Sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan bukan sistem federal
BAB SISTEM PEMERINTAHAN
PASAL 16
Sistem pemerintahan adalah sistem kesatuan dan bukan sistem federal.
KETERANGAN
Syara’
hanya menyatakan sistem kesatuan sebagai sistem pemerintahan dan syara’
mengharamkan sistem yang lain. Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Amr bin
Al ‘Ash bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda : ”Barangsiapa
yang membai’at seorang imam kemudian memberikan genggaman tangannya dan
buah hatinya hendaklah ia menta’atinya jika ia mampu, jika datang orang
lain hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu” (HR. Muslim). Dari Abi Sa’id al Khudriy bahwa Nabi bersabda : ”Jika dibai’at dua orang imam maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (HR. Muslim). Dengan demikian haram untuk membagi negara menjadi beberapa negara, tetapi harus merupakan satu negara kesatuan.
PASAL 17
Pemerintahan bersifat sentralisasi, sedangkan sistem administrasi adalah desentralisasi.
KETERANGAN
- Pemerintahan adalah kepemimpinan. Syara’ menjadikan pemimpin itu hanya satu. Sabda Rasul : ”Tidak halal tiga orang berada di suatu tempat lapang di muka bumi kecuali dipimpin oleh satu orang di antara mereka “ (HR. Abu Dawud dari Abi Sa’id al Khudriy). Pemerintahan adalah aktivitas imarah (kepemimpinan) yang berwenang untuk menerapkan hukum, menghilangkan kezhaliman, dan menyelesaikan perselisihan. Jadi ia merupakan wilayatul amri sebagaimana yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya : “Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian” (QS. An Nisaa’ : 59). Dan firman Allah : “dan kalau mereka menyerahkan kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka” (QS. An Nisaa :83). Yaitu secara langsung memelihara urusan secara praktis. Aktivitas khalifah atau para waliy dan amil memelihara urusan umat dengan menerapkan hukum syara’ dan penerapan hukum pidana adalah aktivitas pemerintahan. Maka pemerintahan bersifat sentralistik.
- Selain hal itu maka termasuk administrasi yang ditentukan oleh khalifah. Khalifah menunjuk orang tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu. Misal untuk masalah harta dan keuangan, pasukan, pendidikan dsb sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabat sesudah beliau. Dengan demikian sistem administrasi bersifat desentralistik.
PASAL 18
Kekuasaan
berada di tangan empat pihak, yaitu Khalifah, Mu’awin Tafwidh, Wali dan
Amil. Selain mereka, tidak dianggap sebagai penguasa, melainkan hanya
pegawai pemerintah.
KETERANGAN
Dalilnya sama dengan pasal 17, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan kekuasaan (al hukm, as sulthan) dengan administrasi (al idarah). Penguasa (al haakim) adalah orang yang menjalankan kekuasaan atau pemerintahan (munaffidzul hukm),
yang berwenang untuk menerapkan peraturan dan undang-undang atas
rakyat. Dalam struktur negara Khilafah, mereka yang memiliki kewenangan
ini adalah empat pihak, yaitu Khalifah, Mu’awin Tafwidh, Wali dan Amil.
Selain mereka, tidak termasuk penguasa tetapi termasuk pegawai
pemerintah (al muwazhzhaf) yang tugasnya berkaitan dengan administrasi, bukan kekuasaan. Administrasi (al idarah) merupakan kumpulan cara yang bersifat teknis (uslub) atau sarana fisik (wasilah) untuk melaksanakan suatu aktivitas tertentu.
PASAL 19
Tidak
dibenarkan seorang pun berkuasa atau menduduki suatu jabatan apa saja
yang berkaitan dengan kekuasaan, kecuali seorang laki-laki merdeka, adil
dan beragama Islam.
KETERANGAN
- Allah melarang dengan keras orang kafir sebagai penguasa. Firman Allah : “Dan Allah tidaklah sekali-kali menjadikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai kaum mukmin” (QS. An Nisaa’ : 141). Pemerintahan merupakan jalan terbesar untuk menguasai kaum mukmin dan dengan pengungkapan “lan” untuk menyatakan penafian selama-lamanya menunjukkan larangan yang tegas. Dengan demikian haram seorang kafir menjadi penguasa bagi kaum muslimin. Allah juga menjadikan syarat seorang saksi dalam ruju’ adalah muslim. Maka terlebih lagi untuk penguasa. Dan pemerintahan merupakan ulil amri yang diwajibkan ta’at kepadanya, maka disyaratkan ulil amri itu seorang muslim. ”Ta’atlah kepada Allah dan ta’atlah kepada Rasul dan ulil amri di antara kalian” (QS. An Nisaa’ : 59). Kata “minkum” menunjukkan bahwa ulil amri itu harus dari kalangan muslim.
- Pemerintah haruslah seorang laki-laki. Sabda Rasul diriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa ia berkata : “Sungguh telah bermanfaat bagiku sebuah perkataan - yang dulu aku dengar dari Rasulullah - pada saat perang Jamal setelah semula hampir saja aku mengikuti tentara Jamal (yang dipimpin oleh Aisyah yang mengendarai onta) dan berperang di pihak mereka.” Selanjutnya ia berkata : “Ketika sampai kepada Rasulullah bahwa penduduk Persi diperintah oleh seorang perempuan anak Kisra maka beliau bersabda : “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang wanita.” Ikhbar Rasul dengan menafikan keberuntungan pada orang yang menyerahkan urusannya kepada seorang perempuan menunjukkan larangan yang tegas. Maka haram seorang wanita menjadi penguasa.
- Seorang penguasa harus adil. Karena Allah mensyaratkan seorang saksi harus ‘adil (bukan fasik) “Hendaknya menjadi saksi dua orang yang adil dari kaum kalian” (QS. At thalaq : 2). Kedudukan seorang khalifah atau penguasa tentu lebih tinggi dari seorang saksi maka lebih utama seorang penguasa disyaratkan seorang yang ‘adil.
- Seorang penguasa haruslah orang yang merdeka bukan budak. Karena seorang budak adalah milik tuannya dan ia tidak memiliki wewenang untuk mengatur dirinya sendiri, dengan demikian ia tidak layak mengatur orang lain apalagi menjadi penguasa yang mengatur manusia.
Sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan bukan sistem federal
Dari Buku: Rancangan UUD Islami (AD DUSTÛR AL ISLÂMI)
Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar