Demokrasi Ide Khayal Tidak Mungkin Diterapkan
Namun
sebelum kami menjelaskan lebih lanjut pertentangan demokrasi dengan
Islam serta hukum syara' dalam pengambilannya, kami ingin menjelaskan
terlebih dahulu, bahwa demokrasi itu sendiri sebenarnya belum pernah
diterapkan di negara-negara asal demokrasi, dan bahwa praktek demokrasi
itu sesungguhnya didasarkan pada kedustaan dan penyesatan. Kami ingin
menjelaskan pula tentang kerusakan dan kebusukan demokrasi, serta
berbagai musibah dan malapetaka yang telah menimpa dunia akibat
penerapan demokrasi, termasuk sejauh mana kebobrokan masyarakat yang
menerapkan demokrasi.
Demokrasi dalam maknanya yang asli, adalah ide khayal yang tidak
mungkin dipraktekkan. Demokrasi belum dan tidak akan pernah terwujud
sampai kapanpun. Sebab, berkumpulnya seluruh rakyat di satu tempat
secara terus menerus untuk memberikan pertimbangan dalam berbagai
urusan, adalah hal yang mustahil. Demikian pula keharusan atas seluruh
rakyat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengurus administrasinya,
juga hal yang mustahil.
Oleh karena itu, para penggagas demokrasi lalu mengarang suatu
manipulasi terhadap ide demokrasi dan mencoba menakwilkannya, serta
mengada-adakan apa yang disebut dengan "Kepala Negara", "Pemerintah" dan
"Dewan Perwakilan".
Namun meskipun demikian, pengertian demokrasi yang telah ditakwilkan
ini pun toh tetap tidak sesuai dengan fakta yang ada dan tidak pernah
pula terwujud dalam kenyataan.
Klaim bahwa kepala negara, pemerintah, dan anggota parlemen dipilih
berdasarkan mayoritas suara rakyat; bahwa dewan perwakilan adalah
penjelmaan politis kehendak umum mayoritas rakyat; dan bahwa dewan
tersebut mewakili mayoritas rakyat, semuanya adalah klaim yang sangat
tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya.
Sebab, anggota parlemen sesungguhnya hanya dipilih sebagai wakil dari
minoritas rakyat — bukan mayoritasnya — mengingat kedudukan seorang
anggota di parlemen itu sebenarnya dicalonkan oleh sejumlah orang, bukan
oleh satu orang. Karena itu suara para pemilih di suatu daerah, harus
dibagi dengan jumlah orang yang mencalonkan. Dengan demikian, orang yang
meraih suara mayoritas para pemilih di suatu daerah sebenarnya tidak
memperoleh suara mayoritas dari mereka yang berhak memilih di daerah
tersebut. Konsekuensinya ialah para wakil yang menang, sebenarnya hanya
mendapatkan suara minoritas rakyat, bukan mayoritasnya. Maka mereka
menjadi orang-orang yang mendapat kepercayaan dari minoritas rakyat dan
menjadi wakil mereka, bukan orang-orang yang mendapat kepercayaan dari
mayoritas rakyat dan tidak pula menjadi wakil mereka.
Demikian pula kepala negara, baik yang dipilih oleh rakyat secara
langsung maupun oleh para anggota parlemen, sebenarnya juga tidak
dipilih berdasarkan mayoritas suara rakyat, tetapi berdasarkan minoritas
suara rakyat, sebagaimana halnya pemilihan anggota parlemen tersebut di
atas.
Lagipula, para kepala negara dan anggota parlemen di negara-negara asal
demokrasi, seperti Amerika Serikat dan Inggris, sebenarnya mewakili
kehendak kaum kapitalis — yaitu para konglomerat dan orang-orang kaya —
dan tidak mewakili kehendak rakyat ataupun mayoritas rakyat. Kondisi ini
dikarenakan para kapitalis raksasa itulah yang mendudukkan mereka ke
berbagai posisi pemerintahan dan lembaga-lembaga perwakilan, yang akan
merealisasikan kepentingan para kapitalis itu. Kaum kapitalis tersebut
telah membiayai proses pemilihan presiden dan anggota parlemen, sehingga
mereka memiliki pengaruh yang kuat atas presiden dan anggota parlemen.
Fakta ini sudah terkenal di Amerika.
Sementara di Inggris, yang berkuasa adalah orang-orang dari partai
Konservatif. Partai Konservatif ini juga mewakili para kapitalis
raksasa, yaitu para konglomerat, para pengusaha dan pemilik tanah, serta
golongan bangsawan yang aristokratis. Partai Buruh tidak dapat
menduduki pemerintahan, kecuali terdapat kondisi politis yang
mengharuskan tersingkirnya Partai Konservatif dari pemerintahan. Oleh
karena itu, para penguasa dan anggota parlemen di Amerika Serikat dan
Inggris sebenarnya hanya mewakili para kapitalis, tidak mewakili
kehendak rakyat ataupun kehendak mayoritas rakyat.
Berdasarkan fakta ini, maka pernyataan bahwa parlemen di negeri-negeri
demokrasi adalah wakil dari pendapat mayoritas, merupakan perkataan
dusta dan menyesatkan. Demikian pula pernyataan bahwa para penguasa
dipilih oleh mayoritas rakyat dan mengambil kekuasaan mereka dari
rakyat, juga merupakan dusta yang menyesatkan!
Di samping itu, peraturan-peraturan yang ditetapkan dalam
parlemen-parlemen tersebut, serta kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
negara-negara tersebut, diputuskan dengan pertimbangan: bahwa
kepentingan para kapitalis harus lebih diutamakan daripada kepentingan
rakyat atau mayoritas rakyat.
Kemudian pernyataan bahwa penguasa/presiden bertanggung jawab kepada
parlemen yang merupakan penjelmaan kehendak umum rakyat; dan bahwa
keputusan-keputusan yang penting tidak dapat diambil kecuali dengan
persetujuan mayoritas anggota parlemen, tidaklah sesuai dengan hakekat
dan kenyataan yang ada. Sir Anthony Eden (PM Inggris), misalnya, telah
mengumumkan Perang Suez terhadap Mesir tanpa memberi tahu baik kepada
parlemen maupun kepada para menteri yang memiliki andil dalam
pemerintahannya. Hanya dua atau tiga menteri saja yang diberitahu. John
Foster Dulles pada
saat Perang Suez telah diminta oleh Kongres untuk menyerahkan laporan
mengenai Terusan Suez dan menjelaskan sebab-sebab pembatalan usulan
pembiayaannya. Namun dia menolak mentah-mentah untuk menyerahkan laporan
tersebut kepada Kongres. Sementara itu Charles de Gaulle telah
mengambil keputusan-keputusan tanpa diketahui para menterinya. Raja
Hussein pun telah mengambil keputusan-keputusan yang penting dan
berbahaya tanpa diketahui oleh para menteri atau anggota parlemen.
Oleh karenanya, pernyataan bahwa parlemen-parlemen di negeri-negeri
demokrasi telah mewakili pendapat mayoritas, dan bahwa para penguasa
dipilih berdasarkan suara mayoritas serta menjalankan pemerintahan
menurut peraturan yang ditetapkan dan dikehendaki oleh mayoritas,
ternyata tidak sesuai dengan hakekat dan kenyataan yang sebenarnya.
Perkataan itu dusta dan menyesatkan!
Penjelasan di atas berkenaan dengan kenyataan di negeri-negeri asal
usul demokrasi. Adapun parlemen-parlemen di Dunia Islam, keadaannya
lebih buruk lagi. Parlemen-parlemen tersebut tak lebih dari sekedar
istilah yang tidak ada faktanya. Sebab, tidak ada satu parlemen pun di
Dunia Islam yang berani mengkritik atau menentang penguasanya, atau
menentang sistem pemerintahannya. Parlemen Yordania misalnya — yang
dipilih dengan slogan "Mengembalikan Demokrasi dan Mewujudkan Kebebasan"
— ternyata tidak berani mengkritik Raja Hussein, atau mengkritik rezim
pemerintahannya. Padahal semua anggota parlemen tahu bahwa penyebab
krisis dan kemerosotan ekonomi yang terjadi tak lain adalah kebobrokan
rezim keluarga kerajaan yang telah mencuri harta kekayaan negara.
Kendatipun demikian, tidak ada seorang anggota parlemen pun yang berani
mengkritik rezim tersebut. Mereka hanya berani mengkritik Zaid Rifa'i
dan beberapa menteri. Padahal mereka tahu bahwa Zaid Rifa'i dan para
menteri itu hanyalah pegawai bawahan, yang tidak akan berani mengambil
satu tindakan pun tanpa mendapat ijin dan restu dari raja.
Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, undang-undang yang ada umumnya
justru dibuat oleh pemerintah, dalam bentuk rancangan undang-undang.
Kemudian rancangan undang-undang itu dikirim oleh pemerintah ke
parlemen, lalu dikaji oleh komisi-komisi khusus yang akan memberikan
pendapatnya mengenai rancangan tersebut, dan kemudian menyetujuinya.
Padahal faktanya banyak anggota parlemen yang tidak memahami isi
undang-undang tersebut sedikit pun, sebab pembahasan dalam undang-undang
tersebut bukan bidang keahlian mereka.
Oleh karena itu, pernyataan bahwa peraturan yang ditetapkan oleh
parlemen-parlemen di negeri-negeri demokrasi merupakan ungkapan kehendak
umum rakyat, dan bahwa kehendak umum itu mewakili kedaulatan rakyat,
adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan hakikat dan kenyataan yang
ada.
Cacat yang menonjol dalam sistem demokrasi — yang berkaitan
dengan pemerintahan dan kabinet — antara lain ialah bila di dalam suatu
negeri demokrasi tidak terdapat partai-partai politik besar — yang dapat
mencapai mayoritas mutlak di parlemen dan menyusun kabinetnya sendiri —
maka pemerintah negeri tersebut akan selalu tidak stabil dan kabinetnya
akan terus digoncang dengan tekanan krisis-krisis politik yang silih
berganti. Hal ini terjadi karena pemerintah negeri tersebut sulit
mendapatkan kepercayaan mayoritas parlemennya, sehingga kondisi ini akan
memaksa pemerintah untuk meletakkan jabatannya. Kadang-kadang presiden
selama berbulan-bulan tak mampu membentuk kabinetnya yang baru sehingga
pemerintah menjadi lumpuh atau nyaris tak berfungsi. Kadang-kadang pula
presiden terpaksa membubarkan parlemen dan menyelengggarakan pemilu yang
baru, dengan tujuan mengubah perimbangan kekuatan politik agar dia
dapat menyusun kabinetnya yang baru.
Krisis-krisis tersebut terjadi berulang kali sehingga pemerintah selalu
tidak stabil dan aktivitas politiknya pun terus digoncang dan nyaris
tak terurus. Kondisi seperti ini pernah terjadi di Italia, Yunani, dan
negeri-negeri demokrasi yang lain, yang memiliki banyak partai politik
sementara tidak ada satu partai politik besar yang mampu mendapatkan
mayoritas mutlak.
Karena kondisinya seperti itu, maka tawar menawar selalu terjadi di
antara partai-partai tersebut, sehingga terkadang partai-partai kecil
dapat mendikte partai-partai lain — yang mengajak berkoalisi untuk
membentuk kabinet — dengan cara mengajukan syarat-syarat yang sulit
sebagai langkah untuk mewujudkan kepentingannya sendiri. Dengan
demikian, partai-partai kecil — yang hanya mewakili minoritas rakyat itu
— dapat mengendalikan partai lain dan mendikte kegiatan politik negeri
tersebut termasuk penetapan kebijakan-kebijakan kabinetnya.
Demokrasi Ide Khayal Tidak Mungkin Diterapkan
Dari Buku: DEMOKRASI : SISTEM KUFUR
HARAM Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya
ABDUL QADIM ZALLUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar