Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
خُذُوا عَنِّي،
خُذُوا عَنِّي، قَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُنَّ سَبِيلًا، الْبِكْرُ بِالْبِكْرِ جَلْدُ
مِائَةٍ وَنَفْيُ سَنَةٍ، وَالثَّيِّبُ بِالثَّيِّبِ جَلْدُ مِائَةٍ، وَالرَّجْمُ
“Ambillah
dariku, ambillah dariku. Sungguh, Allah telah menjadikan untuk mereka jalan:
gadis dengan jejaka seratus kali dera dan pengasingan satu tahun; janda dengan
duda dicambuk seratus kali dera dan rajam.” (HR. Muslim)
Rasulullah
Saw. pernah bersabda:
مَنْ شَرِبَ
الخَمْرَ فَاجْلِدُوهُ…
“Siapa yang meminum khamr, cambuklah dia.” (HR. at-Tirmidzi)
Hadits-hadits Rasul
Saw. menjelaskan, bahwa pelaku dosa yang wajib dikenai had telah dihadapkan kepada Rasul Saw. untuk dihukum oleh
beliau. Imam Muslim telah mengeluarkan hadits dari Anas bin Malik:
أَنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أُتِيَ بِرَجُلٍ قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ، فَجَلَدَهُ
بِجَرِيدَتَيْنِ نَحْوَ أَرْبَعِينَ، قَالَ: وَفَعَلَهُ أَبُو بَكْرٍ،
“Kepada
Nabi Saw. pernah didatangkan seorang laki-laki yang telah minum khamr. Lalu
beliau mendera dia dengan dua buah tongkat sekitar empat puluh kali. Anas bin
Malik berkata, “Itu juga dilakukan oleh Abu Bakar.” (HR. Muslim)
Diungkapkan
oleh Abu Al-Qosim An-Naisaburi (w. 406 H) dalam kitab tafsirnya:
أجمعت الأمة على
أن المخاطب بقوله ﴿ فاجلدوا ﴾ هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما
لا يتم الواجب إلا به فهو واجب .
“Umat
telah bersepakat bahwa pihak yang diseru dalam firman Alloh Swt. (maka
cambuklah oleh kalian) adalah seorang Imam (Kholifah), hingga dengannya mereka
beralasan atas wajibnya mengangkat seorang Imam. Sesungguhnya sesuatu perkara
yang mana suatu kewajiban tidak sempurna tanpanya maka perkara tersebut
hukumnya wajib.” (Al-Hasan bin Muhammad An-Naisaburi, Tafsir An-Naisaburi, juz 5 hlm. 465)
Banyak
kejadian pada masa Khulafaur-Rasyidin yang menunjukkan bahwa pelaku dosa yang
wajib dijatuhi had dibawa ke hadapan
Khalifah atau wakilnya untuk ditegakkan had
atas dirinya.
Abu
Dawud ath-Thayalisi telah mengeluarkan riwayat di dalam Musnad-nya dari Hudhayn Abiy Sasan ar-Raqasyi
yang berkata:
حَضَرْتُ
عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأُتِيَ بِالْوَلِيدِ بْنِ عُقْبَةَ
قَدْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَشَهِدَ عَلَيْهِ حُمْرَانُ بْنُ أَبَانَ وَرَجُلٌ آخَرُ
فَقَالَ عُثْمَانُ لِعَلِيٍّ: «أَقِمْ عَلَيْهِ الْحَدَّ…
“Aku
pernah mendatangi Utsman bin Affan ra. dan kepada dia didatangkan Walid bin
‘Uqbah. Dia telah minum khamar yang disaksikan oleh Humran bin Aban dan seorang
laki-laki lain. Utsman ra. berkata kepada Ali, “Tegakkan had atas dirinya.” (Riwayat Abu Dawud)
Ibn
Taymiyah mengatakan, “Allah menyeru kaum Mukmin dengan hudud dan hak-hak sebagai seruan yang bersifat
mutlak seperti firman-Nya: “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan,
potonglah….” Namun, sebagaimana dimaklumi, pihak yang diseru di sini secara
riil harus mampu melaksanakannya. Adapun orang yang tidak mampu, dia tidak
wajib…Kemampuan di sini adalah kekuasaan. Karena itu pelaksanaan hudud ini wajib bagi pihak yang memiliki
kekuasaan dan wakilnya.”
Al-Qurthubi
berkata, “Tidak ada perbedaan, bahwa pihak yang diseru (al-mukhathab) dalam perkara ini (al-hudud)
adalah Imam (Khalifah) dan orang yang mewakilinya.”
Imam
asy-Syafi’iy berkata, “Tidak boleh menegakkan had terhadap orang merdeka kecuali Imam (Khalifah) dan orang
yang mendapat pendelegasian dari Imam (Khalifah).”
Ibn
Qudamah juga berkata, “Tidak boleh seorangpun menegakkan had kecuali Imam (Khalifah) atau wakilnya.”
Ketika
Rasulullah Saw. wafat dan Abu Bakar ra. diangkat menggantikan beliau sebagai
Khalifah dan muncul sebagian orang dari kalangan Arab yang membangkang dengan
menolak membayar zakat maka Khalifah Abu Bakar memerangi mereka. Disebutkan
oleh Ibn Hibban dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah, bahwa Abu Bakar berkata:
وَاللَّهِ
لَأُقَاتِلَنَّ مَنْ فَرَّقَ بَيْنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ
حَقُّ الْمَالِ وَاللَّهِ لَوْ مَنَعُونِي عِقَالًا كَانُوا يُؤَدُّونَهُ إِلَى
رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَقَاتَلْتُهُمْ عَلَى مَنْعِهِ
“Demi
Allah aku perangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat. Zakat adalah
hak harta. Demi Allah seandainya sekelompok orang menghalangi dariku apa yang
dahulu mereka tunaikan kepada Rasulullah Saw. pasti aku perangi mereka atas
keengganan mereka itu.”
Di
samping itu, Allah SWT mewajibkan kaum Muslim agar menaati ulil amr yang berpegang kepada Kitabullah dan Sunnah
Rasul Saw., yakni Imam/ Khalifah. Sehingga ini menjadi dalil
wajibnya ada ulil amr (penguasa)
bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي اْلأَمْرِ
مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ
تَأْوِيلاً
”Hai
orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul(Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar mengimani Allah dan Hari
Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-nisa [4]: 59)
Wajh al-Istidlal (cara penarikan
kesimpulan dari dalil) dari ayat ini adalah: ayat ini telah memerintahkan kaum
Muslimin untuk menaati ulil amri di antara mereka, yaitu para Imam (Khalifah).
Perintah untuk menaati ulil amri ini adalah dalil tentang kewajiban mengangkat
ulil amri. Sebab, tak mungkin Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menaati
sesuatu yang tidak ada. (Abdullah Umar Sulaiman ad-Dumaiji, Al-Imamah al-‘Uzhma ‘inda Ahlus-Sunnah wa al-Jama’ah,
(Kairo: t.p), 1987, hlm. 49)
Sehingga
ini menjadi dalil wajibnya membentuk ulil
amr (penguasa) (Lihat: Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, juz
III/173-176; dibandingkan juga dengan Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul ila Tahqiiq al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul; al-Amidiy, Al-Ihkaam
fi Ushul al-Ahkaam).
Perintah
membentuk ulil amr (penguasa)
ini status hukumnya bukan sunnah atau mubah, melainkan wajib. Sebab memutuskan
perkara dengan apa yang diturunkan Allah adalah wajib. Ketika Allah SWT
memerintahkan supaya menaati ulil
amr (penguasa), maka itu adalah perintah untuk membentuk ulil amr (penguasa). Sedang adanya ulil amr (penguasa) menyebabkan
diterapkannya hukum-hukum Islam.
Sebaliknya,
dengan tidak membentuk ulil amr (penguasa),
menyebabkan disia-siakannya hukum-hukum Islam. Dengan demikian, membentuk ulil amr (penguasa) adalah wajib, karena
dengan tidak membentuk ulil amr (penguasa),
menyebabkan sesuatu yang haram, yaitu menyia-nyiakan hukum-hukum Islam.
Ali Ash-Shabuni menyatakan bahwa ayat ini
merupakan perintah untuk mentaati penguasa (khalifah) mukmin yang selalu
berpegang teguh kepada Syariat Allah swt. Sebab, tidak ada ketaatan kepada
makhluk untuk bermaksiyat kepada Allah Swt. (Ali Ash-Shabuniy, Shafwaat al-Tafaasir, juz I/285)
Menurut
Imam Ibnu Taimiyyah, kekuasaan itu memiliki dua pilar utama: kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amanah). Yang dimaksud dengan al-quwwah (kekuatan) di sini adalah kapabilitas dalam semua
urusan. Kuat dalam urusan peperangan misalnya, (wilayah
al-harb) terefleksi dalam bentuk keberanian hati, keahlian dalam
mengatur perang dan strategi perang, serta keahlian dalam menggunakan alat-alat
perang. Kuat dalam urusan pemerintahan terwujud pada kapasitas ilmu dan
keadilan serta kemampuan dalam menerapkan hukum-hukum Syariah. Adapun amanah
direfleksikan pada takut kepada Allah SWT, tidak menjual ayat-ayat-Nya dengan
harga murah dan tidak pernah gentar terhadap manusia. (Imam Ibnu
Taimiyah, As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, 1/6-7,
9)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar