Desember
Kelabu, Umat Islam Panen Tudingan
Seakan menjadi tradisi
tiap tahun. Umat Islam panen tudingan intoleransi. Kasus
pembubaran kegiatan Kebaktian Kebangkitan Rohani (KKR) oleh ormas Pembela Ahlu
Sunnah (PAS) dahulu di awal Desember 2016 contohnya. Persoalannya adalah pihak PAS
menganggap kegiatan KKR tidak memenuhi prosedur perizinan dalam
menyelenggarakan kebaktian di Sabuga Bandung. Kegiatan ini juga disinyalir
sebagai pemurtadan terselubung. Begitu PAS mengklarifikasi ke Gedung Sabuga,
justru isu miring yang muncul: intoleransi.
Dahulu di 2016 juga ada sosialisasi fatwa MUI tentang larangan bagi Muslim untuk mengenakan atribut Natal. Aksi ini yang
menyosialisasikan fatwa tersebut ke pusat perbelanjaan, dianggap sweeping. Keberadaan anggota polisi dari
Satuan Samapta, Bhayangkara (Sabhara), Pengendali Massa (Dalmas), dan Brigade
Mobil (Brimob) Polda yang mengawal aksi tersebut, dianggap tindakan yang
melegitimasi intoleransi.
Salah
Kaprah Toleransi
Di sisi lain, guna
menepis isu intoleransi, ada kalangan umat IsIam yang ingin menunjukkan aksi
toleransinya terhadap umat beragama lain. Delapan mahasiswa Jurusan Studi
Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Ampel Surabaya, menghadiri perayaan Misa Natal di Gereja Hati Kudus
Yesus, Katedral Surabaya, Ahad (25/12/2016).
Mereka beralasan,
kedatangan mereka untuk mengetahui secara langsung ritual dalam gereja Katolik
saat perayaan Natal. Aksi serupa pernah dilakukan pada tahun sebelumnya oleh 14
mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang menghadiri
ibadah Malam Natal di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Margoyudan, Solo. Mereka adalah
mahasiswa binaan Pendeta Wahyu Nugroho yang merupakan salah satu dosen di UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Salah kaprah terhadap
toleransi juga ditunjukkan pada Festival Keragaman Sulawesi Utara, di Gedung
DPRD Sulut, Sabtu 10 Desember 2016. Pada festival tersebut shalawat
disenandungkan oleh Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia
(Lesbumi),Taufik Bilfaqih, dengan dipadukan dengan lagu Natal berjudul Gloria
yang digubah dalam bahasa Arab, diiringi dengan tabuhan rebana sebagai
pengiring lagu. Taufik Bilfaqih, melakukan gubahan shalawat dan lagu Gloria
dengan alasan bagian dari seni.
Toleransi salah kaprah
juga ditunjukkan dalam pengerahan ratusan pelajar SMP di Kabupaten Purwakarta.
Anak-anak yang mayoritas Muslim ini disuruh aksi bersih-bersih gereja yang
terdekat dari sekolah mereka. Seperti yang dilakukan para pelajar SMPN 1 Purwakarta
yang melakukan aksi bersih-bersih Gereja Bethel Tabernakel di Jalan Hidayat
Martaloga, Kecamatan Purwakarta Kota, Kabupaten Purwakarta, pada Rabu
(22/12/2016). Kegiatan ini sengaja digulirkan oleh Bupati Purwakarta,
DediMulyadi, demi “toleransi”.
Islam
Dituding
Tudingan intoleransi
selama ini hanya mengarah kepada satu sasaran: umat Islam! Padahal dengan kasat
mata fakta menunjukkan bagaimana umat Islam pun mendapatkan perlakukan yang
tidak selayaknya dari umat agama lain.
Penyerangan dan
perusakan masjid di Tolikara Papua, larangan penggunaan jilbab bagi pelajar di
Bali, misalnya adalah salah satu contoh bahwa umat Islam menjadi korban.
Pelarangan pembangunan masjid di Sulawesi Utara, dll.
Anggota Lajnah
Siyasiyah DPP Budi Mulyana mengurai, setidaknya ada tiga motif di balik
tudingan intoleransi kepada umat Islam. Pertama,
membangun sikap permisif terhadap kemungkaran dan kemaksiatan. Dengan atas
nama “toleransi”, masyarakat Indonesia khususnya umat Islam diarahkan supaya
tidak mempersoalkan keberadaan berbagai kemungkaran dan kemaksiatan. Aksi
pemurtadan, maraknya perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender),
juga, nikah beda agama (Muslimah menikah dengan lelaki kafir), nikah sesama
jenis, dan yang seimisal, didorong untuk di”toleransi”. Padahal hal itu
jelas-jelas terlarang dalam Islam.
Kedua, mengokohkan propaganda HAM. Menurutnya,
melalui isu toleransi, Barat dan LSM liberal berusaha terus memaksakan HAM ala
Barat terhadap masyarakat Indonesia. HAM yang merupakan paham kebebasan, baik
itu kebebasan beragama, berperilaku, berpendapat, maupun berkepemilikan.
Ketiga, stigma negatif terhadap syariah Islam
dan kelompok lsIam. Tudingan intoleransi mengarah kepada tudingan bahwa syariah
Islam sebagai ancaman negara. Muncul stigma negatif kepada pengusung ideologi
Islam dengan memberi sebutan radikal, fundamentalis, atau ekstremis agar mereka
dijauhi masyarakat.
Ancaman
Represif Penguasa
Di balik tudingan
intoleransi ternyata terselubung ancaman sikap represif dari penguasa.
Toleransi yang maknanya dibiarkan penguasa penuh dengan multitafsir ini, selain
menghasilkan standar ganda juga rentan dijadikan alat oleh penguasa untuk
membungkam berbagai kritik dan seruan-seruan kebenaran untuk meluruskan
berbagai kekeliruan yang dilakukan oleh penguasa.
Tanda-tanda ke arah
itu mulai tampak. Kementerian Agama tengah menyiapkan draft peraturan baru yang
isinya mengatur tentang pembatasan ceramah agama, baik yang dilakukan di
masyarakat maupun di media sosial. Bekerja sama dengan Kementerian Informasi
dan Komunikasi, rancangan aturan baru tersebut tinggal ditindaklanjuti.
Aturan ini, menurut
Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Abdurrahman Masud,
melengkapi aturan yang sudah ada sebelumnya yang dibuat pada 1979. Pada aturan
yang lama belum dibahas tentang kehadiran media sosial, karena merupakan
fenomena terbaru.
Isinya terkait dengan
larangan menyinggung persoalan SARA, dan persoalan otoritatif para penyuluh
agama. Ada juga usulan agar ada penyaringan terhadap penceramah agama secara
ketat.
Bila sertifikasi ini
benar-benar dilakukan maka, apa yang terjadi pada masa Orde Baru, akan kembali
terjadi. Maka akan dilarang dakwah dengan materi jihad, dilarang mengkafirkan
orang kafir, dilarang menyesatkan orang sesat, khutbah cukup membaca materi yang
sudah dibagikan pemerintah, dan lain-Iain.
Bacaan: Tabloid Media
Umat edisi 188, 6-19 Januari 2017
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar