Menanamkan Prinsip Melawan Kejahatan
·
Melawan kejahatan dan
keburukan:
Poin ini merupakan tujuan utama terbentuknya sebuah masyarakat Islam. Karena, memerangi kedzaliman serta menumpas ideologi kufur merupakan fardlu ‘ain bagi seorang pemimpin negara Khilafah
Islam. Tegasnya, seandainya seorang Khalifah tidak memerangi kejahatan dan kemunkaran, atau mungkin enggan
melakukannya, maka ia dihukumi berdosa. Sedangkan bagi masyarakat, hal tersebut
fardhu kifayah. Artinya, orang yang mampu melakukannya tetap tertuntut untuk
melakukannya. Dan seandainya tidak ada satu orangpun yang melaksanakan hal tersebut
maka semuanya akan tertimpa dosa.
Seandainya masyarakat tersebut membiarkan semua kemunkaran dan unsur-unsur
yang mengarah ke jalan itu dibiarkan, maka hal
tersebut akan menjadi batu sandungan yang tidak dapat diremehkan. Karena,
ketika anda berusaha untuk mengajak manusia kepada kebenaran ideologi (akidah
dan syariah) Islam dan menjauhkan mereka dari
kemunkaran, tetapi melakukannya tanpa mengusahakan terpenuhinya kewajiban kekuasaan
sistem Khilafah Islam, maka unsur keburukan akan menang di hadapan anda. Sehingga pada akhirnya manusia akan terperosok dan
terjebak dalam bencana yang sangat besar.
Tujuan utama kehidupan masyarakat Islam ini telah
mendapatkan sorotan dalam al Quran. Tepatnya, ketika masyarakat muslim pada
masa nabi Muhammad Saw meminta kepada Allah agar mereka diidzinkan untuk
melakukan perlawanan dan mendapatkan wilayah kekuasaan.
“Dan katakanlah: "Ya Tuhan-ku,
masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara
keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang
menolong.” [QS. Al-Israa’: 80]
Allah berfirman dalam al Quran: “Wahai
orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum
kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran.
Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” [QS. An Nisaa: 135]
Dan pada ayat lain Allah berfirman: “Hai
orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu
menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan
bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu
kerjakan.” [QS. Al Maaidah: 8]
Dan pada ayat lain dikatakan: “Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (ummat Islam), ummat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” [QS. Al Baqarah: 143]
Memerangi kejahatan dan kemunkaran meruapakan tugas dan kewajiban setiap
individu muslim yang memang mampu melakukan hal tersebut. Dan seorang Khalifah juga dituntut untuk mempergunakan kekuasaannya dalam memberantas segala
bentuk kemunkaran tersebut. Akan tetapi, untuk mencapai tingkatan tersebut,
terlebih dahulu seorang muslim harus memiliki kesadaran yang diawali dari diri
pribadi. Setelah itu, barulah orang yang yang ada di sekelilingnya dan
masyarakat di mana ia tinggal dan hidup. Dan siapapun yang mencoba mengabaikan
perkara ini setelah turunnya perintah dari Allah maka akan tercatat di
sisi-Nya.
Tanggung jawab terhadap pribadi dan masyarakatnya di mana ia hidup dan
bagaimana ia berusaha untuk memerangi berbagai kejahatan dan kemunkaran merupkan
perintah yang mendapatkan legitimasi langsung dari al Quran. Tepatnya, dalam
firman Allah: “Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah.” [QS. Al Maaidah: 2]
dan pada ayat lain dikatakan: “Maka
mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai
keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali
sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara
mereka.” [QS. Huud: 116]
Di samping ayat al Quran, perbuatan tersebut merupakan sebuah kewajiban
berdasarkan kepada perkataan Rasulullah Saw. yang diriwayatkan dari
Abu Dawud yang mempergunakan sanadnya dari Abdullah bin Mas’ud ra.: Yang mengahncurkan kehidupan Bani Israil adalah seorang laki-laki yang
menghardik laki-laki yang lainnya. Ketika itu, salah seorang dari laki-laki
tadi berkata: “Ada apa dengan kamu ini! Takutlah kepada Allah dari segala
perbuatan yang telah kamu lakukan. Semuanya itu tidak pernah diperbolehkan oleh
Allah.” hari-pun berganti. Sayangnya, orang tadi belum juga berubah dan orang
yang menghardiknya kemarin tidak pernah mengingatkannya lagi, ia membiarkan
orang tersebut seperti itu adanya, dengan cara makan, minum dan duduknya
sendiri (menjadi kebiasaan buruk), ketika mereka melakukan hal tersebut, maka
Allah mengetuk hati mereka melalui hamba-Nya yang lain dengan perkatannya:
“Telah dilaknati orang-orang kafir
dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu,
disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain
selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat
buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari
mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya
amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah
kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada
Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi),
niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi
penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.” [QS. Al Maaidah: 78-81]
Kemudian orang tersebut (Dawud) berkata: “Demi Allah, seharusnya kalian memerintahkan kepada kebaikan dan
melarang kepada kemunkaran, menghukum orang yang berbuat dhalim membawa mereka
pada wilayah kebaikan, membawanya kepada jalan yang benar, atau Allah akan
mengetuk hati kalian melalui salah satu hambanya, kemudian akan melaknat kalian
sebagaimana kalian melaknat mereka.” [HR. Abu Dawud, Bab: “Al
Malâhim”]
Berbagai teks di atas; baik al Quran maupun Sunnah telah menjelaskan kepada
kita bahwa seluruh individu yang terkait dalam masyarakat muslim memiliki
tanggung jawab yang harus ia pertanggung jawabkan baik kepada Allah, diri
sendiri maupun lingkungan sosial. Sehingga, hal tersebut akan mendorong mereka untuk memerangi semua unsur yang akan mengarah kepada
keburukan.
Metode Rasul Saw. yang wajib diikuti
dalam perjuangan memenuhi
kewajiban menegakkan negara sistem
Islam keseluruhan adalah sebagai berikut:
Pertama, tahap pembinaan dan pengkaderan (tatsqif). Pada tahap ini Rasulullah Saw.
melakukan pembinaan para kader dan membuat kerangka tubuh gerakan. Beliau Saw.
membangkitkan keruhanian mereka dengan sholat, membaca al-Qur’an, membina
pemikiran mereka dengan memperhatikan ayat-ayat Allah dan meneliti
ciptaan-ciptaan-Nya, dan membina akal pikiran mereka dengan makna-makna dan
lafazh-lafazh Al-Qur’an serta mafahim
dan pemikiran islam, dan melatih mereka untuk bersabar terhadap berbagai
halangan dan hambatan dakwah, dan mewasiatkan kepada mereka untuk senantiasa
taat dan patuh sehingga mereka benar-benar ikhlas lillahi ta’ala. (lihat Taqiyuddin An Nabhani, Ad Daulah Al
Islamiyah, hal.11-12)
Tahap
kedua, tahap
interaksi dan perjuangan (marhalah tafaul
wal kifah). Perjuangan kelompok dakwah Nabi dan para sahabat pun berubah
dari fase rahasia (daur al istikhfa)
ke fase terang-terangan (daur al I’lan).
Berpindah dari fase mengkontak orang-orang yang memiliki kesediaan menerima
Islam ke fase berbicara kepada masyarakat secara menyeluruh (lihat Taqiyuddin
An Nabhani, Ad Daulah Al Islamiyah, hal.16). Mulailah terjadi benturan antara
iman dengan kekufuran di masyarakat, dan mulailah terjadi pergesekan antara
ide-ide yang benar dengan ide-ide yang rusak. Pada tahap ini mulailah
orang-orang Kafir Quraisy melawan dakwah dan menyakiti Rasulullah Saw. dan kaum
muslimin dengan berbagai macam cara.
Rasulullah Saw. dan para sahabat
menghadapi berbagai perlawanan dakwah yang dilancarkan oleh orang-orang Kafir
Quraisy, baik itu penyiksaan fisik, propaganda busuk (ad da’aawah/ad di’ayah) untuk menyudutkan Islam dan kaum muslimin di
dalam negeri dan luar negeri, maupun blokade total (al muqatha’ah), dengan sikap sabar dan terus berdakwah menegakkan
agama Allah Swt. tanpa kekerasan. Tatkala Rasul Saw. melihat Yasir dan istrinya
disiksa oleh orang-orang Quraisy, beliau Saw. tidak menggerakkan kaum muslimin
untuk melakukan perlawanan fisik terhadap mereka (lihat An Nabhani, Ad Daulah
Al Islamiyah, hal.18). Beliau Saw. bersabda:
«صَبْرًا آلَ يَاسِرٍ فَإِنَّ مَوْعِدَكُمُ الْجَنَّةِ إِنِّيْ لاَ أَمْلِكُ لَكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا»
“Bersabarlah
wahai keluarga Yasir, sesungguhnya janji Allah untuk kalian adalah surga.
Sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatu apapun dari Allah.”
Substansi dakwah adalah menyeru kepada
mentauhidkan Allah dan seruan ibadah hanya kepada-Nya serta seruan untuk meninggalkan
penyembahan kepada makhluk dan seruan untuk melepaskan diri dari sistem
kehidupan jahiliyah mereka yang rusak. Maka terjadilah benturan dengan Quraisy
secara total. Bagaimana mungkin tidak terjadi benturan, padahal Rasulullah Saw.
membodohkan impian mereka, merendahkan tuhan-tuhan mereka, dan mencela
kehidupan murahan mereka, dan mengkritik aturan-aturan kehidupan mereka yang
zalim.
Rasulullah Saw. pun mengontak para
pemimpin qabilah di sekitar Makkah untuk mengajak mereka masuk Islam dan
melindungi Beliau Saw. dan melindungi dakwah Islam serta siap menanggung risiko
melawan kebengisan orang-orang Quraisy.
Dalam Sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan, “Zuhri menceritakan, bahwa Rasulullah Saw. mendatangi secara pribadi Bani Kindah, akan tetapi mereka menolak beliau. Beliau juga mendatangi Bani Kalb akan tetapi mereka menolak. Beliau juga mendatangi Bani Hanifah, dan meminta kepada mereka nushrah dan kekuatan, namun tidak ada orang Arab yang lebih keji penolakannya terhadap beliau kecuali Bani Hanifah. Beliau juga mendatangi Bani ‘Aamir bin Sha’sha’ah, mendo’akan mereka kepada Allah, dan meminta kepada mereka secara pribadi. Kemudian berkatalah seorang laki-laki dari mereka yang bernama Baiharah bin Firas, “Demi Allah, seandainya aku mengabulkan pemuda Quraisy ini, sungguh orang Arab akan murka.” Kemudian ia berkata, “Apa pendapatmu, jika kami membai’atmu atas urusan kamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah kami akan diberi kekuasaan setelah engkau? Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Urusan itu hanyalah milik Allah, yang Ia berikan kepada siapa yang dikehendaki.” Bahirah berkata, “Apakah kami hendak menyerahkan leher-leher kami kepada orang Arab, sedang engkau tidak. Sedangkan jika Allah memenangkan kamu, urusan bukan untuk kami. Kami tidak butuh urusanmu.”
Adapun nama-nama kabilah yang pernah didatangi Rasulullah Saw. dan menolak adalah, (1) Bani ‘Aamir bin Sha’sha’ah, (2) Bani Muharib bin Khashfah, (3) Bani Fazaarah, (4) Ghassan, (5) Bani Marah, (6) Bani Hanifah, (7) Bani Sulaim, (8) Bani ‘Abas, (9) Bani Nadlar, (10) Bani Baka’, (11) Bani Kindah, (12) Kalab, (13) Bani Harits bin Ka’ab, (14) Bani ‘Adzrah, (15) Bani Hadlaaramah.
Beliau Saw. juga mendakwahi kabilah-kabilah di luar Makkah yang datang tiap tahun ke Makkah, baik untuk berdagang maupun untuk mengunjungi Ka’bah, di jalan-jalan, pasar ‘Ukadz, dan Mina. Di antara orang-orang yang diseru Rasul tersebut ada sekelompok orang-orang Anshor. Kemudian mereka menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Setelah mereka kembali ke Madinah mereka menyebarkan Islam di Madinah. Momentum penting lain sebagai pertanda dimulainya babak baru dakwah Rasul adalah Bai’at ‘Aqabah I dan II. Dua peristiwa ini, terutama Bai’at ‘Aqabah II telah mengakhiri tahap kedua dari dakwah Rasul, yakni tahap interaksi dan perjuangan menuju Tahap ketiga, yaitu tahap Penerimaan Kekuasaan (Istilaam al-Hukmi). Dalam tahap ketiga ini Rasul hijrah ke Madinah, negeri yang para pemimpin dan mayoritas masyarakatnya telah siap menerima Islam sebagai metode kehidupan mereka, sehingga sistem Islam keseluruhan bisa ditegakkan beserta institusi penerapnya yaitu Daulah Islamiyah. Maka terwujudlah kehidupan yang (1) asas peradabannya adalah kalimat tauhid Lailahaillallah Muhammadurrasulullah; (2) standar perbuatan (miqyasul a’mal) dalam interaksi kehidupan mereka adalah halal-haram; dan (3) makna kebahagiaan (ma’nas sa’aadah) mereka adalah mendapatkan ridho Allah. Masyarakat yang kokoh dengan kekuasaan ideologi Islam inilah yang siap membawa risalah Islam ke seluruh dunia. [lebih lanjut lihat, ‘Dakwah Islam’ Ahmad Mahmud]
Dalam Sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan, “Zuhri menceritakan, bahwa Rasulullah Saw. mendatangi secara pribadi Bani Kindah, akan tetapi mereka menolak beliau. Beliau juga mendatangi Bani Kalb akan tetapi mereka menolak. Beliau juga mendatangi Bani Hanifah, dan meminta kepada mereka nushrah dan kekuatan, namun tidak ada orang Arab yang lebih keji penolakannya terhadap beliau kecuali Bani Hanifah. Beliau juga mendatangi Bani ‘Aamir bin Sha’sha’ah, mendo’akan mereka kepada Allah, dan meminta kepada mereka secara pribadi. Kemudian berkatalah seorang laki-laki dari mereka yang bernama Baiharah bin Firas, “Demi Allah, seandainya aku mengabulkan pemuda Quraisy ini, sungguh orang Arab akan murka.” Kemudian ia berkata, “Apa pendapatmu, jika kami membai’atmu atas urusan kamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah kami akan diberi kekuasaan setelah engkau? Rasulullah Saw. berkata kepadanya, “Urusan itu hanyalah milik Allah, yang Ia berikan kepada siapa yang dikehendaki.” Bahirah berkata, “Apakah kami hendak menyerahkan leher-leher kami kepada orang Arab, sedang engkau tidak. Sedangkan jika Allah memenangkan kamu, urusan bukan untuk kami. Kami tidak butuh urusanmu.”
Adapun nama-nama kabilah yang pernah didatangi Rasulullah Saw. dan menolak adalah, (1) Bani ‘Aamir bin Sha’sha’ah, (2) Bani Muharib bin Khashfah, (3) Bani Fazaarah, (4) Ghassan, (5) Bani Marah, (6) Bani Hanifah, (7) Bani Sulaim, (8) Bani ‘Abas, (9) Bani Nadlar, (10) Bani Baka’, (11) Bani Kindah, (12) Kalab, (13) Bani Harits bin Ka’ab, (14) Bani ‘Adzrah, (15) Bani Hadlaaramah.
Beliau Saw. juga mendakwahi kabilah-kabilah di luar Makkah yang datang tiap tahun ke Makkah, baik untuk berdagang maupun untuk mengunjungi Ka’bah, di jalan-jalan, pasar ‘Ukadz, dan Mina. Di antara orang-orang yang diseru Rasul tersebut ada sekelompok orang-orang Anshor. Kemudian mereka menyatakan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Setelah mereka kembali ke Madinah mereka menyebarkan Islam di Madinah. Momentum penting lain sebagai pertanda dimulainya babak baru dakwah Rasul adalah Bai’at ‘Aqabah I dan II. Dua peristiwa ini, terutama Bai’at ‘Aqabah II telah mengakhiri tahap kedua dari dakwah Rasul, yakni tahap interaksi dan perjuangan menuju Tahap ketiga, yaitu tahap Penerimaan Kekuasaan (Istilaam al-Hukmi). Dalam tahap ketiga ini Rasul hijrah ke Madinah, negeri yang para pemimpin dan mayoritas masyarakatnya telah siap menerima Islam sebagai metode kehidupan mereka, sehingga sistem Islam keseluruhan bisa ditegakkan beserta institusi penerapnya yaitu Daulah Islamiyah. Maka terwujudlah kehidupan yang (1) asas peradabannya adalah kalimat tauhid Lailahaillallah Muhammadurrasulullah; (2) standar perbuatan (miqyasul a’mal) dalam interaksi kehidupan mereka adalah halal-haram; dan (3) makna kebahagiaan (ma’nas sa’aadah) mereka adalah mendapatkan ridho Allah. Masyarakat yang kokoh dengan kekuasaan ideologi Islam inilah yang siap membawa risalah Islam ke seluruh dunia. [lebih lanjut lihat, ‘Dakwah Islam’ Ahmad Mahmud]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar