Polaritas umat
beragama di Indonesia kian tajam. Ide toleransi dalam kacamata pluralisme pun
kembali didengungkan. Tak ayal seorang remaja putri asal Banyuwangi, Afi
Nihayah (18) menjadi perbincangan karena mengungkapkan idenya tentang
kebhinekaan, toleransi, dan agama.
Salah satu kutipannya
adalah: “Kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan Muslim, maka saya
beragama Islam. Seandainya saja saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga
Kristen atau Yahudi, apakah ada jaminan bahwa hari ini saya memeluk Islam sebagai
agama saya? Tidak. Saya tidak bisa memilih dari mana saya akan lahir dan di
mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan saya warisan, nama
saya warisan, dan agama saya juga warisan."
Generasi
Kritis
Sangat jarang remaja
kritis seperti Afi yang mau mengungkapkan pandangannya secara terbuka. Apalagi
memiliki pandangan yang cukup sensitif, yakni masalah agama. Sayangnya,
pemahamannya soal agama terlihat masih mentah. Maklum, usianya masih remaja.
Tampak sekali jika proses belajar Islamnya pun belum kaffah. Maka, ada
kesalahan mendasar mengenai pandangannya bahwa agama Islam yang dipeluknya
“hanyalah" warisan dari orang tuanya.
Benar, sebagai manusia
kita lahir dari orang tua siapa, di kota mana, negara mana, warna kulit apa,
bentuk hidung seperti apa, dll, tidak bisa memilih. Itulah qadha AIlah. Takdir, orang menyebutnya. Tidak
perlu kita pertengkarkan dan tidak perlu disesali. Toh, wilayah itu juga tidak
akan di-hisab oleh Allah SWT.
Seseorang tidak akan
masuk Neraka disebabkan ia lahir dari orangtua miskin, berkulit gelap atau
karena hidungnya tidak mancung. Karena itu semua memang tidak diadili oleh Sang
Pencipta. Tetapi, masalah keyakinan, ini akan ditanya di hari kiamat. Mengapa kita
beriman pada Allah SWT atau mengapa kita kufur?
Maka, pertama-tama
yang harus dilakukan seorang Muslim adalah bersyukur sepenuh syukur, ketika
dilahirkan dari orang tua Muslim. Karena dengan begitu, jalan menuju hidayah
lebih terbuka. Setidaknya, inilah titik awal seseorang akan terkondisikan
dengan suasana keIslaman.
Islam
Harus Diinstal
Begitu lahir ke dunia,
saat bayi Muslim membuka mata, disambut azan dan iqamah oleh sang ayah. Itu
adalah peletak dasar Islam pada sang anak. Anak yang kelak akan bertumbuh,
membesar, remaja hingga dewasa.
Dalam proses bertumbuh
itulah, keberIslaman harus diinstal secara terus-menerus agar sang anak
benar-benar menerima Islam secara menyeluruh. Mewujud menjadi seorang Muslim
yang paham Islam seutuhnya. Islam kaffah. Membentuk kepribadian Islam yang
sempurna. Unik.
Siapa yang
menginstalnya? Orang tua di rumah, pendidik di sekolah dan guru ngaji di
lingkungannya. Ditambah bacaan-bacaan Islami, teman-teman yang shalih dan
lingkungan yang baik. Itu semua akan membentuk kepribadian seorang Muslim.
Karena, yang namanya
pemahaman, tidak langsung terinstal begitu saja dalam tubuh si anak sejak
lahir. Ketika kita lahir dari orang tua Muslim, tidak otomatis kita langsung
paham Islam seutuhnya. Tidak otomatis tahu tata cara wudhu, syarat sahnya
salat, paham fikih Islam, ngerti tafsir
Al-Qur’an, paham sirah Nabawiyah, dll. Tidak. Semua itu perlu proses.
Pemahaman Islam tidak
diwariskan melalui jalur genetik secara otomatis, melainkan dipelajari.
Turun-temurun. Terus-menerus. Melalui periwayatan dengan sanad yang jelas.
Melalui proses pendidikan dan pembiasaan.
Rasulullah SAW,
menerima wahyu secara berurutan dari Allah SWT melalui malaikat Jibril. Lalu
mewariskan kepada para sahabatnya dengan proses belajar-mengajar. Halaqah.
Mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an secara face to
face. Para sahabat mengajarkannya kembali kepada generasi setelahnya,
setelahnya dan setelahnya.
Semua melalui proses
belajar-mengajar yang tiada habisnya. Maka benar ketika Rasulullah SAW
memerintahkan umat Islam agar menuntut ilmu dari buaian hingga liang lahat.
Belajar ilmu Islam hampir-hampir tiada habisnya. Demikian cara mewariskan Islam
kepada umat sedunia.
Dengan cara seperti
itulah, umat Islam yakin terhadap kebenaran agamanya. Ia paham bahwa hanya
Islam saja yang benar, sebagaimana ia mengkaji surat Al-Maidah ayat 3 yang
artinya: ”…pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…”
(Al-Maidah: 3)
Iman
100 Persen
Seseorang yang
beragama, sudah pasti dia akan mengklaim agamanyalah yang benar. Karena agama
menyangkut keyakinan. Terkait iman. Penganut Islam, harus yakin 100 persen
agamanya yang benar. Keyakinan ini tidak diwariskan begitu saja. Al-Qur’an
jelas dapat dibuktikan kemukjizatannya; kerasulan Nabi Muhammad Saw. jelas bisa
dibuktikan; singkatnya, Islam bisa 100% diyakini sebagai satu-satunya agama
yang benar.
Maka, jika hari ini
ada Muslim yang merasa berIslam sekadar mendapat warisan orang tuanya, tetapi
belum pernah duduk halaqah mengkaji Islam; rutin menuntut ilmu-ilmu Islam;
belum memiliki guru bersanad; belum
pernah membahas kitab-kitab para ulama, belum memahami ayat-ayat al-Qur’an yang
jelas, belum pernah belajar sirah Nabawiyah, belum pernah menelusuri perjalanan
hidup para ulama, dsb. Sesungguhnya, dia belumlah mendapat warisan apa-apa.
Islamnya baru sebatas status, boleh jadi baru sebatas Islam KTP.
Artinya, kalau Islam
tetapi merasa biasa-biasa saja dalam berIslam, tidak bangga sedikitpun, tidak
ada dorongan membela Islam, tidak ada keinginan menyampaikan kebenarannya yang
tunggal, maka sejatinya ia belumlah menjadi umat yang mewarisi Islam. Apalagi
jika malah ragu, membenarkan agama-agama lain, dan membela propaganda mereka
atas nama toleransi. Ini sungguh bukan sikap seorang Muslim sejati.
Aset
Muslim
Seseorang yang telah
mengalir dalam darahnya kebanggaan dan rasa syukur atas keIslamannya, tak akan
betah berdiam diri. Ia akan terdorong mengemban dakwah. Bersemangat
menyampaikan kebenaran Islam, mengajak orang lain memahami Islam seperti
dirinya. IniIah yang tampak pada karakter seorang Muslim yang telah bersyakhsiyah Islamiyah.
Jika sikap ini belum
muncul pada generasi muda saat ini, tak lain karena sekarang mereka telah
banyak teracuni ide-ide sekular
yang memisahkan agama dari kehidupan. Di dalam dirinya telah terinstal
pemikiran-pemikiran yang bertolak belakang dengan Islam. Baik melalui kurikulum
pendidikan, bacaan, tayangan, teman, opini di media, dan sebagainya.
Kita bisa belajar dari
kasus Malala Yousafzai, remaja kritis asal Pakistan yang kini menjadi pion
Barat untuk menghantam agamanya sendiri. Remaja Muslim seperti Afi, adalah aset
umat. Mari entaskan dari kebutaan terhadap Islam, agama yang seharusnya mengalir
deras dalam darahnya. Membuatnya bangga dan gigih membela Islam.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 198
Tidak ada komentar:
Posting Komentar