PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHAN, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM
HISAB DAN RU’YAT
Puasa
Ramadhan termasuk aktivitas ibadah yang metode atau tatacaranya telah
ditetapkan oleh Allah Swt. Dengan kata lain ia adalah ibadah yang
bersifat tauqifiy
(ditentukan apa adanya oleh Allah). Manusia tidak boleh menetapkan
sendiri metode maupun tata cara untuk beribadah kepada Allah; termasuk
di dalamnya menentukan masuknya bulan Ramadhan dan Syawal. Untuk itu,
syara’ telah menentukan cara menetapkan awal dan akhir Ramadhan.
Lalu,
metode dan tata cara mana yang paling dekat dengan kebenaran al-Quran
dan Sunnah dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan? Hisab atau ru’yat?
Mathla’ universal, atau mathla’ lokal?
Bila kita meneliti argumentasi hisab dan ru’yat, kita akan berkesimpulan, bahwa ru’yat adalah pendapat yang paling rajih.
Pertama, penganut hisab membangun argumentasi mereka dengan keumuman ayat-ayat al-Qur'an, “Dialah
yang menjadikan matahari bersinar, dan bulan bercahaya, dan ditetapkan
manzilah-manzilah bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan waktu.” (QS 10:5). Masih banyak lagi ayat yang mempunyai pengertian senada.
Ayat
ini dan ayat-ayat yang senada pengertiannya, tidak menunjukkan sama
sekali perintah untuk memulai puasa Ramadhan dengan hisab. Ayat itu
hanya berhubungan dengan kegunaan diciptakannya matahari, bulan, dan
manzilah-manzilahnya (kedudukan), yakni untuk mengetahui bilangan tahun,
dan waktu. Namun penganut hisab menyatakan bahwa puasa Ramadhan bisa
ditetapkan dengan memperhatikan perjalanan bulan berdasar mafhum ayat
ini. Mereka menyatakan bahwa, diciptakannya matahari dan bulan agar kita
mengetahui bilangan tahun dan bulan. Atas dasar itu, kita juga bisa
menentukan kapan mulai masuk bulan Ramadhan dengan cara perhitungan
(hisab).
Pendapat ini lemah karena, pertama, ayat ini umum dan berlaku kaidah ‘umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkan. Pada
kasus penentuan awal Ramadhan, ada nash sharih yang menyatakan bahwa
penentuan awal dan akhir Ramadhan harus berdasarkan ru’yat bukan dengan
hisab. Riwayat ini merupakan pentakhshish keumuman ayat-ayat di atas.
Rasulullah Saw. bersabda,
“Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena
melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka
sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari". (HR. Bukhari
Muslim).
"Sesungguhnya
bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah." (HR.
Muslim).
Atas
dasar itu, keumuman surat 10:5 dikususkan oleh hadits riwayat Bukhari
dan Muslim tersebut. Padahal, kaedah ushul fiqh menyatakan, “wajib membawa umum menuju khusus bila ditemukan dalil yang lebih khusus”. Untuk itu mengamalkan dalil yang lebih khusus adalah kewajiban dan lebih utama.
Kedua,
penganut hisab menetapkan keabsahan hisab bersandar kepada mafhum surat
10:5. Padahal ada nash sharih yang menjelaskan tentang ru’yat. Dalam
kondisi seperti ini – mafhum bertemu dengan nash sharih -, menurut
‘ulama ushul, mafhum harus dikalahkan bila ada nash sharih yang
menentangnya. Walhasil, mafhum bolehnya hisab yang diambil dari surat
10:5 harus ditinggalkan dan harus mengikuti hadits sharih riwayat
Bukhari dan Muslim di atas.
Kedua, penganut hisab juga menyandarkan pendapatnya pada hadits riwayat Imam Bukhari, “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” Berdasar hadits ini mereka menyatakan bahwa ‘illat (sebab tasyri’)
dilakukan ru’yat adalah karena saat itu kaum muslimin tidak mengetahui
ilmu hisab. Jika mereka telah mengetahui hisab tentunya hisab
diperbolehkan untuk mengganti ru’yat. Pendapat inipun sebenarnya sangat
lemah.
Pertama, hadits
ini berbentuk akhbariyyah, yakni hanya menceritakan kondisi kaum
muslimin pada saat itu. Ditinjau dari arah manapun, ummi bukanlah ‘illah
(sebab tasyri’)
ru’yat. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa bila mereka tidak ummi
lagi, mereka boleh menetapkan Ramadhan dengan hisab. Atas dasar itu,
hadits ini tidak menunjukkan perintah kepada kaum muslimin untuk
melakukan hisab, akan tetapi hanya pemberitahuan mengenai kondisi kaum
muslim pada saat itu.
