Kewajiban Bersyukur Mensyukuri Nikmat
REFLEKSI RASA SYUKUR
Bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah merupakan salah satu
kewajiban seorang muslim. Seorang hamba yang tidak pernah bersyukur
kepada Allah, alias kufur nikmat, sejatinya adalah orang-orang sombong
yang pantas dimasukkan ke nerakanya Allah swt. Allah swt telah
memerintahkan hamba-hambaNya untuk mengingat dan bersyukur atas
nikmat-nikmatNya. Allah swt berfirman, artinya:
“Karena
itu, ingatlah kamu kepadaKu niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan
bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu.” [al-Baqarah:152]
Ali Ashshabuni dalam Shafwaat al-Tafaasir menyatakan, “Ingatlah kalian
kepadaKu dengan ibadah dan taat, niscaya Aku akan mengingat kalian
dengan cara memberi pahala dan ampunan. Sedangkan firman Allah swt, ”bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari nikmatKu”,
bermakna: “Bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmat yang telah Aku
berikan kepadamu dan jangan mengingkarinya dengan melakukan dosa dan
maksiyat.
Telah diriwayatkan bahwa Nabi Musa as pernah bertanya kepada Tuhannya: ”Ya
Rabb, bagaimana saya bersyukur kepada Engkau? Rabbnya menjawab:
”Ingatlah Aku dan janganlah kamu lupakan Aku. Jika kamu mengingat Aku
sungguh kamu telah bersyukur kepadaKu. Namun, jika kamu melupakan Aku,
kamu telah mengingkari nikmatKu”. [Mukhtashar Tafsir Ibnu I/142]
Di ayat yang lain Allah swt menyatakan, artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rizki yang baik-baik yang
Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar
hanya kepadaNya kamu menyembah.” [al-Baqarah:172]
‘Ulama-‘ulama
tafsir menafsirkan ayat ini sebagai berikut: “jika kalian benar-benar
menyembah kepadaNya, bersyukurlah kalian atas nikmat-nikmatNya yang
tidak bisa dihitung itu dengan ibadah dan janganlah menyembah selain
diriNya.”
Atas
dasar itu, bersyukur atas nikmat Allah merupakan kewajiban seorang
muslim. Namun, seorang muslim harus memahami bagaimana cara
merefleksikan rasa syukur secara benar. Betapa banyak orang
merefleksikan rasa syukurnya dengan cara-cara yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip syukur itu sendiri. Misalnya, ada orang yang mewujudkan
rasa syukurnya dengan cara mabuk-mabukkan, pesta pora, pergi ke
tempat-tempat maksiyat, bernyanyi-nyanyi hingga melupakan kewajibannya,
dan seterusnya. Adapula yang merefleksikan rasa syukurnya dengan cara
menyediakan sesaji dan persembahan kepada pohon dan tempat-tempat
keramat. Refleksi syukur seperti ini jelas-jelas bertentangan dengan
prinsip Islam.
Untuk itu, para ulama telah menggariskan tata cara bersyukur yang benar. Imam Ibnu Katsir
menyatakan bahwa syukur harus direfleksikan dengan cara beribadah dan
memupuk ketaatan kepada Allah swt dan meninggalkan maksiyat. Pendapat
senada juga dikemukakan oleh Imam ‘Ali Al-Shabuni.
Ibadah
dan taat kepada Allah swt serta meninggalkan larangan-larangan Allah
merupakan perwujudan rasa syukur yang sebenarnya. Seorang yang selalu
taat kepada Allah swt, menjalani seluruh aturan-aturanNya dan sunnah
Nabinya pada hakekatnya ia adalah orang-orang yang senantiasa bersyukur
kepada Allah swt. Sebaliknya, setiap orang yang menampik dan menolak
dengan keras syari’at Islam, tunduk dan patuh kepada aturan-aturan
kufur, termasuk orang-orang yang ingkar terhadap nikmat yang diberikan
Allah kepada mereka.
Allah
swt telah menyatakan dengan sangat jelas bahwa, orang-orang yang mau
bersyukur atas nikmat yang diberikanNya sangatlah sedikit. Kebanyakan
manusia ingkar terhadap nikmat yang diberikan Allah kepada mereka. Allah
swt berfirman, artinya:
“Sesungguhnya
Allah benar-benar mempunyai karunia yang dilimpahkan atas umat manusia,
akan tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukurinya.” [Yunus:60]
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman
mereka sedangkan mereka beribu-ribu jumlahnya karena takut mati; maka
Allah berfirman kepada mereka, ”Matilah kamu, kemudian Allah
menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap
manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” [al-Baqarah:243]
Ayat-ayat
di atas menunjukkan dengan jelas bahwa, kebanyakan manusia tidak mau
bersyukur atas nikmat yang telah diberikan kepada mereka. Tatkala
mendapatkan kenikmatan mereka sering melupakan Allah swt. Akan tetapi,
tatkala mendapatkan kesusahan mereka mereka ingat dan bersyukur kepada
Allah. Namun, setelah terlepas dari penderitaan mereka kembali ingkar
kepada Allah swt. Allah telah menyatakan dengan sangat jelas, artinya:
“Katakanlah:
“Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di
laut yang kamu berdo’a kepadaNya dengan berendah diri dengan suara yang
lembut (dengan mengetakan): ”Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami
dari bencana ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.”
Katakanlah: ”Allah menyelamatkan kamu daripada bencana itu dan dari
segala macam kesusahan, kemudian kamu kembali mempersekutukanNya.”
[al-An’aam:63-64]
Ketika
manusia ditimpa dengan berbagai macam kesusahan mereka segara berdoa
dan berjanji untuk bersyukur kepada Allah jika bencana itu dilepaskan
dari mereka. Akan tetapi, ketika Allah menghindarkan mereka dari bencana
mereka lupa bersyukur bahkan kembali mempersekutukan Allah swt. Betapa
banyak orang menangis, meratap dan merengek-rengek meminta kepada Allah
swt agar dihindarkan dari kesusahan hidup; mulai kelaparan, kekeringan,
bencana alam dan lain-lain. Mereka rela berpayah-payah memohon kepada
Allah dengan penuh keikhlasan dan kerendahan hati. Akan tetapi, ketika
Allah menghindarkan mereka dari kesusahan mereka kembali menerapkan
aturan-aturan kufur, bahkan menandingi aturan-aturan Allah swt. Bukankah
hal ini termasuk telah menyekutukan Allah swt? Bukankah refleksi
syukur sebenarnya harus diwujudkan dalam bentuk menerapkan syari’at
Islam dan selalu berdzikir kepada Allah swt?
Kewajiban Bersyukur Mensyukuri Nikmat - Dari buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar