Seorang muslim yang
beriman menganggap bahwa kebahagiaannya adalah memperoleh keridhan Allah Swt.
Dan ketenangannya akan muncul apabila hajat
udhwiyah (kebutuhan fisik) dan gharizah
(naluri)nya dipenuhi berdasarkan imannya kepada Allah Swt. dan keterikatannya
dengan syari’at-Nya. Begitulah, kami melihat bahwa bangunan Islam yang sempurna
dan paripurna, seluruh pemikirannya itu harmonis, dan berdiri di atas asas yang
satu. Apa yang sesuai dengan asas itu, diterima, dan apa yang tidak sesuai,
ditolak.
Kapitalis adalah mabda’ (ideologi) yang bersumber dari hawa
nafsu pikiran manusia. Bangunan pemikirannya satu sama lain memiliki jenis yang
sama, yaitu bisa diambil seluruhnya atau ditinggalkan seluruhnya.
Pemikiran sekularisme
merupakan asas atas seluruh penyelesaian (masalah)nya, dan setiap pemikiran
kapitalis tegak di atasnya. Pemikiran sekularisme dibangun berasaskan ide
kompromi, yang menganggap bahwa manusia itu adalah tuan bagi dirinya sendiri.
Agar dia menjadi tuan bagi dirinya sendiri maka manusia harus dibebaskan. Dan
itu tidak bisa direalisir kecuali jika dia menggunakan empat jenis kebebasan.
Dari sinilah lahirnya ide tentang kebebasan. Ide tentang kebebasan di dalam
ideologi kapitalis memiliki pemahaman yang khas. Agar manusia itu menjadi tuan
bagi dirinya sendiri berarti dalam memenuhi kebutuhannya yang asasi harus
sesuai dengan keinginannya (sendiri), yaitu tidak ada peraturan yang
mengaturnya, baik agama atau yang lain, meski juga diembel-embeli ide HAM.
Dari sini lahirlah ide
tentang demokrasi. Para penganut ide sekularisme menganggap bahwa kebahagiaan
adalah apabila dia memperoleh sebanyak mungkin kesenangan dan kelezatan. Dengan
demikian apa yang dipandang oleh akalnya adalah maslahat, itulah yang menjadi
tujuan dari setiap perbuatannya, karena akalnya dijadikan musyarri’/ pembuat hukum.
Islam tidak menerima
demokrasi, karena demokrasi berarti menempatkan rakyat sebagai sumber hukum. Di
dalam Islam, hukum berada di tangan syara’. Pemikiran kapitalis itu akan
memagari Islam agar tidak sampai pada jenjang kekuasaan. Sebab, ketika Islam
telah memperoleh kekuasaan, pasti akan menghapus demokrasi dan seluruh
pemahaman yang berasal daripadanya.
Oleh karena itu, Barat
akan memerangi setiap pemikiran Islam yang bersifat mengakar (ideologis) dan
akan memerangi setiap gerakan-gerakan Islam yang berusaha untuk sampai pada
jenjang kekuasaan. Barat memandang bahwa gerakan-gerakan itu merupakan bahaya bagi
eksistensi dan kepentingannya dan akan memusnahkan (peradaban) Barat langsung
dari akarnya.
Dari sini kita amat
memahami bahwa Barat akan memeranginya dan memusuhi Islam dan kaum Muslim, dan
memandangnya sebagai musuh laten. Berdasarkan realitas itu pula Barat kemudian
menempelkan sebutan dengan bermacam-macam stempel, seperti fundamentalis, karena
gerakan-gerakan ini bertolak dari perkara pokok (ushul)
yang tidak diakui oleh Barat keberadaannya. Barat juga menyebutnya sebagai
teroris, karena gerakan-gerakan itu tidak mau ridho dengan Barat, disebabkan
tidak ada perkara yang bisa mempersatukan keduanya. Barat menyebutnya juga
sebagai radikal, karena dia tidak bermanis muka terhadap seluruh bentuk
pemikiran Barat dan tidak menghormati eksistensinya.
Jika kita benar-benar
memperhatikan, maka kita akan menyaksikan bahwa apa yang mereka tuduhkan kepada
pihak lain itu sebenarnya merupakan sifat-sifat diri mereka sendiri. Justru
Baratlah yang fundamentalis, karena mereka bertolak dari asas yang mereka yakini
kebenarannya dan tidak mau menerima asas lain sebagai rivalnya. Hal itu amat
kontradiktif dengan pemikirannya yang menggembar-gemborkan demokrasi, yang
katanya membolehkan pihak-pihak lain sampai kepada jenjang kekuasaan, selama
rakyat yang memilihnya.
Barat juga sebenarnya
teroris, ekstremis dan fundamentalis, karena Barat tidak menghormati eksistensi
politik Islam dan tidak mau berurusan dengannya, malah tidak mau bertemu
dengannya. Jadi, betapa Barat telah melanggar mabda’
(ideologi)nya sendiri dan menjerumuskan dirinya sendiri kepada apa yang mereka
tuduhkan kepada orang lain.
Apabila kita ingin
menetapkan apakah suatu fikrah atau
pemikiran itu benar atau salah, maka tidak ada jalan lain kecuali kita harus
mengembalikan kepada asasnya. Setelah itu kita mencari hukum baginya dan
menghukuminya berdasarkan asas tadi. Kita tidak boleh mencari hukum-hukum
cabang melalui asas yang lain. Kita misalnya, tidak boleh mengatakan bahwa
kebahagiaan di dalam Islam berdasarkan perolehan kelezatan (kenikmatan). Kita
juga tidak boleh mengatakan bahwa seorang muslim beriman kepada
(prinsip-prinsip) kebebasan yang diyakini oleh Barat, karena Islam tidak
mengakui hal itu dan sama sekali tidak menerimanya. Barangsiapa menerima Islam
sebagai asas baginya, maka pasti akan rela terhadap apapun yang lahir dari
Islam. Dia harus mengambil Islam secara keseluruhan, karena meninggalkan
sebagian dari Islam sama saja dengan meninggalkan seluruhnya.
Berdasarkan hal ini
kita menolak pernyataan yang berasal dari Barat, yang menyebutkan bahwa Islam
adalah agama moderat, dan bahwa Islam tidak punya konsep jihad/ perang. Ini
adalah perkataan yang memiliki tujuan batil, karena berasal dari asas yang
rusak….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar