Pendidikan Indonesia
tidak beres, sudah banyak diketahui. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun
prihatin atas kuallitas pendidikan tersebut. Makanya, memasuki tahun pelajaran
baru 2015-2016, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan
mencanangkan secara resmi Program Penumbuhan Budi Pekerti (PBP). PBP adalah
pembiasaan sikap dan perilaku positif di sekolah, yang dimulai sejak masa
orientasi peserta didik baru sampai dengan kelulusan, dari jenjang Sekolah
Dasar (SD), sampai dengan Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK), dan sekolah pada jalur pendidikan khusus. Persoalannya, akankah
program tersebut memberikan efek nyata bagi peningkatan kualitas output
pendidikan saat ini hingga mampu mengeluarkan bangsa ini dari keterpurukan?
Membentuk
Perilaku Shalih
Bisa jadi program
peningkatan kualitas peserta didik, terutama budi pekerti adalah upaya
perbaikan untuk menutup rusaknya kurikulum pendidikan sekuler yang selama ini
dijalankan pemerintah. Hanya saja, perbaikan tersebut memang terkesan
setengah-setengah, tidak menyeluruh. Beberapa kalangan menyangsikan jika hal ini
akan efektif untuk meningkatkan kualitas moral peserta didik apalagi
menyelamatkan bangsa dari keterpurukan.
Sesungguhnya perilaku
(budi pekerti) seseorang dipengaruhi oleh akidah dan pemahamannya terhadap
hukum syariat. Pada titik ini, penguasaan tsaqafah Islam menjadi salah satu
kunci terwujudnya keshalihan pribadi. Sebab, pribadi yang shalih harus
tercermin dari perilaku yang tidak menyalahi ajaran agama (Syariah Islam) dalam
seluruh sisi kehidupan. Masalahnya, apakah aspek ini sudah tercakup dalam
program perbaikan yang dicanangkan pemerintah tersebut? Sebab, budi pekerti
yang dimaksud pun belum jelas, apakah berstandar pada akidah Islam ataukah
moral kemanusiaan semata.
Selanjutnya,
keshalihan pribadi yang telah terwujud itu akan tertanam kuat dan memberikan
pengaruh pada masyarakat jika dipelihara oleh sebuah sistem. Karenanya topangan
negara dia butuhkan untuk mengawal keshalihan pribadi yang sudah sudah mulai
terbentuk. Inilah rangkaian dan komponen pembentukan pribadi yang shalih dalam
sebuah masyarakat. Pada titik ini, semakin jelas, bagaimana efektivitas sebuah
program peningkatan budi pekerti di sekolah dalam sistem yang tidak Islami
seperti sekarang. Dengan demikian tampaklah kelemahan program tersebut, yaitu
di samping ketidakjelasan arah, juga lemahnya hasil yang diperoleh.
Sesungguhnya, bangsa
ini membutuhkan perubahan besar, tidak hanya dalam perubahan kurikulum
pendidikan, misalnya dengan program penumbuhan budi pekerti, atau yang lainnya.
Paradigma pendidikan Islam diperlukan untuk mengubah paradigma pendidikan
konvensional yang nyata-nyata hanya menghasilkan manusia pintar tapi 'bodoh'.
Peningkatan budi pekerti menjadi tidak ada artinya jika tidak didasarkan pada
akidah dan pemahaman hukum syariah.
Islam telah
menggariskan prinsip umum pendidikan Islam yang bertujuan membentuk kepribadian
Islam, yang bersandar pada kekuatan akidah dan pemahaman hukum syariah.
Sehingga, output pendidikannya adalah manusia yang menegakkan hukum Allah SWT,
yang menjadikan hawa nafsunya sejalan dengan aturan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Firman Allah SWT:
”Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (TQS. Al-Mujadillah [58] :11)
”Tidak sempurna iman
seseorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintai dari ayahnya, atau
anaknya, atau manusia seluruhnya.” (HR. Bukhari, Muslim).
Tentu
saja, tujuan pendidikan tersebut hanya akan terwujud sempurna dalam sistem
kehidupan yang Islami, yaitu Khilafah Islam. Sebab, pendidikan tidak akan lepas
dari aspek lain kehidupan manusia. Ia berkait dengan aspek politik, ekonomi,
keamanan, sosial, dan sebagainya. Karenanya, memperbaiki pendidikannya saja tak
cukup. Namun, keseluruhnya harus diperbaiki agar sesuai dengan Islam. Inilah
urgensi kehadiran Khilafah Islam. Oleh karena itu, memperjuangkannya menjadi
kewajiban yang tak bisa ditunda-tunda lagi bagi seluruh komponen umat, terlebih
saat generasi dan bangsa ini makin terpuruk. Mari bergerak! []noor afeefa
Paradigma
Sistem Pendidikan Islam
Dalam kerangka
membangun kepribadian (character building)
dan sikap-mentalitas masyarakat suatu negara, keberadaaan ideologi sebagai asas
dan landasan sebagai fakta yang tidak dapat ditolak. Ideologi merupakan way of life; berfungsi sebagai unifying force dan driving integrating motive yang memberikan nilai dasar (basic values) kehidupan
masyarakat dan negara.
Sistem pendidikan yang
ditegakkan berdasarkan ideologi sekulerisme-kapitalisme atau
sosialisme-komunisme berkeinginan mewujudkan struktur masyarakat
sekuler-kapitalis atau sosialis-komunis. Sebaliknya, sistem pendidikan yang
berbasiskan ideologi Islam berkehendak untuk membangun struktur masyarakat
Islam, yang tentu saja akan berbeda dengan dua sistem ideologi di atas.
Berkenaan dengan hal
itu, pemahaman terhadap karakter sebuah ideologi merupakan langkah awal dan
mendasar ketika membicarakan sistem pendidikan. Ketidakpahaman terhadap basis
sistem pendidikan dan karakteristik manusia yang hendak dibentuknya hanya akan membuat
program-program pendidikan sebagai sarana trial
and error dan menjadikan peserta didik bagai kelinci percobaan.
Pendidikan dalam Islam
adalah upaya sadar, terstruktur, terprogram, dan sistematis dalam rangka
membentuk manusia yang memiliki: (1) Kepribadian Islam; (2) Menguasai pemikiran
Islam dengan handal; (3) Menguasai ilmu-ilmu terapan (pengetahuan, Ilmu/sains,
dan teknologi/PITEK); (4) Memiliki ketrampilan yang tepat guna dan berdayaguna.
Pembentukan
kepribadian Islam harus dilakukan pada semua jenjang pendidikan yang sesuai
dengan proporsinya melalui berbagai pendekatan. Salah satu di antaranya adalah
dengan menyampaikan pemikiran Islam kepada para siswa.
Tsaqafah (pemikiran)
Islam adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan berdasarkan akidah Islam yang
sekaligus menjadi sumber peradaban Islam. Muatan inti yang kedua ini diberikan
pada seluruh jenjang pendidikan sesuai dengan proporsi yang telah ditetapkan.
Sementara kurikulum
dibangun berlandaskan akidah Islam sehingga setiap pelajaran dan metodologinya
disusun selaras dengan asas itu. Konsekuensinya, waktu pelajaran untuk memahami
tsaqafah Islam dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya mendapat porsi yang
besar, tentu saja harus disesuaikan dengan waktu bagi ilmu-ilmu lainnya.
Ilmu-Ilmu terapan, diajarkan sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tidak terikat
dengan jenjang pendidikan tertentu (formal).
Secara struktural,
kurikulum pendidikan Islam dijabarkan dalam tiga komponen materi pendidikan
utama, yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: (1) pembentukan
kepribadian Islami); (2) penguasaan tsaqafah Islam; (3) penguasaan ilmu
kehidupan (PITEK, keahlian, dan ketrampilan).
Dalam proses
pendidikan, keberadaan peranan guru menjadi sangat penting; bukan saja sebagai
penyampai materi pelajaran (transfer of
knowledge), tetapi sebagai pembimbing dalam memberikan keteladan (uswah) yang baik (transfer of values).
Dalam Islam, negaralah
yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem
pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan
kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya,
tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang
imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan
ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya. (HR. al-Bukhari dan
Muslim). []fl
Sumber: Tabloid Media
Umat edisi 155
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar