Barat Tidak Menghargai Nyawa Manusia
Bagian 1 Perang Ide-Ide : Kapitalisme Barat versus Islam
5 Tsunami: Mengapa Barat Tidak Punya Belas Kasih dan Tidak Menghargai Nyawa Manusia
"Kita harus sadar terhadap superioritas peradaban kita, suatu sistem yang menjamin kesejahteraan, menghargai hak-hak manusia dan – berkebalikan dengan negeri-negeri Islam – menghargai hak-hak politik dan religius, suatu sistem yang memiliki nilainya dari memahami keberagaman dan toleransi…” -- Silvio Berlusconi
Respon lambat dari para pemerintah Barat dalam menyatakan bantuan kepada para korban bencana tsunami adalah dicibir oleh orang-orang Barat dan para korban. $35 juta komitmen awal Amerika dideskripsikan oleh seorang senator AS sebagai sama dengan apa yang dikonsumsi oleh para tentara Amerika di Irak sebelum makan pagi. Setelahnya, bantuannya ditingkatkan menjadi $350 juta, tapi tidak banyak berpengaruh untuk mengerem ombak kritik yang berkembang yang diarahkan ke pemerintahan Bush. Di Inggris juga, pemerintah dicerca karena mengalokasikan sejumlah kecil ke dana pemulihan. Merasakan penghinaan, pemerintah cepat-cepat menyamai donasi publik Inggris $90 juta.
Mereka adalah para pemerintah yang sama yang tidak pernah lelah mengkutbahkan persamaan, hak-hak manusia kepada seluruh dunia, dan menetapkan komisi hak-hak manusia, tapi ketika diberi kesempatan untuk menjunjung ideal-ideal itu di sebagian negeri-negeri termiskin dunia mereka tiba-tiba terjangkit amnesia.
Kegagalan para pemerintah Barat untuk merespon secara cukup terhadap malapetaka di Asia bukanlah tindakan Tuhan, tapi adalah hasil dari ideologi Kapitalis yang membuat materialisme – kebalikan dari humanitarianisme mereka – sebagai faktor pembeda dalam pengucuran dana bantuan. Ambil AS sebagai contoh: sekitar 0,1% produk nasional bruto Amerika – gross national product setiap tahun mengalir menjadi bantuan luar negeri. Jumlah bantuan yang ditawarkan oleh negara-negara Barat lainnya sedikit lebih baik, tapi masih jauh di bawah apa yang dibutuhkan untuk mengembalikan area terkena bencana kembali ke beberapa derajat kenormalan.
Secara kontras, Barat membelanjakan sejumlah besar untuk mengeksploitasi berbagai sumberdaya berharga dunia, menciptakan pasar-pasar baru bagi berbagai perusahaan mereka dan mengikat negara-negara sedang berkembang ke berbagai institusi finansial Barat. Di bulan Juni 2004, biaya Amerika mendanai perang di Irak dan Afghanistan mencapai $151 milyar dan diperkirakan menembus $200 milyar di 2005. Ketimpangan dalam pembelanjaan antara bantuan dan perang adalah karena ideologi Kapitalis yang mendorong para pemerintah Barat untuk memprioritaskan materialisme di atas segalanya.
Dalam pandangan mereka, kesucian nyawa manusia dan penghargaan atas sesama manusia adalah yang kedua dari pengejaran profit. Sebagai contoh, sejak permulaan perang di Irak, sekitar 100.000 penduduk sipil Irak telah dibunuh menurut the Lancet medical journal. Ini berarti bahwa pemerintah AS membayar Pentagon rata-rata $1,5 juta per penduduk sipil Irak yang dibunuh dalam rangka mengamankan lading-ladang minyak di Irak. Di sisi lain, pemerintah AS berusaha menghindari label ‘tukang sengat’ telah mengalokasikan $35 per orang dalam asistensi humanitarian bagi jutaan atau lebih korban yang terpaksa mengungsi.
Selain itu terdapat beberapa pihak yang menyombongkan ukuran kedermawanan Barat dibanding negara-negara lain. Buktinya adalah mereka mengutip besarnya kontribusi untuk dana pemulihan tsunami oleh para pemerintah Barat dan kemauan mereka untuk memberi moratorium pelunakan utang.
Namun, kebaikan Barat punya sejarah panjang memantul dan meninggalkan rasa pahit bagi para penerima bantuan. Para korban gempa Bam di Iran masih hidup dalam kemiskinan parah karena hanya $17 juta dari bantuan $1 milyar-yang-banyak-dipublikasikan yang diberikan. Orang-orang Afghanistan, dihancurkan oleh bom-bom pasukan koalisi belum menerima 40% dari $5,4 milyar bantuan yang dijanjikan kepada mereka. Kembali ke tahun 2002, Bush mendeklarasikan bahwa negara-negara Afrika akan menerima hingga $5 milyar setahun dalam asistensi pembangunan v. 2 tahun berjalan, dan tidak satu dollarpun bantuan yang dikucurkan. Juga terdapat seabrek bukti bahwa bantuan yang diberikan pada Maldives diikat dengan kondisi bahwa proses demokratisasi harus berlanjut.
Demikian juga, pembekuan pembayaran cicilan utang hanya untuk sementara. Pembayaran yang harus berlanjut di hari depan hanya sedikit sekali membantu mengentaskan musibah ekonomi negara-negara di daerah itu. Negara-negara itu ditumpangi oleh segunung utang dan dipaksa untuk menjalani pengaturan ketat IMF yang dalam kebanyakan kasus menjauhkan dari pemulihan ekonomi. Sebagai contoh, utang luar negeri keseluruhan Indonesia adalah sekitar $150 milyar; menunda pembayaran $3,1 milyar pokok hutang dan $1,3 milyar dalam pembayaran bunga sebagaimana disarankan oleh beberapa negara Eropa tidak akan mengangkat Indonesia keluar dari kemiskinan atau membantu para korban tsunami.
Jika Barat serius memandu Indonesia dan negara-negara lain, maka seharusnya pensiun dari utang semuanya dan membatalkan syarat-syarat IMF yang ditimpakan pada perekonomiannya. Ini akan membuat Indonesia bisa menjadi mandiri secara ekonomi dan tidak begitu bersandar pada bantuan eksternal. Strategi ini tidak akan membuat rakyat Indonesia berdiri di kaki sendiri, tapi juga membantu mereka bersiap secara efektif untuk tsunami di masa depan. Tapi para pemerintah Barat tidak akan pernah mentoleransi persamaan ekonomi antara mereka sendiri dan dunia berkembang, karena akan merugikan profit kerjasama dan melemahkan genggaman mereka atas berbagai sumberdaya berharga.
Materialisme dan pencarian tiada akhir akan sumberdaya telah membuat para pemerintah Barat kehilangan kesempatan untuk memenangkan hati dan pikiran kaum Muslimin yang menjauh dari perang terhadap terorisme Amerika.
Tapi jika kepatuhan Amerika kepada Kapitalisme telah membuatnya kosong dari belas kasih dan mengabaikan nyawa manusia maka hal yang sama juga bisa dikatakan pada para penguasa di dunia Muslim. Bukannya mengambil keuntungan dari musibah di Asia untuk membantu sesama Muslim dan memenangkan hati dan pikiran para korban non-Muslim, prioritas pertama mereka adalah untuk melindungi kepentingan-kepentingan berbagai kekuatan Barat yang mereka ikuti. Ambil Arab Saudi. Setelah kejadian 11 September, ia mengeluarkan kampanye media jutaan dolar di AS untuk meningkatkan citra publik keluarga istana. Dalam perbandingan, responnya terhadap krisis tsunami tetap rendahan dan menggaris-bawahi seberapa rendah jadinya mereka dengan Kapitalisme.
Apa yang dibutuhkan dunia hari ini adalah satu ideologi dan satu negara yang tidak disibukkan dengan mengamankan sumberdaya dan melindungi pasarnya ketika berhadapan dengan rakyat yang sangat tertekan oleh bencana. Tapi yang mampu berhadapan dengan para korban bencana semacam itu dengan belas kasih dan penghargaan bagi nyawa manusia.
Hanyalah Khilafah yang mampu memenangkan hati dan pikiran baik Muslim maupun non-Muslim yang terjangkiti oleh bencana. Ketika musuh-musuh terkutuk Islam, para Quraysh terlanda kelaparan, bukanlah Romawi atau Persia yang bergegas menyelamatkan, tapi negara Islam yang masih bayi di Madinah di bawah kepemimpinan Rasulullah Saw. yang menyediakan pemulihan dan memenangkan hati mereka. Pada 650, selama kekuasaan Khalifah Umar ra., Madinah dihancurkan oleh kelaparan dan adalah kaum Muslimin di Mesir yang mengirim bantuan yang jumlahnya belum pernah dilihat sebelumnya (Mesir saat itu termasuk wilayah negara Islam). Selain mengirim bantuan melalui darat, kanal 69-mil digali untuk menghubungkan Sungai Nil ke Laut Merah, sehingga kapal-kapal penuh makanan bisa mencapai Jeddah pelabuhan untuk Madinah. Keseluruhan proyek diselesaikan dalam 6 bulan dan kekuarangan makanan Madinah diatasi secara permanen.
Jan 15, 2005
[ Barat Tidak Menghargai Nyawa Manusia ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar