Hal-Hal yang Boleh Diambil Kaum Muslim Dari Kaum Kafir
Sebelum kami menjelaskan pertentangan demokrasi dengan Islam dan
menerangkan hukum syara' dalam pengambilan demokrasi, kami ingin
mengupas tentang hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh diambil kaum
muslimin dari umat dan bangsa lain. Serta tentang hal-hal yang haram
diambil oleh kaum muslimin, sesuai dengan nash-nash dan hukum-hukum
syara'. Penjelasan kami sebagai berikut :
- Sesungguhnya seluruh perbuatan manusia, dan seluruh benda-benda yang digunakannya dan atau berhubungan dengan perbuatan manusia, hukum asalnya adalah mengikuti Rasulullah SAW dan terikat dengan hukum-hukum risalah beliau. Keumuman ayat-ayat hukum menunjukkan bahwa dalam masalah-masalah tersebut wajib hukumnya merujuk kepada syara' dan terikat dengan hukum-hukum syara'. Allah SWT berfirman :
وَ مَا آتَاكُمُ الرَسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْا
"Apa-apa
yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada-mu maka
terimalah/laksankanlah, dan apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah." (Al-Hasyr 7)
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus terhadap perkara yang
mereka perselisihkan,..." (An-Nisaa' 65)
وَ مَا اخْتَلَفْتُمْ فِيْهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ
"Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-Syuura 10)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ
"Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul(Nya) (Sunnahnya)." (An-Nisaa' 59)
Bersabda Rasulullah SAW:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Muslim)
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang mengada-adakan — dalam urusan (agama) kami ini — sesuatu yang tidak berasal darinya, maka hal itu tertolak." (HR. Bukhari)
Dalil-dalil
ini menunjukkan bahwa mengikuti hukum syara' dan terikat dengannya
adalah wajib. Baik yang berkaitan dengan perbuatan manusia maupun
benda-benda yang digunakannya. Dengan demikian, seorang muslim tidak
boleh melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan, kecuali setelah
mengetahui hukum Allah untuk perbuatan itu. Ia harus tahu apakah suatu
perbuatan hukumnya wajib atau mandub sehingga dia dapat melakukannya; ataukah hukumnya haram atau makruh sehingga dia harus meninggalkannya, ataukah mubah
sehingga dia berhak memilih untuk melakukan perbuatan itu atau
meninggalkannya. Atas dasar inilah, maka untuk perbuatan manusia berlaku
kaidah bahwa hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah.
Adapun benda-benda yang berhubungan dengan perbuatan manusia, maka hukum asalnya adalah mubah, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya. Jadi hukum asal benda adalah mubah. Benda tidak diharamkan kecuali jika terdapat dalil syar'i yang menunjukkan keharamannya.
Prinsip
ini didasarkan pada nash-nash syara' yang telah membolehkan manusia
untuk memanfaatkan semua benda yang ada (di alam sekitarnya), sesuai
nash-nash umum dalam masalah ini yang meliputi semua benda.
Allah SWT berfirman :
أَ لَمْ تَرَوا أَنَّ اللهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السّمَوَاتِ وَ مَا فِي الأَرضِ
"Tidakkah
kalian perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk kalian apa
saja yang ada di langit dan apa yang ada di bumi." (Luqman 20)
Arti menundukkan seluruh apa yang ada di langit dan bumi untuk manusia,
adalah bahwasanya Allah SWT telah membolehkan semua yang ada di
dalamnya untuk dimanfaatkan oleh manusia. Allah SWT berfirman pula:
هُوَ الّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
"Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untuk kalian." (Al-Baqarah 29)
يَا أَيُّهَا النَّاس كُلُوا مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّبًا
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (tidak menjijikkan) dari apa yang terdapat di bumi." (Al Baqarah 168)
هُوَ الَّذي جَعَلَ لَكُمْ الأَرضَ ذَلُولاً فَامْشُـوا
فِي مَنَاكِبِهَـا وَ كُلُوا مِنْ رِزْقِهِ
"Dialah
(Allah) yang menjadikan bumi itu mudah bagi kalian, maka berjalanlah di
segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya" (Al-Mulk 15)
Demikianlah.
Semua ayat yang telah membolehkan segala sesuatu itu bersifat umum dan
keumumannya ini menunjukkan hukum bolehnya memanfaatkan segala sesuatu
yang ada. Dengan kata lain, hukum bolehnya memanfaatkan semua benda
telah ditunjukkan oleh khithab (seruan) Asy-Syari'
(Allah SWT) yang bersifat umum. Maka jika suatu benda diharamkan,
berarti harus ada nash syara' yang mengkhususkan keumuman nash tersebut,
serta menunjukkan pengecualian benda tersebut dari hukum mubah yang bersifat umum. Misalnya firman Allah SWT :
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمْ المَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الخِنْزِيرِ وَ مَا أُهِلَّ
لِغَيْرِ اللهِ بِهِ وَ الْمُنْخَنِقَةُ وَ المَوْقُوذَةُ وَ
المُتَرَدِّيَةُ وَ النَّطِيحَةُ وَ مَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاّ مَا
ذَكَّيْتُم وَ مَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ .
"Diharamkan
bagi kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang
jatuh, yang ditanduk dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kalian menyembelihnya, dan (diharamkan bagi kalian) yang
disembelih untuk berhala..." (Al-Maaidah 3)
Dari dalil-dalil tersebut, maka hukum asal terhadap benda-benda yang digunakan manusia, adalah mubah.
- Hukum-hukum Syari'at Islam secara sempurna telah meliputi seluruh fakta yang telah ada, problem yang sedang terjadi, dan kejadian yang mungkin akan ada pada masa mendatang. Tidak ada sesuatu pun yang terjadi, baik pada masa lalu, saat ini, maupun masa depan, kecuali ada hukumnya dalam Syari'at Islam. Jadi, Syari'at Islam telah menjangkau semua perbuatan manusia secara sempurna dan menyeluruh.
Allah SWT berfirman :
وَ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَ هُدًى
وَ رَحْمَةً وَ بُشْرَى لِلمُسْلِمِيْنَ
"Dan
Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan sebagai petunjuk serta rahmat dan pemberi kabar gembira bagi
orang-orang Islam." (An-Nahl 89)
مَا فَرَّطْنَا فِيْ الكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ
"Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam Al Kitab (Al-Quran)." (Al-An'aam 38)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَ أَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَ رَضِيْتُ لَكُمُ الإِسلاَمَ دِينًا
"Pada
hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah
Kucukupkan kepada kalian ni'mat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu menjadi
agama bagi kalian." (Al-Maaidah 3)
Walhasil,
Syari'at Islam tidak pernah melalaikan satu pun perbuatan manusia.
Bagaimana pun juga perbuatan itu, Syari'at Islam pasti akan menetapkan
dalil untuk suatu perbuatan melalui nash Al-Quran dan Al-Hadits, atau dengan menetapkan tanda (amaarah)
dalam Al-Quran dan Al-Hadits yang menunjukkan maksud dari tanda
tersebut atau menunjukkan alasan penetapan hukumnya, sehingga hukum yang
ada dapat diterapkan pada setiap objek hukum yang mengandung tanda atau
alasan tersebut.
Jadi,
secara syar'i tidak mungkin ada perbuatan manusia yang tidak dijelaskan
oleh dalil, atau tanda yang menunjukkan status hukumnya. Ini
berdasarkan keumuman firman Allah SWT:
تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
"untuk menjelaskan segala sesuatu" (An Nahl 89).
Juga berdasarkan nash yang tegas bahwa Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam ini (Al-Maaidah 3).
- Berdasarkan dua poin penjelasan sebelumnya, jelaslah mana saja hal-hal yang boleh diambil kaum muslimin — dari apa yang dimiliki oleh umat dan bangsa lain — dan mana saja yang tidak boleh mereka ambil.
Seluruh
ide yang berhubungan dengan sains, teknologi, penemuan-penemuan ilmiah,
dan yang semisalnya, serta segala macam bentuk benda/alat/ bangunan
yang bercorak kekotaan dan terlahir dari kemajuan sains dan teknologi,
boleh diambil oleh kaum muslimin. Kecuali jika terdapat aspek-aspek
tertentu yang menyalahi ajaran Islam, maka kaum muslimin haram untuk
mengambilnya.
Ini
dikarenakan semua pemikiran yang berkaitan dengan sains dan teknologi
tidaklah berhubungan dengan Aqidah Islamiyah dan hukum-hukum syara' yang
berkedudukan sebagai solusi terhadap problematika manusia dalam
kehidupan, melainkan dapat dikategorikan ke dalam sesuatu yang mubah, yang dapat dimanfaatkan manusia dalam berbagai urusan hidupnya.
Dalil
untuk ketentuan tersebut adalah ayat-ayat yang bersifat umum yang
menerangkan bolehnya memanfaatkan seluruh benda-benda yang ada di alam
semesta bagi kepentingan manusia. Juga berdasarkan hadits Nabi Muhammad
SAW :
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ ، إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أَمْرِ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ،
وَ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيءٍ مِنْ أُمُوْرِ دُنْيَاكُمْ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ
"Sesungguhnya
aku ini manusia biasa seperti kalian. Jika aku perintahkan kepada
kalian mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan agama kalian,
maka laksanakanlah perintah itu. Tapi jika aku perintahkan kalian
mengenai sesuatu hal yang termasuk dalam urusan dunia kalian, maka
ketahuilah aku ini hanyalah manusia biasa." (HR. Muslim).
Juga berdasarkan hadits Nabi SAW tentang penyer-bukan korma sebagaimana sabdanya :
أَنْتُمْ أَدْرَى بِشُئُوونِ دُنْيَاكُمْ
"Kalian lebih mengetahui urusan-urusan dunia kalian." (HR. Muslim)
Juga
berdasarkan tindakan Nabi SAW tatkala mengutus beberapa shahabatnya ke
suatu daerah di Yaman untuk mempelajari pembuatan senjata perang.
Atas dasar inilah, maka setiap perkara yang tidak termasuk masalah
aqidah atau hukum syara', boleh untuk diambil selama tidak menyalahi
ajaran Islam dan sepanjang tidak terdapat dalil khusus yang
mengharamkannya.
Berdasarkan
uraian di atas, kaum muslimin dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu yang
berhubungan dengan kedokteran, teknik, matematika, astronomi, kimia,
fisika, pertanian, industri, transportasi, ilmu kelautan, geografi, ilmu
ekonomi — yang membahas aspek produksi, peningkatan kualitasnya, serta
pengadaan sarana-sarana produksi dan peningkatan kualitasnya. Sebab,
ilmu ini bersifat universal dan tidak dikhususkan untuk umat penganut
Islam, kapitalisme atau sosialisme, dan semua ilmu tersebut boleh
diambil selama tidak menyalahi ajaran Islam.
Maka dari itu, Teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah keturunan kera, tidak boleh diambil karena teori ini bertentangan dengan firman Allah SWT :
خَلَقَ الإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالفَخَّارِ
"Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar." (Ar-Rahmaan 14)
وَ بَدَأَ خَلْقَ الإِنْسَانِ مِنْ طِيْنٍ ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلاَلَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِيْنٍ
"(Dialah
Tuhan) yang memulai penciptaan manusia dari tanah, kemudian Dia
menjadikan keturunannya dari sari air yang hina (mani)." (As-Sajdah 7)
وَ مِنْ أَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ طُرَابٍ
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah." (Ar-Ruum 20)
Sebagaimana dibolehkan mengambil semua ilmu-ilmu seperti yang kami
sebutkan di atas, kaum muslimin dibolehkan pula mengambil benda apa saja
yang dihasilkannya seperti produk-produk industri, alat-alat,
mesin-mesin, dan berbagai bentuk benda yang bercorak kekotaan dan
berhubungan dengan sivilisasi. Maka dari itu dibolehkan mengambil
pabrik-pabrik industri dalam segala jenisnya dan segala jenis produknya.
Dikecualikan di sini pabrik-pabrik yang memproduksi patung, minuman
keras, dan salib, karena terdapat nash yang mengharamkannya.
Produk-produk industri boleh diambil baik yang berupa benda kemiliteran
maupun bukan, baik industri berat — seperti tank, pesawat tempur, peluru
kendali, satelit, bom atom, bom hidrogen, bom elektronik, bom kimia,
traktor, truk, kereta api, kapal api — maupun industri ringan seperti
industri konsumtif, senjata-senjata ringan, alat-alat laboratorium,
alat-alat kedokteran, alat-alat pertanian, furniture, karpet, dan
barang-barang konsumtif.
Semua yang telah disebutkan di atas boleh diambil sebab semuanya termasuk dalam kategori benda-benda yang mubah, dan dalam hal ini terdapat dalil umum yang menunjukkan ke-mubahannya. Tindakan mengambilnya adalah berstatus mengamalkan hukum syara', yaitu mubah, dan juga dalam rangka mengikuti syari'at Rasulullah SAW sebab semua itu termasuk mubah, sedang mubah merupakan salah satu hukum taklif (legal capacity) yang lima, yaitu: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah.
- Adapun ide-ide yang berkaitan dengan aqidah dan hukum-hukum syara', serta ide-ide yang yang berhubungan dengan peradaban/kultur Islam, pandangan hidup Islam, dan hukum-hukum yang menjadi solusi bagi seluruh problema manusia, maka semua ide ini wajib disesuaikan dengan ketentuan syara', dan tidak boleh diambil dari manapun kecuali hanya dari Syari'at Islam saja. Artinya, hanya diambil dari wahyu yang terkandung dalam Kitabullah, Sunah Rasul-Nya, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma' Sahabat dan Qiyas, serta sama sekali tidak boleh diambil dari selain sumber-sumber tersebut. Dalil syar'i untuk ketentuan di atas adalah sebagai berikut:
a.
Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mengambil apa
saja yang dibawa oleh Rasul SAW kepada kita dan meninggalkan apa saja
yang dilarang oleh beliau. Allah SWT berfirman :
وَ مَا آتَاكُم الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
"Apa
saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian maka
terimalah/laksanakanlah dia, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka
tinggalkanlah." (Al-Hasyr 7)
Kata “مَا” (apa
saja) dalam ayat di atas termasuk bentuk kata yang bersifat umum, yang
berarti ayat itu mewajibkan kita mengambil semua hukum yang dibawa Nabi
untuk kita, dan menjauhi semua yang dilarang beliau bagi kita. Mafhum mukhalafah
(penentuan lawan hukum) dari ayat itu adalah bahwa kita tidak boleh
mengambil hukum dari selain hukum yang dibawa Nabi untuk kita.
b. Sesungguhnya Allah SWT telah memerintahkan kaum muslimin untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الذِينَ آمَنُوا أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ
"Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (-Nya) dan
ulil amri (penguasa muslim yang menjalankan Syari'at Islam) di antara
kamu." (An-Nisaa' 59)
Mentaati
Allah dan Rasul-Nya tidak mungkin terwujud kecuali dengan mengamalkan
dan mengambil hukum-hukum syara' yang telah diturunkan Allah kepada
Rasul-Nya.
c.
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kaum muslimin untuk berpegang
teguh dengan apa yang telah diputuskan Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana
Dia telah memerintahkan mereka untuk kembali (merujuk) kepada hukum Allah dan hukum Rasul-Nya ketika terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat. Allah SWT berfirman :
وَ مَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُوْنَ لَهُمْ الخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
"Dan
tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka." (Al-Ahzab 36)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوه إلَى اللهِ وَ الرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَ الْيَوْمَ الآخِرِ
"Kemudian
jika kalian (rakyat dan penguasa) berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya), jika
kalian memang benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir." (An-Nisaa' 59)
d.
Allah SWT telah memerintahkan Rasul-Nya yang mulia untuk memberikan
keputusan berdasarkan hukum yang telah diturunkan Allah, dan
mem-peringatkan beliau agar waspada supaya tidak menyimpang sedikit pun
dari hukum Allah SWT. Allah SWT berfirman :
وَ
أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الكِتَابَ بِالحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ
يَدَيْهِ مِنَ الكِتَابِ وَ مُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَ لاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَ احْذَرْهُمْ أَنْ
يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ
مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
"Dan
kami telah turunkan kepadamu Al-Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan sebagai penghapus kitab-kitab tersebut; maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu." (Al-Maaidah 48)
e. Sesungguhnya Allah SWT telah melarang kaum muslimin untuk mengambil hukum dari selain Syari'at Islam. Allah SWT berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang
mereka perselisihkan." (An-Nisaa' 65)
فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 63)
يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أمِرُوا
أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ
"Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari (kufur terhadap) thaghut itu." (An-Nisaa' 60)
Selain itu Rasulullah SAW telah bersabda :
كُلُّ عَمَلٍ لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Setiap perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Muslim)
Nash-nash syara' di atas menunjukkan dengan jelas mengenai kewajiban
untuk terikat dengan seluruh hukum yang dibawa Rasul SAW untuk kita.
Maka kita tidak boleh menghalalkan sesuatu kecuali apa yang telah
dihalalkan Allah, dan tidak boleh mengharamkan sesuatu kecuali apa yang
telah diharamkan Allah. Begitu pula apa yang tidak dibawa Rasul untuk
kita, kita tidak boleh mengambil-nya, dan apa yang tidak beliau haramkan
atas kita, kita tidak boleh mengharamkannya.
Jika kata “مَا” (apa saja) dalam firman-Nya :
وَ مَا آتَاكُمْ
"Apa saja yang diberikan/diperintahkan Rasul kepada kalian."
وَ مَا نَهـَاكُمْ
“dan apa saja yang dilarangnya bagi kalian."
dikaitkan dengan firman Allah SWT:
فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 63)
Maka,
akan nampak sangat jelas adanya kewajiban untuk mengambil apa yang
dibawa Rasul saja, dan bahwa mengambil (hukum) dari selain Rasul adalah
dosa yang pelakunya akan mendapatkan azab yang pedih. Bahkan Allah SWT
tidak mengakui keimanan dari orang yang berhakim kepada selain Rasul
dalam perbuatan-perbuatannya. Allah SWT berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim (pemutus) terhadap perkara yang
mereka perselisihkan." (An-Nisaa' 65)
Hal
ini menunjukkan secara tegas mengenai pembatasan berhakim hanya pada
apa yang dibawa Rasul saja, apalagi Allah SWT telah memperingatkan
Rasul-Nya untuk waspada supaya tidak dipalingkan manusia dari sebagian
apa yang diturunkan Allah kepadanya. Allah SWT berfirman :
وَ احْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلَيْكَ
"Dan
berhati-hatilah kamu terhadap mereka (ahli kitab), supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang diturunkan Allah kepadamu." (Al-Maaidah 49)
Di
samping itu, Al-Quran telah mencela orang-orang yang hendak berhakim
kepada hukum yang tidak dibawa Rasul, yakni hendak kepada hukum-hukum
kufur. Allah SWT berfirman:
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ
الشَيْطَانُ
أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَعِيْدًا
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan
sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut (hukum dan
undang-undang kufur), padahal mereka telah diperintah mengingkari
thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan)
penyesatan yang sejauh-jauhnya." (An-Nisaa' 60)
Hal
ini menunjukkan bahwa berhakim kepada hukum yang tidak dibawa Rasul
adalah suatu kesesatan, sebab tindakan ini berarti berhakim kepada
thaghut, yakni kekufuran. Padahal Allah SWT telah memerintahkan kaum
muslimin untuk mengingkari thaghut itu.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka kaum muslimin tidak boleh
mengambil peradaban/ kultur Barat, beserta segala peraturan dan
undang-undang yang terlahir darinya. Sebab, peradaban tersebut
bertentangan dengan peradaban Islam. Kecuali peraturan dan undang-undang
administratif yang bersifat mubah dan boleh diambil, sebagaimana Umar bin Khaththab telah mengambil peraturan administrasi perkantoran dari Persia dan Romawi.
Peradaban Barat berdiri di atas aqidah pemisahan agama dari kehidupan, serta pemisahan agama dari negara.
Sementara peradaban Islam berlandaskan pada Aqidah Islamiyah, yang
telah mewajibkan pelaksanaan kehidupan bernegara berdasarkan perintah
dan larangan Allah, yakni hukum-hukum syara'.
Peradaban Barat berdiri di atas asas manfaat (oportunity),
dan menjadikannya sebagai tolok ukur bagi seluruh perbuatan. Dengan
demikian, peradaban Barat adalah peradaban yang hanya mempertimbangkan
nilai manfaat saja, serta tidak memperhitungkan nilai apa pun selain
nilai manfaat yang bersifat materialistik. Karena itu, dalam peradaban
Barat tidak akan dijumpai nilai kerohanian, nilai akhlak, dan nilai
kemanusiaan.
Sementara itu peradaban Islam berdiri di atas landasan rohani
(spiritual), yakni iman kepada Allah, dan menjadikan prinsip halal-haram
sebagai tolok ukur seluruh perbuatan manusia dalam kehidupan, serta
mengendalikan seluruh aktivitas dan nilai berdasarkan perintah dan
larangan Allah.
Peradaban Barat menganggap kebahagiaan adalah memberikan kenikmatan
jasmani yang sebesar-besarnya kepada manusia dan segala sarana untuk
memperolehnya.
Sementara itu peradaban Islam menganggap kebahagiaan adalah diraihnya ridha Allah SWT. Peradaban tersebut mengatur pemenuhan kebutuhan naluri dan jasmani manusia berdasarkan hukum-hukum syara'.
Atas dasar itulah, maka kaum muslimin tidak boleh mengambil sistem
pemerintahan demokrasi, sistem ekonomi kapitalisme, dan sistem kebebasan
individu yang ada di negara-negara Barat. Dengan demikian, kaum
muslimin tidak boleh mengambil konstitusi dan undang-undang demokrasi,
sistem pemerintahan kerajaan dan republik, bank-bank ribawi, dan sistem
bursa dan pasar uang internasional. Kaum muslimin tidak boleh mengambil
semua peraturan ini karena semuanya merupakan peraturan dan
undang-undang kufur yang sangat bertentangan dengan hukum dan peraturan
Islam.
Sebagaimana tidak boleh mengambil peradaban Barat beserta segenap ide
dan peraturan yang terlahir darinya, maka kaum muslimin juga tidak boleh
mengambil peradaban/kultur komunisme. Sebab, peradaban ini juga
bertentangan dengan peradaban Islam secara menyeluruh.
Peradaban komunisme berdiri di atas suatu aqidah yaitu bahwa tidak ada
pencipta terhadap alam semesta ini, dan bahwa materilah yang menjadi
asal usul segala benda. Seluruh benda di alam semesta ini dianggapnya
berasal dari materi melalui jalan evolusi materi.
Sedangkan peradaban Islam berdiri di atas prinsip bahwa Allah sajalah
yang menjadi pencipta alam semesta ini, dan bahwa seluruh benda yang ada
di alam semesta merupakan makhluk Allah SWT. Allah telah mengutus para
nabi dan rasul dengan membawa agama-Nya kepada umat manusia dan
mewajibkan mereka untuk mengikuti perintah dan larangan-Nya yang telah
diturunkan kepada mereka.
Peradaban komunisme menganggap bahwa peraturan hanya diambil dari alat-alat produksi. Masyarakat feodal menggunakan
kapak sebagai alat produksinya, maka dari alat tersebut diambil
peraturan feodalisme. Dan jika masyarakat itu berkembang menjadi
masyarakat kapitalisme, maka mesin menjadi alat produksi, dan dari alat
ini diambil peraturan kapitalisme. Jadi peraturan komunisme diambil dari
evolusi materi.
Sedangkan peradaban Islam, menganggap bahwa Allah SWT telah menetapkan
suatu peraturan bagi manusia untuk dilaksanakan dalam hidupnya, dan
mengutus Sayyidina Muhammad SAW untuk membawa peraturan ini, dan Rasul
telah menyampaikan peraturan tersebut kepada manusia, dan mewajibkan
mereka untuk melaksanakannya.
Peradaban komunisme memandang bahwa peraturan materi adalah tolok ukur
dalam kehidupan. Dengan berkembangnya peraturan materi tersebut, maka
berkembanglah tolok ukur dalam kehidupan.
Sementara itu peradaban Islam memandang halal-haram — yakni perintah
dan larangan Allah — sebagai tolok ukur perbuatan dalam kehidupan. Yang
halal dikerjakan, dan yang haram ditinggalkan. Dan bahwasanya
hukum-hukum ini tidak akan berevolusi dan atau berubah. Prinsip
halal-haram ini juga tidak akan ditetapkan berdasarkan asas manfaat
ataupun materialisme, malinkan ditetapkan atas dasar syara’ semata. Dari
sinilah jelas terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara peradaban
komunisme dan peradaban Islam. Dengan demikian, kaum muslimin tidak
boleh mengambil peradaban komunisme beserta segala ide dan peraturan
yang berasal darinya.
Karenanya, kaum muslimin tidak boleh mengambil ide evolusi materi, ide
penghapusan kepemilikan individu, penghapusan kepemilikian pabrik dan
alat produksi, dan penghapusan kepemilikan tanah bagi individu. Begitu
pula kaum muslimin tidak boleh mengambil ide mempertuhankan manusia, ide
menyembah manusia, dan seluruh ide atau peraturan dari peradaban yang
atheistik ini. Sebab, semuanya adalah ide dan peraturan kufur yang
bertentangan dengan Aqidah Islam serta ide-ide dan hukum-hukum Islam.
Hal-Hal yang Boleh Diambil Kaum Muslim Dari Kaum Kafir
Dari Buku: DEMOKRASI : SISTEM KUFUR
HARAM Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya
ABDUL QADIM ZALLUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar