Pengertian Tauhid Uluhiyah
MEMAHAMI HAKEKAT TAUHID
Hakekat Tauhid
- Keesaaan Ibadah (Tauhid Uluhiyyah)
Tauhid belum sempurna dengan sekedar pengakuan atas tauhid rububiyyah dan asma’ wa shifat.
Sebab, kedua tauhid ini dapat dianggap sebagai sekedar teori tauhid.
Agar ‘tauhid teoritis’ ini menjadi sempurna, ia harus melibatkan tujuan
dan sasaran dari tauhid, yakni penyembahan hanya kepada Allah swt. [Op.cit, hal.228.]
Ketika menjelaskan tauhid uluhiyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan,
“Tidak ada kebahagiaan, dan keselamatan bagi seorang hamba kecuali
selalu mengikuti Rasulullah saw. Barangsiapa taat kepada Allah dan
RasulNya, ia akan dimasukkan ke surga yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai. Yang demikian itu adalah kemenangan yang sangat agung.
Akan tetapi, siapa saja yang maksiyat kepada Allah dan RasulNya dan
melanggar ketetapan-ketetapan Allah, maka ia akan dimasukkan ke neraka.
Ia akan mendapatkan siksa yang sangat pedih. Sesungguhnya Allah
menciptakan makhluq agar mereka menyembah (beribadah) kepadaNya. Allah
swt berfirman, artinya,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [al-Dzariyat:56]
Bentuk
ibadah mereka kepada Allah adalah dengan cara mentaati Allah dan
RasulNya. Tidak ada ibadah kecuali apa yang telah diwajibkan dan
diridhoi oleh agama Allah. [Imam Ibnu Taimiyyah, Majmuu’ al-Fatawa, juz I/42, pada bab Tauhid Uluhiyyah, Daar al-Kutub al-‘Imiyyah.]
Banyak
bukti menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Mekah pada masa Nabi
saw mempercayai ketuhanan Allah sebagai Pencipta sekaligus mempercayai
pula berbagai sifat-sifatNya. Namun demikian, mereka tetap disebut
sebagai orang musrik. Allah swt berfirman, artinya,
“Dan
sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, siapakah yang menjadikan
langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan? Tentu mereka akan
menjawab,”Allah”. Maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan dari jalan
yang benar.” [al-‘Ankabuut:61]
“Dan
sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka siapakah yang
menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah
matinya?’ Tentu mereka akan menjawab,”Allah.” Katakanlah, “Segala puji
bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahaminya.”
[al-‘Ankabut:63]
Ibadah dalam Islam bermakna penyerahan diri kepada Allah yang diwujudkan melalui kepatuhan pada hukum-hukum Allah swt. [Abu Ameenah Bilal, Menolak Tafsir Bid’ah, PT. Andalus Press, Surabaya, hal.235]
Berpegang teguh atau lebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia
lebih dari hukum Allah merupakan kesyirikan dalam tauhid al-‘ibadah.
Allah telah berfirman di dalam al-Quran, artinya,
“Menetapkan
hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
Pemberi keputusan yang paling baik.” [al-An’am:57]
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir.” [al-Maidah 44]
Ketika Rasulullah saw membacakan ayat al-Quran, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” [at-Taubah 31], Adiy bin Hatim menyatakan
bahwa (orang-orang Yahudi dan Nashrani) tidak menyembah kepada
rahib-rahib dan pendeta-pendeta mereka, akan tetapi mereka juga
menyembah kepada Allah. Pernyataan ini ditangkis Rasulullah saw dengan
pernyataan beliau,
“Akan
tetapi rahib-rahib dan pendeta itu telah menghalalkan apa yang
diharamkan Allah, dan mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah,
kemudian mereka mengikutinya.” [Lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir.]
Ini
menunjukkan bahwa, sekedar menyakini Allah swt dari sisi rububiyyah dan
asma’ wa shifat, tidak akan mampu menyelamatkan seseorang dari
kekafiran, sampai ia mengesakan Allah dalam hal penyembahan (tauhid
uluhiyyah); dengan jalan menyakini bahwa hukum Allah adalah satu-satunya
hukum yang berhak ditaati dan diikuti.
Atas
dasar itu, menyakini bahwa hukum Allah swt sebagai satu-satunya hukum
yang berhak mengatur kehidupan manusia, merupakan refleksi dari tauhid
uluhiyyah. Seorang muslim harus menyakini bahwa hukum-hukum Allah
(syari’at Allah), satu-satunya hukum terbaik yang mampu memecahkan
seluruh problematika umat manusia. Ia tidak boleh menyakini
aturan-aturan lain selain aturan Allah yang mampu menyaingi atau
setingkat levelnya dengan aturan Allah swt. [Lihat, Dr. Mohammad Husain ‘Abdullah, Dirasaat fi al-Fikr al-Islaamiy]
Seorang
mukmin wajib menjunjung tinggi al-Quran dan Sunnah. Ia hanya akan
berhukum dengan aturan-aturan Allah swt. Sebab, berhukum kepada al-Quran
dan Sunnah adalah kewajiban mendasar seorang muslim, sekaligus refleksi
keimanannya kepada Allah swt. Al-Quran telah menyampaikan pesan penting
ini di beberapa tempat.
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut,
padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan
bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.
Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah kamu (tunduk) kepada hukum
yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul", niscaya kamu lihat
orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari
(mendekati) kamu." [al-Nisaa’:60-61]
Imam Ibnu al-‘Arabiy menjelaskan,
ayat ini turun berkenaan dengan perselisihan antara orang Yahudi dengan
orang Munafiq. Kemudian orang Yahudi dan Munafiq itu menyampaikan
masalah mereka kepada Rasulullah saw. Perkara itu diputuskan oleh
Rasulullah saw. Akan tetapi, orang munafiq itu tidak rela, Selanjutnya,
mereka mengajukan perkara mereka kepada Abu Bakar, namun orang munafiq
itu juga tidak rela. Lalu, mereka mengajukan perkara mereka kepada
‘Umar. Umar masuk ke dalam rumah dan mengambil pedangnya. Orang munafiq
itu dipenggal kepalanya hingga mati. Keluarga orang munafiq itu
melaporkan perkara itu kepada Rasulullah saw. ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah, ia telah menolak keputusanmu. Rasulullah menjawab, “Engkau adalah al-Faruuq” Lalu, turunlah firman Allah swt, surat al-Nisaa’:65 [Lihat Ibnu al-’Arabiy, Ahkaam al-Quraan, Juz I, ed.I, Daar al-Fikr, 1988, hal.577. Lihat juga pada Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz II, hal.97; Ibnu Hajar, al-Kaaf al-Syaaf, hal.45]]
Thaghut di sini bermakna, semua aturan atau hukum selain hukum Allah swt. [Imam “Abdurrahman Nashir al-Sa’diy, Taisiir al-Kariim al-Rahman fi Tafsiir Kalaam al-Manaan, hal.90.]
Imam Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnu al-‘Arabiy menyatakan,
thaghut adalah semua hal selain Allah yang disembah manusia. Semisal,
berhala, pendeta, ahli sihir, atau semua hal yang menyebabkan syirik.” [Ibnu al-’Arabiy, Ahkaam al-Quraan, Juz I, ed.I, Daar al-Fikr, 1988, hal.578]
Di tempat lain, al-Quran juga menyatakan hal ini dengan sangat jelas dan tegas. Allah swt berfirman,
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap
putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
[al-Nisaa’:65]
Tatkala menafsirkan ayat ini, Imam al-Sa’diy, menyatakan,
”Allah swt telah bersumpah atas nama dirinya, sesungguhnya mereka tidak
beriman sampai mereka menjadikan Rasulullah saw sebagai hakim yang akan
memutuskan perkara-perkara yang mereka perselisihkan…Akan tetapi,
mereka tidak cukup hanya bertahkim kepada Rasul saja, akan tetapi,
mereka harus menghilangkan keraguan, perasaan sempit, dan kesamaran di
dalam hati mereka tatkala bertahkim kepada Rasulullah saw…Barangsiapa
menolak untuk berhukum kepada Rasulullah saw dan tidak mau terikat
dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, maka ia telah
kafir. [Imam “Abdurrahman Nashir al-Sa’diy, Taisiir al-Kariim al-Rahman fi Tafsiir Kalaam al-Manaan, hal.93-94]
Al-Quran juga menyatakan di dalam ayat lain;
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang
telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang.” [al-Maidah:48]
Pesan-pesan
di atas juga diperkuat dengan sabda Rasulullah saw yang termaktub dalam
hadits-hadits shahih. Di antaranya, Rasulullah saw pernah bersabda,
artinya,
“Barangsiapa
mengerjakan suatu perbuatan, dan perbuatan itu tidak diperintahkan
kami, maka perbuatan itu tertolak.” [HR. Bukhari & Muslim]
Nash-nash di atas merupakan argumentasi kokoh atas wajibnya seorang
mukmin untuk selalu terikat dengan hukum Allah swt. Sekaligus
menunjukkan bahwa seorang mukmin berkewajiban untuk hanya berhukum
kepada aturan-aturan Allah swt. Siapa saja yang mengingkari aturan Allah
swt, mendustakannya, serta menggantinya dengan aturan-aturan lain,
kelak akan dimasukkan ke neraka Allah swt. Al-Quran telah menyatakan hal
ini dengan sangat tegas.
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi
mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga
unta masuk ke lobang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada
orang-orang yang berbuat kejahatan. [al-A’raf:40]
Bila al-Quran telah menyampaikan pesan di atas dengan sangat jelas dan
tegas, tentu tidak ada dalih lagi bagi kaum mukmin untuk menolak
ketetapan-ketetapan di atas.
Mungkin ada sebagian kaum muslim meragukan kemampuan hukum Allah dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan manusia. Keraguan telah membawa mereka
menolak, meminggirkan dan mengambil hukum-hukum selain hukum Allah.
Tidak sedikit juga di antara kaum muslimin berargumentasi; penerapan
hukum Islam akan memberangus hak-hak asasi manusia. Anehnya, mereka
tidak pernah menggunakan logika yang sama untuk hukum-hukum selain
Islam. Padahal, al-Quran telah membantah keunggulan sistem hukum selain
hukum Islam. Al-Quran telah menyatakan hal ini.
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [al-Maidah:50]
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu.” [al-Maidah:3]
Hukum
Allah adalah hukum yang paling baik di atas segala sistem hukum di
dunia ini. Seorang mukmin wajib meyakini hal ini tanpa ada keraguan
sedikitpun. Hatinya harus menerima dengan sepenuh hati apa yang telah
ditetapkan Al-Quran dan Sunnah.
Aqidah harus direfleksikan dalam bentuk menerapkan dan menegakkan
syari’at Islam. Sebaliknya, penerapan syari’at Islam mesti dilandasi
oleh aqidah. Keduanya, ‘aqidah dan syari’ah merupakan dua sisi yang
tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Mereduksi Islam hanya pada
tataran “aqidah”, tanpa ada keinginan untuk menerapkan syari’at Islam,
tidak ubahnya menjadikan Islam sebagai agama ritual belaka. Di sisi
lain, penerapan syari’at Islam tanpa dijiwai oleh aqidah Islam, seperti
halnya jasad tanpa ruh.
Aqidah Islam harus dijadikan asas dan jiwa bagi penerapan syari’at
Islam. Aturan Islam – dilihat sebagai sebuah aturan — bisa saja
diterapkan dan ditegakkan dengan spirit kekufuran. Penerapan syari’at
Islam bisa saja ditegakkan dengan dijiwai ideologi kapitalisme atau
sosialisme. Seperti halnya, gerakan Islam Liberal yang ingin melihat
Islam – terutama wacana penerapan syari’at Islam — dengan kaca mata
liberalisme ala kapitalisme. Tentu, penerapan syari’at Islam semacam
ini, tidak akan menghasilkan sebuah bangunan sistem yang tangguh dan
kuat. Sebab, antara spirit dan empiris terdapat pertentangan yang sangat
nyata.
Refleksi Tauhid Untuk Kontrol dan Kendali Diri
Seluruh
penjelasan di atas memahamkan kepada kita, bahwa tauhid merupakan unsur
mendasar dan terpenting bagi perilaku seorang muslim. Tauhid yang lurus
akan menjauhkan seorang muslim dari tindak-tindak menyimpang. Tauhid
yang kokoh akan menjadi benteng tangguh untuk menghadapi cobaan, godaan,
dan ujian.
Tauhid merupakan unsur mendasar bagi kontrol dan kendali diri seorang
muslim. Sebab, seluruh perbuatan kaum muslim harus didasarkan pada
keimanannya kepada Allah swt, alias harus didasarkan pada tauhid.
Seorang muslim tidak boleh mengerjakan perbuatan apapun kecuali
didasarkan di atas tauhid.
Wujud
perbuatan yang dilandasi tauhid adalah, perbuatan tersebut sejalan
dengan aturan-aturan dan hukum-hukum Islam. Seorang muslim ketika
menyaksikan bahwa perbuatannya tidak sejalan dengan aturan Allah swt, ia
akan segera meninggalkan dan mencampakkan perbuatan tercela tersebut.
Ia akan merasa rendah di sisi manusia dan di sisi Allah, ketika tidak
berbuat sesuai dengan aturan Allah swt. Kebanggaan dirinya adalah
tatkala ia dekat dengan Allah swt dan sejalan dengan Islam.
Kecintaan
dan penghargaan kepada orang lain juga selalu didasarkan oleh aturan
Allah swt. Ia akan membenci dan tidak menaruh hati ataupun condong
dengan orang-orang yang bergelimang dengan kemaksiyatan, mengganti
aturan Allah dengan aturan manusia. Selanjutnya, ia akan tergerak untuk
menasehati dan menghilangkan kemaksiyatan tersebut.
Inilah gambaran tauhid sebagai bagian terpenting dari kontrol dan
kendali diri. Sungguh, hanya dengan tauhid yang kuat dan kokoh,
seseorang akan mampu mengarungi kehidupan apapun tanpa pernah bergeser
dengan aturan Allah swt.
Lebih dari itu, tauhid yang benar dan murni merupakan faktor utama
untuk menyelamatkan manusia dari siksa Allah swt. Tauhid merupakan
jaminan terakhir, apakah kita masih layak masuk surganya Allah atau
tidak.
Semua ini menunjukkan, bahwa tauhid merupakan dasar bagi kontrol dan kendali diri seorang muslim.
Pengertian Tauhid Uluhiyah – Dari Buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar