Sirah para Nabi
dijadikan suri tauladan dari segi sikap-sikapnya. Allah Swt. telah memberikan
kepada setiap Nabi itu aturan-aturan yang berbeda. Allah berfirman:
“Untuk
tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan syir’ah (aturan) dan manhaj (jalan)
yang terang.” (TQS. al-Maidah [5]: 48)
Setiap
Nabi diutus khusus kepada kaumnya saja, sedangkan Rasulullah Saw. diutus kepada
seluruh umat manusia. Risalah beliau adalah risalah penutup. Allah telah
memerintahkan seluruh pemeluk agama-agama lain untuk mengikuti risalah ini dan
meninggalkan syari’at mereka. Allah Swt. berfirman:
“Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (TQS. Ali Imran [3]: 19)
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang rugi.”
(TQS. Ali Imran [3]: 85)
“Dan
Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan
apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan sebagai
batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu.” (TQS. al-Maidah [5]: 48)
Tabiat
risalah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. berbeda dengan tabi’at
risalah lainnya dari segi keadaannya sebagai risalah penutup yang sempurna. Dan
eksistensi Daulah Islamiyah merupakan aspek penting dari risalah ini. Daulah
Khilafah Islamiyah adalah metode yang syar’iy untuk memelihara Islam,
menerapkan dan menyebarkannya. Sedangkan kita telah menemukan pada para Nabi
terdahulu kekhususan di dalam dakwah. Mereka diutus kepada kaumnya, bukan kaum
yang lain. Ini berarti bahwa risalah itu terbatas hanya untuk waktu dan tempat
tertentu. Berbeda dengan Islam, yang hukum-hukumnya bersifat tetap, dan layak
untuk setiap waktu dan tempat.
Oleh karena itu
risalah Islam tidak boleh dianalogikan dengan yang lainnya. Kaum Muslim harus
mengambil hanya dari syariat Islam saja, bukan dari syariat lainnya.
Hukum-hukum syariat Islam saling berkaitan satu sama lain dengan ikatan yang
sesuai dengan tabiat risalah itu.
“Katakanlah,
inilah jalan (agama)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu
kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk
orang-orang yang musyrik.” (TQS. Yusuf [12]: 108)
Syariat
Islam telah mewajibkan sebagian perkara dan mengharamkan perkara lainnya.
Syara’ tidak mengizinkan manusia untuk merubah, mengganti dan
menyelewengkannya. Allah Swt. sebagai Pembuat hukum yang Maha Bijaksana telah
memberikan keringanan karena mengetahui bahwa manusia kadang-kadang
membutuhkannya.
Namun,
apabila syara’ tidak memberikan keringanan maka manusia tidak boleh berpaling
dari hukum itu, meskipun hawa nafsu dan bisikan setan menyenanginya dengan
dalih maslahat. Siapapun yang membolehkan perkara yang jelas-jelas haram, atau
mengharamkan perkara yang nyata-nyata halal, padahal Allah tidak memberikan
kepadanya keringanan dalam masalah itu, maka dia terjerumus kefasikan.
Akal-Akalan
Membolehkan Kebathilan
Para
penguasa antek yang ada sekarang ini telah menggunakan orang-orang muslim yang
saleh sebagai ornamen yang menghiasi pemerintahan mereka yang buruk. Hal itu
mereka gunakan untuk menipu orang-orang-orang awam.
Bergabung
melestarikan hukum kufur sistem pemerintahan jahiliah sama artinya dengan
memberikan kepercayaan kepada orang-orang yang dzalim, berarti memperpanjang
umur kebatilan.
Allah
Swt. memperingatkan kita terhadap hal itu.
“Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu
disentuh api Neraka.” (TQS. Hud [11]: 113)
Salah
satu contoh hukum syara’ yang jelas dan qath’i –yang
tidak boleh ada ijtihad di dalamnya- adalah tidak bolehnya melakukan transaksi
dengan cara riba. Allah telah mengharamkannya dengan tegas berdasarkan
firman-Nya:
“Padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (TQS. al-Baqarah
[2]: 275)
Terdapat juga qarinah-qarinah (indikasi) yang sesuai dengan
hukum syara’ yang qath’i dan memperkuat
pendapat. Allah berfirman:
“Allah
memusnakan riba dan menyuburkan sedekah.” (TQS. al-Baqarah [2]: 276)
Allah juga telah
memperingatkan orang-orang yang melakukan transaksi dengan cara riba dan
memberikan kepada mereka peringatan berupa (sikap) perang.
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum di pungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 278-279)
Allah menggambarkan
orang yang memakan riba dengan:
“Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.” (TQS. al-Baqarah
[2]: 275)
Rasulullah Saw.
menggolongkan riba ke dalam kelompok dosa besar dan mensejajarkannya dengan
perbuatan syirik kepada Allah. Beliau bersabda:
“‘Jauhilah
tujuh dosa besar’. Mereka (para sahabat) bertanya: ‘Apakah itu wahai
Rasulullah? Rasul berkata: ‘Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang
diharamkan Allah untuk membunuhnya kecuali (yang dihalalkan) karena menegakkan
kebenaran, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri dari
peperangan, menuduh perempuan baik-baik dan beriman melakukan zina’.” (HR.
Muttafaq ‘alaih)
Meskipun
demikian ada sebagian orang menelaahnya berdasarkan metode yang bathil asas
manfaat/ maslahat, juga berdasarkan ASUMSI darurat maupun terpaksa, yaitu bahwa
transaksi riba itu boleh! Ke mana perginya pengharaman yang bersifat qath’i dan jelas? Dan ke mana hilangnya
peringatan dan ancaman? Dengan metode berpikir seperti itu mereka mengganti
hukum-hukum Allah, merubahnya dan menjadikan hukum syara’ itu bersifat
“fleksibel”. Metode itu dengan sendirinya akan meremehkan perkara-perkara agama
dan identitas seorang muslim….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar