PERANG
MISIONARIS
Eropa
memerangi dunia Islam dengan perang misionaris yang diatasnamakan ilmu
pengetahuan. Untuk kesuksesan proyek ini mereka menyiapkan anggaran yang sangat
besar. Dengan kata lain, mereka melancarkan perang kolonialisme dengan melalui
jalan misionaris dengan diatasnamakan ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.
Strategi ini dimaksudkan untuk mengokohkan jaringan pusat-pusat spionase
politik dan penjajahan tsaqafah/ khazanah ilmu Islam yang sudah mulai memusat
di wilayah-wilayah Negara Khilafah (propinsi-propinsi yang menjadi memiliki
otonomi kekuasaan). Operasi ini terus dilancarkan hingga pasukan pengintai
kolonial Barat berhasil menduduki posisi kuat di garda depan. Dengan demikian,
medan menjadi lapang bagi penjajah, pintu dunia Islam menjadi terbuka untuk
serangan Barat, dan perguruan-perguruan misionaris tersebar luas di Negara
Khilafah Islam. Sebagian besar perguruan tinggi milik Inggris, Perancis, dan
Amerika.
Pengaruh
Perancis dan Inggris menyusup melalui pintu ini. Seiring dengan perjalanan
waktu, sejumlah perguruan tinggi menjadi inspirator dan penggerak massa untuk
gerakan-gerakan kesukuan/ ashobiyah. Perguruan-perguruan ini menjadi penentu
kebijakan yang menggariskan arah tujuan hidup para pelajar muslim, atau
menggiring gerakan kesukuan Arab dan Turki pada dua tujuan yang fundamental,
yaitu:
(i)
memisahkan Arab dari Khilafah 'Utsmani sebagai upaya membunuh Negara Khilafah
Islam dengan menyebut Khilafah 'Utsmani dengan nama Turki yang tujuannya untuk
membangkitkan fanatisme kesukuan/ ashobiyah,
(ii)
menjauhkan kaum muslimin dari ikatan yang hakiki, yaitu ikatam Islam.
Oleh
karena itu, pembentukan visi ini akan terus diarahkan pada fanatisme kesukuan,
baik di Turki, Arab, Persi, maupun daerah-daerah Islam lainnya. Fanatisme
inilah yang memecah belah kesatuan umat dan menjadikan mereka buta terhadap
ideologi Islam. Sejumlah perguruan memerankan aneka macam peran dan pengaruhnya
menyentuh dunia Islam.
Di antara
dampak-dampaknya bisa kita lihat pada kelemahan dan kemunduran umat. Karena
misionaris merupakan batu pertama yang diletakkan oleh kolonialis untuk menutup
celah yang terdapat di antara kita dan kebangkitan dan untuk mengubah hubungan
dan keadaan antara kita dan mabda' (ideologi) kita, yaitu Islam.
Adapun
faktor yang memotivasi orang-orang Eropa membentuk perguruan-perguruan
misionaris di dunia Islam adalah pengalaman mereka di Perang Salib.
Pengalaman-pengalaman itu memberi pelajaran bahwa kaum muslimin sangat keras
dan tangguh di medan perang.
Barat
menitikberatkan sandaran operasinya pada orang Kristen yang banyak tinggal di
dunia Islam. Di Negara Khilafah Islam jumlah pemeluk Nasrani memang banyak,
khususnya di Syam. Orang-orang Kristen di sini kebanyakan memegang teguh
agamanya. Karena itu, tidak heran jika Barat mengkategorikan mereka sebagai
saudara seagama. Bahkan, Barat menduga bahwa mereka akan bisa diajak untuk
menipu daya kaum muslimin dan menjalin konspirasi dengan mereka untuk dijadikan
mata-mata Barat terhadap kaum muslimin. Dengan alasan ini, maka mereka mudah
diprovokasi untuk mengobarkan perang dengan alasan keagamaan.
Kedua,
Barat mengandalkan jumlah populasi mereka yang banyak dan besarnya kekuatan
mereka, di mana di waktu yang sama kaum muslimin terpecah-belah dan
terbelakang. Kelemahan yang mulai menggerogoti kaum muslimin membuat Barat
menduga bahwa jika mereka menghantam kaum muslimin dengan satu kali pukulan
saja, niscaya mereka dapat menundukkan umat Islam selamanya dan akhirnya
memudahkan mereka untuk melenyapkan umat dan agamanya.
Akan
tetapi, optimisme Barat menemui kegagalan dan dugaannya tidak benar. Berapa
banyak peristiwa besar yang menggoncang umat di tengah kancah peperangan, kaum
Nasrani warga negara Khilafah justru berdiri di samping mereka. Mereka tidak
terpengaruh dengan slogan-slogan. Mereka justru berperang saling bahu-membahu
dengan kaum muslimin untuk menghadapi musuh. Kenapa? Karena mereka hidup di
Negara Khilafah Islam dan di wilayah yang diterapkan sistem Islam kepada
mereka. Mereka punya hak sebagaimana yang dimiliki kaum muslimin dan punya
tanggung jawab sebagaimana yang dipikul kaum muslimin. Mereka juga hidup
bersama-sama di masyarakat daulah Khilafah karena Islam mencakup dan menanggung
semua hak mereka. Seorang Nasrani juga melakukan aktivitas yang perpihak pada
para khalifah dan penguasa jajarannya. Dia melakukan aktivitas dalam Negara
Khilafah Islam.
Ibnu Hazim
mengatakan, "Di antara kewajiban menjaga
ahli dzimmah kita (kafir warga negara Khilafah) jika para agresor menyerang negara kita dan mereka mengarahkan
serangan pada tetangga-tetangga kita (kafir dzimmi), maka hendaknya kita mati
membela mereka. Dan setiap pelanggaran dalam hal itu, termasuk penyia-nyiaan
hak-hak ahlu dzimmah."
Al-Qurafiy
berkata, "Sesungguhnya di antara kewajiban
tiap muslim terhadap kafir dzimmi adalah berbuat lembut pada kaum lemah mereka,
menutup kebutuhan kefakiran mereka, memberi makan orang yang kelaparan dari
kaum mereka, memberi pakaian kepada yang tidak memiliki pakaian di antara
mereka, mengajak mereka bicara dengan kata-kata yang lembut, menanggung
penderitaan tetangga dari mereka semampunya, bersikap lembut pada mereka, tidak
menakut-nakuti juga tidak mengagungkan, ikhlas memberi nasihat mereka dalam
semua urusan, menolak orang yang hendak menyerang dan mengganggu mereka, dan
menjaga harta, keluarga, kehormatan, dan seluruh hak dan kepentingan mereka.
Hendaknya tiap muslim bekerja sama dengan mereka dalam setiap perbuatan yang
baik dengan akhlak yang mulia pula."
Semua ini
menjadikan kaum Nasrani secara alami bahu-membahu dengan kaum muslimin untuk
mempertahankan negara Khilafah…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar