Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 03 Februari 2013

Perbedaan Sistem Demokrasi Dengan Sistem Islam

Perbedaan Sistem Demokrasi Dengan Sistem Islam



    Sekarang kami akan menjelaskan pertentangan total antara demokrasi dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya, asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya.

    Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al-haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.

    Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :

وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى

"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan." (An-Najm 3-4)

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ القَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan." (Al-Qadr 1)

    Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT, atau syara', bukannya akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami nash-nash yang berkenaan dengan hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah SWT berfirman :

إِنِ الحُكْمُ إلاَّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'aam 57)

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ اَلى اللهِ وَ الرَّسُولِ

"Kemudian jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya)." (An-Nisaa'  59)

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ
"Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-Syuuraa  10)

    Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi)  antara  para  rohaniwan Kristen — yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan tunggangan untuk mengeksploitir dan menzhalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama — dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.

    Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.

    Aqidah inilah yang menjadi landasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide demokrasi.

    Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah — yakni hukum-hukum syara' yang lahir dari Aqidah Islamiyah — dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.

    Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam.

    Mengenai ide yang melandasi demokrasi, sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok : Pertama, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan.

    Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.

    Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat.

    Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apapun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan, dan hukum apapun, menurut pertimbangan mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidentil menjadi republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi, misalnya di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan.

    Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama (animisme/paganisme), sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual, serta mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.

    Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan menggantinya dengan penguasa lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.

    Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri' (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walaupun hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadhan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengadopsian ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.

    Jika ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.

    Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam seluruh aktivitas hidup mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri'. Allah SWT berfirman :

فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan." (An-Nisaa' 65)

إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'aam 57)

أَلَمْ تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ الشَيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَعِيْدًا
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al-Quran) dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu." (An-Nisaa' 60)

    Berhakim kepada thaghut artinya berhakim kepada hukum yang tidak diturunkan Allah. Atau dengan kata lain, berhakim kepada hukum-hukum kufur yang dibuat manusia.
    Dan Allah SWT berfirman :

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (Al-Maaidah  50)

    Hukum Jahiliyah adalah hukum yang tidak dibawa Muhammad SAW dari Tuhannya. Yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia. Allah SWT berfirman juga :

فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur  63).

    Yang dimaksud menyalahi perintah Rasul — sesuatu yang harus diwaspadai itu — adalah mengikuti hukum yang dibuat manusia dan meninggalkan hukum yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Rasululah SAW bersabda :

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Muslim)

    Yang dimaksud dengan kata "amruna" (perintah kami) dalam hadits di atas adalah Islam.

    Masih ada puluhan ayat dan hadits lain dengan pengertian yang qath'i  (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', yakni bahwa Allah sajalah yang menjadi Musyarri', bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini  sesuai dengan perintah dan larangan Allah.

    Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya.

    Karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.

    Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang menetapkan adanya hak mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Dan siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai'at (kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah." (HR. Muslim)

    Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra, bahwa dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

وَ مَنْ بَايعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ،  فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعْهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ

"Siapa saja yang membai'at seorang imam (khalifah) dan memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya (bertekad janji), maka hendaklah dia mentaatinya sekuat kemampuannya. Dan jika ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah batang lehernya." (HR. Muslim)

    Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan:

بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ عَلَى السَّمْعِ وَ الطَاعَةِ فِي المَكرَهِ و المَنْشطِ
"Kami telah membai'at Nabi SAW untuk mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai."

    Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.

    Meskipun syara' telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat — yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai'at — akan tetapi syara' tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, seperti yang ada dalam sistem demokrasi.

    Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak memerintahkan maksiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
'Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah."

    Dari 'Auf bin Malik ra, dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :
...وًشِرَارُ أئِمَّتِكُمْ الذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُونَكُمْ وَ تَلْعَنُوْنَكُمْ  وَ يَلْعَنُونَكُمْ، قَال : قُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ: أَفَلاَ نُنَابِذَهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ ؟ قَال : لاَ ، مَا أقَامُوا فِيكُمْ الصَلاَةَ ، ألاَ مَنْ وَليَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرآهُ يَأتِي شَيْئًا مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ فَليَكْرَههُ مَا يَأتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ
وَ لاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

'...sejahat-jahat pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci sedang mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka sedang mereka pun melaknat kalian. 'Auf bin Malik lalu berkata, "Kami lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu?" Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, selama mereka masih mendirikan sholat di tengah-tengah kalian, kecuali bila seseorang — yang menjadi rakyat seorang penguasa — menyaksikan penguasa itu mengerjakan perbuatan ma'shiat. Maka hendaklah dia membenci kemaksiatan yang dilakukan penguasa tersebut, tetapi sekali-kali dia tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya."

    Yang dimaksud dengan "mendirikan shalat" dalam hadits di atas ialah "melaksanakan hukum-hukum Islam". Karena ungkapan tersebut merupakan ungkapan majazi (kiasan), yakni menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhannya.

    Demikian pula umat tidak boleh memberontak terhadap penguasa kecuali jika dia menampakkan kekufuran yang terang-terangan, sebagaimana hadits Ubadah bin Ash Shamit mengenai bai'at. Dalam hadits itu terdapat keterangan :

...فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَمْع وَ الطَاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَ مَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَ يُسْرِنَا وَ أَثَرَةٍ عَلَيْنَا ، وَ أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إلاّ أَنْ تَرَاوْ كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرهَانٌ
"...Maka kami membai'at beliau (Rasul). Rasulullah menjelaskan apa-apa yang harus kami lakukan, yakni bahwa kami membai'at beliau untuk mendengar dan mentaatinya, dalam apa yang kami sukai dan apa yang kami benci, dalam apa yang sukar dan yang mudah bagi kami, serta untuk tidak lebih mengutamakan diri (daripada orang lain). Dan kami juga tidak akan merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali (Rasulullah mengatakan)', jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian mempunyai bukti yang kuat tentangnya dari sisi Allah."

    Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.

    Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan pemberhentian khalifah.

    Demokrasi dapat dianggap sebagai pemerintahan mayoritas dan hukum mayoritas. Karenanya pemilihan para penguasa, anggota dewan perwakilan, serta anggota berbagai lembaga, kekuasaan, dan organisasi, semuanya didasarkan pertimbangan suara bulat (mayoritas). Demikian juga pembuatan hukum di dewan perwakilan, pengambilan keputusan di berbagai dewan, kekuasaan, lembaga, dan organisasi, seluruhnya dilaksanakan berdasarkan pendapat mayoritas.

    Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi pendapat mayoritas bersifat mengikat bagi semua pihak, baik penguasa maupun bukan. Sebab pendapat mayoritas merupakan sesuatu yang mengungkapkan kehendak rakyat. Jadi pihak minoritas tidak mempunyai pilihan kecuali tunduk dan mengikuti pendapat mayoritas.

    Sedangkan dalam Islam, permasalahannya sangatlah berbeda. Dalam masalah penentuan hukum, kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash-nash syara'. Sebab, yang menjadi  Musyarri'  hanyalah Allah SWT, bukan umat.

    Adapun pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan proses legislasi) hukum-hukum syara' yang menjadi keharusan untuk memelihara urusan umat dan menjalankan roda pemerintahan, adalah khalifah saja. Khalifah mengambil hukum syara' dari nash-nash syara' dalam Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, berdasarkan kriteria kekuatan dalil melalui proses ijtihad yang benar. Dalam hal ini khalifah tidak wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum yang akan dilegalisasikannya, meskipun hal ini boleh saja dia lakukan. Para Khulafa' Rasyidin dahulu telah meminta pendapat para shahabat ketika mereka hendak mengadopsi suatu hukum syara', misalnya Umar bin Khaththab pernah meminta pendapat kaum muslimin tatkala dia hendak mengadopsi hukum syara' mengenai masalah tanah-tanah taklukan di Syam, Mesir, dan Irak. Umar bin Khaththab telah meminta pendapat kaum muslimin dalam masalah tersebut.

    Jika khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syara' yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau suara mayoritas. Yang demikian ini karena Rasulullah SAW pernah mengesampingkan pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka :

إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ
"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya."

    Selain itu para shahabat yang mulia telah bersepakat bahwa seorang Imam (Khalifah) memang berhak untuk mengadopsi hukum-hukum syara' tertentu, serta berhak memerintahkan rakyat untuk mengamalkannya. Kaum muslimin wajib mentaatinya dan meninggalkan pendapat mereka. Dari adanya Ijma' Shahabat inilah di-istimbath (diambil dan ditetapkan) kaidah-kaidah syara' yang terkenal :

أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الخِلاَفَ
"Perintah (keputusan) Imam (khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat."

أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا
"Perintah (keputusan) Imam wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin."



لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ
"Penguasa (khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru, sesuai perkembangan problem yang terjadi."

    Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, sebagaimana firman-Nya:

أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ وَ أولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri  di antara kamu."

    Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para penguasa muslim yang menerapkan hukum Islam.

    Adapun masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus dikembalikan kepada para ahlinya. Merekalah yang dapat memahami permasalahan yang ada dengan tepat. Masalah-masalah kemiliteran dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah fiqih dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikian seterusnya.

    Dengan demikian yang menjadi patokan dalam masalah-masalah seperti ini adalah ketepatan, bukan suara mayoritas. Dan pendapat yang tepat diambil dari pihak yang berkompeten, yaitu para ahlinya, bukan berdasarkan suara mayoritas.

    Yang patut dicatat, bahwa para anggota majlis perwakilan rakyat (parlemen) baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun di Barat saat ini, sebagian besarnya bukanlah orang yang berkeahlian, dan bukan pula orang yang mampu memahami setiap permasalahan secara tepat. Sehingga suara mayoritas anggota lembaga perwakilan yang ada sebenarnya tidak ada faedahnya dan bahkan tidak ada nilainya sama sekali. Persetujuan atau penentangan mereka di dalam sidang majlis hanya berupa formalitas belaka, tidak didasarkan pada pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan yang tepat.

    Oleh karena itu, dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian seperti tersebut di atas, suara mayoritas tidaklah bersifat mengikat.

    Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar — yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis — yang mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi, kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al Hubab memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran. Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada para shahabat lainnya dalam masalah tersebut.

    Adapun masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal (praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi misalnya, pen.), apakah kita akan keluar kota atau tidak, apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari, apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api. Masalah-masalah seperti ini dapat dimengerti oleh setiap orang sehingga mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan bersifat mengikat.

    Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota Madinah. Sedang mayoritas shahabat — khususnya para pemudanya — berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak.

    Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah, maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk menghadapi pasukan Quraisy.

Perbedaan Sistem Demokrasi Dengan Sistem Islam
Dari Buku: DEMOKRASI : SISTEM KUFUR
HARAM Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya
ABDUL QADIM ZALLUM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam