Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024, disingkat RAN PE pada Januari 2021. Beleid itu diundangkan sehari setelahnya oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly.
Di bagian menimbang, Perpres itu terbit sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Karenanya, diperlukan strategi komprehensif untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan.
Perpres ini memuat 12 Pasal. Berlaku hingga 2024. RAN PE ini bertujuan meningkatkan perlindungan hak atas rasa aman bagi warga negara dari tindakan ekstrimisme berbasis kekerasan. Perpres ini memuat pendahuluan, strategi pencegahan, dan penanggulangan.
RAN itu sendiri akan dilaksanakan oleh menteri dan pimpinan lembaga. Mereka bertanggung-jawab sesuai kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Sementara gubernur dan bupati/wali kota bertanggung-jawab atas pelaksanaan rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan di daerahnya masing-masing dengan berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
Melalui Perpres 7/2021 ini, pemerintah membentuk sekretariat bersama. Di dalamnya ada sejumlah unsur. Pertama, kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan bidang politik, hukum, dan keamanan. Kedua, kementerian yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan bidang pembangunan manusia dan kebudayaan. Ketiga, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional. Keempat, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. Kelima, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di luar negeri. Keenam, badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme.
BNPT Komandannya
Komando sekretariat bersama berada di tangan kepala badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme. Dalam hal ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Yang patut dicermati, dalam pelaksanaan aksi pencegahan dan penanggulangan ekstremisme, sekretariat bersama rencana aksi nasional dapat menambah dan/atau melakukan penyesuaian aksi pencegahan dan penanggulangan aksi tersebut. Itu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang ditetapkan melalui peraturan badan yang menyelenggarakan urusan bidang penanggulangan terorisme (baca: BNPT).
Merujuk Pasal 7, terdapat tiga tugas utama sekretariat bersama. Pertama, mengoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi pelaksanaan rencana aksi pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme di kementerian/ lembaga. Kedua, mengompilasi laporan-laporan yang disampaikan kementerian/lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan rencana aksi nasional tersebut. Ketiga, merumuskan dan menyiapkan laporan capaian dan evaluasi pelaksanaan rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme.
Laporan capaian dan evaluasi pelaksanaan rencana aksi nasional disampaikan oleh kepala BNPT kepada Presiden paling sedikit 1 tahun sekali dan/atau sewaktu-waktu jika diperlukan. Laporan juga akan dipublikasikan kepada masyarakat.
Pemolisian Masyarakat
Salah satu yang diatur dalam Perpres tersebut adalah peningkatan efektivitas pemolisian masyarakat dalam mencegah ekstremisme. “Pelatihan pemolisian masyarakat yang mendukung upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme," begitu bunyinya.
Berdasarkan definisi yang tercantum dalam Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015, Pemolisian Masyarakat (Community Policing) yang selanjutnya disingkat Polmas adalah suatu kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya.
Hanya saja, Polmas dalam Perpres ini lebih fokus ditujukan kepada upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada terorisme. Peran mereka hanya sebatas pencegahan, bukan penindakan.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berdalih aturan ini dibuat atas faktor keterbatasan sumber daya kepolisian. “Kita mesti rasional lah. Untuk itu kita harus menggunakan rasio, kecukupan, antara jumlah penduduk dengan jumlah polisi. Jumlah polisi kita itu sekitar 470.000, jumlah penduduk kita sekitar anggaplah 270 juta [jiwa]. Jadi kalau dihitung satu polisi itu harus mengelola 500 kurang lebih masyarakat, padahal di Jepang itu hanya 1 banding 50,” kata Moeldoko di Jakarta, Rabu (20/1/2021).
Selain itu, kata Moeldoko, permasalahan keamanan dan ketertiban tidak bisa diserahkan kepada polisi saja. la mengatakan, masalah keamanan dan ketertiban perlu pelibatan masyarakat.
Mantan Panglima TNI-mengklaim, Perpres tersebut adalah hasil dorongan dari civil social organization (CSO). Ada 50 CSO, katanya. Sayang ia tak menyebutkannya. la meminta masyarakat tidak langsung berpikir negatif dalam penerbitan Perpres ini.
Nantinya pemerintah akan memasukkan materi pencegahan ekstremisme ke dalam kurikulum sekolah hingga perguruan tinggi. Pemerintah juga akan melatih guru dan dosen terkait materi tersebut.
Juru bicara BNPT, Edi Hartono, mengatakan perpres ini ditujukan untuk melindungi masyarakat dari ancaman ekstremisme yang mengarah pada aksi terorisme. Masyarakat bisa melakukan deteksi dini secara mandiri terhadap lingkungan sekitarnya jika mencurigai ada individu atau kelompok yang termasuk dalam ciri ekstremisme. Ia kemudian mencontohkan ciri ekstremisme itu dengan sikap yang tidak berbaur dalam kegiatan di masyarakat, tertutup, hingga tidak sepakat pada nilai-nilai Pancasila.
Kritikan
Pengamat politik Rocky Gerung dalam kanal ofisialnya mengkritisi Perpres tersebut. Menurutnya, kebijakan pemerintah ini akan memunculkan ekstremisme tanpa gejala kepada masyarakat.
la juga mempertanyakan yang dimaksud tentang ekstremis menurut pemerintah. "Jadi cara pemerintah memilih kata pun betul-betul menghina akal sekaligus menakut-nakuti tetangga saya. Nanti kalau enggak ketemu yang ekstremis maka interpretasi dari aturan itu kalau dia bukan ekstrimis paling tidak dia ETG (Ekstrimis Tanpa Gejala)," kata Rocky.
Dalam pandangannya, negara akan mencurigai seluruh warganya memiliki potensi ekstremis dan saling menuduh di tengah masyarakat. “Peraturan ini muncul dari kecurigaan, nah kalau dia curiga dia lakukan silent operation. Apa yang musti lakukan? Ya intelijen disebar. Sekarang setiap orang disuruh jadi intelijen jadi intel, artinya seluruh orang potensial untuk menjadi penjahat, ekstrimis, atau teroris. Kan itu jalan pikirannya begitu kan" tuturnya.
Rocky menilai bahwa perpres ini di luar paradigma Pancasila dan bukan cara-cara yang demokratis, terlebih konotasi kata ektremis akan mengacu pada umat Islam sehingga adanya unsur pemecah-belah melalui perpres tersebut.
Sementara itu, pakar hukum Prof. Suteki dalam tulisannya tertanggal 24 Januari 2021 menanggapi perpres ini. Menurutnya, secara teoritik, argumentasi pembentukannya tidak memadai karena teori pendukung urgensi Perpres ini tidak compatible. “Dan memang tidak akan kompatibel mengingat definisi operasional tidak ada sehingga obscure dalam menentukan indikator atau kriteria yang memungkinkan menjadikan ekstremisme menjadi delik baru dalam hukum pidana kita seperti terorisme, tulisnya.
Patut diduga, lanjutnya, penyusunannya tidak ada pelibatan lembaga litbang independen misal LIPI dan perguruan tinggi yang memadai. “Bahkan, ada hasil penelitian Litbang Kemenag dan PPIM UIN Jakarta yang sebenarnya memberikan sinyal bahwa kita tidak dalam keadaan darurat ektremisme. Tidak ada kerawanan hubungan antar umat beragama, karena yang lebih tampak justru kerawanan hubungan internal agama," jelasnya.
Ia kemudian mengutip pendapat Prof. Siti Zuhro dari LIPI yang menyatakan bahwa masalah utama negeri ini bukan radikalisme atau ektremisme melainkan ketimpangan sosial-ketidakadilan, diskriminasi, dll.
Sementara itu ulama kritis Tengku Zulkarnain membandingkan kondisi saat ini dengan masa penjajahan Belanda. Dalam cuitannya di Twitter, Tengku menulis: “Dulu yang dituduh EKTRIMIS itu adalah INLANDER. Dan yang menuduh EKTRIMIS adalah para PENJAJAH. Itu dulu. Lha sekarang?” kata Tengku Zulkarnain dari akun Twitter miliknya @ustadtengkuzul, Jumat (22/1).
Tengku menggambarkan ada tiga kelompok pada masa itu, penjajah, pengkhianat, dan inlander. “Zaman dahulu ada 3 kelompok. Pertama, Penjajah. Kedua, Pengkhianat. Ketiga, Inlander. Inlander mati-matian korban nyawa melawan Penjajah, Pengkhianat nangguk keuntungan dari Penjajah. Setelah Merdeka siapa yg paling banyak menikmati hasilnya? Anak cucu Pengkhianat atau Inlander?" pungkasnya.[] emje
Berdasarkan definisi yang tercantum dalam Peraturan Kapolri Nomor 3 Tahun 2015, Pemolisian Masyarakat (Community Policing) yang selanjutnya disingkat Polmas adalah suatu kegiatan untuk mengajak masyarakat melalui kemitraan anggota Polri dan masyarakat, sehingga mampu mendeteksi dan mengidentifikasi permasalahan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) di lingkungan serta menemukan pemecahan masalahnya.
Hanya saja, Polmas dalam Perpres ini lebih fokus ditujukan kepada upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada terorisme. Peran mereka hanya sebatas pencegahan, bukan penindakan.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko berdalih aturan ini dibuat atas faktor keterbatasan sumber daya kepolisian. “Kita mesti rasional lah. Untuk itu kita harus menggunakan rasio, kecukupan, antara jumlah penduduk dengan jumlah polisi. Jumlah polisi kita itu sekitar 470.000, jumlah penduduk kita sekitar anggaplah 270 juta [jiwa]. Jadi kalau dihitung satu polisi itu harus mengelola 500 kurang lebih masyarakat, padahal di Jepang itu hanya 1 banding 50,” kata Moeldoko di Jakarta, Rabu (20/1/2021).
Selain itu, kata Moeldoko, permasalahan keamanan dan ketertiban tidak bisa diserahkan kepada polisi saja. la mengatakan, masalah keamanan dan ketertiban perlu pelibatan masyarakat.
Mantan Panglima TNI-mengklaim, Perpres tersebut adalah hasil dorongan dari civil social organization (CSO). Ada 50 CSO, katanya. Sayang ia tak menyebutkannya. la meminta masyarakat tidak langsung berpikir negatif dalam penerbitan Perpres ini.
Nantinya pemerintah akan memasukkan materi pencegahan ekstremisme ke dalam kurikulum sekolah hingga perguruan tinggi. Pemerintah juga akan melatih guru dan dosen terkait materi tersebut.
Juru bicara BNPT, Edi Hartono, mengatakan perpres ini ditujukan untuk melindungi masyarakat dari ancaman ekstremisme yang mengarah pada aksi terorisme. Masyarakat bisa melakukan deteksi dini secara mandiri terhadap lingkungan sekitarnya jika mencurigai ada individu atau kelompok yang termasuk dalam ciri ekstremisme. Ia kemudian mencontohkan ciri ekstremisme itu dengan sikap yang tidak berbaur dalam kegiatan di masyarakat, tertutup, hingga tidak sepakat pada nilai-nilai Pancasila.
Kritikan
Pengamat politik Rocky Gerung dalam kanal ofisialnya mengkritisi Perpres tersebut. Menurutnya, kebijakan pemerintah ini akan memunculkan ekstremisme tanpa gejala kepada masyarakat.
la juga mempertanyakan yang dimaksud tentang ekstremis menurut pemerintah. "Jadi cara pemerintah memilih kata pun betul-betul menghina akal sekaligus menakut-nakuti tetangga saya. Nanti kalau enggak ketemu yang ekstremis maka interpretasi dari aturan itu kalau dia bukan ekstrimis paling tidak dia ETG (Ekstrimis Tanpa Gejala)," kata Rocky.
Dalam pandangannya, negara akan mencurigai seluruh warganya memiliki potensi ekstremis dan saling menuduh di tengah masyarakat. “Peraturan ini muncul dari kecurigaan, nah kalau dia curiga dia lakukan silent operation. Apa yang musti lakukan? Ya intelijen disebar. Sekarang setiap orang disuruh jadi intelijen jadi intel, artinya seluruh orang potensial untuk menjadi penjahat, ekstrimis, atau teroris. Kan itu jalan pikirannya begitu kan" tuturnya.
Rocky menilai bahwa perpres ini di luar paradigma Pancasila dan bukan cara-cara yang demokratis, terlebih konotasi kata ektremis akan mengacu pada umat Islam sehingga adanya unsur pemecah-belah melalui perpres tersebut.
Sementara itu, pakar hukum Prof. Suteki dalam tulisannya tertanggal 24 Januari 2021 menanggapi perpres ini. Menurutnya, secara teoritik, argumentasi pembentukannya tidak memadai karena teori pendukung urgensi Perpres ini tidak compatible. “Dan memang tidak akan kompatibel mengingat definisi operasional tidak ada sehingga obscure dalam menentukan indikator atau kriteria yang memungkinkan menjadikan ekstremisme menjadi delik baru dalam hukum pidana kita seperti terorisme, tulisnya.
Patut diduga, lanjutnya, penyusunannya tidak ada pelibatan lembaga litbang independen misal LIPI dan perguruan tinggi yang memadai. “Bahkan, ada hasil penelitian Litbang Kemenag dan PPIM UIN Jakarta yang sebenarnya memberikan sinyal bahwa kita tidak dalam keadaan darurat ektremisme. Tidak ada kerawanan hubungan antar umat beragama, karena yang lebih tampak justru kerawanan hubungan internal agama," jelasnya.
Ia kemudian mengutip pendapat Prof. Siti Zuhro dari LIPI yang menyatakan bahwa masalah utama negeri ini bukan radikalisme atau ektremisme melainkan ketimpangan sosial-ketidakadilan, diskriminasi, dll.
Sementara itu ulama kritis Tengku Zulkarnain membandingkan kondisi saat ini dengan masa penjajahan Belanda. Dalam cuitannya di Twitter, Tengku menulis: “Dulu yang dituduh EKTRIMIS itu adalah INLANDER. Dan yang menuduh EKTRIMIS adalah para PENJAJAH. Itu dulu. Lha sekarang?” kata Tengku Zulkarnain dari akun Twitter miliknya @ustadtengkuzul, Jumat (22/1).
Tengku menggambarkan ada tiga kelompok pada masa itu, penjajah, pengkhianat, dan inlander. “Zaman dahulu ada 3 kelompok. Pertama, Penjajah. Kedua, Pengkhianat. Ketiga, Inlander. Inlander mati-matian korban nyawa melawan Penjajah, Pengkhianat nangguk keuntungan dari Penjajah. Setelah Merdeka siapa yg paling banyak menikmati hasilnya? Anak cucu Pengkhianat atau Inlander?" pungkasnya.[] emje
Sumber: Tabloid Media Umat edisi 283
Tidak ada komentar:
Posting Komentar