Di tahun 2017 jagad
maya disemarakkan oleh parade panji-panji Rasulullah SAW. Ibu-ibu, Muslimah dan
bahkan anak-anak, tak ketinggalan menyemarakkan berkibarnya panji kebanggaan
umat Islam tersebut dengan berbagai atraksi. Foto maupun video.
Ketika viral, ada saja
yang tak sepakat. Terutama foto atau video yang melibatkan anak-anak. Simbol
Islam ini dituduh sebagai simbol radikalisme. Mengajak anak-anak ikut serta,
sama saja menanamkan nilai-nilai radikal sejak dini. Tak ayal, banyak pihak menyerukan
agar pemerintah melakukan upaya deradikalisasi.
Bahasa
Simbol
Dalam kancah
kehidupan, manusia tidak terlepas dari simbol-simbol. Ketika melihat sosok
perempuan berjilbab dan berkhimar, apa yang terekam dalam benak? Dia Muslimah.
Jika ada seorang perempuan tanpa penutup kepala dan mengenakan kalung salib di
lehernya, benak awam sekalipun, langsung paham: dia penganut Kristiani.
Di kalangan pesantren,
para santri terbiasa mengenakan sarung, koko, dan peci sebagai identitas
khasnya. Sementara para militer, tersimbolkan dengan rambut cepak, sepatu bot
berat dan pakaian lorengnya. Beberapa waktu lalu, viral perempuan berdaster.
Ingatan langsung terbenak: kaum ibu rumah tangga (IRT).
Hal-hal semacam itu
dipahami masyarakat sebagai simbol, yakni salah satu sarana untuk mengenalkan
makna tertentu di baliknya. Simbol umumnya lebih mudah diterima, diingat, dan
melekat dalam benak. Melebihi definisi makna yang ada di baliknya.
Maka, umat Islam
penting mengenai simbol-simbol Islam. Simbol agamanya sendiri. Supaya tidak
terjebak mengenakan simbol yang salah. Misal, ketika musim Natal, Muslim malah
memakai topi sinterklas, padahal itu adalah simbol khasnya kaum Nasrani.
Memahami
Definisi
Simbol adalah tanda
hubungan dengan obyeknya berdasarkan konvensi, kesepakatan dan aturan tertentu.
Jadi, bersifat “suka-suka" sesuai kesepakatan. Dalam artian, tidak ada
hubungan antara tanda dengan obyek yang ditandai.
Contohnya, warna merah
dan putih dalam bendera Indonesia adalah simbol. Merah dimaknai berani, putih
suci. Itu kesepakatan para pencipta bendera itu, atau pendiri negara ini,
dahulu kala. Negara lain yang menggunakan warna merah dan putih di benderanya, boleh
jadi beda memaknai warna tersebut.
Nah, sejatinya, Islam
tidak banyak menggunakan simbol-simbol dalam beragama. Artinya, tidak sengaja
menciptakan simbol tertentu. Berbeda dengan Nasrani yang menjadikan salib
sebagai simbol, atau patung dewa dalam agama Hindu-Budha, atau api dalam agama
Majusi.
Tetapi, memang ada
simbol khusus dengan makna khusus dalam Islam. Misalnya panji Rasulullah SAW,
itu adalah simbol tertentu dengan makna tertentu. Demikian pula ka'bah sebagai
simbol arah kiblat. Tetapi, berbeda dengan simbol lain, simbol Islam bukan berdasar
konsensus manusia, melainkan bersumber dari wahyu. Jadi, umat Islam tidak punya
hak membuat simbol-simbol Islam "suka-suka".
Sarung, baju koko dan
peci misalnya, bukan simbol ciptaan Islam, melainkan hanya aplikasi pelaksanaan
syariat Islam “menutup aurat". Maka itu, sarung tidak dikenal di Arab
Saudi, karena itu hanya identik dengan budaya Muslim di Indonesia. Artinya, Islam
tidak menafikan budaya lokal, selama sejalan dengan syariah Islam.
Demikian pula jilbab
dan khimar, sebagai perangkat penutup aurat Muslimah. Sejatinya bukan simbol,
tetapi bagian dari pelaksanaan syariah Islam. Namun, pada akhirnya toh dianggap
simbol Islam dalam bahasa komunikasi. Apalagi di Barat, yang notabene Muslimnya
minoritas, jilbab menjadi salah satu simbol Islam yang hingga kini masih
ditakuti.
Pahami
Maknanya
Simbol tidak
semestinya dipahami sebagai benda semata. Karena, di balik simbol ada makna
tertentu. Terlebih jika itu menyangkut simbol-simbol yang telanjur identik
dengan Islam. Sehingga, harus ada proses memahami makna di balik simbol
tersebut. Sebab, simbol tanpa paham maknanya, menyebabkan kesalahan dalam
pengaplikasiannya. Keluar dari konteks sesungguhnya.
Contoh, Muslimah yang
mengenakan kerudung, lantas mengenakan topi Sinterklas, jadi kacau
identitasnya. Muslimah apa non-Muslim? Hal ini disebabkan awamnya pemahaman
terhadap makna di balik topi Sinterklas tersebut, “Ah, cuma topi saja
diributkan."
Demikian pula,
keprihatinan pun muncul ketika ada Muslimah bercadar, malah nonton konser musik
cadas. Bahkan menjadi penggemar setianya. Berlindung di balik ungkapan ”musik
adalah bahasa universal". Padahal, sebagaimana produk seni, musik tidaklah
bebas nilai. Bahkan sudah jadi rahasia umum, musik cadas identik dengan aliran
kiri.
Ada pula Muslimah
bercadar yang menjadi Disc Jockey (DJ). Padahal profesi ini identik dengan
diskotek alias tempat hiburan malam. Jingkrak-jingkrak, lampu remang-remang,
tempat ikhtilat laki-perempuan berjoget bebas. Sungguh tidak pada tempatnya
Muslimah berada di sana.
Tidak benar bila
berlindung di balik ungkapan ”menutup aurat itu tidak menghalangi aktivitas
Muslimah” lantas menjajal segala aktivitas yang 'menyimpangkan' pemaknaan
simbol Islam. Image Muslimah berjilbab
-terlebih lagi bercadar- adalah alim, menjaga diri, jauh dari hiruk pikuk
hura-hura dan pesta-pesta. Apa jadinya jika Muslimah berjilbab bertingkah laku
tak ada bedanya dengan yang tidak berjilbab? Simbol jilbab luntur seketika.
Melawan
Monsterisasi
Jilbab dan khimar, alhamdulillah, dengan izin Allah, pada
akhirnya telah menjadi ”konsensus bersama" sebagai pakaian trendy. Istilah populernya hijab. Tetapi,
sangat penting bagi Muslimah paham bahwa jilbab dan khimar bukan semata tren,
tapi kewajiban. Sehingga, mengenakan hijab harus dengan memahami makna Islam di
baliknya.
Jangan cuma
mengenakannya sebatas “simbol." Berhijab, tapi pacaran. Berhijab, tapi
korupsi. Berhijab, tapi membela penista agama. Berhijab, tapi berzina. Dan
seterusnya. Na'udzubillahi min zalik. Hal
ini lambat laun akan meruntuhkan citra hijab yang baik.
Hijab sebagai pakaian
takwa, bergeser menjadi pakaian biasa saja. Toh, pemakainya tak menjamin
Muslimat taat. Akibatnya, banyak yang enggan berhijab dengan berlindung pada
kalimat "untuk apa berhijab, kalau tetap maksiat.”
Terlebih, saat ini ada
upaya kriminalisasi dan monsterisasi simbol-simbol Islam. Utamanya
simbol-simbol Islam yang belum dikenal khalayak. Seperti panji Rasulullah SAW
yang baru tahap sosialisasi. Termasuk mengenalkannya pada anak-anak, jangan
takut. Justru anak-anak perlu dikenalkan sejak dini, agar paham dan bangga
dengan simbol Islam sejati.
Keberadaan
orang-orang dewasa yang menolak simbol Islam saat ini, dikarenakan mereka tidak
dikenalkan sejak dini. Wajar. Ini perlu proses edukasi. Kaum Muslimah layak
berkontribusi. Mengenalkan simbol Islam tiada henti. Agar suatu hari nanti,
atas izin Allah, simbol Islam pada akhirnya menjadi “konsensus bersama",
diterima dan dipahami dengan penuh kebanggaan. Percayalah, ini hanya soal
waktu. Tetap semangat duhai para ibu. []kholda
---
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 196
Tidak ada komentar:
Posting Komentar