Khalifah adalah panglima angkatan bersenjata
BAB ANGKATAN BERSENJATA
PASAL 61
Khalifah
adalah panglima angkatan bersenjata. Dialah yang mengangkat kepala staf
gabungan dan dia pula yang menetapkan seorang komandan untuk tiap
divisi, dan seorang komandan untuk setiap batalion. Pangkat pasukan
lainnya ditentukan oleh para komandan divisi dan komandan batalion.
Penetapan seseorang sebagai perwira harus disesuaikan dengan tingkat
pengetahuannya tentang kemiliteran/ perang, dan yang menetapkannya
adalah kepala staf gabungan.
KETERANGAN
Ini,
karena khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di
dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara' serta mengemban dakwah ke
seluruh dunia. Sedangkan metode operasional (thariqah)
untuk mengemban dakwah ke seluruh dunia itu adalah dengan jihad.
Sehingga khalifahlah yang harus secara langsung memimpin jihad, karena
akad pengangkatan khalifah tersebut diberikan kepada pribadinya sehingga
tugas-tugas itu tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain. Oleh karena
itu, untuk mengurusi urusan-urusan jihad sepenuhnya adalah wewenang
khalifah, yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain, sekalipun jihad
itu bisa dilakukan oleh setiap orang Islam.
Karena
kewajiban untuk melaksanakan jihad adalah satu masalah, sedangkan
kewajiban memimpin jihad itu sendiri adalah masalah lain. Jihad hukumnya
memang fardhu bagi setiap muslim, namun kewajiban memimpin jihad itu
adalah kewajiban khalifah, bukan kewajiban yang lain. Sedangkan kalau
khalifah mengangkat orang lain menjadi wakilnya untuk melaksanakan
fardhu yang menjadi kewajibannya, maka itu hukumnya jaiz
(boleh) namun tetap di bawah kontrol dan instruksi khalifah. Bukan
berarti dibiarkan begitu saja, tanpa dikontrol dan tanpa diarahkan.
Rasulullah
membawahi sendiri pasukan militernya, sering memimpin langsung
peperangan, memilih sejumlah komandan pasukan yang dikirim ke medan
perang. Akan tetapi, kadang-kadang beliau menyerahkan langsung tangung
jawab kepemimpinannya kepada seorang pemimpin pada beberapa perang yang
tidak diikuti beliau (perang saraya). Ibn umar menyatakan, Rasulullah mengangkat Zayd ibn Haritsah sebagai komandan dalam Perang Mu’tah. Beliau bersabda, ‘Seandainya
Zayd terbunuh, kepemimpinan diserahkan kepada Ja’far. Seandainya Ja’far
terbunuh, kepemimpinan diserahkan kepada Abdullah ibn Rawahah...(HR al-Bukhari).
PASAL 62
Seluruh
angkatan bersenjata ditetapkan sebagai satu kesatuan, yang ditempatkan
di berbagai markas/ kompleks militer. Sebagian kompleks militer ini
harus ditempatkan di berbagai daerah, sebagian lainnya ditempatkan di
tempat-tempat yang strategis dan sebagian lain ditempatkan di
kompleks-kompleks yang bersifat mobil dan dijadikan sebagai pasukan yang
siap tempur. Kompleks-kompleks militer dibentuk dalam berbagai unit dan
setiap unitnya disebut batalion. Setiap batalion diberi nomer, seperti
batalion 1, batalion 3 dan seterusnya, atau dinamakan dengan salah satu
nama wilayah/ distrik.
KETERANGAN
Susunan-susunan
tadi, adakalanya berupa hal-hal yang bersifat mubah, seperti
pemanggilan pasukan dengan nama sandi wilayahnya atau nomor-nomor
tertentu. Di mana semuanya diserahkan kepada pendapat dan ijtihad
khalifah. Dan ada kalanya merupakan hal-hal yang wajib ada, karena untuk
melindungi negara serta memperkuat pasukan, semisal penempatan pasukan
di distrik-distrik, penempatan distrik-distrik di wilayah yang
berbeda-beda serta penempatan distrik-distrik tersebut di tempat-tempat
strategis dalam rangka melindungi negara.
Umar
Bin Khattab telah membagi distrik-distrik pasukannya berdasarkan
wilayah. Beliau menempatkan prajurit di Palestina dan Maushul. Beliau
juga menempatkan prajurit-prajuritnya di ibu kota, lalu beliau sendiri
mempunyai satu kesatuan pasukan pengawal, yang setiap saat siap
berperang, ketika ada komando pertama kali dari beliau.
PASAL 63
Setiap
prajurit harus diberikan pendidikan militer semaksimal mungkin.
Hendaknya ditingkatkan pula kemampuan berpikir setiap prajurit sesuai
dengan kemampuan yang ada. Hendaknya setiap prajurit diberikan
pengetahuan Islam (Tsaqofah Islamiyah), sehingga memiliki wawasan tentang Islam sekalipun dalam bentuk global.
KETERANGAN
Pasukan
(tentara) Islam wajib membekali dirinya dengan pendidikan militer yang
tinggi, setinggi-tingginya. Di samping taraf pemikiran mereka juga harus
ditingkatkan sesuai dengan kapasitas berfikirnya. Masing-masing
prajurit yang tergabung dalam pasukan itu harus dididik dengan
pengetahuan (tsaqofah)
Islam sehingga mampu meningkatkan pemahamannya terhadap Islam,
sekalipun hanya secara global. Semuanya termasuk dalam keumuman hadits
Nabi SAW, "Menuntut ilmu hukumnya adalah fardhu atas setiap muslim." (HR Ibnu Majah)
Kata "ilmu" merupakan isim jinis
(kata benda yang menunjukan jenis) yang meliputi semua jenis ilmu, yang
antara lain adalah ilmu-ilmu kemiliteran. Hanya saja, ilmu-ilmu
kemiliteran telah menjadi sedemikian urgen bagi masing-masing pasukan
(tentara), karena pasukan itu tidak akan mampu melakukan peperangan
serta terjun dalam medan pertempuran kecuali kalau mereka
mempelajarinya. Oleh karena itu, ilmu-ilmu kemiliteran itu menjadi wajib
sebagai realisasi dari kaidah syara': "Apabila suatu kewajiban tidak akan terlaksana kecuali dengan suatu perbuatan, maka perbuatan itu hukumnya adalah wajib."
Sedangkan
hukum mempelajari pengetahuan Islam agar bisa dipergunakan untuk
mengikat setiap perbuatan yang akan dilaksanakannya adalah fardhu 'ain.
Adapun hukum mempelajari pengetahuan Islam yang dipergunakan selain
keperluan tersebut hukumnya fardhu kifayah. Berdasarkan sabda Rasulullah
SAW, "Siapa saja yang padanya dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka niscaya Dia akan menjadikannya ahli (faqih) dalam urusan agama."
Hukum
tersebut berlaku bagi setiap pasukan (tentara) yang akan melakukan
penaklukan terhadap negeri-negeri dengan tujuan menyebarkan dakwah,
seperti halnya hukum tersebut juga berlaku bagi setiap muslim, sekalipun
bagi pasukan tentu lebih wajib. Sedangkan tujuan peningkatan taraf
berfikir pasukan itu adalah untuk menumbuhkan kesadaran karena itu
merupakan suatu keharusan untuk memahami Islam serta kehidupan. Itulah
yang disabdakan oleh Rasulullah, "Boleh jadi orang yang diberitahu lebih mengerti daripada orang yang mendengarkan (yang menyampaikan)."
Hadits ini menunjukkan adanya dorongan agar memiliki kesadaran (wa'yi). Sedangkan di dalam Al Qur'an banyak dinyatakan: "Bagi kaum yang mau berfikir." (Q.S. Al Jatsiyah: 13); "Mereka memiliki pikiran yang mereka pergunakan untuk berfikir." (Q.S. Al Hajj: 46). Ayat-ayat tersebut juga menunjukkan tentang kedudukan berfikir.
Pada
masing-masing distrik wajib ada sejumlah pleton yang representatif. Di
mana mereka memiliki pengetahuan kemiliteran yang tinggi serta keahlian
dalam merancang strategi dan sasaran tempur. Di dalam pasukan secara
umum harus ada sejumlah pleton dengan jumlah yang serepresentatif
mungkin. Hal itu bisa diambil dari kaidah: "Apabila suatu kewajiban tidak akan terlaksana kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya adalah wajib."
Oleh
karena itu, pendidikan kemiliteran yang tinggi secara memadai hukumnya
fardhu. Begitu pula hukumnya belajar serta latihan secara rutin adalah
fardhu. Sehingga pasukan tersebut betul-betul siap untuk terjun berjihad
dan berperang setiap saat.
Jihad adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin dan mobilisasi umum bersifat wajib
Dari Buku: Rancangan UUD Islami (AD DUSTÛR AL ISLÂMI)
Hizbut Tahrir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar