Pada 3 Maret 1923,
majalah The Economist di London menulis tentang perhatian Inggris selama
negosiasi sebelum penandatanganan Perjanjian Lausanne di tahun itu,
“Jika Pemerintahan
(Mustafa) Kemal jatuh, kita mungkin akan dikonfrontasi oleh ambisi Turki untuk
memimpin perlawanan-balik Muslim melawan Barat, dengan tujuan mengakhiri
peningkatan pengaruh Barat, tidak hanya di Turki sendiri tapi di seantero dunia
Timur tengah. Itu akan berarti pengembalian Khilafah, aliansi perlawanan dengan
Rusia, dan pemunculan masalah yang aktif di Afrika Barat-Laut, Tripoli, Mesir,
Palestina, Suriah, Mesopotamia, Persia, dan India… Telah nyata bahwa perjuangan
politik di Angora (Ankara) adalah penting bagi Imperium Inggris.”
Jauh dari (pikiran)
menjadikan Khilafah ditinggalkan dan akhirnya dihapuskan, sebenarnya adalah
setahun kemudian (secara nyata) ia menjadi korban nasionalisme asing; sebuah
pemikiran yang sama sekali asing dari Islam dan kaum Muslim.
Publikasi yang sama
(The Economist) menulis pada 8 Maret 1924:
“Penolakan Khilafah
oleh orang-orang Turki menandai era ekspansi ide-ide Barat atas dunia
non-Barat, karena prinsip-prinsip kedaulatan nasional dan pemerintahan-mandiri
Barat kita, adalah kekuatan utama yang karenanya ‘Abdu’l Mejid Efendi menjadi
korban. Baik berdasarkan tradisi maupun berdasarkan teori, Khalifah adalah
pemegang tahta absolut atas dunia muslim, dan oleh karenanya hampir mustahil
untuk menemukan tempat bagi dia dalam sebuah negara nasional (baik itu disebut
republik ataupun monarki konstitusional) di mana kedaulatan ada pada parlemen
para wakil rakyat.”
94 tahun setelahnya,
para kolonialis Barat tetap tidak mampu menekan keinginan persatuan politik di
antara dunia Muslim, meski mereka mengerahkan usaha terbaiknya untuk
memecah-belah kita selama seabad lalu. Meskipun begitu, mereka tetap ingin
memaksakan pola pikir nasionalis atas kita, dengan harapan mereka bisa menunda
beberapa tahun sebelum kembalinya Khilafah yang tak bisa dihindari.
Nasionalisme adalah
ide yang menghancurkan persatuan Umat Islam dan yang telah lama memalingkan
kita dari tugas menegakkan-kembali Khilafah. Nasionalisme itulah yang menjadi
dalih yang disodorkan oleh para raja, presiden, dan perdana menteri pengkhianat
ketika mereka diam saja berdiri menyaksikan ribuan kaum Muslim di Suriah
disembelih; sebagaimana mereka juga tetap begitu atas kaum Muslim Rohingya di
Burma, kaum Muslim di Palestina, kaum Muslim di Yaman, di Bosnia, di Chechnya
dan di manapun tempat yang dipandang para kolonialis sebagai ladang pembantaian
demi kepentingan mereka.
Nasionalisme juga
merupakan pemikiran yang merobek Uni Soviet dan saat ini sedang mengacau di
Eropa dan Amerika. Itu adalah ide menjijikkan (fanatisme jahiliyah/ ashobiyah, pent.), tidak cocok untuk
menyatukan umat manusia. Itu tidak lebih baik dari kesukuan yang Nabi Muhammad
Saw. sebut:
دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ
“Tinggalkan
itu, karena itu busuk.”
Nasionalisme,
xenophobia (membenci bangsa asing), dan pemisahan adalah karakteristik khas
tatanan dunia yang didominasi Barat di mana kita hidup di dalamnya selama
seabad ini.
Khilafah yang akan
datang yang didirikan di atas manhaj
Kenabian, bukan negara nasionalistis, di mana etnis-etnis ataupun bangsa-bangsa
tertentu punya hak lebih dibanding yang lain sebagaimana terjadi di Inggris,
Amerika dan semua negara bangsa hari ini.
Sebaliknya, Islam
adalah risalah untuk semua manusia, dan Khilafah adalah negara bagi semua,
Muslim dan non-Muslim.
Pada tanggal yang
menandai sebuah kehilangan besar bagi seluruh dunia ini, kami menyeru pada kaum
Muslimin untuk tidak membiarkan setahun lagi berlalu, tanpa mengambil semua
kesempatan untuk mengingatkan pada dunia tentang kebaikan yang telah
diingkarinya, sementara Negara Islam masih absen. Kita harus juga membeberkan
pada dunia akan kejahiliyahan tatanan dunia liberal dominasi-Barat, yang tidak
membawa apapun selain kesengsaraan dan penderitaan, kecuali bagi segelintir
elit.
Sekarang adalah
saatnya bagi umat Islam untuk menolak semua garis batas nasional yang digunakan
kolonialis untuk memecah-belah kita. Sekarang adalah saatnya untuk menyeru para
Muslim berkekuatan di militer yang terpisah-pisahkan di tanah-tanah Muslim untuk
mengabaikan pemisahan-pemisahan buatan, dan bertindak sebagai satu Umat untuk
melindungi yang lemah dan kembali menawarkan Islam kepada dunia.
وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ
عَزِيزٌ
“Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. al-Hajj: 40)
Yahya Nisbet,
Perwakilan Media
Hizbut Tahrir Inggris,
3 Maret 2018
http://www.hizb.org.uk/media/press-releases/lost-khilafah-nationalism-must-reject-get-khilafah-back/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar