didasarkan pada momentum hijrah Rasulullah Saw. dari
Makkah ke Madinah. Hijrah Rasulullah Saw. sendiri sesungguhnya
meneguhkan dirinya sebagai:
Pertama, pemisah antara kebenaran dan kebathilan; antara Islam dan kekufuran; serta antara dâr al-Islâm dan dâr al-kufr.
Paling tidak, demikianlah kata-kata ‘Umar bin al-Khaththab ketika ia
menyatakan, “Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebathilan.
Karena itu, mulailah penanggalan dari hijrahnya Rasulullah.” (HR Ibn
Hajar).
Kedua, tonggak berdirinya Daulah Islamiyah (Negara Islam) untuk pertama kalinya.
Dalam hal ini, para ulama dan sejarawan Islam telah sepakat bahwa
Madinah pasca Hijrah Nabi Saw. telah berubah dari sekadar sebuah kota
menjadi Negara Islam; bahkan dengan struktur yang -menurut
cendekiawan Barat, Robert N. Bellah- terlalu modern untuk ukuran
zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah Saw. sendiri yang menjabat
sebagai kepala negaranya.
Ketiga,
awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya secara nyata setelah
selama 13 tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus
dikucilkan dan diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang kafir
Makkah.
Pasca Hijrahlah Islam bangkit dan berkembang pesat hingga menyebar ke
seluruh Jazirah Arab dan mampu menembus berbagai pelosok dunia.
Tragedi politik yang sangat memilukan
umat Islam, yakni dihancurkannya secara resmi pada 3 Maret 1924
institusi Kekhilafahan Islam -yang selama lebih dari 13 abad melayani,
melindungi, dan mengayomi umat Islam- oleh Kemal Attaturk, seorang Yahudi
tulen, yang berkolaborasi dengan Inggris sang imperialis.
Padahal, Kekhilafahan Islam, sejak Khulafa’ ar-Rasyidin (yakni sejak meninggalnya Rasulullah Saw.) hingga Kekhilafahan Turki Utsmani yang terakhir merupakan kelanjutan dari Negara Islam yang pembentukannya dirintis oleh Rasulullah Saw. untuk pertama kalinya sekitar 14 abad yang lalu, yakni pasca hijrah Nabi Saw.
Nabi Saw. beserta para sahabat selama belasan tahun telah menguras tenaga, pikiran, strategi, dan taktik; bahkan sering mengorbankan harta dan mempertaruhkan jiwa dalam upaya membangun Negara Islam. Upaya tersebut terus dilakukan dengan memperkuat bangunan Negara, melebarkan kekuasaannya ke seluruh penjuru dunia, dan mempertahankannya dari serangan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Padahal, Kekhilafahan Islam, sejak Khulafa’ ar-Rasyidin (yakni sejak meninggalnya Rasulullah Saw.) hingga Kekhilafahan Turki Utsmani yang terakhir merupakan kelanjutan dari Negara Islam yang pembentukannya dirintis oleh Rasulullah Saw. untuk pertama kalinya sekitar 14 abad yang lalu, yakni pasca hijrah Nabi Saw.
Nabi Saw. beserta para sahabat selama belasan tahun telah menguras tenaga, pikiran, strategi, dan taktik; bahkan sering mengorbankan harta dan mempertaruhkan jiwa dalam upaya membangun Negara Islam. Upaya tersebut terus dilakukan dengan memperkuat bangunan Negara, melebarkan kekuasaannya ke seluruh penjuru dunia, dan mempertahankannya dari serangan musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Setelah
Rasulullah Saw. wafat, kepemimpinan Negara kemudian beralih kepada Abu
Bakar r.a. Sejak saat itulah era Kekhilafahan Islam dimulai. Selama itu
pula Negara Khilafah Islamiyah selama berabad-abad -sebelum akhirnya
secara tragis diruntuhkan, yakni pada periode Kekhilafahan Islam Turki
Utsmani- menjadi satu-satunya institusi negara dan politik bagi seluruh
kaum Muslim yang menerapkan seluruh sistem hukum Islam.
Negara Khilafah Islamiyah juga selama berabad-abad menjadi institusi yang paling efektif menjalankan dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia sekaligus menghancurkan berbagai penghalang fisik/militer dari pihak musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Negara Khilafah Islamiyah juga selama berabad-abad menjadi institusi yang paling efektif menjalankan dan menyebarluaskan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia sekaligus menghancurkan berbagai penghalang fisik/militer dari pihak musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Pada
Negara Khilafah Islamiyahlah kaum Muslim berpedang serta berperisai di hadapan negara-negara zhalim. Negara Khilafah Islamiyah pun menjadi benteng dari ancaman, pengejaran, penahanan,
dan pembantaian yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim.
Benarlah kiranya sabda Rasulullah Saw.:
“Sesungguhnya
seorang Imam (Khalifah) itu adalah laksana perisai; orang-orang akan
berperang di belakangnya dan menjadikannya sebagai pelindung.” (HR
Muslim).
Namun ironinya, setiap kali Tahun Hijrah -yang
merupakan simbol kebangkitan Islam dan kaum Muslim- berganti, setiap kali
pula umat Islam dizhalimi oleh kekuasaan thaghutiyah. Setiap saat mereka tak
henti-hentinya dihadapkan pada sejumlah persoalan dan krisis. Syariat Islam dicitraburukkan, identitas Islam dikonotasikan negatif, dan kaum Muslim sendiri ditindas.
Yang paling mutakhir, selain krisis ekonomi yang semakin akut, umat Islam didera oleh tekanan yang bertubi-tubi dari pihak Barat dan Timur imperialis, khususnya Amerika dan China, di balik apa yang disebut sebagai “Perang Melawan Terorisme”.
Berbagai krisis tersebut sebetulnya bermuara pada krisis institusi negara, yakni tidak adanya Negara Islam selama 96 tahun.
Yang paling mutakhir, selain krisis ekonomi yang semakin akut, umat Islam didera oleh tekanan yang bertubi-tubi dari pihak Barat dan Timur imperialis, khususnya Amerika dan China, di balik apa yang disebut sebagai “Perang Melawan Terorisme”.
Berbagai krisis tersebut sebetulnya bermuara pada krisis institusi negara, yakni tidak adanya Negara Islam selama 96 tahun.
Tanpa
sebuah Daulah Khilafah Islamiyah, umat Islam menderita kesengsaraan
yang luar biasa. Mereka menjadi terpecah-belah, hidup di sejumlah negara
yang lemah serta terpasung oleh batas-batas geografis dan nation
(kebangsaan) yang justru direkayasa oleh penjajah Barat. Akibatnya,
jangankan bersatu menghadapi penjajah, umat Islam sendiri saling
bertikai satu sama lain atas dasar kepentingan nasional masing-masing.
Perang Irak-Iran dahulu berlangsung bertahun-tahun. Negara-negara Arab di Timur
Tengah dengan rela menyediakan fasilitas pangkalan militer AS yang
justru digunakan untuk menyerang negeri-negeri Muslim seperti Afghanistan
dan Irak.
Tanpa
Daulah Khilafah Islamiyah pula hukum-hukum Allah -terutama dalam masalah
sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan pemerintahan- menjadi
terlantar. Padahal, setiap penelantaran terhadap hukum Allah terbukti
telah menyengsarakan kaum Muslim. Kenyataan itu telah tampak jelas di
tengah-tengah kita sekarang ini. Secara politik para penguasa tunduk di bawah
permainan politik negara-negara penjajah. Secara ekonomi sebagian
besar negeri-negeri Islam termasuk ke dalam kategori negara-negara
berkembang dan miskin. Sebab, kekayaan alam mereka dibiarkan
diekploitasi untuk kepentingan penjajah. Pada saat yang sama,
banyak negeri Islam yang kaya, seperti Indonesia, dijerat utang luar
negeri dari IMF dan Bank Dunia dll. yang sengaja untuk mencekik masyarakat. Akibatnya, keagenan para penguasa berjalan lancar di bawah kepentingan kapitalisme maupun komunis Cina.
Sementara
itu, sebagian besar negeri Islam
mengadopsi sistem pemerintahan demokrasi yang kufur. Padahal,
demokrasilah sesungguhnya yang menjadi pemicu utama terjadinya berbagai kezhaliman atas kaum Muslim.
Di bidang pendidikan negeri-negeri Islam dipaksa menyelenggarakan pendidikan sekular yang kemudian mencetak generasi-generasi umat yang bukan saja jauh dari akar Islam, tetapi malah membenci Islam. Mereka menjadi generasi yang kerasukan ide-idenya iblis dan para setan penjajah -menjadi liberal alias liar- dibandingkan dengan meyakini ide-ide yang berasal dari Islam.
Di bidang pendidikan negeri-negeri Islam dipaksa menyelenggarakan pendidikan sekular yang kemudian mencetak generasi-generasi umat yang bukan saja jauh dari akar Islam, tetapi malah membenci Islam. Mereka menjadi generasi yang kerasukan ide-idenya iblis dan para setan penjajah -menjadi liberal alias liar- dibandingkan dengan meyakini ide-ide yang berasal dari Islam.
Semua
hal di atas tentu saja menjadi ironis sekaligus merupakan tragedi bagi
kaum Muslim di tengah-tengah pergantian Tahun Hijrah -sebagai simbol
kebangkitan Islam dan kaum Muslim- yang berlangsung setiap tahun.
Ketiadaan Negara Islamiyah sesungguhnya bukan hanya
mengakibatkan penderitaan umat Islam, tetapi juga melahirkan nestapa
bagi seluruh umat manusia di dunia. Saat tidak dipimpin oleh Islam,
tetapi dipimpin oleh Barat dan Timur yang kapitalis maupun sosialis, dunia mengalami penderitaan
yang luar biasa dalam berbagai bidang. Berbagai krisis global terjadi
saat ini, mulai dari masalah kemiskinan, pengangguran, kerusakan
lingkungan, kebodohan sampai pada konflik dan penjajahan.