Kedua, kebolehan
hisab yang digali dari hadits ini didasarkan pada mafhum hadits ini.
Padahal mafhum bila bertentangan dengan nash yang sharih, “Sesungguhnya
bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah." (HR.
Muslim), maka mafhum harus dikalahkan. Mafhum kebolehan hisab tentu
akan bertentangan dengan makna sharih yang ditunjukkan oleh
hadits-hadits yang berbicara tentang rukyat.
Ketiga, penganut hisab juga menyandarkan pendapat mereka dengan hadits riwayat Imam Muslim,"Sesungguhnya
bulan itu ada 29 hari, maka janganlah kalian berpuasa hingga
melihatnya. Apabila mendung menutupi kalian, maka perkirakanlah." (HR.
Muslim),
Mereka menyatakan bahwa “perkirakanlah”
di sini artinya hitunglah, yakni bolehnya menetapkan awal Ramadhan
dengan hisab. Pendapat ini pun juga lemah. Sebab, untuk menafsirkan kata
“perkirakanlah”,
maka kita harus melihat konteks hadits tersebut secara utuh, dan
membandingkan dengan nash-nash hadits lainnya. Jika kita perhatikan
nash-nash hadits lain dapat disimpulkan bahwa “faqduruulahu” (perkirakan), artinya adalah “sempurnakanlah bilangan bulannya.” Sebagaimana riwayat menyebutkan,
"Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian
karena melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar
(terhalang), maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30
hari". (HR. Bukhari Muslim).
"Berpuasalah
karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal),
maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan
menjadi tiga puluh hari". (HR. An Nasa’i) .
Lebih jelas lagi bila kita membaca hadits riwayat Muslim,
“Berpuasalah
karena melihat bulan, dan berbuka puasalah karena melihat bulan, jika
mendung, maka perkirakanlah (faqdurulah) (bulan Sya’ban) 30 hari.”
Dengan demikian, penafsiran yang tepat terhadap kata faqdurulahu adalah sempurnakan (faakmiluu)
bilangan Sya’ban menjadi 30 hari, dan bukan menunjukkan bolehnya hisab.
Dengan kata lain, jika kalian telah merukyat dan terhalang mendung maka
genapkanlah (sempurnakanlah) bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Selain
itu, seandainya makna “faqdurulah” adalah hisab, tentunya Rasulullah Saw.
tidak akan menyatakan kalimat, ”Jika kalian terhalang mendung.” Sebab, hisab tidak dipengaruhi ada mendung atau tidak.
Keempat, penganut hisab juga menyatakan bahwa kata “liru’yatihi” (melihatnya), tidak melulu bermakna melihat dengan mata telanjang. Namun kata “ra’a”,
dapat diartikan berpikir. Oleh karena itu, mereka menyatakan bahwa
riwayat-riwayat yang mencantumkan lafadz ra’a, bisa diartikan dengan
memikirkan, atau bisa diartikan bolehnya menetapkan awal Ramadhan dengan
hisab. Pendapat ini juga lemah. Bila kita perhatikan keseluruhan nash
hadits sangat jelas, bahwa ru’yat di sana berarti melihat dengan mata
telanjang, bukan hisab.
"Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah kalian karena
melihatnya (hilal). Apabila pandangan kalian tersamar (terhalang), maka
sempurnakanlah hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari". (HR. Bukhari
Muslim).
"Berpuasalah
karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya (hilal),
maka apabila mendung (menutupi) kalian maka sempurnakanlah hitungan
menjadi tiga puluh hari". (HR. An Nasa’i).
Pada hadits itu juga ada kata, jika terhalang mendung, maka sempurnakanlah hitungan menjadi tiga pula hari”. Lafadz
ini dengan jelas menunjukkan bahwa ru’yat dalam nash tersebut berarti
melihat dengan mata telanjang, bukan hisab. Sebab bila lafadz ra’a diartikan
dengan hisab, maka apakah mendung (awan) bisa mengganggu perhitungan?
Penafsiran itu juga akan bertentangan dengan sabda Rasulullah Saw., “Sesungguhnya kami ini adalah umat yang ummi. Tidak menulis dan menghisab.” (HR. Bukhari). Hadits ini menceritakan bahwa Rasulullah Saw. tidak melakukan hisab. Bagaimana bisa dikatakan bahwa tafsir “liru’yatihi” adalah
menghitung (bukan melihat dengan mata telanjang)? sedangkan Rasulullah Saw. tidak (bisa) melakukan hisab? Bukankah hadits di atas juga ucapan
Rasul, dan terjadi pada masa Rasulullah? Dengan hak apa kita menafsirkan
ucapan Rasulullah (ra’a) dengan hisab?
Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar