Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 26 Februari 2020

Manusia Bisa Seperti Binatang Ternak - TAFSIR al-Furqan: 44



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (TQS. al-Furqan [25]: 44).

Di antara faktor yang membedakan manusia dengan hewan adalah akal. Akal itulah yang menaikkan derajat manusia di atas semua makhluk di atas bumi. Namun masalahnya, tidak semua manusia mau menggunakan akalnya dengan benar. Maka, perilaku mereka pun tak ubahnya seperti binatang ternak. Bahkan lebih sesat lagi. Inilah di antara yang dijelaskan dalam ayat ini.

Tidak Mendengar dan Memahami

Allah SWT berfirman: Am tahsabu anna aktsaruhum yasma‘uun (atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar). Dalam ayat sebelumnya diberitakan kepada Nabi tentang orang yang menjadikan tuhannya atas dasar hawa nafsunya; atau orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Kemudian ditegaskan kepada Nabi bahwa beliau tidak bisa menjadi penjaga dan pemelihara atas mereka.

Kemudian dilanjutkan dengan ayat ini yang diawali dengan firman-Nya: Am tahsabu (apakah kamu mengira). Mukhaathab atau pihak yang diseru ayat ini masih Rasulullah . Menurut al-Hijazi dalam al-Tafsiir al-Waadhih, frasa ini bermakna laa tazhunna (janganlah kamu mengira). Jika demikian maknanya, maka frasa tersebut akan menafikan kalimat sesudahnya. Misalnya, kalimat: Janganlah kamu mengira mereka mendengar, memberikan pengertian bahwa mereka tidak mendengar. Demikian pula dengan ayat ini. Ketika setelah kata tahsabu disebutkan: anna aktsaruhum yasma‘uun aw ya’qiluun (bahwa sebagian besar mereka mendengar dan berpikir), maka memberikan pemahaman bahwa sebagian besar mereka tidak mendengar dan berpikir. Dikatakan al-Biqa'i, kalimat istifhaam (kalimat tanya) dalam avat ini menghasilkan makna yang menunjukkan nafi (meniadakan).

Yang dimaksud bahwa mereka tidak mendengar di sini bukan berarti mereka tuli atau tidak bisa mendengar. Akan tetapi yang dimaksud dengannya adalah mereka tidak mau menggunakan pendengarannya untuk mendengarkan petunjuk atau ayat-ayat Allah SWT. Tentang perkara yang tidak didengar, al-Thabari berkata: maa yutlaa 'alayhim, faya'awnahu (apa yang dibacakan atas mereka, lalu mereka memahaminya).

Bukan saja tidak mau mendengar. Mereka juga tidak mau berpikir. Dalam ayat ini disebutkan: aw ya’qiluun (atau mereka berpikir). Diterangkan Fakhruddin al-Razi, yang dimaksud ayat ini bukan berarti mereka tidak memiliki akal. Akan tetapi, mereka tidak memanfaatkan akal. Ini seperti ungkapan seseorang kepada orang lain yang tidak paham: Sesungguhnya kamu buta dan tuli.

Dikatakan al-Khazin, frasa ini berarti: Mereka tidak memeriksa dan menyelidiki hujjah dan pemberitahuan. Masih menurut al-Khazin, ini merupakan celaan yang lebih parah dari celaan sebelumnya terhadap orang-orang kafir itu. Sebab, mereka -karena besarnya permusuhan mereka- tidak mau mendengar perkataan. Kalaupun mendengarnya, mereka tidak memikirkannya. Seolah-olah mereka tidak memiliki pendengaran dan akal sama sekali.

Patut dicatat, dalam ayat ini tidak disebutkan annahum (bahwa mereka). Akan tetapi disebutkan aktsaruhum (sebagian besar mereka). Menurut Fakhruddin al-Razi, hal itu karena ada di antara mereka yang telah mengetahui Allah SWT dan memahami kebenaran. Akan tetapi mereka kemudian meninggalkan Islam hanya disebabkan oleh kecintaan terhadap kekuasaan, bukan karena kebodohan.

Berkaitan dengan sikap orang-orang kafir yang tidak mau mendengar petunjuk dan ayat-ayat Allah SWT ini, banyak disebutkan dalam ayat-ayat lain. Bahkan mereka disebut buta, tuli, dan tidak berakal. Di antaranya adalah firman Allah SWT: “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti.” (TQS. al-Baqarah [2]: 171). Disebutkan pula dalam QS. al-A'raf [7]: 179, al-Jatsiyah [4S]: 23, dan lain-lain.

Lebih Sesat Dari Binatang Ternak

Setelah ditegaskan bahwa sebagian besar mereka tidak mendengar dan tidak berakal, kemudian Allah berfirman: in hum illaa ka al-an'aam (Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak). Huruf in yang diiringi dengan kata illaa bermakna nafiy. Sehingga, ayat ini memberikan makna: Mereka tidak lain kecuali seperti binatang ternak.

Dikatakan al-Khazin, mereka disebut demikian karena perkataan tidak lagi bermanfaat bagi mereka, dan tidak membuat mereka maju untuk memperhatikan dan berpikir. Ibnu Jarir al-Thabari juga berkata, mereka seperti binatang yang tidak memahami dan tidak mengerti apa yang dikatakan kepadanya. Menurut Imam al-Qurthubi dan al-Samarqandi, mereka diserupakan dengan binatang ternak dalam hal makan, minum, dan tidak berpikir tentang akhirat.

Tentang keserupaan orang kafir dengan binatang dalam hal makan, minum, dan bersenang-senang menikmati dunia juga disebutkan dalam firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan Neraka adalah tempat tinggal mereka.” (TQS. Muhammad [47]: 12).

Kemudian diakhiri dengan firman-Nya: bal hum adhallu sabiil[an] (bahkan mereka lebih sesat jalannya [dari binatang ternak itu]). Menurut imam al-Qurthubi, mereka disebut lebih sesat karena tidak ada hisab dan tidak ada siksa bagi binatang ternak. Al-Samarqandi berkata, ”Mereka lebih salah jalannya daripada binatang ternak. Sebab, binatang ternak tidak diperintahkan dan tidak dilarang.”

Dikatakan al-Thabari, mereka disebut lebih sesat jalannya daripada binatang ternak karena binatang ternak memperoleh petunjuk menuju padang rumput dan dituntun oleh pemiliknya. Sedangkan orang-orang kafir tidak menaati Tuhan mereka, tidak mensyukuri nikmat kepada Dzat yang memberikan kenikmatan kepada mereka. Bahkan mereka mengingkarinya dan bermaksiat kepada Dzat yang menciptakan dan mengatur mereka.

Selain alasan tersebut, al-Khazin juga mengatakan bahwa semua binatang ternak itu bersujud dan bertasbih. Sedangkan orang-orang kafir tidak melakukannya. Dijelaskan al-Razi, mengenai tasbihnya semua binatang tersebut diberitakan dalam beberapa ayat. Di antaranya adalah firman Allah SWT: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia?” (TQS. al-Hajj [22]: 18). Juga disebutkan dalam al-Isra' [17]: 44, al-Nur [24]: 41, dan lain-lain.

Tentang lebih buruknya keadaan mereka daripada binatang ternak juga disebutkan dalam QS. al-A'raf [7]: 179. Mereka juga disebut binatang paling buruk. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman.” (TQS. al-Anfal [8]: 55).

Demikianlah. Manusia menjadi makhluk paling sempurna yang hidup di atas permukaan bumi disebabkan karena kemampuannya dalam mendengar, melihat, dan berpikir. Ketika kemampuan itu digunakan untuk mendengar dan memahami petunjuk dari Allah SWT yang terdapat dalam ayat-ayat-Nya dan sunnah Rasul-Nya, berupa aqidah dan syariah, maka kesempurnaan mereka kian bertambah. Derajatnya makin tinggi. Mereka pun menjadi khayr al-bariyyah, makhluk paling baik.

Sebaliknya ketika kemampuan untuk mendengar, melihat, dan berakal itu tidak digunakan dengan benar, untuk mendengar dan memahami petunjuk Allah SWT, maka jatuhlah derajat mereka. Perilaku dan kehidupan mereka pun tak ubahnya seperti binatang. Bahkan, lebih sesat dan lebih hina daripada binatang ternak. Mereka pun menjadi syarr al-bariyyah (seburuk-buruk makhluk) dan syarr al-dawaab (seburuk-buruk binatang) Tak ada balasan yang layak buat mereka selain Neraka Jahannam, wa al-'iyaad bilLah. WaLlaah a’lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Orang kafir tidak menggunakan pendengaran dan akal mereka untuk memahami petunjuk dan ayat-ayat Allah SWT.
2. Jalan hidup orang kafir seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 152

Selasa, 18 Februari 2020

Menjadikan Pelajaran Kaum Nabi Luth as. - TAFSIR al-Furqan: 40



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan sesungguhnya mereka (kaum musyrik Makkah) telah melalui sebuah negeri [Sadum] yang (dulu) dihujani dengan hujan yang sejelek-jeleknya (hujan batu). Maka apakah mereka tidak menyaksikan runtuhan itu; bahkan adalah mereka itu tidak mengharapkan akan kebangkitan.” (TQS. al-Furqan [25]: 40).

Di antara yang dikisahkan Al-Qur’an adalah sikap dan perilaku kaum Nabi Luth As. Mereka tidak beriman dan membangkang kepada nabi yang diutus kepada mereka itu. Mereka juga mengabaikan larangan melakukan perbuatan keji yang tidak pernah dilakukan kaum sebelumnya. Yakni, mendatangi sesama laki-laki melalui duburnya. Merekalah yang menjadi pelaku homoseksual pertama dalam sejarah manusia.

Ayat ini pun mengingatkan tentang kehancuran kaum tersebut. Mereka harus menerima azab pedih di dunia, setelah mengabaikan peringatan Allah.

Kisah Penduduk Sadum

Allah SWT berfirman: Walaqad ataw 'alaa al-qaryah al-latii umthirat mathar al-saw’ (dan sesungguhnya mereka [kaum musyrik Mekah] telah melalui sebuah negeri. [Sadum] yang [dulu] dihujani dengan hujan yang sejelek-jeleknya [hujan batu]). Ayat ini dan beberapa ayat sebelumnya mengingatkan kepada kaum Quraisy dan bangsa Arab tentang azab yang menimpa kaum-kaum terdahulu. Dalam ayat sebelumnya disebutkan tentang kisah kaum 'Ad, kaum Tsamud, dan penduduk Rass.
Sebelumnya lagi juga diingatkan peristiwa yang menimpa kaum Nabi Nuh as. dan Fir'aun. Semuanya, menuai kehancuran dan kebinasaan.

Sebagian sisa-sisa kehancuran itu masih dapat mereka indera. Sebab, tempat tinggal mereka berada dalam negeri Arab, seperti kaum 'Ad dan Tsamud. Demikian pula yang disebutkan ayat ini, yakni penduduk kota Sadum. Disebutkan dalam ayat ini: Walaqad ataw 'alaa al-qaryah (dan sesungguhnya mereka telah mendatangi sebuah negeri).

Yang dimaksud dengan mereka di sini adalah musyrik Makkah. Mereka adalah kaum yang disebutkan dalam ayat sebelumnya menjadikan Al-Qur’an sebagai sesuatu yang ditinggalkan dan diabaikan.

Sedangkan kata al-qaryah (negeri) di sini menunjuk negeri yang dihuni kaum Nabi Luth as. Negeri tersebut bernama Sadum. Demikian diterangkan para mufassir, seperti al-Thabari, al-Qurthubi, al-Syaukani, dan lain-lain. Kesimpulan ini didasarkan pada sifat negeri tersebut yang disebutkan dalam frasa berikutnya: al-latii umthirat mathar al-saw’ (yang [dulu] dihujani dengan hujan yang sejelek-jeleknya). Diterangkan para mufassir, seperti al-Thabari, al-Qurthubi, Ibnu Katsir, al-Alusi, dan lain-lain yang dimaksud dengan hujan yang paling jelek itu adalah batu-batu yang dihujankan kepada mereka sehingga membuat mereka binasa.

Menurut al-Makkiy, sebagaimana dikutip Abu Hayyan al-Andalusi, kata ataw (mereka datang) di sini bermakna marru (mereka melewati). Ibnu 'Abbas, dalam tafsir al-Qurthubi, berkata, ”Quraisy dalam perdagangannya ke Syam melewati kota kaum Nabi Luth, sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya kamu (hai penduduk Makkah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka di waktu pagi” (TQS. al-Shaffat [37]: 137).

Dengan demikian, ayat ini memberitakan tentang pengetahuan bangsa 'Arab terhadap kehancuran yang pernah menimpa kaum Nabi Luth. AKan tetapi, pengetahuan mereka itu tidak menjadikannya sebagai pelajaran penting bagi mereka.

Hal ini disebutkan pada kelanjutan ayat ini: Afalam yakuunuu yarawnahaa (maka apakah mereka tidak menyaksikan runtuhan itu). Huruf hamzah dalam ayat ini adalah istifhaam (kata tanya). Menurut al-Syaukani, istifhaam tersebut bermakna li al-taqrii’ wa al-tawbiikh (celaan dan teguran). Artinya: Mereka telah melihat negeri yang diberitakan tersebut ketika mereka dalam perjalanan ke Syam untuk berdagang karena mereka melewatinya. Tapi mereka tetap saja mendustakan dan mengingkari Rasulullah .

Menerangkan ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari berkata, "Apakah mereka, orang-orang musyrik yang telah mendatangi negeri yang dihujani dengan hujan yang paling buruk itu tidak melihat negeri tersebut dan azab yang diturunkan Allah kepada kaum tersebut yang itu disebabkan karena penduduknya mendustakan rasul mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka menjadikannya sebagai pelajaran dan peringatan, kemudian mereka bertaubat dari kekufuran mereka dan pengingkaran mereka terhadap Nabi ."

Kemudian Allah SWT berfirman: Bal kaanuu laa yarjuuna nusyuur[an] (bahkan adalah mereka itu tidak mengharapkan akan kebangkitan). Kata nusyuur dalam ayat ini: bermakna ba'ts (kebangkitan). Sedangkan pengertian yarjuuna adalah yuuqinuun (meyakini) atau yushaddiquun (membenarkan). Sehingga, pengertian frasa laa yarjuuna nusyuur[an], sebagaimana diterangkan al-Qurthubi, berarti laa yushaddiquuna bi al-ba'ts (mereka tidak membenarkan kebangkitan). Masih menurut al-Qurthubi, bisa pula kata yarjuuna bermakna yakhaafuuna (mereka takut). Juga bisa bermakna, "Bahkan mereka tidak mengharapkan pahala akhirat."

Dengan demikian, ayat ini memberikan celaan dan teguran keras kepada kaum musyrik Arab yang tidak mau mengambil pelajaran dari kehancuran kaum Nabi Luth. Bahkan, mereka tetap saja mengingkari hari Kiamat yang pasti terjadi.

Kisah Kaum Luth

Tentang kisah Nabi Luth dan kaumnya diberitakan dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an. Sebagai utusan Allah SWT, Nabi Luth as. diperintahkan untuk menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Dia memerintahkan kaumnya untuk hanya menyembah Allah SWT dan menaatinya. Allah SWT berfirman: “Ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: "Mengapa kamu tidak bertakwa?" Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku.” (TQS. al-Syu‘ara [26]: 161-163).

Secara khusus, Nabi Luth as. juga melarang mereka melakukan perbuatan yang buruk, yakni perilaku homoseksual. Mereka lebih menyukai sesama jenis dan mendatanginya melalui duburnya. Sebaliknya, mereka justru meninggalkan istri-istri mereka. Ini yang dikisahkan dalam QS. al-Syu'ara [26]: 165-166.
Allah SWT juga berfirman: “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).” (TQS. al-Naml [27]: 55).

Akan tetapi nasihat tidak didengar. Mereka mendustakan Nabi Luth as. dan tidak menggubris larangannya. Bahkan mereka mengusir utusan Allah SWT tersebut. (QS al-Naml [27]: 56).

Setelah dakwah tidak lagi berguna bagi mereka, mereka pun ditimpa azab yang amat dahsyat. Mereka dihujani batu dan kota tempat mereka dibalik, hingga mereka semua binasa. Allah SWT berfirman: “Dan Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu.” (TQS. al-Naml [27]: 58).
Allah SWT juga berfirman: “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (TQS. Hud [11]: 82).

Itulah kejadian yang menimpa kaum Luth as. Kejadian ini seharusnya dijadikan sebagai pelajaran penting bagi siapapun. Itulah hukuman yang harus diterima orang-orang yang berani mengingkari dan menolak rasul beserta semua risalahnya. Pelajaran itu tidak hanya berlaku bagi kaum musyrik Arab, namun semua umat sesudah mereka.

Sungguh hanya manusia yang tidak menggunakan akalnya yang berani nekat mendustakan rasul, bersikap sombong, dan menolak syariah-Nya. Wal-Laah a’lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:
1. Kota Sadum dan penduduknya dihancurkan dengan azab yang amat dahsyat, yakni: kotanya dijungkirbalikkan dan dihujani dengan batu.

2. Azab yang amat dahsyat itu disebabkan oleh pengingkaran dan penolakan mereka terhadap rasul dan risalahnya.

3. Kejadian yang menimpa kaum Nabi Luth itu menjadi pelajaran penting bagi semua umat sesudahnya agar tidak melakukan tindakan serupa.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 149


Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam