Proyek ini sangat beraroma perang ideologi antara liberal kapitalisme dan sosial komunisme di satu sisi dan Islam di sisi yang lain.
Terminologi ekstremisme tak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana terorisme. Menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah tiba-tiba mengaitkan ekstremisme dan terorisme?
Sebagian kalangan menilai, siapapun orangnya, yang karena keyakinannya berbicara kritis terhadap kebijakan pemerintah, maka siap-siaplah untuk dicap sebagai “orang ekstrem".
Menurut Forum News Network (FNN), kebijakan yang seperti ini dipraktekkan oleh kekaisaran Yunani kuno dan manusia yang mengaku diri Tuhan Fir'aun di zaman dulu. Kebijakan mengamankan kekuasaan ini diteruskan di Inggris, Francis dan Jerman di akhir 1800-an. Di awal tahun 1900-an pola ini dipakai lagi oleh Musolini, Stalin, Hitler, Yuri Andropov, Konstantin Chernenko, dan Joseph Broz Tito.
“Masa kebijakan dari kekuasaan yang primitif dan bar-bar seperti ini mau dipakai Pak Jokowi di era modern dan revolusi industri 4,0 (four point zero) lagi?" begitu dalam opini yang dimuat di fnn.co.id
Deradikalisasi
Prof Suteki menilai keluarnya Perpres No 7/2021 bisa diduga sebagai bagian dari upaya penanggulangan terorisme yang mengedepankan pendekatan lunak (soft approach) dalam menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
“Kalau kita jeli, proyek ini tidak akan jauh dari misi dunia Global War on Terrorism (GWoT) yang dikendalikan oleh Barat (Amerika dan sekutu). Terkesan seolah Indonesia dalam situasi darurat ekstremisme,” kata pakar filsafat hukum dan Pancasila ini.
Dan di balik itu, kata Suteki, sebenarnya adalah fobia Islam. Proyek ini sangat beraroma perang ideologi antara liberal kapitalisme dan sosial komunisme di satu sisi dan Islam di sisi yang lain. Mengapa? Karena, lanjutnya, sejak awal patut diduga bahwa GWoT dengan turunan berupa War on Radicalism (WoR) dan War on Extremism (WoE) terkesan menyasar umat Islam sehingga seolah Islam dengan ajaran dan simbolnya layak dijadikan common enemy alias musuh bersama.
Cendekiawan Muslim Muhammad Ismail Yusanto pun sependapat dengan Prof Suteki bahwa perpres ini hadir dalam rangka perang terhadap Islam militan. Ia mengutip pernyataan Daniel Pipes, pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan fobia Islam dalam artikel berjudul “Rand Corporation and Fixing Islam” dengan istilah religious building. Yakni upaya untuk membangun agama Islam alternatif “untuk menghancurkan Islam militan”.
Tapi tujuan panjangnya, menurut Daniel Pipes adalah modernisasi Islam. Perang melawan Islam militan inilah yang sering disebut sebagai perang melawan radikalisme atau war on radicalism.
Ismail menjelaskan, War on Radicalism adalah kedok untuk maksud sesungguhnya yakni war on Islam. “Tentu yang dimaksud bukan Islam secara keseluruhan, tapi Islam politik atau Islam ideologis. Yakni Islam yang menghendaki tegaknya syariah secara kaffah guna mengatur kehidupan masyarakat dan negara agar bisa terwujud rahmat bagi sekalian alam yang telah dijanjikan Allah," jelasnya.
Dalam sebuah wawancara dengan Tom Bethell, editor senior The American Spectator, Daniel Pipes mengemukakan tiga gagasan bagi Amerika Serikat untuk menghancurkan Islam ini. Pertama, selalu menentang kaum Islamis. "Seperti kaum fasis dan komunis, mereka musuh kita yang totaliter, terlepas dari apakah mereka berjanggut panjang di Pakistan atau berpakaian demikian di Washington, paparnya.
Kedua, selalu mendukung orang-orang liberal, modern dan sekuler yang memiliki sudut pandang yang sama dengan Barat. Ketiga, bekerjasama dengan para diktator tetapi mengondisikannya supaya mendorong mereka menuju reformasi dan membuka diri. “Kita butuhkan para Mubarak—Presiden Mesir—dunia dan mereka pun membutuhkan kita juga. Baiklah. Tetapi tetap terus menekan dengan keras supaya mereka meningkatkan kemampuan pemerintahan. Andai kita sudah memulai proses ini dengan Abdullah Saleh di Yaman pada 1978 atau dengan Mubarak pada 1981, maka masalah bakal sangat jauh berbeda setelah 2011. Tetapi tidak kita lakukan,” katanya.
Benarkah apa yang terjadi di Indonesia pun tak jauh dari pandangan tersebut?[] emje
Sumber : Tabloid Media Umat edisi 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar