Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 31 Juli 2018

Mengokohkan Keteguhan Dalam Mengemban Dakwah - TAFSIR al-Furqan: 51-52



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul). Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengannya dengan jihad yang besar.” (TQS. al-Furqan: 51-52)

Di antara keistimewaan Rasulullah adalah beliau diutus sebagai rasul untuk seluruh manusia. Tentu tugas ini mengharuskan kesiapan untuk menunaikannya. Kesabaran, keteguhan, den kesungguhan harus dia miliki sehingga dapat menjalankan amanah itu dengan sukses. Tidak boleh mengikuti kehendak kaum kafir, apalagi takluk kepada mereka. Sebaliknya, mereka harus dihadapi dengan sepenuh kekuatan dan kesungguhan.

Inilah di antara yang diterangkan dalam ayat ini.

Bagi Seluruh Manusia

Allah SWT berfirman: Wa law syi'naa laba'atsnaa fii kulli qaryah nazhiir[an] (dan andai kata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan [rasul]). Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang diturunkannya rahmat Allah SWT kepada manusia berupa hujan. Air yang diturunkan dalam hujan tersebut merupakan air yang suci dan menyucikan. Dengan air hujan itu pula Allah SWT menghidupkan tanah yang gersang sehingga tumbuh aneka tanaman. Selain itu, air tersebut untuk diminum manusia, hewan, dan semua makhluk hidup lainnya. Kemudian ditegaskan, hujan itu dipergilirkan di antara manusia agar dijadikan sebagai pelajaran bagi manusia.

Lalu dalam ayat ini Allah SWT membicarakan tentang keberadaan Rasulullah sebagai utusan-Nya. Ayat ini diawali dengan kata law syi‘naa (seandainya Kami menghendaki). Dalam bahasa Arab, kata law mengandung makna imtinaa’ al-jawaab li imtinaa‘ al-syarth (tercegahnya jawaban karena tercegahnya syarat). Artinya, karena syaratnya tidak ada, maka realitas yang disebutkan juga tidak terjadi. Sebagaimana diterangkan Fakhruddin al-Razi, ini menunjukkan bahwa Allah SWT tidak melakukan hal itu.

Yang dimaksud dengan nadziir (pemberi peringatan) di sini adalah rasul yang memberikan peringatan kepada mereka. Demikian penjelasan Imam al-Qurthubi, al-Khazin, Ibnu Katsir, Abdurrahman al-Sa'di, dan lain-lain.

Tentang ayat ini, al-Thabari juga berkata, "Seandainya Kami menghendaki wahai Muhammad, niscaya akan Kami utus untuk setiap negeri dan kota pemberi peringatan yang memperingatkan mereka adanya siksaan Kami atas kekufuran mereka terhadap Kami, sehingga Kami meringankan kamu dari beban besar yang harus kamu emban dan menghilangkan darimu berbagai kesulitan besar. Akan tetapi, Kami pikulkan kepadamu beratnya beban dalam memberikan peringatan kepada manusia seluruh negeri, yang mengharuskan kesabaranmu atasnya. Apabila kamu bersabar, maka Allah SWT telah menyediakan kemuliaan dari-Nya untukmu dan kedudukan yang tinggi.”

Dikatakan pula oleh Abdurrahman al-Sa'di, "Rasul yang mengingatkan mereka. Maka kehendak-Nya tidak terbatas hanya itu. Akan tetapi, hikmat dan rahmat-Nya kepadamu dan hamba, ya Muhammad, Kami mengutus kamu kepada semua mereka, yang berkulit merah maupun hitam, bangsa Arab maupun bangsa lainnya, manusia maupun jin mereka."

Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT menghendaki mengutus Nabi Muhammad sebagai rasul untuk semua negeri dan manusia. Tidak terbatas hanya untuk bangsa dan negeri Arab. Bahwa Rasulullah ditetapkan sebagai pemberi peringatan seluruh manusia juga ditegaskan dalam awal surat ini. Allah SWT berfirman: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (TQS. al-Furqan [25]: 1).

Di samping itu juga dinyatakan dalam beberapa ayat lain. Di antaranya adalah firman Allah SWT: “Katakanlah: "Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua," (TQS. al-A'raf [7]: 15). Disebutkan pula dalam QS. Saba’ [34]: 28. Dalam hadits, beliau bersabda, “Aku diberikan lima perkara yang belum pernah diberikan kepada nabi sebelumku, yakni: Aku diutus untuk orang yang berkulit merah dan berkulit hitam” (HR. Ahmad dari Abu Dzar). Dalam riwayat yang lain disebutkan: ”Para nabi sebelumku diutus untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia" (HR. al-Bukhari dari Jabir bin Abdillah).

Tidak Menaati Orang Kafir

Kemudian dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman: Falaa tuthi' al-kaafiriin (maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir). Setelah diterangkan tentang tugas Rasulullah sebagai pemberi peringatan untuk seluruh negeri, beliau kemudian diseru agar tidak menaati orang-orang kafir.

Menurut Abu Hayyan al-Andalusi dalam tafsirnya al-Bahr al-Muhiith, yang dimaksud dengan al-kaafiriin adalah kaum kafir Quraisy. Mereka menginginkan Rasulullah kembali kepada agama bapak-bapak mereka, menjadikan beliau sebagai raja atas mereka, dan mengumpulkan harta yang amat banyak untuk beliau. Maka Allah SWT melarang beliau menaati mereka hingga menjelaskan kepada mereka bahwa beliau tidak menginginkan semua itu. Akan tetapi yang beliau inginkan adalah dakwah kepada Allah SWT dan beriman kepada-Nya.

Menurut al-Zamakhsyari, perintah ini dimaksudkan untuk mengobarkan semangat Nabi dan kaum Mukminin, serta untuk menggerakkan mereka.

Kemudian ditegaskan dalam firman Allah SWT: wajaahidhum bihi jihaad[an] kabiir[an] (dan berjihadlah terhadap mereka dengannya dengan jihad yang besar). Kata jaahid merupakan fi'l al-amr dari kata al-jihaad. Menurut al-Asfahani, kata tersebut bermakna istifraagh al-wus' fii mudaafa'at al-'aduwwi (mencurahkan segala kemampuan untuk menghadapi lawan).

Sedangkan secara syar'i, al-jihaad berarti badzl al-wus' li al-qitaal fii sabiilil-Laah (mengerahkan kemampuan untuk berperang di jalan Allah), baik secara langsung maupun membantu dengan harta, pendapat, atau memperbanyak perbekalan perang.

Tentang makna al-jihaad dalam ayat ini, ada yang menafsirkan dengan makna syar'i, yakni berperang. Namun menurut al-Qurthubi dan al-Razi, penafsiran itu tidak tepat. Alasannya, surat ini termasuk Makkiyyah yang turun sebelum perintah untuk berperang. Sehingga menurut al-Razi, jihaad di sini bermakna badzl al-juhdi fii al-adaa' (mengerahkan segala kemampuan dalam menunaikan kewajiban).

Sedangkan pengertian frasa bihi pada ayat ini, menurut Ibnu Abbas berarti bi al-Qur‘aan (dengan Al-Qur’an). Ibnu Zaid memaknainya sebagai bi al-Islaam (dengan Islam). Demikian dikutip Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya. Syihabuddin al-Alusi juga mengutip Ibnu Mundzir dari Ibnu Abbas yang berkata, ”Itu dilakukan dengan membacakan apa yang di dalam Al-Qur’an berupa berbagai pelajaran, ancaman, pelarangan, nasihat, dan mengingatkan terhadap berbagai keadaan umat-umat yang mendustakan.”

Adapaun frasa jihaad[an] kabiir[an] (dengan jihad yang besar). Menurut al-Zamakhsyari dan Fakhruddin al-Razi, frasa ini berarti jaami'a[n] likulli mujaahadah (yang menghimpun semua kesungguhan).

Menurut al-Alusi, jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka seolah-olah dikatakan kepada Nabi , ”Kami utus kamu untuk seluruh negeri, Kami lebihkan dan Kami muliakan kamu, dan Kami tidak mengutus setiap negeri pemberi peringatan. Maka, terimalah dengan sikap teguh dan sungguh-sungguh dalam dakwah dan memenangkan kebenaran."

Demikianlah, sudah menjadi kehendak-Nya, Nabi Muhammad diutus untuk semua manusia di seluruh penjuru dunia. Tentu saja ini merupakan beban yang amat berat. Oleh karena itu, beliau diminta untuk mengokohkan kesabaran, kekuatan, dan kesungguhan. Tatkala tugas itu dapat dilakukan, maka kemuliaan dan derajat yang tinggilah yang akan didapat.

Sebagai umat Rasulullah , kita pun harus mewarisi sikap yang sama. Kita juga diperintahkan untuk mengemban dakwah kepada seluruh umat manusia. Maka, kita harus meneguhkan kesabaran dan kesungguhan. Jika itu dapat kita lakukan, insya Allah pahala besar dan derajat yang tinggi akan diberikan. Semoga. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Tidak seperti semua nabi dan rasul lainnya yang diutus untuk kaumnya masing-masing, Rasulullah diutus untuk seluruh manusia.

2. Untuk mengemban tugas berat tersebut, beliau diperintahkan tidak mengikuti kemauan kaum kafir dan bersungguh-sungguh menghadapi mereka dengan sepenuh kemampuan.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 156

Selasa, 24 Juli 2018

Ulama Bersama HTI


Saat ajaran Islam dikriminalkan, para ulama dari berbagai daerah pun turun ke pengadilan. Jadilah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur, dipenuhi para ulama dari berbagai daerah, Kamis (19/4/2018) lalu.

Shalawat asygil pun dikumandangkan di pelataran. ”Allahumma shalli 'alaa sayyidinaa Muhammad, wa asyghilidz-dzaalimiin bidz-dzaalimiin (2x) wa akhrijnaa min baynihim saalimiin wa 'alaa alihi wa shahbihii ajma'in.”

Suasana khusyuk begitu terasa, mendengar lantunan shalawat berjamaah tersebut. Siapapun yang berada di situ akan merasakan nuansa yang berbeda. Inilah doa dari hamba-hamba yang berharap pertolongan Allah dari kezhaliman.

Shalawat itu sendiri maknanya: ”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada pemimpin kami Nabi Muhammad, dan sibukkanlah orang-orang zhalim agar mendapat kejahatan dari orang zhalim lainnya, selamatkanlah kami dari kejahatan mereka. Dan berikanlah shalawat kepada seluruh keluarga dan para sahabat beliau.”

Para ulama datang dari berbagai daerah di Indonesia. KH. Bahron Kamal dari Malang mengatakan, kedatangannya ke PTUN Jakarta tidak lain adalah karena panggilan iman. "Ini suatu pembelaan, karena ajaran Islam terutama yang diperjuangkan Hizbut Tahrir dinistakan oleh pemerintah dan juga oleh pihak-pihak lain yang tidak senang dengan Islam,” katanya.

Menurutnya, yang juga pengasuh Majelis Ta'lim dan Dzikir Ihyaul Qulub Singosari Malang, ini adalah kesempatan untuk membela agama Allah, membela organisasi yang berjuang untuk agama Allah, menegakkan syariat Allah, menegakkan institusi khilafah yang diwariskan oleh baginda Rasul SAW.

KH. Abdul Qayum, Koordinator Forum Komunikasi Ulama (FKU) Aswaja Malang Raya yang hadir di tempat yang sama menyebut, kedatangan para ulama dimaksudkan untuk memberikan dukungan bagi tegaknya syariah dan khilafah.

Ia menegaskan, khilafah yang diperjuangkan HTI bukanlah ancaman atas negeri ini. "(Kalau dipandang sebagai ancaman) ini pandangan yang sangat keliru, sangat salah sekali. Khilafah bukan ancaman bagi negeri ini dan bagi seluruh bangsa ini. Justru khilafah itu akan mengantarkan umat manusia ke jenjang yang lebih baik. Kemakmuran dan kedamaian.”

Ulama Surabaya, KH. Abdul Kholiq, berpendapat, umat Islam tidak boleh diam jika ada keinginan pihak-pihak tertentu -termasuk pemerintah- memadamkan perjuangan syariat Islam. "Kita sebagai umat Islam kalau ada syariat Islam mau dipadamkan, kita wajib memperjuangkannya. Siapapun yang akan memadamkan, baik pemerintah maupun yang lain, kita wajib melawan,” kata Ketua Forum Umat Islam Bersatu, Surabaya ini.

Ia menjelaskan, khilafah adalah ajaran Islam. Ajaran ini pernah jaya di masa Rasulullah dan para sahabat. Khilafah tidak untuk menghancurkan Indonesia, tapi justru memuliakan dunia. Ia meyakinkan, setiap ajaran Allah dan rasul-Nya itu akan membawa cahaya dan kesejahteraan seluruh umat manusia.

Sementara itu, KH. Muhyidin, pengasuh MT An-Nur Pamijahan, Bogor, melihat ada upaya menzhalimi Islam. Menurutnya, apa yang diperjuangkan oleh HTI yakni khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Rezim penguasa mencoba menyalahkan HTI karena mendakwahkan khilafah ini. ”Ini kan sebuah kezhaliman terhadap Islam,” tandasnya.

Sama dengan para ulama lain, jelasnya, ide khilafah bukanlah ide baru. Ide itu banyak dijumpai dalam khazanah Islam yang ditulis para ulama. Bahkan para ahli sejarah, termasuk dari Barat, mengakui eksistensinya.

Dan, ia mengingatkan, kehadiran khilafah sudah dikabarkan oleh Rasulullah SAW. Ia mengutip sebuah hadits bahwa nanti di akhir zaman akan ada beberapa khilafah. Khilafah akan membagikan harta yang melimpah kepada rakyat. Dengan begitu, umat ini akan sejahtera, termasuk Indonesia akan kuat. "Salah besar jika khilafah dianggap sebagai ancaman. Ini adalah kabar gembira dari Rasulullah. Ini harus disambut," jelasnya.

Dukungan kepada perjuangan HTI pun secara simultan muncul dari berbagai daerah. Dari Ponorogo, Jawa Timur, Gus Nasyir al-Mahdie, menegaskan bahwa di akhir zaman, Islam akan dimenangkan atas segala jenis diin lainnya di muka bumi.

Ia mengajak para ulama menjadi 'aaliman muta'alliman 'aabidan 'aarifan bi syarthil ikhlash, yaitu menjadi manusia yang memiliki ilmu, mau terus belajar, tekun beribadah, memiliki ma'rifah, yang kesemuanya itu dibingkai dalam syarat keikhlasan semata karena Allah.

”Janganlah para ulama menukarkan agama ini demi sekerat dunia, yang di Akhirat justru akan menyeretnya ke Neraka,”… “Kita sudah kenyang dizhalimi oleh penguasa. Jamaah dakwah dibredel," tegas Gus Nasyir kepada para jamaah dalam acara Mudzakarah Ulama Mataraman.

Ulama yang lainnya, KH. Anas Karim mengajak para ulama untuk mau mengajak umat berjuang menegakkan khilafah, yang merupakan penerap dan penegak ajaran Islam.

Dari Semarang, KH. Syamsuddin Al-Hafidz dari Pondok Pesantren The Holy Qur'an Mangkang, Semarang menegaskan bahwa khilafah itu memang diperintahkan oleh Rasulullah. ”Khilafah memang ajaran Islam, di mana khilafah adalah kepemimpinan yang adil bagi manusia,” tegasnya.

KH. Subi'at, muballigh dari Kinibalu Semarang, mewanti-wanti para ulama untuk tidak takut menghadapi musuh Islam. ”Kita tidak perlu khawatir dengan musuh-musuh Islam. Orang-orang kafir di dunia ini akan dikalahkan, bahkan di Akhirat kelak mereka akan dikumpulkan dalam Neraka Jahanam, dan Jahanam adalah seburuk-buruk tempat tinggal di akhirat,” ucapnya.

Di Lampung, Ustadz Candra Alamanda, Pembina BKPRMI Lampung, menyatakan: ”Kalau soal dalil tentang wajibnya khilafah sudah gak usah ditanya, seabreg. Bahkan orang Lampung sendiri, H. Sulaiman Rasyid, menulis Bab Khilafah di dalam kitab Fiqih Islam karya beliau. Maka orang Lampung harusnya juga wajib memperjuangkan khilafah."

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 219

Selasa, 17 Juli 2018

HTI Di Hadapan Sekularis-Liberalis



Dalam sidang yang berlangsung Kamis (8/1/2018) pemerintah mendatangkan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Yudian Wahyudi.

Anggota American Association of University Professors, Harvard University, Amerika Serikat ini duduk sebagai ahli untuk membantah ajaran khilafah yang didakwahkan oleh HTI. Profesor yang melarang penggunaan cadar dan kemudian mencabutnya kembali ini dengan tegas menyatakan bahwa mendirikan khilafah di Indonesia berarti memberontak kepada Allah.

Baginya, khilafah itu ditulis oleh ulama yang hidup di masa khilafah masih ada. Sehingga, ia menyamakan keberadaan para ulama itu sama seperti pegawai negeri sipil/ aparat sipil negara saat ini. ”Kemudian rezimnya berubah seperti sekarang, ASN/PNS tidak harus memilih Golkar, sekarang bebas-bebas saja, berubah sikap,” kata Yudian.

Alumni Fakultas Filsafat UGM ini pun menyatakan khalifah bukanlah pemimpin negara khilafah. Menurutnya, khalifah adalah status terkait keahlian atau profesionalitas. Khalifah, bisa hadir dalam sistem apapun. Ahli juga menyebut Donald Trump sebagai khalifah terkuat saat ini. Jokowi, disebut khalifah level nasional.

Ia menentang ide khilafah. Ahli yang kuliah S2 dan S3 di McGill University, Montreal Kanada ini menolak kesepakatan para ulama empat mazhab yang menyatakan bahwa menegakkan khilafah itu hukumnya wajib. ”Klaim bahwa semua ulama sepakat itu, itu klaim teoritis,” katanya beralasan.

Sayangnya, sang profesor itu tak menunjuk dasar dirinya menyebut dasar hukum ucapannya itu. ”Pada akhir zaman, saat Khilafah Utsmaniyah saja, pada saat seharusnya didukung oleh semua dunia Islam, tokoh-tokoh dari berbagai wilayah menolak kok," katanya.

Namun ketika didesak oleh juru bicara HTI M. Ismail Yusanto, apakah menegakkan khilafah wajib, ia tak bisa mengelak bahwa itu wajib. ”Wajib ditegakkan, tapi tidak seperti yang dikehendaki HTI,” sergahnya.

Lalu Ismail menanyakan lagi, "Apakah menerapkan, melaksanakan syariah Islam itu wajib?"

Yudian menjawab: "Ini tinggal dilihat. Ini bisa berlapis-lapis caranya. Apakah shalat harus dengan khilafah, nggak juga. Kan semua sudah difasilitasi. Wajib tapi lihat ruang dan waktu.”

Ditanya lagi, ”Bersatunya umat Islam itu wajib apa tidak?”

Ia menjawab: "Wajib. Justru karena kita sudah punya persatuan, bi hablillah [dari wa'tasimu bi hablillahi jami'a, -red.] ini jelas, Pancasila. Kalau Anda bikin versi yang lain, pecah kita.”

Ketika ditanyakan kepada ahli filsafat ini bahwa ada ulama yang mewajibkan menegakkan khilafah yang mereka tidak hidup di masa kekhilafahan, Yudian dengan enteng menyatakan: "Mereka membuat tidak sampai pada aksi."

Lalu saat didesak lagi oleh Ismail apakah khilafah itu wajib, ahli yang mengakui semua agama sama ini menjawab: "Iya, itu wajib.”

Namun ia buru-buru mengatakan itu tidak wajib pada masa sekarang. Alasannya, ijmak sahabat sebagai salah satu dasar kewajiban menegakkan khilafah sudah di-mansukh (dihapus) oleh kesepakatan di Indonesia.

"Itu jadi tidak wajib. Saya justru ingin membebaskan umat Islam dari konsep yang (khilafah) itu. Itu bedanya. Kalau bilang wajib, konsep siapa yang lebih berhasil. Saya atau Anda. Nanti kita cek habis ini,” kata Yudian.

Profesor yang punya kantor di Harvard AS ini pun menyatakan fikih itu berkembang sesuai dengan ruang, waktu, dan pelakunya. Semuanya bisa berubah. ”Artinya begini, khilafah tidak persis itu, tapi tujuan-tujuan pemerintahan itu bisa dicapai. Tanpa namanya itu," katanya.

Jadi khalifah versinya adalah orang-orang profesional yang punya nama, menang tanding, dan lolos tes. Sehingga, khilafah yang diperjuangkan HTI itu tidak wajib bahkan menegakkan daulah Islam di Indonesia hukumnya haram.

Ketika ditanya oleh Ismail, apa rujukan yang menyatakan bahwa ijmak sahabat telah di-mansukh oleh ijmak di Indonesia, Yudian menjawab: "Ijmak sahabat itu kan teori. Ijmak yang berlaku itu ya di Indonesia.”

Didesak lagi oleh jubir HTI, dokumen/ landasannya apa yang menyebutkan ijmak di Indonesia me-mansukh ijmak sahabat? Dengan nada tinggi, Yudian menjawab: ”Siapa yang bilang tidak ada. Ijmak itu ada berapa sih? Makanya, kita jadi susah dengan masa lalu yang tidak berlaku itu. Hukum bisa berubah jika ruang dan waktunya dan pelakunya berubah. Siapa yang bikin ijmak itu? Orang sudah mati semua kok. Ijmak hanya pendapat, tidak berlaku di sini.”

Apa yang dikemukakan oleh Yudian ini membuat geram para ulama yang menghadiri sidang tersebut. Terlebih apa yang dikemukakannya hanya atas dasar logika semata, tidak ada rujukannya.

Menanggapi pernyataan Yudian itu, Ketua Hizbut Tahrir Wilayah Indonesia Rokhmat S. Labib mengatakan, "Sebuah kesalahan besar dan tuduhan lancang kepada para ulama, mengatakan bahwa ulama mewajibkan khilafah itu berdasarkan realitas yang ada di sekitar mereka karena khilafah sedang berdiri!”

Menurutnya, menyamakan para ulama dahulu seperti sikap PNS yang ada pada rezim yang ada sekarang ini, merupakan sebuah tuduhan serius, bahwa seolah-olah ulama mengatakan "ini wajib” berdasarkan pada hawa nafsunya.

Padahal, kata Rokhmat, mereka mengatakan "ini wajib” berdasarkan dalil syar'i. Imam Nawawi menegaskan," Bahwa mereka (para ulama) bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslimin mengangkat seorang khalifah, kewajibannya berdasarkan syara', bukan akal.”

Rokhmat juga membantah kriteria khalifah ala Yudian ini yakni pertama, profesional; kedua, menang tanding. "Itu sangat aneh sekali, mana ada rujukan atau ulama yang mengatakan bahwa khalifah itu seperti itu. Bahkan menyebut pemimpin orang kafir pun disebut sebagai seorang khalifah. Di mana coba?" tanya Rokhmat.

Ia berani memastikan, tidak ada satu pun ulama muktabar yang mengatakan seperti itu. ”Mana ada Trump seorang khalifah. Khalifah kok memerangi Islam dan kaum Muslimin?” tanyanya retorik.

Ia merasa heran dengan pernyataan Yudian yang menyebutkan sebenarnya yang ditentang oleh Yudian adalah khilafah versi HTI. Padahal, lanjutnya, khilafah sebagaimana yang disampaikan oleh HTI sama dengan yang ada di kitab-kitab para ulama. Bahkan ada di kitab-kitab kuning yang dipakai di pesantren dan bisa dibandingkan isinya.

Baik dalam buku HTI maupun kitab-kitab yang ditulis ulama muktabar, jelasnya, khilafah itu pemimpin secara umum untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan untuk mengemban dakwah Islam. Itu juga yang dikatakan para sahabat, Abu Bakar ra. ketika menjadi khalifah, harus ada orang yang memiliki tugas menegakkan agama ini, itulah khalifah.

Apa yang dikemukakan ahli di depan pengadilan, lanjut Rokhmat, sama sekali tidak ada rujukannya, mau kitab tafsir, ataupun kitab fikih. "Tidak ada. Jadi aneh orang seperti itu dikatakan ahli dalam agama. Wong tidak ada rujukannya dari para ulama pendapat yang seperti itu,” jelasnya.

Tak hanya Yudian Wahyudi, sepekan sebelumnya, mantan Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai pun melontarkan tudingan tanpa dasar di muka pengadilan yang sama.

Ahli yang didatangkan oleh pihak pemerintah itu mengatakan bahwa khilafah merupakan paham radikal. Khilafah juga paham yang sangat berbahaya dan terkait erat dengan terorisme. "Terorisme adalah anak kandung radikalisme,” katanya.

Bahkan Ansyaad menegaskan bahwa radikalisme lebih berbahaya daripada terorisme. Semua aksi kekerasan dan teror di Indonesia terkait dengan paham ini. ”Maka, jika paham radikal ini dibiarkan, maka kita akan terus mandi bom,” ucapnya.

Tak hanya itu, pensiunan polisi ini menyimpulkan semua pelaku bom yang bertujuan ingin menegakkan khilafah ada kaitannya dengan HTI. Ia mengatakan, sebanyak 25 di antara pelaku terorisme adalah pernah menjadi anggota HTI. Lagi pula, kata dia, HT dilarang di 20 negara.

Upaya framing Ansyaad ini pun terpatahkan di persidangan. Juru bicara HTI M. Ismail Yusanto menjelaskan, Hizbut Tahrir di beberapa negara tidak dibubarkan. Turki dan Malaysia, adalah contohnya. HT Malaysia beberapa waktu yang lalu mengadakan Konferensi Khilafah. Sedangkan Turki, jubir justru ikut hadir menjadi salah satu pembicara dalam sebuah forum diskusi yang diadakan HT Turki.

Kuasa hukum HTI menanyakan bagaimana menurut ahli jika HTI dicabut status hukumnya tanpa prosedur? Tanpa mediasi? Tanpa bukti administrasi? Ansyaad hanya terdiam dan mengelak itu bukan bagian dari keahliannya.

Usai sidang Ismail menjelaskan, "Kita bisa pastikan bahwa tidak mungkin anggota HTI terlibat terorisme," tegasnya. Karena, salah satu prinsip utama dari gerak dakwah Hizbut Tahrir adalah non-kekerasan (la unfiyah).

Ismail menyebutkan, kalaulah umpamanya benar bahwa mereka itu pernah aktif di Hizbut Tahrir, itu artinya masa lalu. Ketika dia terlibat terorisme, dia sudah bukan lagi anggota Hizbut Tahrir sehingga tidak bisa dikait-kaitkan dengan Hizbut Tahrir. ”Pengaitan dengan Hizbut Tahrir itu jelas tindakan yang tidak logis, tindakan yang semena-mena,” bebernya.

Bahkan, kalaulah umpamanya pun dia masih aktif, tetap tidak bisa juga dikaitkan dengan Hizbut Tahrir karena itu tindakan yang bertentangan dengan Hizbut Tahrir itu sendiri. Jadi itu tanggung jawab dia. "Jadi sama seperti halnya ada seorang polisi nembak, itu tidak bisa kepolisian sebagai organisasi dipersalahkan, itu adalah tanggung jawab yang bersangkutan," ujarnya.

Ismail menilai, kehadiran Ansyaad Mbai tampaknya dimaksudkan untuk mengaitkan antara ide khilafah dengan terorisme. ”Tujuannya, untuk memberikan image atau citra bahwa Hizbut Tahrir itu dekat sekali dengan terorisme, bahwa khilafah itu sangat berbahaya. Karena itulah benar, kalau Hizbut Tahrir harus dibubarkan. Konstruksinya kan begitu,” paparnya.

Di mata Ismail, tindakan rezim Jokowi ini sangat jahat. ”Kalau menurut saya itu jahat sekali. Ini upaya framing dan generalisasi yang jahat sekali,” terang jubir HTI.

Ketua Hizbut Tahrir Wilayah Indonesia Rokhmat S. Labib pun membantah tudingan ngawur itu. ”Tidak ada satu pun anggota HTI yang terlibat aksi kekerasan!” tandasnya.

Bahkan, setiap ada aksi teror bom di Indonesia, HTI selalu mengeluarkan sikap. “Mengecam keras tindakan tersebut. Lalu bagaimana bisa dituduh terlibat dengan aksi-aksi tersebut?" gugatnya.

Rokhmat menjelaskan, khilafah itu ajaran Islam. Dengan khilafah, semua ajaran Islam bisa diterapkan. ”Sementara tidak ada satu pun ajaran Islam yang buruk, semuanya baik, mendatangkan rahmat, menjauhkan dari murka Allah. Di mana terornya? Jika ada kelompok yang mengatakan berjuang menegakkan khilafah dengan kekerasan, tidak bisa digeneralisir semuanya begitu,” paparnya.

Koordinator Koalisi 1000 Advokat Bela Islam Ahmad Khozinuddin mengatakan bahwa bagi masyarakat yang banyak berinteraksi dengan HTI, tudingan Ansyaad Mbai bahwa HTI sebagai gerakan teroris atau setidaknya menginspirasi terorisme akan dianggap candaan saja. Sebab, telah dikenal secara luas bahwa HTI dalam mengemban misi dakwah Islam murni dengan pemikiran, dakwah amar makruf nahi munkar, tanpa fisik dan tanpa kekerasan.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 216


Australia Tolak Masukkan Hizbut Tahrir Sebagai Organisasi Teroris

Jaksa Agung George Brandis kembali menolak daftar Hizbut Tahrir sebagai organisasi teroris di Australia Mei lalu beberapa saat setelah pemerintah Indonesia menyatakan bahwa HTI akan dibubarkan karena dianggap menimbulkan konflik di masyarakat.

Sebelumnya, Senator Brandis mencari saran dari Organisasi Intelijen Keamanan Australia terkait dengan organisasi tersebut. Ini mengingat di Australia, HT juga berkembang.

Itu adalah "pandangan kuat" analis ASIO bahwa Hizbut Tahrir Australia -yang menggambarkan dirinya sebagai "partai politik" di situs resminya- tidak sesuai dengan definisi organisasi teroris dalam kode pidana.

Di negara tersebut, ada 23 badan yang terdaftar sebagai organisasi teroris. Daftar itu dikeluarkan oleh jaksa agung setempat setelah menerima bukti kuat yang memuaskan bahwa sebuah organisasi terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam mempersiapkan, merencanakan, membantu atau mendorong dilakukannya tindakan teroris, atau mendukung tindakan teroris.

Nah, HT memang tak pernah terlibat aksi terorisme. Terlibat tidak langsung pun tidak. Lha kok di Indonesia malah dituduh-tuduh seenaknya. Ini ngawur apa fitnah?[] referensi: http://www.news.com.au/ Sumber: Tabloid Media Umat edisi 216

Senin, 09 Juli 2018

Dakwah HTI Di Hadapan Sekularisme-Liberalisme


Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menjadi alat legitimasi penguasa bagi propaganda perang melawan radikalisme. Meski ini adalah persidangan yang menangani sengketa tata usaha negara yakni soal administrasi negara, nyatanya selama persidangan kuasa hukum pemerintah lebih banyak mempermasalahkan ide-ide dakwah HTI, terutama ide khilafah. Objek sengketa yakni SK pencabutan BHP HTI justru sedikit sekali dibahas oleh kuasa hukum pemerintah -dikenal pro liberal dan ada yang kafir.

Pandangan majelis hakim setali tiga uang dengan kebijakan pemerintah selama ini yang memandang Islam sebagai ancaman. Dan di pengadilan, nuansa anti khilafah dan anti syariah Islam itu sangat kental, baik yang disampaikan oleh kuasa hukum pemerintah maupun saksi dan para ahli dari rezim Jokowi. Mereka misalnya, mempermasalahkan larangan wanita dan orang kafir menjadi pemimpin, bahasa Arab sebagai bahasa negara, dan lainnya.

Apa yang terjadi di ruang persidangan itu mengingatkan pada pernyataan Presiden Jokowi sebelumnya. Jokowi menyebut bahwa ancaman negara bukanlah komunisme, melainkan radikalisme dan paham garis keras [baca: Islam]. ”Jangan sampai kampus-kampus menjadi lahan penyebaran ideologi anti-Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika," kata Presiden.

Lebih jelas lagi disampaikan KapoIri Jend (Pol) M Tito Karnavian. Pada satu kesempatan ia menyebut, tujuan dari radikalisme selalu ingin melemahkan keberadaan pemerintah, guna mengambil keuntungan politik dengan ancaman kekerasan. ”Tujuannya, mendelegitimasi pemerintah, dengan ancaman kekerasan. itulah tujuannya mendelegitimasi pemerintah sampai tidak mampu melindungi warganya, nah di mana posisi radikalisasi, pengambilalihan kekuasaan,” tambahnya.

Upaya pemerintah menggiring kasus di dalam PTUN ke arah materiil itu kian terlihat ketika rezim mengajukan ahli Ansyaad Mbai. Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini menyebut radikalisme lebih bahaya dari terorisme.

Dalam pandangan ahli pemerintah, khilafah adalah ancaman nyata. Sistem pemerintahan Islam ini dinilai tidak cocok bagi Indonesia karena Indonesia sudah memiliki kesepakatan yang tidak boleh diubah alias harga mati. Bahkan menurut Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Yudian Wahyudi, siapa yang ingin mengganti Pancasila berarti memberontak kepada Allah, dengan alasan umat Islam tidak boleh mengkhianati kesepakatan.

Yang menarik, para ahli pemerintah ini seakan tak peduli dengan pernyataan para ulama masyhur bahwa menegakkan khilafah hukumnya wajib. Mereka pun tak peduli bahwa tak ada ulama yang menentang kewajiban itu. Bagi mereka yang penting, NKRI harga mati.

Rezim ini pun tak peduli dengan penjelasan dan argumentasi HTI tentang perjuangannya. Juru bicara HTI M. Ismail Yusanto berulang kali menegaskan, khilafah itu justru untuk menyelamatkan negeri ini dari ancaman neoliberalisme dan neoimperialisme. Syariah, sebagai salah satu substansi dari khilafah, akan menggantikan liberalisme. Sedang persatuan umat, akan mencegah negeri ini makin masuk ke dalam cengkeraman neoimperialisme.

Menurutnya, dengan putusan PTUN ini, publik semakin mendapatkan bukti bahwa rezim yang tengah berkuasa saat ini adalah rezim represif anti-Islam. Sebelumnya, mereka melakukan kriminalisasi terhadap para ulama, bahkan di antaranya ada yang masih ditahan hingga sekarang, lalu melakukan pembubaran atau penghalangan terhadap kegiatan dakwah di sejumlah tempat. Sementara di saat yang sama, rezim justru dengan sekuat tenaga melindungi penista Al-Qur’an, membiarkan terjadinya ketidakadilan hukum, politik dan ekonomi terhadap umat dan tokoh Islam.

Secara global, langkah rezim ini seirama dengan politik Amerika Serikat. Dewan penasihat keamanan Donald Trump menyatakan, kini Amerika Serikat sedang berperang dengan "terorisme radikal Islam," atau "Islam radikal", atau sesuatu yang lebih luas lagi, seperti "Islamisme." Mereka menggambarkan perang ini sebagai perjuangan ideologis untuk melestarikan/ mempertahankan peradaban Barat, seperti perang melawan Nazisme dan komunisme.

Mereka menyebut, perang ini tidak terbatas pada Muslim ekstremis Sunni atau Syiah ekstremis, tapi Islam secara menyeluruh, khususnya mereka yang ingin mengambil kekuasaan negara.

Lanjutkan Perjuangan

Ismail menegaskan, dakwah adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh kaum Muslim. Dakwah yang dimaksud mencakup seluruh ajaran Islam dari A sampai Z, menyangkut urusan pribadi, keluarga, masyarakat, hingga negara.

Ia mengingatkan, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Yang bisa mengubah negeri ini sepenuhnya adalah rakyat sendiri, bukan organisasi manapun. HTI, katanya, hanya menawarkan konsep-konsep perubahan ke arah yang lebih baik kepada masyarakat yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Pihaknya yakin, dengan melaksanakan syariah secara kaffah, Indonesia akan berubah menjadi lebih baik dan mendapatkan berkah dari Allah SWT. Selain itu, khilafah adalah solusi permasalahan yang melanda negeri ini dan dunia pada umumnya.

HTI Bukan Kelompok Terlarang

Kuasa Hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra menegaskan, hingga saat ini status ormas Islam HTI bukan ormas terlarang.

Yusril mengatakan bahwa meski status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI sudah dicabut, bukan berarti ormas tersebut tidak bisa beraktivitas. “Yang dicabut adalah status badan hukum HTI, tetapi bukan berarti HTI tidak bisa beraktivitas karena mereka punya hak untuk berorganisasi dan beraktivitas, apalagi aktivitas dakwah Islam," jelasnya dalam jumpa wartawan, Selasa (8/5/2018) di Kantor DPP HTI, Crown Palace, Jakarta.

“Jadi kalau Hizbut Tahrir tidak berbadan hukum, ya tidak dilarang," bebernya.

“Apakah ada Ormas tidak berbadan hukum? Banyak Ormas yang tidak berbadan hukum, apalagi OTB, organisasi tanpa bentuk, lebih banyak lagi,” ungkapnya.

Ajaran Islam Ingin Dikalahkan?

Di persidangan justru terungkap bahwa ide-ide yang disebarkan oleh HTI bukanlah sesuatu yang baru. HTI hanya menyebarkan ajaran Islam. Ajaran itu bahkan mewarnai sejarah umat manusia selama berabad-abad lamanya.

Buku-buku populer dengan sangat tegas membuktikan bahwa khilafah adalah ajaran Islam. Misalnya saja:
·      Buku Khalifah (Kepala Negara) Sepanjang Pimpinan Al Quraan dan Sunnah (cetakan kedua, Tahun 1984) Karya KH. Moenawar Khalil, Penerbit CV. Ramadhani, Solo.
·      Ada juga buku fiqih Islam Wa Adillatuhu (Jihad, Pengadilan dan Mekanisme Mengambil Keputusan, Pemerintahan dalam Islam) ditulis Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili diterbitkan oleh Penerbit Gema Insani Jakarta pada tahun 2011;
·      Buku Ensiklopedi Islam 3 (cetakan kesembilan), diterbitkan oleh PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta pada tahun 2001;
·      Buku Al-Ahkam Sulthaniyyah (Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam), ditulis Imam Al-Mawardi, diterbitkan oleh PT. Darul Falah, Bekasi pada Tahun 2006;
·      Buku Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap) cetakan ke-77, Penulis: H. Sulaiman Rasjid, diterbitkan oleh Sinar Baru Algesindo Bandung, pada tahun 2017;
·      Dan buku Tarikh Khulafa (Sejarah Penguasaan Islam, Khulafa'urasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah) Cetakan ke 13, ditulis oleh Imam As-Suyuthi, diterbitkan oleh Pustaka Al-Kautsar, Jakarta pada tahun 2017.
Semua buku tersebut mengupas dengan jelas tentang khilafah, bahwa khilafah adalah ajaran Islam dalam bidang pemerintahan.

Lebih lanjut, saksi ahli Dr. Daud Rasyid MA menyatakan, ”Jadi sebenarnya dalam disiplin keilmuan tidak ada orang yang mempertanyakan khilafah itu perlu atau tidak. Karena dia adalah sebuah keharusan dalam rangka untuk menegakkan hukum syariah Al-Qur’an, membawa syariah, syariah itu berarti hukum. Di antaranya hukum mengenai ibadah, ada hukum mengenai hukum publik menyangkut pidana, hukum dagang, bahkan sampai hukum internasional. Maka itu semua hukum ketika akan dilaksanakan harus melalui kekuasaan. Maka kekuasaan itu adalah yang dikatakan dengan khilafah.”

Ia menegaskan dalam kesaksiannya: "Jadi khilafah ini di dalam hadits, terang, jelas, tidak ada yang bisa untuk menutup-nutupinya, dan dia sudah menjadi fakta sejak zaman Khulafaur Rasyidin.”

Hal yang sama ditegaskan Prof. Dr. KH Didin Hafiduddin. "Iya, benar khilafah itu Ajaran Islam. Khilafah itu kan terjadi dalam sejarah hampir 1200 tahun khilafah Islam. Artinya memang kenapa itu terjadi? Karena khilafah itu bagian dari ajaran Islam,” katanya di hadapan majelis hakim.

Ia kemudian menjelaskan bagaimana proses pembaiatan khilafah yang pertama dan selanjutnya. ”Jadi menurut saya masalah syariah apalagi masalah khilafah itu merupakan bagian dari ajaran Islam. Dan Hizbut Tahrir sebenarnya hanya mengingatkan kembali saja," tegasnya.

Bahkan ketika saksi ahli pemerintah yakni Achmad Ngishomudin ditanya apa hukumnya khilafah, ia menjawab: ”Hukum menegakkan khilafah di dalam kitab fikih lama seluruhnya adalah wajib.”

Maka, terbukti bahwa khilafah yang diperjuangkan HTI adalah bagian dari ajaran Islam. Sehingga pelarangan atas kegiatan HTI mendakwahkan khilafah sama artinya dengan melarang HTI menjalankan syariah Islam.

Dan menurut Prof. Suteki, pakar hukum dari Undip Semarang, mendakwahkan ajaran Islam tidak melanggar hukum.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 219, 220

Kamis, 05 Juli 2018

Hizbut Tahrir Seluruh Dunia Ingatkan Pentingnya Khilafah Islam



Hizbut Tahrir di seluruh dunia pada bulan Rajab yang mulia melakukan kampanye masif tentang kewajiban menegakkan khilafah bagi umat Islam. Hizbut Tahrir mengingatkan, pada 28 Rajab 1342 H, khilafah yang berpusat di Istanbul diruntuhkan oleh penjajah Inggris yang bekerja sama dengan antek setianya Kamal Attaturk. Sejak saat itu umat Islam tidak lagi memiliki khilafah yang diwajibkan Allah SWT.

Kampanye tentang keruntuhan khilafah dan kewajiban menegakkannya kembali ini dilakukan di berbagai kawasan di seluruh dunia. Di Palestina, tanah yang diberkati, Hizbut Tahrir mengadakan konferensi di Gaza pada Sabtu (27 Rajab 1439/ 14 April 2018) dengan tema ‘Khilafah akan Mengembalikan Kemuliaan Umat Islam dan Palestina'. Dalam acara ini para orator menegaskan tentang pentingnya khilafah untuk membebaskan negeri-negeri Islam dari dominasi kolonialisme.

Hizbut Tahrir Palestina kembali menyadarkan umat tentang pentingnya persatuan umat di bawah naungan khilafah untuk membebaskan tanah Palestina. Hizbut Tahrir mengecam penguasa-penguasa Arab yang secara terbuka telah menunjukkan belangnya sebagai antek Amerika dengan tunduk kepada tawaran Donald Trump yang mendukung Yerusalem sebagai ibukota entitas penjajah Zionis Yahudi.

Aksi pada hari yang sama dilakakukan Hizbut Tahrir Palestina di Khalil ar Rahman. Peserta aksi dalam jumlah yang besar meneriakkan slogan-slogan menyerukan mengembalikan khilafah Islam di tengah-tengah umat Islam. Sebelumnya pada akhir Maret, aktivis Hizbut Tahrir Palestina, Dr. Musab Abu Arqoub menyerukan mobilisasi tentara dari negeri-negeri Islam untuk membebaskan Palestina.

"Yerusalem adalah jantung dari kaum Mukminin yang percaya pada hadits Rasulullah SAW yang menegaskan Syam (termasuk Palestina) akan menjadi bagian dari Darul Islam, negara Khilafah Rasyidah,” ujarnya.

Sementara itu di hadapan ribuan massa, di halaman Masjid Al-Aqsha, Palestina, Syeikh Issam Amira, imam masjid di al-Quds, pada Jumat 27 Rajab 1439 (13/4/2018) menyerukan umat Islam agar segera bersatu untuk menegakkan khilafah. Satu-satunya, yang bisa membebaskan Palestina dari cengkeraman Yahudi, ujarnya, adalah Khilafah Islam yang menyatukan umat.

”Dari sini, Masjid al-Aqsha, tempat Isra'-nya Rasulullah SAW, tanah yang diberkati, kami menyerukan kepada umat dan tentara-tentaranya, orang-orang yang memiliki kekuasaan, untuk mendukung Islam dan kaum Muslimin untuk menegakkan khilafah. Bersegeralah untuk membebaskan Masjid al-Aqsha yang diduduki Zionis Israel, bersegeralah membebaskan umat Islam yang tertindas di Suriah, Palestina, Yaman, Burma, dan negeri-negeri Islam lainnya,” ujarnya.

Syeikh Issam Amira juga menyoroti penderitaan apa yang terjadi di tengah umat setelah umat tidak lagi memiliki Khilafah Islam selama lebih kurang 97 tahun. Ketiadaan khilafah sebagai pelindung telah membuat umat Islam kehilangan 'kehormatan' dan kehilangan Al-Quds.

”Sembilan puluh tujuh tahun umat Islam hidup tanpa khilafah, umat Islam mengalami penderitaan yang luar biasa, terjadi pembunuhan terhadap umat Islam, yang korbannya tak terhitung lagi, penguasa-penguasa iblis negeri Islam telah menghalangi penerapan syariah Islam. Di sisi lain, mereka dengan setia melayani penjajah dengan menindas rakyatnya sendiri, membiarkan penjajah merampaskan kekayaan alam negeri-negeri Islam," paparnya.

Kegiatan yang sama juga dilakukan Hizbut Tahrir di seluruh dunia seperti Tunisia, Lebanon, Pakistan, Turki, Inggris, Amerika, Australia termasuk Indonesia.
Di Tunisia pada Jumat Rajab 1439 H (13/4/2018) Hizbut Tahrir membagi selebaran setelah shalat Jumat di beberapa masjid di Tunisia. bersamaan dengan itu juga diadakan pidato-pidato yang mengingatkan umat Islam berbagai tragedi yang menimpa umat Islam akibat ketiadaan khilafah.

Hizbut Tahrir di Tunisia menyerukan umat untuk bekerja bersama-sama Hizbut Tahrir menegakkan khilafah. “Ini bukanlah proyek Hizbut Tahrir saja, karena menegakkan kembali khilafah adalah kewajiban dari Allah SWT bagi seluruh umat Islam,” ujar seorang orator.

Di Inggris, peringatan runtuhnya khilafah diadakan di depan kantor Kedubes Turki di London. Mereka mengecam sikap penguasa-penguasa Muslim termasuk Turki yang membiarkan penderitaan umat Islam di Palestina. Penguasa negeri Islam dikecam karena tetap mempertahankan hubungan dengan Zionis Yahudi, meskipun mereka menjajah Palestina.
”Satu-satunya solusi untuk membebaskan Palestina adalah seperti yang dilakukan oleh Salahuddin al-Ayyubi, dengan menggerakkan tentara-tentara negeri Islam, Khilafah Islam yang akan segera tegak akan melakukan hal yang sama," tegas seorang orator.

Di Indonesia, bersamaan dengan peringatan peristiwa Isra'-mi'raj di bulan Rajab 1439 H, Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan umat tentang peristiwa penting runtuhnya Khilafah di bulan Rajab 1432 H. Sejak saat itu umat Islam kehilangan institusi politik penting yang menyatukan dan melindungi umat serta menerapkan syariah Islam secara totalitas.

Dalam acara yang digelar di Masjid al-Munawar, Jakarta dan di 35 kota seluruh Indonesia secara serentak pada Sabtu (14/4/2018), Hizbut Tahrir Indonesia mengingatkan kewajiban umat Islam untuk menegakkan khilafah rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah. Hizbut Tahrir juga menyerukan umat untuk membela perjuangan ini dan bersama-sama Hizbut Tahrir berjuang sungguh-sungguh mengembalikan Khilafah yang menjadi solusi bagi seluruh persoalan umat Islam saat ini.[]af

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 219


Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam