Menurut pengamat
politik Andi Azikin, setelah berkuasa, para kepala daerah hanyalah menjalankan
kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Mereka tidak boleh membuat
perda atau kebijakan yang bertentangan dengan UU yang lebih tinggi dan
menyalahi kebijakan pemerintah pusat. ”Jadi sebenarnya tidak akan ada perubahan
yang signifikan di daerah kecuali hanya soal-soal teknis," jelasnya.
Dalam konteks Jakarta,
siapapun gubernurnya, dari sisi perubahan, sangat tergantung kepada kebijakan
pemerintah pusat karena pemerintah daerah meski dikatakan desentralisasi,
kewenangannya sangat terbatas. Siapapun yang memimpin tak akan banyak berpengaruh
karena mesin birokrasi sebenarnya sudah berjalan.
Sayangnya masyarakat
tidak sadar dengan kondisi ini. Mereka tertipu. Seolah-olah harapan bisa
digantungkan kepada sosok pribadi orang yang memimpin dengan mengesampingkan
sistem yang diterapkan. Pemimpin dianggap segalanya dalam mewujudkan
kesejahteraan dan keadilan kendati fakta sudah berulang kali terungkap bahwa
pemimpin sebaik apapun tak akan bisa berbuat banyak jika ia berada dalam
kubangan lumpur sistem yang buruk.
Selain tidak akan
menghasilkan perubahan mendasar, pemilihan kepala daerah justru membuka
keharaman bagi kaum Muslim sebab orang kafir pun mendapat kesempatan untuk
meraih kekuasaan. Sistem demokrasi tak membatasi siapapun untuk memimpin. Seorang Muslim jelas tak boleh
setuju terhadap sistem yang membolehkan orang kafir menjadi pemimpin atas kaum
Muslimin, sistem yang menyerahkan penetapan hukum kepada hawa nafsu voting
manusia.
Tipuan
Demokrasi
Setiap lima tahun
rakyat selalu didorong untuk menentukan pemimpinnya dengan dalih ini adalah
bagian dari perubahan. Saking luar biasaanya mengawal demokrasi ini
sampai-sampai ada yang menakut-nakuti rakyat dengan secara keliru menafsirkan
ayat-ayat Allah SWT untuk menyukseskan pesta tersebut. Bahkan sering
dimunculkan pernyataan, jika umat Islam tidak ikut memilih maka orang kafir
yang akan memenangi pemilu. Padahal, kata Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI Yahya
Abdurrahman, justru pemilu demokrasi inilah jalan untuk mempertahankan sistem
yang rusak ini. "Tidak akan ada perubahan mendasar melalui pemilu atau
pilkada ini. Soalnya sistemnya tidak akan berubah, malah tidak boleh diubah.
Pemilu atau pilkada merupakan bagian dari mempertahankan sistem,” jelasnya.
Siapapun yang
memenangi pesta tersebut, jelasnya, akan melaksanakan prinsip demokrasi yakni
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Atas nama rakyat,
seorang pemimpin bisa mengeluarkan kebijakan apa saja. Dan yang pasti aturan
itu bukan berasal dari Allah seluruhnya. Soalnya, mengambil aturan agama dalam
mengatur urusan publik termasuk sebuah keharaman dalam kacamata demokrasi.
Prinsip sekulerisme yang menjadi pilar sistem tersebut tak bisa diganggu gugat.
Ia menjelaskan, tidak
mungkin demokrasi ditujukan untuk menghancurkan dirinya sendiri. Wajar pula
jika para pemimpin yang terpilih baik di pusat maupun di daerah -termasuk yang
Muslim- tidak akan mengambil aturan agama secara menyeluruh untuk mengatur urusan
umat. Kalaupun ada aturan agama yang diambil, itu adalah aturan agama yang
sesuai dengan prinsip demokrasi itu sendiri.
Lepaskan
Belenggu Demokrasi!
Siapa pun -termasuk
warga Jakarta- pasti menginginkan kebaikan berupa kesejahteraan dan keadilan.
Berharap pada sistem yang ada, dapat dipastikan seperti pungguk merindukan
bulan.
Dan sudah terbukti
secara nyata, fenomena Pilkada Jakarta ini telah menguras energi umat gara-gara
negara menampakkan ketidakadilan demi mempertahankan calon yang digadang-gadang
terpilih kembali memimpin Jakarta.
Fakta menunjukkan,
selama ini semua yang terpilih didukung kekuatan modal dan popularitas,
ditambah tidak adanya suara partai yang dominan yang mengharuskan mereka
berkoalisi. Koalisi pun tak jarang hanyalah politik dagang sapi. Demokrasi
akhirnya menjadi kedok penguasaan sekelompok orang yang punya modal untuk
menguasai rakyat untuk kepentingannya sendiri. Rakyat berdaulat hanya omong
kosong.
Ketua Lajnah Siyasiyah
DPP HTI Yahya Abdurrahman menegaskan, Jakarta yang baik akan muncul jika negeri
berpenduduk mayoritas Muslim ini mengganti sistem yang rusak sekarang dengan
sistem baru. Sistem ini adalah sistem Islam. Dengan sistem Islam, Jakarta bisa
dibangun dengan menggunakan prinsip-prinsip Islam dalam seluruh kehidupan.
“Tidak cukup ganti
orang. Harus ganti sistem. Dan ini tentu tidak hanya sistem yang berlangsung di
Jakarta tapi sistem yang sedang bercokol di negeri ini,” jelas Yahya.
Sistem yang baik,
jelasnya, akan bisa mewujudkan peradaban yang baik. Termasuk membangun
manusianya sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. Sistem ini tegak atas
prinsip tauhid sehingga terbebas dari kepentingan segilintir orang yang ingin
memaksakan kehendak demi urusan duniawi. Sistem ini dijaga oleh ketakwaan. Para
pemimpinnya dipaksa tunduk di bawah aturan Islam sehingga bebas dari nafsu
pribadi atau kelompok.
Dan yang lebih
penting, papar Yahya, sistem Islam ini akan menjadikan Jakarta dan daerah lain
di Indonesia menjadi wilayah yang dirahmati oleh Allah SWT, negeri yang baldatun thayibatun wa rabbun ghafur.
“Umat harus berani
melepaskan belenggu demokrasi ini. Sudah saatnya kita harus berani bersuara
lantang untuk menyuarakan perubahan sistem bagi negeri ini," tandas Yahya.
Ketua DPP HTI Rokhmat
S Labib mengatakan, perubahan terjadi jika kaum itu menginginkan perubahan.
"Kita harus mengarahkan umat pada perubahan Islam, jika tidak maka
perubahan yang terjadi semakin buruk dan lebih buruk,“ paparnya.
Ia berharap para tokoh
umat bisa memahami hal ini dan terus mengarahkan umat kepada perubahan hakiki
seperti yang dulu dilakukan oleh Rasulullah SAW hingga terwujud Daulah Islam di
Madinah.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 191
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar