Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 01 Mei 2021

Pembahasan Tempat Munculnya Hilal Bulan Sabit – Mathla’




PENETAPAN AWAL AKHIR RAMADHAN, DAN PERSATUAN UMAT ISLAM

KRITIK ATAS MATHLA’

    Persoalan berikutnya adalah mathla’ (tempat lahirnya bulan).   ‘Ulama Syafi’iyyah menyatakan bahwa bila satu kawasan melihat bulan,  maka daerah dengan radius 4 farsakh dari pusat ru’yat bisa mengikuti hasil ru’yat daerah tersebut. Sedangkan daerah di luar radius itu boleh melakukan ru’yat sendiri, dan tidak harus mengikuti hasil ru’yat daerah lain. Mereka menyandarkan alasan mereka dengan riwayat dari Kuraib,

Diriwayatkan dari Kuraib bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, ‘Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadl. Ternyata bulan Ramadhan tiba sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal (bulan sabit) pada malam Jum’at. Setelah itu aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at’. Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’. Aku jawab lagi: ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah’. Dia berkata lagi: ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya’. Aku lalu bertanya: ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’. Dia menjawab: ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada  kami’." (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).

    Hadits ini mereka gunakan sandaran keabsahan mathla’.  Padahal bila kita meneliti lebih lanjut pendapat para penganut mathla’, kita akan dapatkan sesungguhnya pendapat mereka adalah lemah.

Pertama, sebenarnya dalil yang mereka gunakan adalah ijtihad Ibnu Abbas, bukan hadits yang diriwayatkan secara marfu’. Walaupun hadits itu secara lafdziyyah seakan-akan menunjukkan marfu’, yakni perkataan Ibnu Abbas, “Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW telah memerintahkan kepada  kami’, namun bila kita bandingkan riwayat-riwayat lain yang juga diriwayatkan oleh Ibnu Abbas sendiri, maka terlihatlah bahwa perkataan Ibnu Abbas itu adalah hasil ijtihad beliau sendiri. Ibnu Abbas sendiri banyak meriwayatkan hadits marfu’ yang bertentangan dengan hadits riwayat dari Kuraib di atas. Semisal riwayat dari Ibnu Abbas dari Nabi Saw.,

“Janganlah kalian berpuasa hingga kalian melihat hilal. Dan janganlah kalian berbuka berpuasa (mengakhiri Ramadhan) hingga kalian melihatnya pula. Maka jika (pandangan) kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan sebanyak tiga puluh hari". (HR. Bukhari Muslim).

Atas dasar itu, hadits dari Kuraib adalah ijtihad pribadi Ibnu Abbas. Ijtihad shahabat tidak layak digunakan dalil untuk menetapkan hukum.

Kedua, hadits tentang perintah ru’yat bersifat umum, dan khithab (seruannya) berlaku bagi seluruh kaum muslimin. Kata “shuumuu liru’yatihi” adalah lafadz umum. Artinya, bila satu daerah telah melihat bulan, maka wilayah yang lain harus berpuasa karena hasil ru’yat daerah tersebut.

Imam Syaukani menyatakan, "Sabda beliau ini tidaklah dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khithab (seruan) yang tertuju kepada siapa saja di antara kaum muslimin yang khithab/ seruan itu telah sampai kepadanya. "Apabila penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka (dianggap) seluruh kaum muslimin telah melihatnya. Ru’yat penduduk negeri itu berlaku pula bagi kaum muslimin lainnya."

Imam Syaukani menyimpulkan, “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan sabit (ru’yatul hilal), maka ru’yat ini berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain." [lihat pula pendapat Imam Ibnu Hajar al-Asqalaniy; Fath al-Baariy; Bab Shiyaam].

    Kedua,  riwayat Kuraib tersebut merupakan ijtihad seorang sahabat. Atas dasar itu, ia tidak bisa digunakan sebagai dalil atau apapun untuk mentakhsis (mengkhususkan) keumuman lafadz yang terdapat dalam hadist “shuumuu liru’yatihi”. Sebab, yang bisa mentakhsis dalil syara’ harus dalil syara’ pula. Sehingga, hadist-hadist tersebut tetap dalam keumumannya. Sebagaimana kaidah ushul: "Sebuah dalil yang bersifat umum tetap pada kemumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya".

    Ketiga, selain itu ijtihad Abdullah Ibnu Abbas ra. di atas bertentangan dengan makna yang shorih (eksplisit) hadits yang diriwayatkan dari sekelompok sahabat Anshor;

    "Hilal bulan Syawal tertutup oleh mendung bagi kami sehingga kami tetap berpuasa pada keesokan harinya. Menjelang sore hari datanglah beberapa musafir dari Mekkah ke Madinah. Mereka memberikan kesaksian di hadapan Nabi SAW bahwa mereka telah melihat hilal kemarin (sore). Maka Rasulullah SAW memerintahkan mereka (kaum Muslimin) untuk segera berbuka dan melaksanakan sholat ‘Ied pada keesokan harinya". (HR Imam Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Ibnu Mundir dan Ibnu Hazm)

    Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan kaum muslimin  untuk membatalkan puasa setelah mendengar informasi ru’yatul hilal bulan Syawal dari beberapa orang yang berada di luar Madinah Al-Munawarah. Peristiwa itu terjadi ketika ada serombongan orang dari luar Madinah yang memberitakan bahwa mereka telah melihat hilal Syawal di suatu tempat di luar Madinah Al-Munawarah sehari sebelum mereka sampai di Madinah. Kebolehan mathla’ juga akan bertentangan dengan riwayat Ibnu Abbas sendiri,

    "Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad SAW  kemudian berkata, ‘Sungguh saya telah melihat hilal’. Rasulullah bertanya, ‘Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah?’ Dia menjawab, ‘Ya’. Rasulullah bertanya lagi, ‘Apakah Anda bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya’. Lalu Rasulullah bersabda, ‘Wahai Bilal umumkan kepada manusia (masyarakat) agar mereka berpuasa besok." (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah & Ibnu Hiban)

Keempat, perbedaan mathla’ secara ‘aqli pun akan sangat janggal. Daerah yang terletak dalam satu bujur harusnya bisa memulai dalam waktu yang sama. Sebab, daerah yang terletak sebujur, sejauh apapun jaraknya tidak akan berbeda atau berselisih waktu. Namun, faktanya dengan adanya negara-negara bangsa (paham kufur nasionalisme), daerah-daerah yang terletak satu bujur memulai puasa tidaklah serentak, padahal secara astronomi harusnya bisa memulai puasa secara bersamaan.

Selain itu, daerah yang terletak beda bujur, selisih waktu terjauh tidak sampai sehari. Jika demikian, tidak mungkin ada selisih waktu lebih dari sehari. Adanya mathla’ memungkinkan suatu daerah berbeda dengan daerah lain, meskipun secara astronomi harusnya tidak terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat dalam memulai atau mengakhiri puasa Ramadhan. Kenyataan seperti ini mengharuskan kita meninggalkan mathla’.

Kelima, dengan memperhatikan persatuan dan kesatuan umat Islam seluruh dunia, kaum muslimin akan lebih arif memilih pendapat untuk serentak melakukan puasa Ramadhon di seluruh dunia. Harapannya, langkah semacam ini merupakan titik awal menuju persatuan umat Islam seluruh dunia.

Referensi : Muhammad Ramadhan al-Muhtasib, Fikih Puasa Praktis




Bunga Rampai Pemikiran Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam