Siapapun yang beriman
dengan Islam, halal dan haram menjadi tolok ukur setiap perbuatannya, dan
menjadi standar bagi setiap pandangannya terhadap segala sesuatu. Bukan mengacu
kepada asas manfaat. Tolok ukur keliru asas manfaat selaras dengan pemikiran bahwa
manusialah yang membuat hukum, bukan Allah Swt.
Sementara kebahagiaan
seorang muslim adalah memperoleh ridha Allah, bukan didapatkannya kelezatan
secara berlimpah. Dengan demikian, kehidupan seorang muslim adalah kehidupan
ibadah kepada Allah, dan mengikuti perintah-Nya; bukan hidup yang berdasarkan pada
ide kebebasan yang menjadikannya terlepas dari segala ikatan. Siapa saja yang
menerima suatu asas, dengan sendirinya ia akan menerima apapun yang lahir dari
asas tersebut.
Dan siapa saja yang
ingin melakukan perubahan, maka rubahlah dari asasnya dahulu. Setelah itu baru
memperhatikan kesesuaian antara cabang dengan asas. Ini adalah pemikiran dan
dakwah yang bersifat ideologis, yang harus menjadi titik tolak sebuah jama’ah.
Berdasarkan hal ini
tidak bisa diterima adanya pencampuradukkan antara Islam dengan selain Islam
pada diri kaum Muslim, sistemnya maupun jama’ah-jama’ahnya. Implikasinya adalah
bahwa sistem pemerintahan sekarang ini tidak dapat diterima. Sistem tersebut telah
menjadikan Islam sebagai salah satu sumber dari berbagai sumber lain
perundang-undangannya, seperti kesepakatan para anggota legislatif dan
eksekutif.
Sikap yang sama, yaitu
tidak dapat diterima adalah, manakala jama’ah-jama’ah Islam melakukan proses
pencampuran tersebut, seperti melaksanakan hukum-hukum Islam dan sebagian
hukum-hukum Barat yang bertentangan dengan Islam. Ini adalah langkah mundur
yang tidak diterima oleh Allah Swt. maupun hamba-hambanya yang beriman.
Oleh karena itu,
seluruh jama’ah Islam yang berdiri diatas asas lâ
ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh (yang berarti tidak ada yang
benar-benar berhak disembah dan dita’ati kecuali Allah) tidak dibolehkan
condong ke Barat ataupun ke Timur dalam proses pengambilan hukum-hukum tentang
kehidupan. Artinya, setiap pemikiran harus terpancar dari akidah Islam dan
harus diambil dari sumber-sumber syara’ yang terpercaya dengan dalil-dalil yang terperinci.
Bagaimana mungkin
kalimat lâ ilâha illa Allah sejalan
dengan pendapat yang mengatakan bahwa sosialis -yang asasnya adalah pemikiran lâ ilâha wa al-hayâtu mâddah (tidak ada tuhan,
dan kehidupan ini hanya sekedar materi)- adalah berasal dari Islam. Begitu
pula, bagaimana mungkin kalimat syahadat selaras dengan pendapat yang
mengatakan bahwa demokrasi -yang berdiri atas ide pemisahan agama dari
kehidupan- itu berasal dari Islam. Dan bagaimana bisa selaras dengan pendapat
yang mengatakan bahwa qaumiyah (kesukuan)
dan wathaniyah (nasionalisme) yang
berpijak pada ashâbiyah (fanatisme)
-yang telah dihinakan oleh Islam- berasal dari Islam.
Bagaimana mungkin
kalimat lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh
-yang berarti hanya Allah yang berhak dalam tasyri’ (pembuatan undang-undang)-
bisa sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa manusia juga menentukan
aturannya sendiri.
Bagaimana mungkin
kalimat lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh
-yang tegak di atas landasan merendahkan diri, ketundukan dan ibadah kepada
Rabb semesta alam- akan selaras dengan kebebasan yang ada di dalam sistem
Barat, di mana manusia menjadi tuan bagi dirinya sendiri dalam segala hal. Dan
mereka tidak mau tunduk kepada Tuhan kecuali jika ketundukannya itu sesuai
dengan syahwatnya, keinginannya dan kepentingannya?
Berpegang teguh kepada
akidah Islam berimplikasi untuk tetap berpegang teguh kepada apapun yang
terpancar dari akidah tersebut. Jika tidak, maka kepribadian jama’ah akan
hilang digilas oleh serangan kompromi, yang tidak akan pernah diridhai Allah
dan hamba-hambanya yang beriman.
Untuk memelihara
pemikiran agar tetap jernih dan cemerlang, jelas dan terkristal, wajib
menjauhkannya dari arus realitas yang bengkok yang menghanyutkan, dan menyerah
pada situasi dan kondisi buruk; menjauhkan pula dari penyimpangan, penggantian
dan proses tawar menawar.
Sama halnya dengan
kondisi para pengemban dakwah yang ingin merubah masyarakat sesuai dengan
pemahamannya, maka demikian pula masyarakat, dengan pemahaman dan pemikirannya
yang salah, kondisi politik dan sosial yang ada juga akan ada resistensi atas
jama’ah yang berusaha melakukan perubahan.
Waspada
Terhadap Penyimpangan dan Kompromi
Sebuah jama’ah yang
berlandaskan pemikiran Islam yang bersifat ideologis, yang terjun ke dalam
realitas, maka pasti akan diterpa angin ribut yang berusaha untuk mencerabutnya
dari akarnya. Sikap penguasa sistem non-Islam terhadap jama’ah ini akan berbeda
dengan sikap mereka terhadap gerakan-gerakan lainnya.
Hal itu terjadi karena
jama’ah lain hanya melontarkan pemikiran yang bersifat parsial sehingga tidak
secara langsung berbenturan dengan membeberkan sistem keliru yang ada. Malahan
kadang kala jama’ah-jama’ah itu berfungsi sebagai penutup (tameng) dari kelemahan-kelemahan
yang dihasilkan oleh sistem bengkok mereka.
Kondisi tersebut
berbeda dengan dakwah yang mengakar dan berlandaskan pada pemikiran yang
bersifat ideologis; yang menyelesaikan problematika dari akarnya; yang tidak
ridha dengan dengan kompromi; juga tidak mencampur haq dan bathil; tidak pula
menerima penyelesian yang ditawarkan oleh sistem yang ada; tidak mencampakkan
dakwah ideologi Islam (sebagai kompensasi) adanya perubahan yang komprehensif;
dan tidak mau menerima hal-hal cabang dengan meninggalkan asas yang menjadi
dasar berpijaknya cabang tersebut.
Terkadang, kerasnya
perlawanan penguasa ditujukan kepada diri pengemban dakwah, dan jika dia tidak
mampu untuk menanggungnya, maka dia akan menekan jama’ahnya untuk lebih
meringankan lontaran-lontarannya. Terkadang jama’ah itu merasa sempit dan
merasa lemah keinginannya ketika menyadari bahwa mereka diasingkan oleh manusia
(masyarakat) dan terisolir kondisinya.
Terkadang pengemban
dakwah merasa putus asa dan berpikir untuk mengundurkan diri dari aktivitas
dakwah, terutama ketika kepentingan dunianya berbenturan dengan situasi yang
berkembang dalam menjalankan aktivitas bersama jama’ahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar