Arab Saudi modern
secara resmi dikenal sebagai Kerajaan Arab Saudi atau Kingdom of Saudi Arabia
(KSA), didirikan pada 1932 oleh Abdulaziz bin Abdul Rahman bin Faisal bin Turki
bin Abdullah bin Muhammad bin Saud. Pendirian negara kerajaan ini dimulai sejak
tahun 1902, ketika memulai perlawanan terhadap Dinasti Rasyid yang dapat
diakhirinya pada 1925. Abdul Aziz juga dapat menduduki Makkah pada 1924,
Madinah dan Jeddah pada 1925. Sampai kemudian mendirikan kerajaan Arab Saudi
pada 1932 dan menyatakan dirinya sebagai raja.
Philip K Hitti
menyebutkan bahwa jejak kemunculan Arab Saudi tidak terlepas dari gerakan
pembaharuan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat 1792) yang
berkolaborasi dengan Muhammad bin Saud (wafat 1765) yang menguatkan ikatannya
dengan menjadikannya menantu. Keduanya melakukan upaya pemurnian ajaran Islam
dengan menghancurkan Karbala (1801), merebut Makkah (1803), menyerbu Suriah dan
Irak, serta melebarkan kekuasaan dari Palmyra hingga Oman.
Kekuasaan mereka dapat
diakhiri pada September 1818 oleh Muhammad Ali Pasha, wali (gubernur) Mesir dan anaknya Ibrahim bin Muhammad yang
diperintahkan Khalifah Turki Utsmani untuk memadamkan pemberontakan mereka,
pasca pengepungan sejak bulan April. Namun demikian gerakan ini kembali bangkit
dan pada masa Abdul Aziz, berhasil mendirikan Kerajaan Arab Saudi 1932 (Hitti,
2005: 948).
Melawan
Khilafah Islam
Perlawanan Ibnu Saud
terhadap Khilafah Islam sudah dimulai sejak kemunculannya. al-'Alim Syaikh Abdul Qadim Zallum
menyebutkan, melalui gerakan Wahabi, mereka melakukan pemberontakan bersenjata
kepada khalifah, melawan pasukan Amirul Mukminin, berupaya merampas wilayah kaum
Muslimin yang berada dalam kekuasaan khalifah.
Tujuan mereka agar
dapat mengatur wilayah tersebut sesuai dengan madzhab yang mereka anut, dan
menghilangkan madzhab yang lain dengan kekerasan. Mereka menyerang Kuwait dan
mendudukinya pada tahun 1788. Kemudian mengepung Baghdad. Merampas Karbala dan
makam Hussain ra. pada 1801. Menyerang dan menduduki Makkah pada 1803.
Menghancurkan kubah makam Rasulullah SAW dan mempreteli perhiasan makam beliau
pada saat pendudukan Madinah tahun 1804. Pada 1810, mereka menyerang Damaskus
di Syam. Penyerangan juga dilakukan terhadap daerah Najaf bahkan sampai ke
Halab (Aleppo) (Zallum, 2001: 5-6).
Imran N Hosein
menyebutkan bahwa tahun 1924 benar-benar menjadi tahun paling penuh kejadian
penting dalam sejarah Islam. Setelah penghapusan Khilafah Islam Turki Ustmani,
3 Maret 1924, penguasa Hijaz, Syarif Husein menyatakan dirinya sebagai
khalifah, pada 7 Maret 1924. Ibnu Saud kemudian menanggapi pengumuman Khilafah
Husain dengan menyerang Hijaz. Pasukan Najd Ibnu Saud menaklukkan Thaif pada 5
September 1924, Makkah 3 Oktober, dan Madinah 5 Desember 1924. Satu tahun
kemudian, pada tanggal 19 Desember 1925, Jeddah direbut, sementara itu
“Khalifah” dan “Raja Arab" Syarif Husein, lari ke dalam pengasingan di
Yalta dengan perlindungan Inggris. Jadilah Ibnu Saud sebagai Raja Hijaz (Arab
Saudi).
Ketika ulama Al Azhar
di Kairo Mesir menggagas Kongres Khilafah pada Mei 1926 untuk merespon
keruntuhan institusi khilafah, Ibnu Saud mengorganisasi kongres tandingan.
Mereka menamakan Kongresnya Muktamar al-'Alam al-Islami (Kongres Muslim Sedunia)
dan mengadakannya di Makkah pada bulan Juli 1926 bertepatan dengan pelaksanaan
ibadah haji, karena alat transportasi yang tersedia pada tahun 1926, sangat
sulit bagi para delegasi menghadiri kedua Kongres sekaligus. Maka dari itu,
Saudi membuat inisiatif politik yang penuh perhitungan sehingga memaksa dunia
Muslim untuk memilih salah satu dari dua kongres yang ada.
Tujuan utama Saudi
mengadakan Kongres adalah untuk menghentikan pembicaraan mengenai Khilafah
Islam, dan mengantarkan gagasan sistem baru, negara-bangsa Islami. Dalam
kerangka kerja Tatanan Islam 'intranasional' baru, dan Saudi berharap
mendapatkan pengakuan kekuasaannya di Haramain, Hijaz (Hossein, 1996).
Hubungan
Saudi dan Barat
Sedari awal
kemunculannya, Saudi erat berhubungan dengan Barat, terutama Inggris. Syaikh Abdul
Qadim Zallum mengatakan bahwa ketundukan dan loyalitas keluarga Saud pada
Inggris sudah dikenal oleh negara khilafah dan negara-negara lain, seperti
Jerman, Prancis dah Rusia, serta semua tahu bahwa mereka dikendalikan oleh
Inggris. Sementara Inggris sendiri tidak menyembunyikan keberpihakannya pada
para Saudisme secara internasional, termasuk banyak senjata dan peralatan yang
telah sampai pada mereka melalui India, serta uang yang dibutuhkannya untuk
perang dan mobilisasi tentara, maka semua itu adalah senjata dan uang dari
Inggris. Oleh karena itu, negara-negara Eropa, terutama Prancis menentang
kampanye gerakan Wahabi, dan ini dilakukan karena Prancis menganggapnya sebagai
kampanye Inggris. (Zallum, 2001: 11).
Selain dengan Inggris,
Arab Saudi amat dekat, bahkan bisa dikatakan sekutu terdekat Amerika Serikat.
Di Saudi pada 29 Mei 1933, Standard Oil Company (perusahaan Amerika Serikat)
memperoleh konsesi selama 60 tahun. Perusahaan ini kemudian berubah nama menjadi
Arabian Oil Company (Aramco) pada 1934. Untuk kepentingan minyak, wakil
perusahaan Aramco, James W Moffet, menjumpai Presiden Roosevelt (April 1941)
agar memberikan pinjaman/utang kepada Saudi. Utang inilah yang menjadi alat
bagi Amerika Serikat untuk mengontrol Saudi. Konsesinya, pada 1943 Amerika
Serikat dibolehkan memanfaatkan pangkalan udara Saudi selama tiga tahun. Namun,
hingga kini perjanjian ini masih berlangsung. Pangkalan udara Dhahran pernah
menjadi pangkalan militer Amerika Serikat yang paling lengkap di Timur Tengah.
Pangkalan inilah yang menjadi basis militer Amerika Serikat untuk menyerang
Irak, negara tetangga Saudi.
Bahkan dikabarkan
bahwa Saudi pula yang mengontak Vinnel Corporation di tahun 1970-an untuk
melatih tentaranya, Saudi Arabian National Guard (SANG) dan mengadakan logistik
tempur bagi tentaranya. Vinnel merupakan salah satu Private Military Company
(PMC) terbesar di Amerika Serikat yang bisa disamakan dengan perusahaan
penyedia tentara bayaran.
Kedua
negara Barat ini saling bersaing berebut pengaruh dari kerajaan Saudi. Silih
bergantinya penguasa Saudi, tak lepas dari persaingan dari kedua negara adidaya
ini. Wallahu a'lam. []Budi Mulyana, ls dpp
---
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar