Demokrasi di Dunia
Islam erat kaitannya dengan penjajahan politik. Pasalnya, demokrasi sering
menjadi pintu masuk intervensi Barat imperialis terhadap Dunia Islam.
Fakta
Penjajahan di Dunia Islam
Menggunakan istilah
‘penjajahan’ dalam konteks saat ini, untuk menunjukkan betapa besarnya hegemoni
dan intervensi Amerika Serikat (AS) dan Barat atas Dunia Islam, sesungguhnya
masih dikatakan tepat -meski masih banyak kalangan di masyarakat yang memandang
penggunaan istilah tersebut terlampau ekstrim. Betapa tidak. Dunia Islam yang
seharusnya saat ini mengambil peran untuk “mengatur dunia” sebagai representasi
khayr al-ummah dan rahmatan lil ‘alamin dengan aturan Ilahi masih
tidak dapat berbuat banyak. Kendali Barat atas sistem hidup Dunia Islam masih
sangat kental dan sukar sekali ditinggalkan. Posisi Dunia Islam yang masih
termarjinal dan kurang aktif dapat dibaca sebagai dampak penjajahan politik
Barat.
Untuk menyamakan
persepsi tentang penjajahan, tampaknya definisi yang disodorkan Syaikh
Taqiyyudin an-Nabhani dalam Kitab Mafahim
Siyasiyah masih memiliki relevansi yang tinggi. Beliau menyebutkan bahwa
penjajahan adalah dominasi (intervensi) politik, militer, kebudayaan, dan
ekonomi terhadap bangsa-bangsa yang dikalahkan untuk kemudian dieksploitasi.
Intervensi politik
atas Dunia Islam sulit untuk dikatakan tidak ada. Bahkan Barat menggunakan dua
jenis pendekatan dalam melancarkan intervensinya itu. Sebut saja, yang pertama,
adalah pendekatan hard power. Dengan
pendekatan ini Barat menjadikan keunggulan teknologi militernya sebagai modal
untuk menanamkan investasinya di Dunia Islam. Serangan militer AS yang segera
atas Afganistan dan Irak, misalnya, menjadi posisi tawar yang tinggi untuk
menggertak negeri-negeri Islam yang vokal dalam mengkritisi kebijakan luar
negeri AS.
Pendekatan hard power inilah yang sebenarnya harus
ditafsirkan oleh publik Muslim sebagai bentuk penjajahan meski pemerintahan AS
mempropagandakan tindakannya tersebut sebagai war
on terror, war against terrorism,
atau pre-emptive strike (serangan
mendahului). Apapun propaganda itu, semangat di balik pendekatan hard power sejatinya tetaplah penjajahan.
Pendekatan kedua,
yaitu soft power, lebih ditujukan untuk
mengubah persepsi Dunia Islam terhadap keyakinannya (baca: ideologi Islam). Clash of civilization yang diakibatkan oleh
adanya perbedaan diametral dan asasi antara keyakinan Islam dan Barat,
dicitrakan hanyalah sebagai mitos dan out of
date. Apabila masih ada ulama yang menyebutkan Islam sebagai din wa dawlah (agama dan negara), maka ia
dicitrakan Barat sebagai sosok yang konservatif, puritan, dan tidak layak untuk
diikuti, atau -jika menggunakan istilah propaganda hitam- sebagai pengikut
Osama bin Laden yang melancarkan teror dan konflik.
Pendekatan soft power tetap bermuara pada intervensi
politik Barat atas persepsi Dunia Islam, dengan tujuan agar umat Islam pasrah
menerima apa yang dikehendaki Barat atas mereka. Dengan kalimat lain, Barat
memerlukan penerimaan Dunia Islam secara utuh atas upayanya menguasai
sumber-sumber ekonomi dunia dan menancapkan Kapitalisme secara kukuh.
Realitas
Penjajahan Politik Barat atas Dunia Islam
Kasus Afganistan dan
Irak sesungguhnya dapat menjadi contoh yang baik untuk melihat bagaimana Barat
menjajah daerah tersebut. Dua negara ini dulunya memiliki tipikal yang sama,
yaitu diperintah oleh penguasa yang tidak disenangi Barat, mayoritas Muslim, kaya
minyak, dan memiliki geopolitik yang cukup strategis di Timur Tengah. Kedua
negara tersebut juga memiliki nasib akhir yang relatif sama: mereka digempur
oleh invasi militer dengan alasan yang tidak pemah jelas dan tidak dapat
dibuktikan. Pemerintah Taliban dituding telah melindungi Osama bin Laden dan
kelompok Al-Qaida, sedangkan pemerintah Saddam Hussein dituduh menyembunyikan
senjata pemusnah massal. Dua operasi militer atas negara-negara ini disimbolkan
sebagai serangan mendahului (pre-emptive strike)
melawan terorisme.
Drama dua invasi
tersebut diakhiri dengan ending yang
hampir sama, yaitu penggulingan pemerintahan yang lama dan penunjukkan
pemerintahan baru, pembentukan majelis perwakilan, undang-undang dasar yang
baru, serta persiapan Pemilu yang semuanya telah direkayasa sedemikian rupa.
Pemerintahan baru tersebut tentu saja akan menginduk pada negara yang telah
mengangkatnya. Ia tak lebih menjadi penguasa boneka yang siap melayani
keinginan tuannya dan siap mengorbankan rakyatnya. Begitupun undang-undang
dasar (konstitusi negara) yang akan dilegislasi oleh parlemen yang diangkat
oleh penguasa tidak akan jauh beda. Mereka akan memproduksi konstitusi sekular
sebagai alat untuk memaksakan sistem sekular ke tengah-tengah publik Islam.
Setiap ada upaya
penolakan dari kelompok Islam, maka hal tersebut dicitrakan sebagai tindakan
teror dan memicu konflik sosial. Di tengah-tengah situasi ini, penduduk
sipillah yang menjadi korban, menyusul kacaunya aktivitas perekonomian dan
instabilitas politik. Walhasil, kondisi ini dimanfaatkan Barat untuk lebih
mencengkeramkan pengaruhnya dalam bentuk bantuan keamanan dan ekonomi. Sudah
barang tentu, uluran tangan Barat ini diimbangi dengan pemberian konsesi berupa
proyek eksplorasi minyak atau proyek pembangunan lainnya. Bahkan lebih dari
itu, keberadaan pasukan AS juga difungsikan untuk melumpuhkan kekuatan Islam
yang berupaya mendirikan Khilafah.
Dalam konteks
Indonesia, intervensi asing dalam setiap separatisme cukup terasa. Sebagai
contoh, pasca penandatanganan MoU Helsinski antara Pemerintah RI dan GAM yang
dianggap banyak pengamat lebih menguntungkan kelompok separatis, pihak mediator
Barat mengambil kendali. Kehadiran Aceh
Monitoring ini diduga merupakan kepanjangan tangan dari pihak Barat yang
ingin mengambil keuntungan dari perdamaian RI dan GAM. Dalam kasus separatisme
lainnya, seperti RMS, keterlibatan asing cukup terlihat; dari mulai pengadaan
persenjataan yang relatif canggih yang dimiliki RMS hingga kaburnya pemimpin
RMS ke Washington DC. Bahkan disinyalir, menurut laporan intelijen TNI, jumlah
intelijen asing yang melakukan spionase dan terlibat langsung dalam konflik
cukup banyak. Hal ini sangat memungkinkan, mengingat banyak sekali pulau-pulau
kecil di gugusan kepulauan Maluku yang dapat dijadikan tempat persembunyian.
Strategi
Aktif Barat
Membaca realitas
penjajahan politik Barat atas Dunia Islam setidaknya kita dapat memahami bahwa
Barat menjadikan beberapa isu digunakan untuk mengintervensi (baca: menjajah)
Dunia Islam. Pertama: perang melawan
terorisme. Kampanye ini telah memuluskan Barat, khususnya AS, menguasai
berbagai negeri Islam dengan cara merusak pranata politiknya, menggulingkan
penguasanya -yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan Barat- sekaligus
mengangkat penguasa boneka, serta mengklasifikasikan mana negeri yang pro
terhadap Barat dan negeri yang kontra.
Selain itu, derivat
dari kebijakan ini telah mengubah paradigma dunia terhadap Islam dan umatnya.
Islam disebut sebagai agama teror dan Umatnya disebut teroris. Tidak hanya itu,
kampanye ini berupaya cara pandang umat Islam terhadap aktivitas jihad, seiring
dengan munculnya tudingan bahwa jihad adalah terorisme. Pemahaman salah inilah
yang telah mengkooptasi benak sebagian umat Islam.
Kedua: isu demokratisasi dan Hak Asasi Manusia
(HAM). Kampanye Barat dengan menggunakan isu ini ditujukan untuk mengubah cara
memahami konsep Islam. Islam yang seharusnya dipahami sebagai sebuah ideologi
dan sistem hidup yang khas, dengan isu demokratisasi dan HAM, diubah menjadi
sistem nilai (values) yang hanya menjadi
spirit dalam aktivitas religi. Artinya,
konsep Islam yang pada awalnya khas dan vis a
vis dengan konsep Barat kemudian bisa dikompromikan.
Tentu saja penyesuaian
ini memiliki maksud untuk membuang konsep Islam yang tidak sejalan dengan
semangat demokratisasi dan HAM. Lalu dipromosikanlah di dunia Islam konsep
Islam modern yang di dalamnya telah terjadi “penyesuaian” atas konsep Islam.
Kelompok yang sejalan dengan Barat ini kemudian disebut Islam moderat,
sedangkan yang berseberangan dengan kelompok ini disebut Islam garis keras.
Menyikapi isu ini, Menlu Hassan Wirayuda menyebutkan bahwa Islam moderat adalah
modal dasar bagi Indonesia dalam upaya memperbaiki hubungan internasional
dengan negara-negara Barat.
Ketiga: politik pecah-belah dengan pendekatan stick and carrot. Modus ini digunakan untuk
membelah-belah tubuh umat Islam. Terjadinya dikotomi antara Islam moderat dan
Islam garis keras, betapapun sederhananya, tetap saja akan membingungkan umat
Islam secara umum. Bahkan tidak hanya itu, isu ini jika disikapi secara
emosional, dapat memancing pertikaian sesama umat Islam. Betapa besar energi
yang harus terkuras untuk masalah ini, padahal pada saat yang sama, Barat telah
mengeksploitasi kekayaan Dunia Islam dan mencengkeramkan Kapitalismenya.
Politik stick and carrot pun kemudian digunakan Barat
untuk memukul kelompok Islam yang menentang agenda dan ideologinya pada satu
sisi dan membiayai kelompok yang mengkampanyekan ide-ide kebebasan Barat -yang
dibungkus dengan religiusitas- pada sisi lain. Konsekuensinya, jika kelompok
moderat menang tentu saja penjajahan Barat atas Dunia Islam seakan-akan
mendapatkan legitimasi dari kelompok Islam. Namun sebaliknya, jika kelompok
moderat kalah, Barat harus berhadapan dengan umat Islam. Wallahu a’lam.
Bacaan: Buku Ilusi Negara Demokrasi
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar