Sistem republik adalah mesin politik yang
digunakan oleh kaum kapitalis. Ia dijadikan instrumen untuk memastikan
berjalannya sebuah sistem yang dikenal dengan Negara Budak. Segelintir elit
memastikan seluruh mayoritas sebagai budak. Karena itu kita harus mengetahui
apa itu kapitalisme,
Tak bisa dipungkiri para politisi dalam sistem
republik lebih mengedepankan politik kepentingan dibandingkan politik
pelayanan. Para politisi hanya gelisah pada saat Parpolnya atau kader Parpolnya
dicopot dari jabatan menteri atau pejabat tinggi negara. Sayangnya ketika harga
sembako meroket, kian merebaknya pornografi dan pornoaksi, tingginya biaya
pendidikan dan sejuta problematika sosial lainnya, hampir semua politisi yang
berpaham demokrasi memalingkan wajah alias masa bodoh. Agenda kunjungan para
politisi ke konstituen atau rakyat mungkin hanya sekadar menjadi rutinitas
seremonial.
Kasus-kasus korupsi yang bersentuhan dengan
pejabat tinggi negara tampaknya hanya sekadar dijadikan komoditas politik bagi
pihak oposisi namun proses hukumnya hanya jalan di tempat atau berakhir dengan
ketidakpastian.
dalam sistem republik, negara justru menjadi
instrumen penjajahan untuk memeras rakyat. Seluruh sektor yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai para pemilik modal. Peranan negara dipreteli.
"Subsidi" dihapus dan rakyat ditindas dengan pajak. Dalam situasi kehidupan yang
begitu berat lantaran eksploitasi oleh kaum kapitalis terjadinya kezaliman negara dan
orang per orang semakin merajalela.
sistem republik melahirkan banyak kebijakan
liberal yang justru menambah beban masyarakat. Contoh gamblang: kebijakan pemerintah menaikan harga BBM yang memberatkan rakyat dan menguntungkan
investor asing. Contoh lain: kebijakan privatisasi BUMN, yang juga mengorbankan
rakyat dan menguntungkan asing. Muncul pertanyaan, mengapa penguasa lebih
memilih untuk memuaskan kepentingan pengusaha/korporasi, bahkan
pengusaha/korporasi asing, daripada rakyat? Hubungan erat sistem republik
dengan negara korporasi adalah jawabannya.
Sudah diketahui oleh umum, partisipasi dalam
sistem republik membutuhkan dana besar. Dalam konteks inilah politisi kemudian
membutuhkan dana segar dari kelompok bisnis. Penguasa dan pengusaha pun
kemudian menjadi pilar penting dalam sistem republik. Bantuan para pengusaha
tentu punya maksud tertentu. Paling tidak, untuk menjamin keberlangsungan
bisnisnya; bisa juga demi mendapatkan proyek dari pemerintah. Akibatnya,
penguasa didikte oleh pengusaha.
Negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang
hanya memikirkan keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat,
yang sebenarnya merupakan hartanya rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara
yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak
bisa dilepaskan dari sistem politiknya: sistem republik.
Dampak paling buruk dari penerapan sistem
republik tentu saja adalah tersingkirnya aturan-aturan Allah (syariah Islam)
dari kehidupan masyarakat. Selama lebih dari setengah abad, negeri yang
notabene berpenduduk mayoritas Muslim ini menerapkan sistem republik. Selama
itu pula syariah Islam selalu dicampakkan.
belum saatnyakah kita mencampakkan sistem
republik yang terbukti buruk dan menjadi sumber keburukan? Belum saatnyakah
kita segera beralih pada aturan-aturan Allah, yakni syariah Islam, dan
menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan? Belum tibakah saatnya
kita bertobat?
pemimpin eksekutif pemerintahan tidak bisa
berbuat banyak untuk rakyat; bahkan sering membuat rakyat menderita. Mengapa?
Sebabnya acapkali seragam: tiga tahun pertama sibuk mengembalikan utang atas
modal kampanye; dua tahun terakhir sibuk mempersiapkan Pemilu; selama 5 tahun
pemerintahannya harus membuat kebijakan-kebijakan “pro pasar” (baca: pro
pemilik modal) karena keberhasilannya terpilih tak lepas dari peran serta
mereka. Inilah realitas dalam kehidupan sistem republik.
Secara historis, kemunculan sistem republik
pada akhir abad ke-18 sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari tiga pemikiran
lainnya: sekularisme, liberalisme, dan Kapitalisme. Keempatnya muncul sebagai satu paket
dengan melihat fakta bahwa “rakyat yang
paling kuat” adalah kaum borjuis (kaum kapitalis, para pemilik modal) maka
otomatis rakyat berada dalam kekuasaan kaum borjuis. Kedaulatan rakyat berarti
kedaulatan pemilik modal (korporatokrasi).
Di mana-mana negara sistem republik selalu didominasi para pemodal.
Di India saat ini juga sangat kelihatan bahwa
para pengusaha sangat menentukan perpolitikan negeri itu.
Indonesia dulu hanya menyerahkan
perkebunannya pada satu korporasi, VOC (yang juga sebesar negara). Sekarang
negeri ini telah menyerahkan pertambangan dan perminyakannya pada beberapa VOC
baru. Rakyat pun harus membeli berbagai kebutuhannya pada mereka dengan harga
tinggi.
Implikasi logis dari sistem republik adalah
jauhnya kaum Muslim dari aturan-aturan Islam, terutama dalam masalah publik
(kemasyarakatan). Hal ini disebabkan karena sistem republik telah menetapkan
garis tegas, bahwa agama tidak boleh terlibat untuk mengatur masalah publik.
Jadilah kaum Muslim sekarang hanya terikat dengan aturan Allah (itu pun kalau
dia mau) dalam masalah-masalah individu, ritual dan moral; sementara dalam
masalah publik banyak yang maunya asas manfaat sesuai dengan hawa nafsu
mereka.
Atas nama untuk kepentingan rakyat, sejak
tahun 60-an Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU Penanaman Modal Dalam
Negeri (UU No.6/1968). UU ini memberikan peluang kepada perusahaan swasta
untuk menguasai 49 persen saham di sektor-sektor milik publik, termasuk BUMN.
Tahun 90-an Pemerintah mengeluarkan PP No.20/1994. Isinya antara lain
ketentuan bahwa investor asing boleh menguasai modal di sektor-sektor milik
publik, termasuk BUMN, hingga 95 persen. Kini, pada masa yang disebut dengan
‘Orde Reformasi’, privatisasi dan liberalisasi atas sektor-sektor milik publik
semakin tak terkendali. Minyak dan gas, misalnya, yang seharusnya menjadi
sumber utama pendapatan negara, 92%-nya sudah dikuasai oleh asing.
Faktanya adalah bahwa di Amerika dan di
manapun, Sistem republik tidak pernah menepati janjinya. Kuatnya pengaruh uang
adalah kecacatan Sistem republik, suatu sistem pemerintahan yang memihak
golongan kaya dan istemewa saja.
Di pemilu 2004, capres saat itu GW Bush
menerima donasi 292 juta dollar, sedangkan lawannya John Kerry dari partai
democrat menerima 253,9 juta dollar. Kandidat independen, Ralph Nader menerima 4,5 juta dolar. Total biaya pemilihan Presiden dan kursi
perwakilan rakyat di Congress berkisar sebesar 3,9 milyar dollar.
Inilah cacat yang mendasar dari sistem
republik, di mana ia menghasilkan hukum dan kebijakan buatan manusia yang akan
menguntungkan pihak-pihak yang bisa memenangkan pengaruh, dengan tumbal rakyat
biasa.
Justru lewat proses sistem republik, DPR
mengeluarkan UU yang lebih berpihak kepada kelompok bisnis bermodal besar
terutama penguasa asing. UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan, UU Penanaman
Modal, semuanya berpihak pada asing. Dan itu secara resmi dan legal disahkan
oleh partai-partai politik di DPR.
Memang sistem republik secara natural akan
membentuk negara korporasi. Pilar negara korporasi ini adalah elit politik dan
kelompok bisnis. Kelompok bisnis mem-backup politisi dengan dana, maklum saja
biaya politik sistem republik memang mahal. Setelah terpilih sang politisi
"terpaksa" balas budi, membuat kebijakan untuk kepentingan kelompok bisnis.
Lagi-lagi kepentingan rakyat disingkirkan.
Melalui jalan sistem
republik inilah, asing mendapatkan jaminan operasi di Indonesia karena sepak
terjang mereka mengeruk kekayaan alam Indonesia mendapatkan legalitas melalui
perundang-undangan. Makanya asing sangat berkepentingan dalam proses demokratisasi
di Indonesia. Mereka membantu merancangkan draft perundang-undangan
kepada pemerintah dan "wakil rakyat" seraya mengucurkan dana —yang bagi kalangan
Indonesia dianggap besar. Hasilnya, produk sistem republik itu menjadi landasan
hukum bagi usaha mereka merampok penduduk Indonesia.
Ketika sistem republik
mengklaim Vox populi, vox Dei (Suara rakyat, suara tuhan), klaim itu nyata bathil dan
bohong. Demikian pula bahwa sistem republik katanya pemerintahan dari, oleh dan
untuk rakyat, ternyata juga bathil dan bohong. Yang berkuasa adalah para cukong. Ketika
sistem republik mengklaim kedaulatan di tangan rakyat, nyatanya rakyat tidak
berdaulat. Yang berdaulat ternyata pemilik modal dan asing.
sistem republik dengan
kapitalismenya dalam hal ekonomi terbukti gagal mewujudkan pemerataan
kesejahteraan. Sebaliknya jurang kesenjangan dalam hal kekayaan justru makin
menganga lebar. Kekayaan lebih dikuasai oleh segelintir kecil orang.
akar masalah dari kerusakan
yang ada di Indonesia bahkan di dunia khususnya negeri-negeri Muslim adalah sistem yang rusak dan
bertentangan dengan sistem dari Allah yaitu sistem republik/ demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar