Perbedaan Sistem Demokrasi Dengan Sistem Islam
Sekarang kami akan menjelaskan pertentangan total antara demokrasi
dengan Islam dari segi sumber kemunculannya, aqidah yang melahirkannya,
asas yang mendasarinya, serta ide dan peraturan yang dibawanya.
Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al-haakim)
untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan
manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus
demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala
berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa
dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah
buatan manusia, dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal
ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada
rasul-Nya Muhammad bin Abdullah SAW. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وَ مَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلاَّ وَحْيٌ يُوْحَى
"Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut hawa nafsunya, ucapannya itu tiada lain hanya berupa wahyu yang diwahyukan." (An-Najm 3-4)
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ القَدْرِ
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan." (Al-Qadr 1)
Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian
terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT,
atau syara', bukannya akal. Aktivitas akal terbatas hanya untuk memahami
nash-nash yang berkenaan dengan hukum yang diturunkan Allah SWT. Allah
SWT berfirman :
إِنِ الحُكْمُ إلاَّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'aam 57)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ اَلى اللهِ وَ الرَّسُولِ
"Kemudian
jika kamu (rakyat dan negara) berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah dia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunahnya)." (An-Nisaa' 59)
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إلَى اللهِ
"Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah." (Asy-Syuuraa 10)
Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan
agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di
atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen —
yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan tunggangan untuk
mengeksploitir dan menzhalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama
agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan
agama — dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi
agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya
menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan
sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada
manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
Aqidah inilah yang menjadi landasan pemikiran (Qaidah Fikriyah)
ide-ide Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas
dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan
hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide demokrasi.
Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya.
Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan
pelaksanaan perintah dan larangan Allah — yakni hukum-hukum syara' yang
lahir dari Aqidah Islamiyah — dalam seluruh urusan kehidupan dan
kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat
peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani
kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.
Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam.
Mengenai ide yang melandasi demokrasi, sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok : Pertama, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan.
Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan
kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan
kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan
pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan
ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum
dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang
mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat.
Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang
apapun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan, dan hukum
apapun, menurut pertimbangan mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada.
Dengan demikian rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan
menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak
mengubah sistem republik presidentil menjadi republik parlementer atau
sebaliknya. Hal ini pernah terjadi, misalnya di Perancis, Italia,
Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem pemerintahan
yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi
kerajaan.
Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme
menjadi sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya
dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu
agama kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama (animisme/paganisme),
sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina,
homoseksual, serta mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat
dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan
yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu.
Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan menggantinya dengan
penguasa lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa
mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT sajalah yang layak bertindak sebagai Musyarri'
(pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum,
walaupun hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul
lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian,
atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina
tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan
kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadhan agar
dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengadopsian
ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim
untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan
hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun
haram, yang memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati
hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan berzina; maka seluruh
kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan
Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap
nyamuk.
Jika ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut,
maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari
kesepakatan tersebut.
Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam seluruh aktivitas hidup
mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah.
Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum
pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri'. Allah SWT berfirman :
فَلاَ وَ رَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ
"Maka
demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka
perselisihkan." (An-Nisaa' 65)
إِنِ الحُكْمُ إلاّ للهِ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (Al-An'aam 57)
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الذِيْنَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوْا بِمَا أُنْزِلَ
إِلَيْكَ وَ مَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا
إلَى الطَاغُوتِ وَ قَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَ يُرِيدُ
الشَيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُم ضَلاَلاً بَعِيْدًا
"Apakah
kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman
kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al-Quran) dan kepada apa yang
diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal
mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu." (An-Nisaa' 60)
Berhakim kepada thaghut artinya
berhakim kepada hukum yang tidak diturunkan Allah. Atau dengan kata
lain, berhakim kepada hukum-hukum kufur yang dibuat manusia.
Dan Allah SWT berfirman :
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَ مَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
"Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih
baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin." (Al-Maaidah 50)
Hukum Jahiliyah adalah hukum yang tidak dibawa Muhammad SAW dari
Tuhannya. Yaitu hukum kufur yang dibuat oleh manusia. Allah SWT
berfirman juga :
فَلْيَحْذَرِ الذِيْنَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ
أوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ
"Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih." (An-Nuur 63).
Yang dimaksud menyalahi perintah Rasul — sesuatu yang harus diwaspadai
itu — adalah mengikuti hukum yang dibuat manusia dan meninggalkan hukum
yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Rasululah SAW bersabda :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Siapa saja yang melakukan perbuatan yang tak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak." (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan kata "amruna" (perintah kami) dalam hadits di atas adalah Islam.
Masih ada puluhan ayat dan hadits lain dengan pengertian yang qath'i (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara', yakni bahwa Allah sajalah yang menjadi Musyarri',
bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib untuk
melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan
perintah dan larangan Allah.
Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah
itu ada di tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan
larangan Allah tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk
melaksanakannya.
Karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat
Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa
itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai'at, yang menetapkan adanya hak mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda :
مَنْ مَاتَ وَ لَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
"Dan siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai'at (kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah." (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra, bahwa dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:
وَ
مَنْ بَايعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَ ثَمْرَةَ قَلْبِهِ
فَلْيُطِعْهُ إنِ اسْتَطَاعَ، فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعْهُ فَاضْرِبُوا
عُنُقَ الآخَرِ
"Siapa
saja yang membai'at seorang imam (khalifah) dan memberikan kepadanya
genggaman tangan dan buah hatinya (bertekad janji), maka hendaklah dia
mentaatinya sekuat kemampuannya. Dan jika ada orang lain yang hendak
merebut kekuasaannya, maka penggallah batang lehernya." (HR. Muslim)
Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan:
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ عَلَى السَّمْعِ وَ الطَاعَةِ فِي المَكرَهِ و المَنْشطِ
"Kami telah membai'at Nabi SAW untuk mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai."
Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai'at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya.
Meskipun syara' telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat — yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai'at — akan tetapi syara' tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, seperti yang ada dalam sistem demokrasi.
Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak memerintahkan maksiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ
رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ
فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
'Siapa
saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka
hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan
diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah."
Dari 'Auf bin Malik ra, dia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda :
...وًشِرَارُ
أئِمَّتِكُمْ الذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَ يُبْغِضُونَكُمْ وَ
تَلْعَنُوْنَكُمْ وَ يَلْعَنُونَكُمْ، قَال : قُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ:
أَفَلاَ نُنَابِذَهُمْ عِنْدَ ذَلِكَ ؟ قَال : لاَ ، مَا أقَامُوا فِيكُمْ
الصَلاَةَ ، ألاَ مَنْ وَليَ عَلَيْهِ وَالٍ فَرآهُ يَأتِي شَيْئًا مِنْ
مَعْصِيَةِ اللهِ فَليَكْرَههُ مَا يَأتِي مِنْ مَعْصِيَةِ اللهِ
وَ لاَ يَنْزِعَنَّ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
'...sejahat-jahat
pemimpin kalian adalah pemimpin yang kalian benci sedang mereka pun
membenci kalian, kalian melaknat mereka sedang mereka pun melaknat
kalian. 'Auf bin Malik lalu berkata, "Kami lalu bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka pada saat itu?" Rasulullah SAW menjawab: "Tidak,
selama mereka masih mendirikan sholat di tengah-tengah kalian, kecuali
bila seseorang — yang menjadi rakyat seorang penguasa — menyaksikan
penguasa itu mengerjakan perbuatan ma'shiat. Maka hendaklah dia membenci
kemaksiatan yang dilakukan penguasa tersebut, tetapi sekali-kali dia
tidak boleh melepaskan ketaatan kepadanya."
Yang dimaksud dengan "mendirikan shalat" dalam hadits di atas ialah
"melaksanakan hukum-hukum Islam". Karena ungkapan tersebut merupakan
ungkapan majazi (kiasan), yakni menyebut sebagian tetapi yang dimaksud adalah keseluruhannya.
Demikian pula umat tidak boleh memberontak terhadap penguasa kecuali
jika dia menampakkan kekufuran yang terang-terangan, sebagaimana hadits Ubadah bin Ash Shamit mengenai bai'at. Dalam hadits itu terdapat keterangan :
...فَبَايَعْنَاهُ،
فَقَالَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَمْع وَ
الطَاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَ مَكْرَهِنَا وَ عُسْرِنَا وَ يُسْرِنَا وَ
أَثَرَةٍ عَلَيْنَا ، وَ أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ إلاّ أَنْ
تَرَاوْ كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرهَانٌ
"...Maka
kami membai'at beliau (Rasul). Rasulullah menjelaskan apa-apa yang
harus kami lakukan, yakni bahwa kami membai'at beliau untuk mendengar
dan mentaatinya, dalam apa yang kami sukai dan apa yang kami benci,
dalam apa yang sukar dan yang mudah bagi kami, serta untuk tidak lebih
mengutamakan diri (daripada orang lain). Dan kami juga tidak akan
merebut kekuasaan dari yang berhak, kecuali (Rasulullah mengatakan)', jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, yang kalian mempunyai bukti yang kuat tentangnya dari sisi Allah."
Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah
Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat
menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis
kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai
kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang memutuskan
pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang
berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya,
maka Mahkamah Mazhalimlah yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman
di atas telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak
memutuskan pemberhentian khalifah.
Demokrasi dapat dianggap sebagai pemerintahan mayoritas dan hukum
mayoritas. Karenanya pemilihan para penguasa, anggota dewan perwakilan,
serta anggota berbagai lembaga, kekuasaan, dan organisasi, semuanya
didasarkan pertimbangan suara bulat (mayoritas). Demikian juga pembuatan
hukum di dewan perwakilan, pengambilan keputusan di berbagai dewan,
kekuasaan, lembaga, dan organisasi, seluruhnya dilaksanakan berdasarkan
pendapat mayoritas.
Oleh karena itu, dalam sistem demokrasi pendapat mayoritas bersifat
mengikat bagi semua pihak, baik penguasa maupun bukan. Sebab pendapat
mayoritas merupakan sesuatu yang mengungkapkan kehendak rakyat. Jadi
pihak minoritas tidak mempunyai pilihan kecuali tunduk dan mengikuti
pendapat mayoritas.
Sedangkan dalam Islam, permasalahannya sangatlah berbeda. Dalam masalah
penentuan hukum, kriterianya tidak tergantung pada pendapat mayoritas
atau minoritas, melainkan pada nash-nash syara'. Sebab, yang menjadi Musyarri' hanyalah Allah SWT, bukan umat.
Adapun pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengadopsi (melakukan
proses legislasi) hukum-hukum syara' yang menjadi keharusan untuk
memelihara urusan umat dan menjalankan roda pemerintahan, adalah
khalifah saja. Khalifah mengambil hukum syara' dari nash-nash syara'
dalam Kitabullah dan Sunah Rasul-Nya, berdasarkan kriteria kekuatan
dalil melalui proses ijtihad yang benar. Dalam hal ini khalifah tidak
wajib meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum yang akan
dilegalisasikannya, meskipun hal ini boleh saja dia lakukan. Para
Khulafa' Rasyidin dahulu telah meminta pendapat para shahabat ketika
mereka hendak mengadopsi suatu hukum syara', misalnya Umar bin Khaththab
pernah meminta pendapat kaum muslimin tatkala dia hendak mengadopsi
hukum syara' mengenai masalah tanah-tanah taklukan di Syam, Mesir, dan
Irak. Umar bin Khaththab telah meminta pendapat kaum muslimin dalam
masalah tersebut.
Jika khalifah meminta pendapat Majelis Umat mengenai hukum-hukum syara'
yang hendak diadopsinya, maka pendapat Majelis Umat ini tidak mengikat
khalifah, meskipun pendapat itu diputuskan berdasarkan suara bulat atau
suara mayoritas. Yang demikian ini karena Rasulullah SAW pernah
mengesampingkan pendapat kaum muslimin yang menolak penetapan Perjanjian
Hudaibiyah. Padahal pendapat kaum muslimin waktu itu merupakan pendapat
mayoritas. Tetapi toh Rasulullah menolak pendapat mereka, dan tetap
menyepakati Perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah SAW bersabda kepada mereka
:
إِنِّي عَبْدَ اللهِ وَ رَسُوْلَهُوَ لَنْ أُخَالِفَ أَمْرَهُ
"Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Dan sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya."
Selain itu para shahabat yang mulia telah bersepakat bahwa seorang Imam
(Khalifah) memang berhak untuk mengadopsi hukum-hukum syara' tertentu,
serta berhak memerintahkan rakyat untuk mengamalkannya. Kaum muslimin
wajib mentaatinya dan meninggalkan pendapat mereka. Dari adanya Ijma'
Shahabat inilah di-istimbath (diambil dan ditetapkan) kaidah-kaidah syara' yang terkenal :
أَمْرُ الإِمَامِ يَرْفَعُ الخِلاَفَ
"Perintah (keputusan) Imam (khalifah) menghilangkan perbedaan pendapat."
أَمْرُ الإِمَامِ نَافِذٌ ظَاهِرًا وَ بَاطِنًا
"Perintah (keputusan) Imam wajib dilaksanakan, baik secara lahir maupun batin."
لِلسُّلْطَانِ أَنْ يُحْدِثَ مِنَ الأَقْضِيَةِ بِقَدْرِ مَا يَحْدُثُ مِنْ مُشْكِلاَتٍ
"Penguasa (khalifah) berhak mengeluarkan keputusan-keputusan (hukum) baru, sesuai perkembangan problem yang terjadi."
Di samping itu, Allah SWT telah memerintahkan kita untuk mentaati Ulil Amri, sebagaimana firman-Nya:
أَطِيْعُوا اللهَ وَ أَطِيْعُوا الرَّسُولَ وَ أولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya) dan Ulil Amri di antara kamu."
Yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat di atas adalah para penguasa muslim yang menerapkan hukum Islam.
Adapun masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang
membutuhkan keahlian, pemikiran, dan pertimbangan yang mendalam, maka
yang dijadikan kriteria adalah ketepatan atau kebenarannya. Bukan
berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi masalah yang ada harus
dikembalikan kepada para ahlinya. Merekalah yang dapat memahami
permasalahan yang ada dengan tepat. Masalah-masalah kemiliteran
dikembalikan kepada para pakar militer. Masalah-masalah fiqih
dikembalikan kepada para fuqaha dan mujtahidin. Masalah-masalah medis
dikembalikan kepada para dokter spesialis. Masalah-masalah teknik
dikembalikan kepada para pakar insinyur teknik. Masalah-masalah
ide/gagasan dikembalikan kepada para pemikir besar. Demikian seterusnya.
Dengan demikian yang menjadi patokan dalam masalah-masalah seperti ini
adalah ketepatan, bukan suara mayoritas. Dan pendapat yang tepat diambil
dari pihak yang berkompeten, yaitu para ahlinya, bukan berdasarkan
suara mayoritas.
Yang patut dicatat, bahwa para anggota majlis perwakilan rakyat
(parlemen) baik yang ada di negeri-negeri Islam maupun di Barat saat
ini, sebagian besarnya bukanlah orang yang berkeahlian, dan bukan pula
orang yang mampu memahami setiap permasalahan secara tepat. Sehingga
suara mayoritas anggota lembaga perwakilan yang ada sebenarnya tidak ada
faedahnya dan bahkan tidak ada nilainya sama sekali. Persetujuan atau
penentangan mereka di dalam sidang majlis hanya berupa formalitas
belaka, tidak didasarkan pada pemahaman, kesadaran, atau pengetahuan
yang tepat.
Oleh karena itu, dalam masalah-masalah yang memerlukan keahlian seperti
tersebut di atas, suara mayoritas tidaklah bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah SAW
mengikuti pendapat Al Hubab bin Al Mundzir pada Perang Badar — yang saat
itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis — yang
mengusulkan kepada Nabi agar meninggalkan tempat yang dipilih Nabi,
kalau sekiranya ketentuan tempat itu bukan dari wahyu. Al Hubab
memandang tempat tersebut tidak layak untuk kepentingan pertempuran.
Maka Rasulullah mengikuti pendapat Al Hubab dan berpindah ke suatu
tempat yang ditunjukkan oleh Al Hubab. Jadi Rasulullah SAW telah
meninggalkan pendapatnya sendiri dan tidak meminta pertimbangan kepada
para shahabat lainnya dalam masalah tersebut.
Adapun masalah-masalah yang langsung menuju kepada amal (praktis), yang
tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam, maka yang menjadi
patokan adalah suara mayoritas, sebab mayoritas orang dapat memahaminya
dan dapat memberikan pendapatnya dengan mudah menurut pertimbangan
kemaslahatan yang ada. Masalah-masalah seperti ini contohnya, apakah
kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua
organisasi misalnya, pen.), apakah kita akan keluar kota atau tidak,
apakah kita akan menempuh perjalanan pada pagi hari atau malam hari,
apakah kita akan naik pesawat terbang, kapal laut, atau kereta api.
Masalah-masalah seperti ini dapat dimengerti oleh setiap orang sehingga
mereka dapat memberikan pendapatnya. Oleh karena itu, dalam
masalah-masalah seperti ini suara mayoritas dapat dijadikan pedoman dan
bersifat mengikat.
Dalil untuk ketentuan tersebut adalah peristiwa yang terjadi pada
Rasulullah SAW ketika Perang Uhud. Rasulullah SAW dan para shahabat
senior berpendapat bahwa kaum muslimin tidak perlu keluar dari kota
Madinah. Sedang mayoritas shahabat — khususnya para pemudanya —
berpendapat bahwa kaum muslimin hendaknya keluar dari kota Madinah guna
menghadapi kaum Quraisy di luar kota Madinah. Jadi pendapat yang ada
berkisar di antara dua pilihan, keluar kota Madinah atau tidak.
Dikarenakan mayoritas shahabat berpendapat untuk keluar kota Madinah,
maka Nabi SAW mengikuti pendapat mereka dan mengabaikan pendapat para
shahabat senior, serta berangkat menuju Uhud di luar kota Madinah untuk
menghadapi pasukan Quraisy.
Perbedaan Sistem Demokrasi Dengan Sistem Islam
Dari Buku: DEMOKRASI : SISTEM KUFUR
HARAM Mengambilnya, Menerapkannya, dan Menyebarluaskannya
ABDUL QADIM ZALLUM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar