Pengertian Murtad Definisi Riddah Dan Hukuman Murtad
muslim mali dibantai tentara kafir perancis |
MURTAD
DEFINISI RIDDAH DAN HUKUMNYA
Riddah dan irtidad menurut al-Raghib, adalah , “al-ruju’ fi al-thariq al-ladziy jaa minhu” [kembali ke jalan di mana ia datang]. Akan tetapi lafadz riddah khusus untuk kekafiran, sedangkan kata irtidad mencakup kekafiran maupun yang lain. [Imam Syaukani, Nail al-Authar, Kitab al-Riddah]. Kedua lafadz itu disebutkan dalam al-Quran. Allah swt berfirman, artinya,
“Sesungguhnya
orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah
petunjuk itu jelas bagi mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah
(berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.” [47:25]
“Hai
orang-orang yang beriman barangsiapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka, dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap
orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan tidak takut kepada
celaan orang-orang yang suka mencela.” [5:54]
“Mereka
tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat mengembalikan
kamu dari agamamu (kepada kekafiran) jika mereka sanggup.” [2:217]
“Musa berkata, “Itulah tempat yang kami cari.” Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semua semula.” [18:64]. Dan lain-lain.
Hukum bagi orang yang murtad adalah dibunuh, sebagaimana sabda Rasulullah saw, artinya,
“Barangsiapa mengganti agamanya [murtad] maka bunuhlah dia” [HR.Jama’ah, kecuali Imam Muslim, sedangkan menurut riwayat Imam Ibnu Majah tidak seperti lafadz di atas].
“Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Tidaklah
halal darah seorang muslim, kecuali ia menjalankan salah satu dari tiga
hal ini, yaitu (1) kafir setelah beriman; (2) berbuat zina setelah
menjadi orang muhshan, (3) membunuh orang yang terjaga darahnya.”
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan, “Allah dan RasulNya telah menetapkan bahwa orang yang murtad dari agamanya maka ia harus dibunuh.”
Abu Dawud meriwayatkan, “Abu Musa
datang bersama seorang laki-laki yang telah murtad. Kemudian Abu Musa
menasehatinya selama 20 malam. Datanglah Mu’adz bin Jabal, kemudian
menasehatinya, lelaki itu menolak. Kemudian dipenggallah leher lelaki
itu.”
Dalam sebuah riwayat dinyatakan, bahwa ‘Ali bin Abi Thalib pernah membakar orang-orang yang zindiq. Dari ‘Ikrimah, berkata, “Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib mendapatkan orang-orang zindiq itu, lalu beliau ra. membakar orang itu. Hal ini sampai ke Ibnu ‘Abbas, lalu Ibnu ‘Abbas berkata,
“Seandainya aku, maka aku tidak akan membakar mereka, sebab, Rasulullah
saw telah melarang. Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kalian
menghukum [seseorang] dengan hukuman Allah [membakar].”
Hadits
ini menunjukkan dengan jelas bahwa hukuman bagi orang-orang yang murtad
adalah dibunuh, bukan dibakar. Sebab, ada larangan dari Rasulullah saw
untuk mengadzab seseorang dengan ‘adzabnya Allah, yakni dibakar. Selain
itu, keumuman hadits, ”Barangsiapa murtad maka bunuhlah ia”, menunjukkan bahwa hukum murtad adalah dibunuh. Sedangkan apa yang diperbuat oleh ‘Ali ra tidak
bisa digunakan argumentasi, sebab bisa jadi ia belum mengetahui ada
riwayat yang melarang mengadzab seseorang dengan ‘adzabnya Allah
[membakar], sebagaimana yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abbas.
Selain itu ada riwayat yang dikeluarkan Abu Dawud, dari haditsnya Ibnu Mas’ud dengan lafadz, “Sesungguhnya tidak boleh mengadzab dengan api, kecuali Rabb-nya api (Allah).” Imam Bukhari juga meriwayatkan dari haditsnya Abu Hurairah, “Sesungguhnya tidak mengadzab dengan api, kecuali Allah.” [Imam Bukhari dalam bab Jihad].
Sebagian ‘ulama juga berselisih pendapat mengenai hukum bunuh atas wanita yang murtad. Al-Hafidz dalam Fath al-Baariy berkata bahwa para ‘ulama berargumentasi dengan hadits, “Barangsiapa murtad maka bunuhlah ia” [HR.Jama’ah]. Huruf “man”
di sini berlaku umum untuk laki-laki maupun wanita (murtadah). Kecuali
Abu Hanifah, ia tetap berpegang teguh kepada hadits tentang larangan
membunuh murtadah. ‘Ulama Hanafiah juga berargumen bahwa “man syarthiyyah” tidak mencakup bagi mu’annats. Namun, jumhur membawa makna hadits-hadits yang menunjukkan larangan membunuh murtadah,
kepada larangan membunuh wanita kafir di peperangan. Adapun sebab
mengapa Rasulullah saw melarang membunuh wanita, dikarenakan beliau
pernah melihat seorang wanita dibunuh, hingga kemudian beliau melarang
membunuh wanita. Beliau saw bersabda, “Bukanlah semestinya perempuan ini diperangi!” Bukan
bermakna tidak boleh membunuh wanita yang murtad. Dengan demikian,
pendapat Abu Hanifah adalah pendapat lemah dan harus ditinggalkan.
Selain
itu al-Hafidz Ibnu Hajar, menjelaskan bahwa ada hadits dengan sanad
hasan, yang menunjukkan bahwa seorang wanita yang murtad juga harus
dibunuh. Bahwa Rasulullah saw ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau
berpesan, “Setiap
lelaki yang bertindak murtad, maka panggillah ia! Bila ia menolak untuk
kembali ke dalam Islam, maka penggallah lehernya! Begitu pula setiap
perempuan yang bertindak murtad, maka panggillah ia! Bila ia menolak
untuk kembali lagi ke dalam Islam, maka penggallah lehernya!”.
Juga ada hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthniy dan Baihaqiy dari Jabir, “Bahwa
Ummu Marwan murtad, kemudian Rasulullah memerintahkan para shahabat
untuk menasehatinya agar masuk Islam kembali, jika ia bertaubat [maka
diampuni], jika tidak maka ia dibunuh.”
Pada
masa kekhalifahannya Abu Bakar al-Shiddiq pernah membunuh seorang
wanita yang murtad, dan para shahabat mendiamkannya. Selain itu, jumhur
‘Ulama juga berpendapat dengan suatu kenyataan bahwa wanita juga
mendapatkan hak sama dalam masalah hudud, sebagaimana laki-laki; seperti
zina, minum khamar, mencuri, dan lain-lain.[lihat Imam Syaukani, Nail al-Authar, Kitab al-Riddah].
Dari
hadits di atas juga dapat disimpulkan bahwa dalam kasus riddah (murtad)
ada pengampunan jika ia mau kembali kepada Islam. Taubatnya diterima
selama ia tidak mengulang-ulang kemurtadannya. Namun jika ia murtad
kembali setelah bertaubat, maka jika ia bertaubat lagi maka taubatnya
tidak diterima. Ini didasarkan pada firman Allah swt,
“Sesungguhnya
orang-orang yang beriman kemudian kafir, kemudian beriman, kemudian
kafir, kemudian semakin bertambah kekafirannya, maka Allah tidak akan
mengampuni mereka dan memberi petunjuk jalan kepada mereka.” [4:137]
Sebagian
‘ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa bila seorang kafir berpindah ke
agama kafir lainnya, maka ia harus dibunuh. Mereka berargumen dengan
hadits riwayat Jama’ah, “Barangsiapa murtad maka bunuhlah ia.” Al-Syaukani,
menjawab pendapat ini dengan menyatakan, bahwa hadits ini secara dzahir
tidak berlaku bagi orang kafir masuk Islam [pindah dari kekafiran
menuju Islam]. Maka yang dimaksud “agama” di dalam hadits tersebut adalah agama Islam. Sebab, agama yang hakiki [benar], adalah agama Islam. Sebagaimana firman Allah, “Sesungguhnya agama yang diridhoi di sisi Allah adalah agama Islam” [Ali Imron:19].
Selain
itu, bahwa agama kufur pada hakekatnya adalah sama. Atas dasar itu,
jika seseorang berpindah dari agama kufur menuju agama kufur lainnya,
maka pada hakekatnya ia tetap dalam kekafiran. Allah swt berfirman, “Barangsiapa mencari agama selain Islam, sebagai agama, maka ia tidak akan pernah diterima.” [Ali Imron:85]. Selain itu ada hadits-hadits yang diriwayatkan dari berbagai jalan menunjukkan pengertian seperti di atas. Imam Thabaraniy mengeluarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas, artinya, ”Barangsiapa murtad dari agamanya, yakni agama Islam, maka penggallah lehernya.”
KAPAN SESEORANG DIANGGAP KAFIR/MURTAD
Menurut
Dr. ‘Abdurrahman al-Maliki, seorang muslim bisa jatuh kafir dengan
empat indikasi berikut ini, (1) dengan keyakinan [i’tiqad], (2) dengan
keraguan [syak], (3) dengan perkataan [al-qaul], (4) perbuatan.
Pertama,
dengan keyakinan. Ini bisa dilihat dari dua sisi; (a) meyakini dengan
pasti sesuatu yang berlawanan dengan apa yang diperintah, atau yang
dilarang. Semisal meyakini, bahwa Allah memiliki sekutu. Meyakini bahwa
al-Quran bukanlah Kalamullah. (b) mengingkari sesuatu yang sudah ma’lum
dalam masalah agama. Semisal mengingkari jihad, mengingkari keharaman
khamr, mengingkari hukum potong tangan, dll.
Kedua, keraguan
dalam ber’aqidah, dan semua hal yang dalilnya qath’iy. Misalnya, ragu
bahwa Allah itu satu; ragu bahwa Mohammad saw adalah Rasulullah; atau
ragu tentang sanksi jilid bagi pezina ghairu muhshon.
Ketiga,
dengan perkataan yang jelas, tidak perlu ditafsirkan atau dita’wilkan
lagi. Semisal, seseorang yang mengatakan bahwa ‘Isa adalah anak Allah,
Mohammad bukan nabi, dll. Sedangkan perkataan yang masih belum jelas,
atau masih perlu dita’wilkan maka tidak memurtadkan pengucapnya.
Keempat,
dengan perbuatan yang jelas tanpa perlu ta’wil lagi. Semisal, menyembah
berhala, melakukan misa di gereja dengan tata cara misa ala gereja,
sembahyang di Pura atau Wihara dengan ritual Hindu, dll. Sedangkan
perbuatan yang belum jelas, tidak mengkafirkan pelakunya. Seperti masuk
ke gereja, membaca Injil, dll.
Harta Orang Murtad
Seorang yang murtad sebelum ia bertaubat, maka ia adalah pemilik
hartanya, dan apa yang ia usahakan. Namun jika ia diminta kembali kepada
Islam menolak, maka ia dijatuhi sanksi bunuh; atau jika ia meninggal
setelah kemurtadannya, maka hartanya digunakan untuk melunasi
utang-utangnya, serta mengurusi jiwanya, memberi nafkah kepada isteri,
dan orang-orang yang ada di bawah tanggungjawabnya. Jika hartanya tidak
tersisa setelah itu, maka masalahnya dianggap telah berakhir. Namun jika
ada sisa, maka hartanya diserahkan kepada baitul maal. Harta mereka
disamakan dengan harta fai’. Sebab, orang yang murtad harus diajak untuk
kembali kepada Islam, namun jika ia menolak, maka ia wajib diperangi
(dibunuh). Dalam kondisi semacam ini hartanya seperti harta fai’.
Dalilnya adalah sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar
terhadap orang-orang yang murtad. Abu Bakar memerangi orang-orang yang
murtad, dan menghalalkan darah dan merampas harta mereka, disebabkan
karena kemurtadan mereka. Atas dasar itu, harta mereka bagaikan harta
ghanimah. Seluruh shahabat menyetujui tindakan ini. Artinya, apa yang
dilakukan oleh Abu Bakar ra. telah menjadi ijma’ di kalangan para
shahabat.
Pengertian Murtad Definisi Riddah Dan Hukuman Murtad – Dari Buku Bunga Rampai Pemikiran Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar