H.
Muhammad Idris, Wakil Ketua Yayasan Nurul Iman
Khilafah
Menjaga Akidah Umat
Sembari menerawang ke
masa kecil, H Muhammad ldris mengenang awal pendirian Yayasan Nurul lman.
“Masih jelas dalam ingatan saya, waktu itu saya masih SD, para orang tua dan
guru ngaji kami resah dengan keberadaan rumah ibadah non Muslim di
tengah-tengah lingkungan kami yang 100 persen Muslim. Saya juga ingat dua orang
teman sekelas saya orang tuanya dimurtadkan," ujarnya kepada Media Umat.
Untung saja, para
orangtua dan guru ngaji segera menyadarkannya kembali sehingga mereka kembali
masuk Islam. “Mungkin seandainya para orang tua dan guru-guru kami tidak
menguatkan kami dengan pendidikan Islam, boleh jadi pemurtadan akan terus
berlanjut,” tambah lelaki kelahiran Tuban (Jawa Timur), 9 Juni 1969.
Sebagai alumni MI
Nurul Iman angkatan pertama, Pak ldris, demikian ia biasa disapa berupaya
menjadikan Yayasan Nurul Iman sebagai wadah pengabdian yang bisa disumbangkan
untuk kemajuan Syiar Islam di desanya.
Namun, ia merasa
prihatin dengan serangan budaya dan pemikiran kufur dari Barat melalui media
yang hadir di tengah-tengah kehidupan umat sampai ke pelosok desa seperti
Rantau Makmur yang semakin banyak mempengaruhi gaya hidup terutama generasi
mudanya. Upaya menelorkan generasi yang kokoh dalam akidah dan patuh pada
syariah (berkepribadian Islam) menjadi banyak kendala.
Karenanya, kepala di
salah satu Puskesmas di Kabupaten Tanjung Jabung Timur ini berharap khilafah
yang diperjuangkan Hizbut Tahrir segera tegak. “Sebab khilafah akan menjaga
akidah dan menegakkan syariah secara kaffah," pungkasnya. []
Yayasan
Pendidikan Nurul Iman, Rantau Makmur, Berbak, Tanjung Jabung Timur, Jambi
Membentengi
Akidah Umat Dari Pemurtadan
Awal tahun 1980-an
Rantau Makmur adalah daerah eks permukiman transmigrasi yang identik dengan
kemiskinan, tetinggal, dan terpencil. Transportasi ke kota kabupaten maupun
provinsi ditempuh semalaman menggunakan kapal motor. Penduduknya para
transmigran asal Jawa, 98 persen Muslim. Setiap tahun desa di delta sungai
Batang Hari dan Batang Berbak itu langganan banjir akibat pasang laut dan
luapan sungai terpanjang di Pulau Sumatera. Gagal panen akibat banjir seolah
menjadi rutinitas sebelum akhirnya dibuat tanggul pengendali banjir sekitar
awal 1990-an.
Kemiskinan yang
menimpa masyarakat Rantau Makmur menarik perhatian kalangan agama tertentu
untuk melaksanakan aktivitas sosial yang mengarah pada pemurtadan. Beberapa
orang dan keluarga berpindah agama sesuai arahan misi tersebut, dan ikut
meramaikan rumah ibadah yang berdiri di tengah-tengah komunitas Muslim.
Kejadian di atas
memicu keprihatinan tokoh agama dan masyarakat. Lalu dicapailah kesepakatan
mendirikan lembaga pendidikan keagamaan agar umat khususnya para generasi muda
terbentengi akidahnya. Tersebutlah tokoh-tokoh agama seperti Kiai Syamsuri
Ahmad (alm), Ustadz Syarif Hidayat, Ustadz Samsuri dan tokoh masyarakat HM
Syarif (alm), H Ramadhan, serta beberapa tokoh lainnya mendirikan pendidikan
formal Madrasah Ibtidaiyah (MI) pada 1983. Berdirinya lembaga pendidikan
tersebut mendapat dukungan kuat.
Awalnya MI Nurul Iman
menyelenggarakan pendidikan sore hari menumpang di gedung SD Negeri. Sebagian
besar siswanya merangkap sebagai siswa SD di pagi hari. Sehingga meski baru
berdiri sudah memiliki santri mulai dari kelas 1-6.
Di tahun kedua barulah
menempati gedung sendiri dengan memanfaatkan bekas asrama penampungan
transmigran yang tak terpakai lalu dibongkar dan dipindahkan ke lokasi tanah
desa yang dihibahkan untuk madrasah seluas (+/-) 29.000 meter persegi.
Melawan
Pemurtadan
Perjuangan merintis
berdirinya madrasah hampir bersamaan dengan usaha pihak agama lain mendirikan
rumah ibadah di Rantau Makmur. Saat itu sempat timbul ketegangan dan perang
dingin antara masyarakat sekitar tempat pendirian rumah ibadah yang notabene
100 persen Muslim dengan panitia pendirian rumah ibadah yang dimotori salah
seorang oknum guru SD. Masyarakat bersikukuh menolak dan tak bersedia memberi
izin berdirinya rumah ibadah non Muslim tersebut. Akibatnya banyak siswa SD
dari lingkungan tersebut tidak naik kelas dan tidak diluluskan.
”Untungnya mereka
bersekolah di MI sehingga biarpun tak lulus SD tapi dapat ijazah dari MI,"
ungkap Wakil Ketua Yayasan Nurul Iman H Muhammad Idris kepada Media Umat.
Upaya pendangkalan
akidah terus berlanjut. Setelah rumah ibadah ilegal berdiri, oknum guru SD yang
kemudian menjabat kepala sekolah pernah mengajak siswa kerja bakti menanam padi
di lahan sekitar rumah ibadah tersebut. Mereka disediakan makanan ringan dan
minuman padahal saat itu bulan Ramadhan.
Di kesempatan lain
pada hari Jum'at, kepala sekolah pernah menahan beberapa siswa laki-laki kelas
enam, diajak ngobrol diskusi masalah keagamaan termasuk mengomentari
keberangkatan haji seorang pengusaha setempat di tengah kemiskinan sebagian
besar warga desa. Obrolan berlangsung sampai lewat tengah hari sehingga mereka
tak sempat menunaikan shalat Jum'at.
Lalu beberapa siswa
yang kebetulan juga belajar di MI mengirim surat pengaduan ke gubernur perihal
perlakuan oknum kepala sekolah. "Alhamdulilah, pengaduan tersebut
ditanggapi dengan menerjunkan tim investigasi dari provinsi. Akhirnya kepala
sekolah tersebut dipindahtugaskan ke daerah lain," bebernya.
Agar siswa-siswi SMP
tidak mengalami nasib serupa, pada 1986, yayasan mendirikan Madrasah Tsanawiyah
(MTs) Nurul Iman. Pertimbangannya adalah agar lulusan MI Nurul Iman dapat
melanjutkan sekolah, sementara SMP dan MTs yang telah ada sangat jauh dari jangkauan,"
terangnya.
Bukan
Tempat Cari Uang
Kemiskinan yang
dialami warga juga mempengarunr keberlangsungan lembaga pendidikan Nurul Iman.
Para guru tak bisa mengandalkan gaji dari iuran siswa atau dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang waktu itu belum ada. Mereka hanya mendapatkan
gaji sekadarnya per enam bulan dari pungutan ke warga setelah panen palawija
dan padi. Itupun kalau tak gagal panen karena banjir.
Untuk menguatkan
kelembagaan yang menaungi MI dan MTs Nurul Iman, pertengahan tahun 1990-an
didirikan Yayasan Pendidikan Nurul Iman yang dikukuhkan dengan akta notaris.
Akta pendirian ditandatangani oleh Kepala Desa, Ketua LMD/LKMD, beberapa tokoh
agama dan tokoh masyarakat. Dengan demikian, Yayasan Pendidikan Nurul Iman
adalah milik dan aset masyarakat Desa Rantau Makmur. Kepengurusan periode
pertama diketuai Ustadz Bajuri. Lalu pada 2014 digantikan Suparto, mantan
Kepala Desa.
Dengan misi
membentengi akidah umat dan meningkatkan syiar Islam, khususnya dalam
pendidikan formal bercirikan Islam, berkat dukungan masyarakat dan beberapa
pengusaha asal Rantau Makmur serta para alumni yang telah sukses, kiprah
yayasan semakin dirasakan masyarakat. Kini yayasan telah mengelola selain MI
dan MTs juga TK Islam, Madrasah Aliyah (MA) dan pondok pesantren. Masing-masing
memiliki aset berupa tanah (hibah dari desa) dan bangunan permanen.
Yayasan yang pertama
berdiri diamanahi 60 santri kini di tahun ajaran 2015/2016 diamanahi sekitar
260 santri. Nurul Iman pun telah mengantarkan para alumninya menjadi ustadz,
guru, kepala sekolah, perawat, bidan, tentara dan lain-lain. []
---
Tabloid Media
Umat edisi 161
Tidak ada komentar:
Posting Komentar