Imam
Al-Qurthubi ketika menafsirkan Surah Al-Baqarah ayat 30 berkata:
… هذه الآية أصل
في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة.
“…ayat
ini pokok bahwa mengangkat Imam dan Khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk
menyatukan pendapat serta melaksanakan, melalui Khalifah, hukum-hukum tentang
Khalifah…” (Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah
Al-Qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an,
juz 1 hal. 264-265)
Terdapat
ayat selain al-Baqarah 30 yang juga sejalan dengan kesimpulan Imam Qurthubi
yaitu:
يَا دَاوُودُ
إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ
وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ
يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ
الْحِسَابِ
“Wahai
Daud sesungguhnya kami menjadikan engkau sebagai Khalifah di bumi maka
hukumilah manusia dengan kebenaran dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu
sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang
sesat dari jalan Allah maka bagi mereka adalah azab yang pedih karena mereka
telah melupakan Hari Perhitungan.” (QS. Shad [38]: 26)
Berkata
Syeikh Sayyid Husain Afandi:
اعلم انه يجب
على المسلمين شرعا نصب امام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش
“Ketahuilah
bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan hudud, memelihara perbatasan
(negara), menyiapkan pasukan, secara Syar’i adalah wajib.” (Sayyid Husain
Afandi, Al-Husun Al-Hamidiyyah, li
Al-Muhafadzah ala Al-Aqa’id Al-Islamiyyah, hal. 189)
Imam
an-Nawawi menyebutkan:
لاَ بُدَّ لِلأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيْمُ الدِّيْنَ وَيَنْصُرُ
السُّنَّةَ وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُوْمِيْنَ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوْقَ
وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا.قُلْتُ تَوْلَي اْلإِمَامَةِ فَرْضُ كِفَايَةٍ فَإِنْ
لَمْ يَكُنْ مَنْ يَصْلُحُ إِلاَّ وَاحِدٌ تُعُيِّنَ عَلَيْهِ وَلَزِمَهُ
طَلَبُهَا إِنْ لَمْ يَبْتَدِئُوْهُ.
“Sudah
menjadi sebuah keharusan bagi umat untuk memiliki seorang Imam (Khalifah) yang
menegakkan Din (Islam), menolong Sunnah,
menolong orang-orang yang dizalimi, memenuhi hak-hak dan menempatkan hak-hak
pada tempatnya. Saya berpendapat bahwa
menegakkan Imamah (Khilafah) adalah fardhu kifayah.
Jika
tidak ada lagi orang yang layak (menjadi Imam/Khalifah) kecuali hanya satu
orang, maka ia dipilih menjadi Imam/Khalifah dan wajib atas orang tersebut
menuntut jabatan Imamah jika orang-orang tidak meminta dirinya terlebih
dulu.” (Imam an-Nawawi, Raudhâh
ath-Thâlibîn wa ‘Umdah al-Muftîn, III/433)
Syaikh
al-Islam Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya al-Anshari
menyatakan:
وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ
“(Imam
al-A’zham/ Khalifah) hukumnya adalah fardhu kifayah seperti halnya
peradilan.” (Imam Zakariya bin Muhammad bin Ahmad bin Zakariya
al-Anshari, Fath al-Wahab bi Syarh Minhaj
ath-Thulâb, II/268)
Al-‘allamah
Asy-Syeikh Muhammad Asy-Syarbini Al-khatib berkata:
فَقَالَ [ فَصْلٌ ] فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ
انْعِقَادِ طُرُقِ الْإِمَامَةِ .وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ
“…maka
(penulis) berkata (pasal) tentang syarat-syarat Imam Al-A’zham serta penjelasan
metode-metode in’iqad (pengangkatan)
Imamah. (Mewujudkan Imamah Al-A’zham) itu adalah fardhu kifayah sebagaimana
peradilan.” (Mughni al-Muhtâj ilâ Ma‘rifah
Alfadz al-Minhâj, XVI/287)
Al-allamah
Asy-Syeikh Abdul Hamid Asy-Syarwani menyatakan:
قوله: (هي فرض
كفاية) إذ لا بد للامة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم
ويستوفي الحقوق ويضعها موضعها…
“…perkataannya:
(mewujudkan Imamah itu adalah fardhu kifayah) karena merupakan keharusan bagi
umat adanya Imam untuk menegakkan agama dan menolong sunnah serta memberikan
hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim serta menunaikan hak-hak dan
menempatkan hak-hak tersebut pada tempatnya…” (Hawasyi
Asy-Syarwani, juz 9 hal. 74)
Dalam
kitab Hasyiyata Qalyubi wa Umairah dinyatakan:
فَصْلٌ فِي
شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَمَا مَعَهُ وَالْإِمَامَةُ فَرْضُ كِفَايَةٍ
كَالْقَضَاءِ فَيَجْرِي فِيهَا مَا فِيهِ مِنْ جَوَازِ الْقَبُولِ وَعَدَمِهِ .
“…pasal
tentang syarat-syarat Imam Al-A’zham dan hal-hal yang menyertainya. Imamah itu
adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan maka berlaku di dalam Imamah
tersebut apa yang berlaku untuk peradilan baik dalam kebolehan menerima maupun
tidaknya..” (Hasiyata Qalyubi wa ‘Umairah,
juz 15 hal. 102)
Al-‘allamah
Asy-Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-Bajairimi berkata:
…فِي شُرُوطِ
الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ
فَرْضُ كِفَايَةٍ . كَالْقَضَاءِ فَشُرِطَ لِإِمَامٍ كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ
…
“…tentang
syarat-syarat Imam Al-A’zham serta penjelasan metode-metode sahnya in’iqad (pengangkatan) Imamah. Dan
(mewujudkan Imamah) tersebut adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan. Maka
disyaratkan untuk Imam itu hendaknya layak untuk peradilan (menjadi hakim)…” (Hasyiyah Al-Bajayrimi ala Al-Khatib, juz 12
hal. 393)
Dalam
kitab Hasyiyyatul Jumal disebutkan:
…فِي شُرُوطِ
الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ، وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ الْإِمَامَةِ وَهِيَ
فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ …
“…tentang
syarat Imam Al-A’zham dan tentang penjelasan metode in’iqad Imamah. Mewujudkan Imamah itu adalah fardhu kifayah
sebagaimana peradilan…” (Hasyiyyatul Jumal,
juz 21 hal. 42)
Dalam
kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi
Ghayatil Muntaha dinyatakan:
…( وَنَصْبُ
الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ
الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ، وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ،
وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ
الْمُنْكَرِ
“…(dan
mengangkat Imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang membutuhkan
hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara konsitensi (agama),
menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf serta nahi munkar…”
(Al-‘allamah Asy-Syeikh Musthafa bin Sa’ad bin Abduh As-Suyuthi Ad-Dimasyqi
Al-Hambali, Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi
Ghayatil Muntaha, juz 18 hal. 381)
Al-’Allamah
al-Mardawi, dari mazhab Hanbali, dalam Bab Qital
Ahl al-Baghy, menyatakan, “Mengangkat Imam (Khalifah) hukumnya fardhu
kifayah.”
Dalam
kitab al-Furu’, dia
menegaskan, “Hukumnya fardhu kifayah
menurut pendapat yang paling tepat.”
Pada
bagian yang lain, dia menegaskan kembali, bahwa mengangkat Imam hukumnya fardhu
kifayah menurut mazhab yang sahih. (Al-’Allamah ‘Ala’uddin al-Mardawi, Al-Anshaf, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut,
1997, X/271 dan XI/42)
Syaikh Abdul Qadir Audah menyatakan: “Khilafah dapat dianggap
sebagai satu kewajiban di antara fardhu-fardhu kifayah yang ada, seperti halnya
jihad dan peradilan (al-qadhâ’). Jika
kewajiban ini telah dilaksanakan oleh orang yang memenuhi syarat maka gugurlah
kewajiban ini dari seluruh kaum Muslim. Namun, jika tidak ada seorangpun yang
melaksanakannya, seluruh kaum Muslim berdosa hingga orang yang memenuhi syarat
dapat melaksanakan kewajiban Khilafah ini.” (Audah, Al-Islâm wa Awdha’unâ as-Siyâsiyah, hlm. 124)
Dijelaskan
oleh al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, dalam kitabnya, Al-Muwafaqat:
إنَّهُ وَاجِبٌ عَلَى الْجَمِيْعِ... لأَنَّ الْقِيَامَ بِذَلِكَ
الْفَرْضِ قِيَامٌ بِمَصْلَحَةٍ عَامَّةٍ، فَهُمْ مَطْلُوْبُوْنَ بِسَدِّهَا عَلَى
الْجُمْلَةِ، فَبَعْضُهُمْ هُوَ قاَدِرٌ عَلَيْهَا مُبَاشَرَةً، وَذَلِكَ مَنْ
كَانَ أَهْلاً لَهَا، وَالْبَاقُوْنَ ـ وَإِنْ لَمْ يَقْدِرُوْا عَلَيْهَا ـ
قَادِرُوْنَ عَلَى إِقَامَةِ الْقَادِرِيْنَ، فَمَنْ كَانَ قَادِراً عَلىَ
الْوِلاَيَةِ فَهُوَ مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَتِهَا، وَمَنْ لاَ يَقْدِرُ عَلَيْهَا
مَطْلُوْبٌ بِأَمْرٍ آخَر وَهُوَ إِقَامَةُ ذَلِكَ الْقَادِرِ وَإِجْبَارُهُ عَلَى
الْقِيَامِ بِهَا، فَالْقَادِرُ إِذاً مَطْلُوْبٌ بِإِقَامَةِ الْفَرْضِ، وَغَيْرُ
الْقَادِرِ مَطْلُوْبٌ بِتَقْدِيْمِ ذَلِكَ الْقَادِرِ، إِذْ لاَ يَتَوَصَّلَ
إِلَى قِيَامِ الْقَادِرِ إِلاَّ باِلإقَامَةِ؛ مِنْ بَابِ مَا لاَ يَتِمُّ
الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ
“Fardhu kifayah merupakan kewajiban bagi semua orang…
Karena
melaksanakan fardhu ini merupakan pelaksanaan kemaslahatan publik. Mereka
dituntut untuk menunaikannya secara akumulatif. Sebagian ada yang mampu secara
langsung, seperti orang yang mempunyai kelayakan. Sebagian yang lain, sekalipun
tidak mampu, tetap mampu mengusahakan orang yang mampu. Orang yang bisa
mengangkat pemimpin, ia wajib mengangkatnya. Bagi yang tidak mampu, ia mampu
melakukan yang lain, yaitu mengusahakan orang yang mampu, dan memaksanya untuk
menegakkannya. Jadi, yang mampu wajib menunaikan kewajiban ini, sedangkan yang
tidak mampu wajib mengusahakan orang yang mampu. Sebab, orang yang mampu tidak
akan melakukannya, kecuali dengan diupayakan [oleh yang tidak mampu]. Ini
merupakan bab suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu [maka
sesuatu itu hukumnya wajib].” (Al-Imam al-’Allamah as-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.,
I/119)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar