Oleh: KH. Hafidz Abdurrahman
Soal: Apa yang dimaksud dengan kemenangan Islam? Apakah sebab-sebab
kemenangan tersebut? Apa hubungannya antara sebab kemenangan tersebut dengan
ikhtiar manusia?
Jawab:
Banyak orang yang salah ketika menilai kemenangan,
khususnya dalam konteks Islam. Kemenangan dalam konteks Islam. bukan dengan
naiknya orang Islam dalam tampuk kekuasaan, tetapi sampainya Islam pada
kekuasaan itu sendiri. Mengapa? Karena kedaulatan dalam pandangan Islam itu di
tangan syariah, bukan di tangan manusia. Syariahlah yang seharusnya memimpin,
bukan manusianya. Karena itu semua perilaku, ucapan dan kebijakan penguasa
wajib tunduk pada syariah Islam. Bukan sebaliknya.
Karena itu ketika Nabi saw. mencari dukungan politik (nushrah), beliau mengambil langkah yang berbeda: antara
nushrah untuk melindungi dakwah (himayah ad-da'wah) dari
serangan kaum kafir dan nushrah untuk mendapatkan kekuasaan (isti'lam al-hukm) dalam rangka mendaulatkan Islam.
Pada konteks yang pertama. Nabi saw. menerima nushrah
dari Muth'im bin 'Adi. yang notabene masih kafir. Tidak mempersoalkan agamanya.
Namun, dalam konteks yang kedua, Nabi saw. sangat selektif dan memastikan
tujuannya agar kedaulatan Islam bisa benar-benar diwujudkan. Karena itu beliau
menolak nushrah dari orang kafir. Beliau menolak nushrah dari Bani 'Amir bin
Sha'sha'ah karena syaratnya menyalahi tujuan untuk mendaulatkan Islam. Beliau
pun menolak nushrah dari suku dan kabilah yang tidak memiliki kekuatan.
Semuanya ini terkait dengan tujuan yang ingin diraih dan diwujudkan oleh Nabi
saw.1
Yang menarik, di satu sisi selain ikhtiar yang
dilakukan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi saw., di atas, ternyata
kemenangan dan pertolongan Allah itu dinyatakan oleh Allah dengan menggunakan
hashr (pembatasan), bahwa sebab kemenangan dan pertolongan Allah itu adalah
Allah sendiri. Bukan yang lain. Allah SWT berfirman:
"Kemenangan itu tak lain kecuali dari sisi Allah. Sungguh
Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana."
(TQS al-Anfal [8]: 10).
Ayat ini merupakan dalil qath'i, bahwa kemenangan itu murni dari Allah, bukan
dari yang lain. Di dalam ayat ini Allah menggunakan shighat al-hashr (bentuk pembatasan).2 Ini
dikuatkan oleh Allah dalam firman-Nya yang lain:
"Jika kamu tidak menolong dia (Muhammad) maka sungguh Allah
telah menolong dirinya" (TQS
at-Taubah [9]: 40).
Kedua ayat ini memastikan bahwa kemenangan itu murni
dari Allah. Bukan yang lain. Bahkan seolah menafikan peranan manusia, dengan
menyatakan, “Illa
tanshuru" (Jika kamu tidak menolong
dia), agar kita menyadari, bahwa kemenangan itu memang di tangan Allah, dan
diberikan oleh Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.
Siapa hamba-hamba Allah yang Dia kehendaki? Dalam hal
ini, Allah menjelaskan:
“Kami telah menetapkan di dalam Zabur setelah Ummu
al-Kitab (catatan Allah di Lauh al-Mahfudz), sungguh bumi ini akan diwarisi
oleh hamba-hamba-Ku
yang shalih” (TQS al-Anbiya' [29]: 105).
Ayat ini menyatakan bahwa yang akan mewarisi
kekuasaan di muka bumi ini, menurut Ibn 'Abbas ra., adalah
umat Nabi Muhammad Saw.3 Siapa umat Muhammad yang berhak mendapatkan
kekuasaan? Ini dijelaskan oleh Allah:
“Allah telah berjanji kepada orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal-amal shalih di antara kalian bahwa Dia
sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia
telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa; akan meneguhkan bagi
mereka agama yang telah Dia ridhai untuk mereka; dan akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan, menjadi aman sentosa. Mereka tetap
menyembah-Ku dengan tidak
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Siapa saja yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik” (TQS an-Nur [24]: 55).
Di dalam ayat ini Allah menjelaskan kriteria
hamba-hamba-Nya yang shalih, yang layak mendapatkan kemenangan dan mewarisi
bumi. Pertama, beriman. Kedua, melakukan amal
shalih. Yang dimaksud amal shalih di sini adalah menerapkan syariah Islam. Ketiga, menyembah Allah. Keempat, tidak menyekutukan Allah
dengan yang lain, baik dalam peribadatan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan,
budaya, sanksi hukum ataupun yang lain.
Mereka tidak sendiri. Tidak berjuang sendiri.
Mereka berkelompok. Ini dijelaskan dalam sejumlah nas, baik al-Qur’an maupun al-Hadis:
“Siapa saja yang setia kepada Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang yang beriman, Sungguh kelompok Allah itulah yang pasti menang” (TQS al-Maidah [5]: 56).
Ayat ini menyatakan dengan menggunakan
ungkapan, “Hizb” (kelompok), yang berarti kelompok, bukan
perorangan. Ini dikuatkan oleh firman Allah SWT yang lain:
“Hendaknya ada di antara kalian
kelompok yang menyerukan kebaikan (Islam), memerintahkan
kemakrufan dan mencegah kemungkaran. Mereka Itulah orang-orang yang beruntung (menang)" (TQS Ali 'Imran [3]: 104).
Artinya, kemenangan itu diberikan kepada
kelompok. Bukan kepada individu. Bahkan dalam sebagian kitab Tafsir disebutkan
dengan penjelasan, “Jama'aah Mutakattilah” (kelompok yang terorganisir).4
Ini juga dikuatkan dengan Hadis Nabi saw.:
“Akan tetap ada suatu kaum (kelompok)
dari umatku. Mereka menang atas umat manusia hingga keputusan Allah datang
kepada mereka dan mereka dalam keadaan menang” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Dalam riwayat Muslim, juga disebutkan dengan
lafal “Tha'ifah” (kelompok). Begitu juga dalam riwayat Abu
Dawud dan Imam Ahmad.5
Karena itu harus dipahami bahwa pertolongan
dan kemenangan itu memang datang dari Allah. Allah memberikan kepada siapa saja
yang Dia kehendaki. Namun, Allah menjelaskan kriteria mereka, yaitu hamba-hamba-Nya yang shalih, beriman, beramal shalih, menyembah-Nya, tidak
menyekutukan-Nya dengan yang lain, berjuang berjamaah dan
tidak sendiri. Perjuangannya sepenuhnya terikat dengan Islam, baik dari aspek
pemikiran, hukum maupun pandangan.
Pertanyaannya kemudian, bukankah semuanya ini sudah
ada, tetapi mengapa kemenangan dan pertolongan-Nya belum juga datang?
Jawabannya, semua itu terserah Allah, karena
ini hak prerogatif Allah. Kapan, di mana serta kepada siapa
kemenangan dan pertolongan itu diberikan, terserah Allah. Kadang kemenangan dan
pertolongan itu diberikan; meski jumlah orangnya tidak banyak, sebagaimana dalam Perang Badar. Bahkan Allah memberikan pelajaran
berharga dalam Perang Hunain. Jumlah yang banyak ternyata tidak ada gunanya.
Sebabnya, kemenangan dan pertolongan itu di tangan
Allah. Bukan ditentukan oleh kuantitasnya.
Untuk memastikan kemenangan itu di tangan Allah dan
diberikan kepada siapa saja yang Allah kehendaki, Allah memilih momentum
pertolongan dan kemenangan itu:
“Sampai ketika para utusan itu merasa putus
asa dan mereka mengira bahwa mereka telah didustakan, lalu datanglah kepada
mereka pertolongan Kami. Lalu Kami menyelamatkan siapa saja yang Kami
kehendaki. Siksa Kami tidak akan bisa dielakkan dari kaum yang melakukan kejahatan” (TQS Yusuf [12]: 110).
Ini juga dijelaskan dalam QS al-Baqarah (2)
ayat 214, dan QS al-Ahzab (33) ayat 11. Semuanya menjelaskan momentum datangnya kemenangan dan pertolongan
Allah, yakni ketika jalan-jalan yang dilalui para pejuang, pengemban dakwah dan
kekasih Allah itu sudah buntu. Supaya tidak ada satu pun yang merasa, seolah
kemenangan itu karena mereka. Supaya mereka yakin, seyakin-yakinnya, bahwa
kemenangan dan pertolongan itu memang murni dari Allah SWT.
Karena itu, dalam hal ini ada dua yang harus dibedakan:
1. Secara I’tiqadi (akidah), kemenangan dan pertolongan itu di tangan Allah. Bukan di tangan manusia. Karena itu
sebab datangnya kemenangan dan pertolongan itu adalah Allah sendiri.
2. Secara i’tiqadi (akidah), kemenangan dan pertolongan itu
bagian dari Qadha' dan Qadar Allah, juga telah dinyatakan di Lauh al-Mahfudz; tentang kapan, di mana dan
kepada siapa diberikan. Dengan kata lain, ini masalah ilmu
Allah.
3. Secara syar'i (syariah),
manusia wajib melakukan hukum sebab-akibat sebagai ikhtiar mewujudkan halat [keadaan] sehingga memantaskan diri menjadi
orang-orang dan kelompok yang layak diberikan
kemenangan dan pertolongan oleh Allah. Memantaskan diri,
baik secara pribadi maupun kelompok.
4. Sebagaimana bekerja
dalam mencari rezeki hanyalah halat (keadaan), bukan sebab datangnya rezeki,
karena sebabnya rezeki adalah Allah, maka hukum sebab-akibat dalam perjuangan
untuk mendapatkan kemenangan dan pertolongan oleh Allah itu
tetap bukan penentu. Meski tetap harus dilakukan dengan sebaik mungkin, dengan secepat mungkin, dan semaksimal mungkin. Karena penentunya adalah Allah.
Maka dari itu Allah SWT menegaskan:
“Katakanlah [Muhammad], “Berjuanglah. Allah pasti akan
menyaksikan perjuanganmu. Begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (TQS at-Taubah [9]: 105).
WalLahu a’lam. []
Catatan kaki:
1. Lihat, Dr. Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital
fi as Siyasah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cetakan II, tahun 1417 H/ 1996 M, Juz I/409-414.
2. Lihat, Syaikh Sa'id
Ridhwan, Muhawalatun Li al-Fahmi al-Fahmu al-Qawim li Fahmin Salim, Dar al-Wadhdhah, Beirut, cetakan l, 1426 H/20l5 M, hal. 161.
3. Lihat, al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an, QS. al-Anbiya’: 105.
4. Lihat, at-Thabari, Tafsir at-Thabari; QS. Ali 'Imran: 104.
5. Lihat, HR. Muslim, no.1920; Abu Dawud, no.2484; Ahmad, no.19851.[]
Sumber: Media Politik dan Dakwah al-Wa'ie edisi Syawal, 1-30 Juni 2020
Sumber: Media Politik dan Dakwah al-Wa'ie edisi Syawal, 1-30 Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar