Daulah Islam haruslah ditegakkan dengan benar, secara syar’i,
sehingga menjadi negara yang agung bobotnya, kuat kekuasaannya. Negara yang
tidak di bawah kendali atau dominasi negara lain, mandiri militernya, sanggup
menerapkan Islam di dalam negeri dan mengembannya ke luar negeri dengan dakwah
dan jihad futuhat. Negara yang membuat negara-negara kafir gemetar. Negara
Islam yang dicintai oleh Allah Swt., Rasul-Nya dan kaum Mukmin; yang memasukkan
kebahagiaan di hati kaum Muslim dan memasukkan kemuliaan di negeri mereka.
Rasulullah akhirnya mendapat kesempatan berbicara dengan
sekelompok yang datang dari Yatsrib (Madinah) ke kota Makkah yang merupakan
sekutu Quraisy. Mereka dipimpin oleh Abu al-Haisar dan Anas bin Rafi’.
Bersamanya ikut sekelompok orang dari Bani Asyhal, termasuk Iyas bin Mu’adz.
Mereka merupakan representasi dari kabilah Khazraj yang merupakan kabilah
Madinah yang kuat dan ahli perang. Kemudian Rasulullah berbicara dengan
sekelompok pemuka Khazraj yang berjumlah 6 orang. Merekapun rela dengan tugas
meyakinkan kaumnya. Sehingga pertolongan/perlindungan (nushrah) didapatkan melalui mereka.
Patut
dicatat, sekelompok dari kabilah Khazraj tersebut mau menerima dakwah
Rasulullah Saw. meskipun mereka mengetahui bahwa Beliau Saw. beserta gerakannya
dipandang sebelah mata oleh mayoritas warga, ditolak, didustakan, dilarang dan
ditindas oleh para petinggi Makkah.
Pada tahun berikutnya, mereka kembali menemui Rasulullah Saw.
Jumlah mereka pada saat itu adalah 12 orang. Pada pertemuan itu terjadilah
peristiwa Bai’at Aqabah I.
“'Ubadah bin Ash Shamit adalah sahabat yang ikut perang Badar
dan juga salah seorang yang ikut bersumpah pada malam Aqobah, dia berkata;
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda ketika berada di tengah-tengah sebagian sahabat:
بَايِعُونِي
عَلَى أَنْ لَا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا تَسْرِقُوا وَلَا تَزْنُوا
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ وَلَا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ
أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ وَلَا تَعْصُوا فِي مَعْرُوفٍ فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ
فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَعُوقِبَ فِي
الدُّنْيَا فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا ثُمَّ
سَتَرَهُ اللَّهُ فَهُوَ إِلَى اللَّهِ إِنْ شَاءَ عَفَا عَنْهُ وَإِنْ شَاءَ
عَاقَبَهُ
“Berbai'atlah
kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, tidak
mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat
kebohongan yang kalian ada-adakan antara tangan dan kaki kalian, tidak
bermaksiat dalam perkara yang ma'ruf. Barangsiapa di antara kalian yang
memenuhinya maka pahalanya ada pada Allah dan barangsiapa yang melanggar dari
hal tersebut lalu Allah menghukumnya di dunia maka itu adalah kafarat baginya,
dan barangsiapa yang melanggar dari hal-hal tersebut kemudian Allah menutupinya
(tidak menghukumnya di dunia) maka urusannya kembali kepada Allah, jika Dia mau
dimaafkannya atau disiksanya." Maka kami membai'at Beliau untuk
perkara-perkara tersebut.” (Shahih Bukhari
no.17)
Lalu dikirimlah Mush’ab bin Umair ke kota Madinah untuk membina orang-orang yang telah memeluk Islam, menyebarluaskan risalah Islam, meraih dukungan dari tokoh-tokoh kabilah, dan mempersiapkan pondasi masyarakat untuk membangun peradaban Islam dalam format Daulah Islamiyah. Pada musim haji tahun berikutnya datang 73 laki-laki dan 2 orang wanita dari Madinah. Mereka bersedia menyerahkan loyalitasnya hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, serta siap sedia untuk membela dan memperjuangkan risalah Islam dari ancaman musuh-musuh Islam. Peristiwa tersebut dikenal sebagai Bai’at Aqabah II.
Pada tahun ke-12 kenabian, Rasulullah mendapatkan nushrah dari kaum Anshar. Kaum yang juga telah
dibina itu menyerahkan kekuasaan mereka di Yatsrib (Madinah) kepada Rasulullah
Saw. tanpa syarat. Kaum Anshar termasuk para petingginya ridha dengan sistem
yang diridhai Allah dan Rasul-Nya serta meninggalkan sistem kufur sepenuhnya.
Keberhasilan thalab
an-nushrah ini ditandai dengan peristiwa Bai’at ‘Aqabah I dan II. Bai’at
‘Aqabah I adalah bai’at oleh kaum Anshar untuk menyatakan keIslaman, disertai
dengan segala konsekuensinya, seperti meninggalkan zina, tidak mencuri, dan
sebagainya. Sedangkan Bai’at ‘Aqabah II adalah bai’at untuk memberikan
perlindungan kepada Nabi dan Islam, sebagaimana melindungi diri, harta dan
keluarga mereka. Karena itu, Bai’at II ini menandai penyerahan kekuasaan dari
kaum Anshar kepada Nabi Saw. secara de yure.
Dari Jabir bin Abdullah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Kalian (kaum Anshor) berbaiat kepadaku untuk mendengar dan taat baik
dalam keadaan semangat maupun malas, dan berinfak baik dalam keadaan lapang
maupun sempit. Untuk ber-amar ma'ruf dan
nahi munkar. Kalian berkata karena Allah
untuk tidak takut karena Allah terhadap orang yang mencela. Kalian menolongku
dan menghalangi (musuh) jika saya datang kepada kalian sebagaimana kalian
melindungi kalian sendiri, istri-istri kalian dan anak-anak kalian. Niscaya
kalian mendapatkan Syurga." (HR. Ahmad no.13934)
Sebelum kekuasaan Islam terwujud memang telah terjadi
pembinaan Islam yang sangat intensif di tengah-tengah masyarakat Madinah oleh
Sahabat Beliau Saw., Mush’ab bin Umair ra. Akhirnya, Islam menjadi opini umum
di tengah-tengah masyarakat Madinah kurang lebih hanya dalam waktu 1 tahun.
Pada saat itulah, para pemimpin dari suku Aus dan Khazraj akhirnya memberikan
penuh dukungan dan kekuasaannya kepada Nabi Saw. melalui peristiwa Baiat Aqabah
II di Bukit Aqabah. Daulah Islam ditegakkan, dengan izin Allah, melalui
tangan-tangan ksatria yang perdagangan dan jual-beli tidak bisa melenakan
mereka dari mengingat Allah.
Setelah
Bai’at Aqabah II itu, Nabi Saw. menyuruh para sahabat untuk hijrah ke Madinah.
Baginda Saw. dengan ditemani Abu Bakar ra. kemudian menyusul mereka.
“dari 'Aisyah radliallahu
'anha, dia berkata, "Abu Bakar pernah meminta izin kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam untuk hijrah
ketika gangguan (orang-orang Quraisy) semakin menjadi-jadi, lalu Beliau
bersabda kepadanya: "Berdiam saja dulu." Abu Bakar berkata,
"Wahai Rasulullah, apakah anda hendak menunggu perintah (Allah)?"
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Aku berharap hal itu." (Shahih
Bukhari no.3784)
Suraqah bin Ju'syam berkata: “Aku berkata kepada Beliau
(Saw.): "Sesungguhnya kaum anda telah membuat sayembara berhadiah atas
engkau." Lalu aku menceritakan kepada mereka apa yang sedang diinginkan
oleh orang-orang atas diri Beliau. Kemudian aku menawarkan kepada mereka berdua
perbekalan dan harta bendaku, namun keduanya tidaklah mengurangi dan meminta
apa yang ada padaku. Akan tetapi Beliau berkata: "Rahasiakanlah keberadaan
kami." (Shahih Bukhari no. 3616)
Lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
melanjutkan perjalanan.
Ibnu Syihab berkata; telah mengabarkan kepadaku 'Urwah bin Az
Zubair: “Kaum Muslimin di Madinah telah mendengar keluarnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dari Makkah, dan
mereka setiap pagi pergi ke Harrah untuk menyambut kedatangan Beliau sampai
udara terik tengah hari memaksa mereka untuk pulang. Pada suatu hari, ketika
mereka telah kembali ke rumah-rumah mereka, setelah menanti dengan lama,
seorang laki-laki Yahudi naik ke atas salah satu dari benteng-benteng mereka
untuk keperluan yang akan dilihatnya, tetapi dia melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan
shahabat-shahabatnya berpakaian putih yang hilang timbul ditelan fatamorgana
(terik panas). Orang Yahudi itu tidak dapat menguasai dirinya untuk berteriak
dengan suaranya yang keras: "Wahai orang-orang Arab, inilah pemimpin
kalian yang telah kalian nanti-nantikan." Serta merta Kaum Muslimin
berhamburan mengambil senjata-senjata mereka dan menyongsong kedatangan
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
di punggung Harrah. Beliau berdiri berjajar dengan mereka di sebelah kanan
hingga Beliau singgah di Bani 'Amru bin 'Auf. Hari itu adalah hari Senin bulan
Rabi'ul Awwal.” (Shahih Bukhari no.
3616)
Sesampainya,
Beliau disambut sebagai seorang pemimpin dan kepala negara Islam, de facto. Semuanya ini membutuhkan waktu,
karena memang Nabi Saw. hendak mewujudkan negara, membangun masyarakat dan
peradaban yang luhur nan mulia.
Allah Swt. memberikan janji pertolongan-Nya kepada umat Islam
yang berjuang sesuai tuntunan-Nya.
وَلَيَنْصُرَنَّ
اللهُ مَنْ يَنْصُرُهُ إِنَّ اللهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah
benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al Hajj: 40)
وَمَا
النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Kemenangan
itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (QS. al-Anfal [8]: 10)
Jadi, thalabun-nushrah adalah ujung dari satu-satunya metode sahih dalam usaha
meraih kekuasaan untuk Islam, karena hal ini ditunjukkan secara nyata oleh
Baginda Rasulullah Saw. dalam perjuangannya.
“Katakanlah,
“Kebenaran telah datang dan kebathilan telah lenyap. Sungguh, kebatilan itu
pasti lenyap.” (QS. al-Isra’ [17]: 81)
Tugas umat Islam adalah menyampaikan kebenaran apa adanya.
Ketika kebenaran tampak maka kebathilan akan lenyap. Kebathilan hanya akan
tampak kebathilannya dan akan kalah ketika kebenaran disuarakan dengan lantang.
“Sebenarnya
Kami melontarkan yang haq kepada yang bathil lalu yang haq itu
menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap. Dan
kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang
tidak layak bagi-Nya).” (QS al-Anbiya’ [21]:18)
Tanpa amar ma’ruf nahi munkar yang terang maka
kebathilan akan terus merajalela. Diam dari menyatakan kebenaran adalah amalan
yang buruk. Membiarkan kebathilan adalah amalan yang buruk.
Harus diingat, thalabun
nushrah adalah aktivitas politik, bukan aktivitas militer. Aktivitas
militer bisa dilakukan bersama ahlun-nushrah setelah
terwujud kekuasaan dan kekuatan riil itu bagi Islam. Setelah tegaknya daulah
Islam tentu kekuatan militer menjadi kebutuhan yang wajib untuk terus
diperkuat....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar