Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 16 Januari 2020

Menghapus Identitas Muslim Uighur – Di Mana Para Penguasa Muslim?



Komunis telah lama dikenal brutal dan kejam. Dilaporkan bahwa di bawah Josef Stalin 20 juta orang tewas di bawah penindasan aparat komunis [1]. Bahwa lebih dari 40 juta orang mati akibat dari reformasi yang dibawa oleh Mao Zadong, Ketua Partai Komunis China. Kematian itu, di antaranya, akibat dari dogma ekonomi komunis yang menyebabkan wabah kelaparan [2].

China telah lama memandang populasi Uyghur sebagai ancaman. Pertama, karena berbeda etnis dan budaya dibanding dengan mayoritas populasi Han. Kedua, posisi geografis mereka yang strategis di dalam Belt and Road Initiative (BRI) yang ingin diterapkan China. China selalu khawatir jika area ini sulit untuk mereka kendalikan. Tindakan-tindakan yang telah ditimpakan oleh rezim China adalah usaha untuk menghapus penampakan apapun dari Islam dan identitas Uighur di seantero Xinjiang: dengan alasan mencegah terorisme.

Sejumlah besar populasi Uyghur telah dijebloskan ke kamp-kamp interniran. Para pejabat China mengklaim bahwa para tahanan itu justru mendapatkan pertolongan untuk membersihkan diri mereka dari virus pemikiran berbahaya -alias bentuk ketaatan apapun pada Islam. Telah ada laporan-laporan bahwa sementara para pria ditahan, pendatang Han China datang dan tinggal bersama keluarga-keluarga Muslim dan bahkan kejadian pernikahan paksa dan yang lebih parah dari itu. Anak-anak dipisahkan dari orangtuanya dan dikirim ke sekolah asrama di mana mereka dididik di bawah doktrin partai komunis. Itu semua adalah asimilasi paksa atas Umat Islam di daerah itu – paksaan untuk murtad dan menjadi loyal pada Partai Komunis Cina.

Ada pandangan keliru bahwa 11 juta Muslim di Turkistan Timur (Xinjiang) dianggap sebagai kelompok minoritas etnis China. Dalam pandangan Islam asumsi itu salah. Mereka sebagaimana minoritas Muslim di Eropa atau India merupakan anggota Umat Muslim, total 1,8 milyar, sekitar seperempat populasi planet ini. Pandangan Islam terhadap hubungan antar Muslim jelas. Mereka harus saling menolong.

وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْا بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۗ اِلَّا تَفْعَلُوْهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الْاَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيْرٌۗ

“Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar.”
[Q.S. al-Anfāl [8]: 73]

Dengan semua sumberdaya yang dimiliki Umat Muslim, tenaga kerja di sub-benua, kekayaan Teluk dan total angkatan bersenjata hingga jutaan personil: mengapa China sekarang mengumbar kelakuan dengan bebas melawan Kaum Muslimin di daratannya? Benar bahwa para penguasa Muslim juga salah tapi itu hanya urusan di permukaannya. Sebenarnya, mengapa para penguasa di tanah-tanah Muslim bertingkah payah dan lemah, perlu dikaji dan dieksplorasi sehingga ketahuan solusinya.

Tak satupun negeri Muslim yang bertindak menghentikan kelakuan China. Imran Khan Perdana Menteri Pakistan berkoar, “Terus terang saja, Aku tak tahu banyak soal itu” [3]. Mohammad bin Salman Saudi Arabia bilang bahwa kebijakan China itu adalah “hak” China untuk menggunakan taktik-taktik brutal untuk tujuan deradikalisasi dan melawan ekstrimisme. Presiden Cina Xi berterima kasih pada Uni Emirat Arab yang telah mendukung kebijakan represif China terhadap Muslim Uighur [4]. Presiden Turki Erdogan diberitakan mengatakan, “Adalah fakta bahwa orang dari semua etnis di Xinjiang menjalani kehidupan yang bahagia di tengah pembangunan dan kemakmuran China,” meskipun ucapan ini hasil pembahasaan-ulang oleh koran milik pemerintah Cina [5].

Itu jelas menunjukkan bahwa para penguasa Muslim tidak disiapkan untuk menantang kelakuan China. Sementara Perdana Menteri Malaysia Mahatir mengatakan bahwa dia akan menerima para pengungsi Uyghur, dan Turki membolehkan demonstrasi di jalanannya tapi hanya semacam itu saja.

Tekanan paling besar dalam melawan kebijakan China atas Uighur bersumber dari AS. Mereka menaikkan perkara itu sebagai pukulan untuk China. Itu bukan karena AS punya rasa sayang sedikitpun terhadap Umat Muslim. Mereka sendiri telah membantai jutaan Muslim tak bersalah dalam perang yang katanya melawan teror.

Sementara Pakistan mungkin mempertimbangkan CPEC, Negara-Negara Teluk soal pasar China untuk penjualan minyak, dan Turki soal kerjasama persenjataan militer telah membuat marah AS. Problem negara-negara itu adalah tidak sungguhan punya prinsip untuk taat pada Islam sebagai prioritas utamanya. Karena alasan inilah para penguasa dan pemerintah macam begitu acuh tak acuh terhadap kesengsaraan Umat Muslim di Turkistan Timur. Problem ini harus diatasi, tidak cukup hanya disadari.

Banyak Muslim yang merasa simpati atas Muslim Uighur tapi itu tidaklah cukup. Adalah sebuah kewajiban mendakwahkan Islam sebagai asas pemerintahan. Kaum Muslimin keseluruhannya wajib tidak mentolerir bentuk-bentuk pemerintahan yang dicokolkan atas mereka sejak era kolonial. Mereka harus berhenti berpikir bahwa mereka lemah dan harus mengupayakan perubahan keadaan dengan tangan-tangan mereka sendiri.

Umat Islam tak boleh dalam perbuatan mereka menggunakan standar maslahat-madharat menurut akal dan hawa nafsu sebagaimana para penguasa mereka, sebaliknya Umat Islam wajib memahami standar Islam –syariat Islam- yang lengkap dan rinci dan mengharuskan negeri-negeri Muslim untuk mengerahkan semua cara syar’i untuk membela Umat Muslim di manapun mereka berada.

Untuk menolong saudara dan saudari Muslim Uighur kita, kita harus mengusahakan penegakan kembali negara Khilafah. Inilah solusi nyata yang bisa kita lakukan. Kita mungkin saja mengalami kesengsaraan yang sama. Namun jika kita tidak mengupayakannya, berarti hanya akan ada yang semacam si MBS dan Imran Khan, dan itu bukan pertolongan sama sekali!




Minggu, 12 Januari 2020

Mengambil Pelajaran Dari Kaum Nabi Nuh - TAFSIR al-Furqan: 37



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan (telah Kami binasakan) kaum Nuh tatkala mereka mendustakan rasul-rasul. Kami tenggelamkan mereka dan Kami jadikan (cerita) mereka itu pelajaran bagi manusia. Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang zhalim azab yang pedih.” (TQS. al-Furqan [25]: 37).

Di antara yang harus diperhatikan oleh manusia adalah berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu. Peristiwa itu bisa menjadi pelajaran bagi manusia dalam menjalani kehidupan.  Dengan begitu, manusia dapat melangkah lebih tepat dan terhindar dari kesalahan. Cukuplah orang lain yang merasakan akibat atas kesalahan yang dilakukan tanpa harus kita terperosok kepada kesalahan yang sama.

Kaum yang Mendustakan

Allah SWT berfirman: Wa qawma Nuuh lammaa kadzdzabuu al-rusul (dan [telah Kami binasakan] kaum Nuh tatkala mereka mendustakan rasul-rasul). Ayat ini masih dalam konteks pemberitaan kepada Nabi Muhammad tentang musuh-musuh para nabi. Setelah sebelumnya diberitakan tentang kaum Nabi Musa As. yang mendustakan beliau, lalu mereka dihancurkan dan dibinasakan, maka dalam ayat ini dibeberkan kisah kaum Nabi Nuh.

Disebutkan bahwa kaum tersebut kadzdzabuu al-rusul (mendustakan rasul). Dalam ayat ini digunakan al-rusul yang bermakna jamak, para rasul. Padahal, yang dimaksudkan adalah satu orang rasul, yakni Nabi Nuh. Kesimpullan ini didasarkan pada realitas bahwa tidak ada seorang rasul yang diutus kepada mereka kecuali Nabi Nuh. Beliau satu-satunya yang diutus untuk menyampaikan kalimah “Laa ilaaha illaal-Laah” dan beriman dengan apa yang diturunkan Allah SWT. Ketika mereka mendustakannya, maka itu berarti mendustakan semua orang yang diutus dengan membawa kalimah yang sama. Demikian penjelasan al-Qurthubi dan para mufassir lain, seperti al-Khazin, al-Biqa'i, dan lain-lain.

Imam al-Qurthubi juga mengutip alasan lain yang mengatakan bahwa: "Sesungguhnya orang yang mendustakan seorang rasul, maka sesungguhnya dia telah mendustakan semua rasul. Sebab, semua nabi itu tidak boleh dibeda-bedakan dalam hal keimanan. Dan tidak ada seorangpun beriman kecuali dia membenarkan semua nabi Allah SWT. Sehingga siapapun yang mendustakan seorang nabi di antara mereka, maka dia telah mendustakan semua orang yang dibenarkan dari kalangan para nabi.”

Tentang diutusnya Nabi Nuh kepada kaumnya diberitakan dalam beberapa ayat, seperti QS al-Mukminun [23]: 23. Juga dalam QS al-A'raf [7]: 59, Hud [11]: 25-26,dan Nuh [71]: 1.

Dakwah yang beliau lakukan terhadap umatnya memakan waktu amat lama, yakni 950 tahun (lihat: QS. al-Ankabut [29]: 14). Beliau telah berdakwah siang dan malam, dengan terang-terangan maupun diam-diam (lihat: QS. Nuh [71]: 5-6). Meskipun demikian, seperti diberitakan ayat ini, mereka mendustakan beliau. Kalaupun ada yang mengikuti beliau, jumlahnya amat sangat sedikit (lihat: QS. Hud [11]: 40). Tak hanya itu, di antara mereka malah menuduh Nabi Nuh berada dalam kesesatan (lihat: QS. al-A’raf [7]: 60). Mereka juga menyebut utusan Allah SWT sebagai orang gila (lihat: QS. al-Qamar [54]: 9).

Balasan

Allah SWT berfirman: Aghraqnaahum (Kami tenggelamkan mereka). Terhadap orang-orang yang mendustakan Nabi Nuh itu, Allah SWT menghukum mereka dengan menenggelamkan mereka dengan banjir besar. Peristiwa ini diberitakan dalam banyak ayat. Selain ini, juga disebutkan dalam QS. al-Ankabut [29]: 14, Yunus [10]: 73, Nuh [71]: 25.

Mengenai gambaran banjir besar yang membinasakan mereka, diberitakan dalam firman Allah SWT: “Maka Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah. Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, maka bertemulah air-air itu untuk satu urusan yang sungguh telah ditetapkan.” (TQS. al-Qamar [54]: 11-12).

Azab tersebut ditimpakan kepada mereka setelah benar-benar tidak mau beriman, bahkan menantang kepada Nuh agar mendatangkan azab Allah SWT (lihat: QS. Hud [11]: 32).

Mereka juga mengancam beliau, maka, Nabi Nuh pun mengadukan mereka kepada Allah SWT dan meminta pertolongan kepada-Nya (lihat: QS. al-Qamar [54]: 9. Juga QS. al-Mukminun [23]: 26).

Setelah itu, Allah SWT memerintahkan Nuh as. untuk membuat perahu. Allah SWT berfirman: “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami (TQS. Hud [11]: 37). Ketika Nuh as. membuat bahtera, kaumnya kembali menunjukkan permusuhan dan kebencian mereka. Setiap kali melewati Nuh, mereka mengejek utusan Allah SWT itu. Akhirnya, azab yang mereka tantang datang berupa banjir besar yang menenggelamkan mereka. Termasuk di antara mereka adalah putra beliau sendiri (lihat: QS. Hud [11]: 37-46).

Berbeda nasibnya dengan orang-orang yang beriman kepada beliau, mereka ikut menaiki kapal Nabi Nuh as. dan diselamatkan (lihat: QS. al-A'raf [7]: 64).

Allah SWT berfirman: Wa ja'alnaahum li al-naas aayah (dan Kami jadikan [cerita] mereka itu pelajaran bagi manusia). Dikatakan al-Qurthubi, itu menjadi 'alaamah zhaahirah (tanda yang terang) atas kekuasaan Allah. Ibnu Jarir al-Thabari berkata, ”Dan Kami jadikan hukuman kami berupa menenggelamkan mereka sebagai pelajaran dan ibrah bagi manusia."

Allah SWT berfirman: Wa a'tadnaa li al-zhaalimiin adzaab[an] a‘liim[an] (Dan Kami telah menyediakan bagi orang-orang zhalim azab yang pedih). Dalam konteks ayat ini, kata al-zhaalimiin adalah kaum musyrik Nabi Nuh. Demikian pejelasan al-Qurthubi dalam tafsirnya. Terhadap mereka, Allah sediakan adzaab[an] a‘liim[an]. Yakni, azab di akhirat.

Dikatakan al-Biqa'i, pada awalnya lahum (untuk mereka). Akan tetapi diterangkan secara umum dan ketentuannya dikaitkan dengan sifat, sehingga disebutkan: li al-zhaalimiin. Yakni untuk semua mereka di setiap zaman dan tempat disebabkan oleh kezhaliman mereka yang meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya.

Demikianlah nasib yang harus dialami oleh kaum yang mendustakan rasul beserta semua risalah yang dibawanya. Kejadian ini seharusnya menjadikan pelajaran bagi siapapun. Bahwa manusia sesungguhnya makhluk yang lemah. Tak mungkin bisa mengalahkan kekuasaan-Nya. Maka tidak ada pilihan lain baginya kecuali tunduk dan patuh kepada-Nya. Terlebih, ketundukan dan kepatuhan itu sesungguhnya akan berakibat baik bagi dirinya.

Jika kaum Nabi Nuh as. yang beriman diselamatkan, demikian pula umat Nabi Muhammad . Siapapun yang beriman dan mengikuti risalah beliau akan selamat. Imam Malik dan para ulama salaf lainnya, sebagaimana dikutip Ibnu Taimiyyah dalam Majmu' al-Fataawa, berkata, ”al-Sunnah kasafiinah Nuuh, man rakibahaa najaa waman takhallafa 'anhaa ghariqa (Sunnah itu seperti kapal Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya akan selamat dan siapa saja yang tidak menaikinya akan tenggeIam)”.

Allah SWT dengan rahmat dan kasih-sayangnya yang tak terbatas akan memberikan nikmat dan anugerah yang jauh lebih besar ketika hamba mau taat kepada-Nya. Di samping kebahagiaan di dunia, Allah SWT menyediakan Surga yang luasnya seluas langit dan bumi dengan aneka kenikmatan yang luar biasa. Maka, nikmat manakah yang kalian dustakan wahai manusia?

Maka, sungguh amat keterlaluan ada manusia yang mendustakan Allah SWT dan rasul-Nya beserta semua risalah yang dibawanya. Sebaliknya mereka justru menyembah dan tunduk kepada selainnya, mengikuti perintah musuh-musuh-Nya, dan mengambil hukum dan aturan selain syariah-Nya. Tidak ada yang pantas untuk mereka kecuali azab yang pedih di dunia dan akhirat. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:
1. Kaum Nabi Nuh as. yang mendustakan dakwah  beliau dibinasakan dengan banjir besar yang menenggelamkan mereka.
2. Nabi Nuh as. beserta orang-orang yang beriman kepadanya diselamatkan.
3. Peristiwa yang menimpa kepada Nabi Nuh seharusnya menjadi pelajaran bagi seluruh manusia.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 147

Selasa, 07 Januari 2020

Azab Bagi Kaum-Kaum yang Mendustakan TAFSIR al-Furqan 38-39



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan (Kami binasakan) kaum ‘Ad dan Tsamud dan penduduk Rass dan banyak (lagi) generasi-generasi di antara kaum-kaum tersebut. Dan Kami jadikan bagi masing-masing mereka perumpamaan dan masing-masing mereka itu benar-benar telah Kami binasakan dengan sehancur-hancurnya.” (TQS. al-Furqan [25]: 38-39).

Di daIam Al-Qur’an banyak dikisahkan tentang peristiwa yang dialami kaum-kaum terdahulu. Termasuk, kaum-kaum yang mendustakan Allah SWT dan kesudahan hidup mereka. Semua itu dikisahkan agar menjadi pelajaran penting bagi generasi berikutnya.

Ayat ini memberitakan tentang kisah yang dialami kaum 'Ad, Tsamud, dan penduduk Rass. Juga, kaum-kaum yang hidup di antara masa mereka. Semuanya mendapatkan nasib yang sama, yakni ditimpakan azab. Penyebabnya, mereka semuanya mendustakan  petunjuk dan peringatan rasul-rasul Allah SWT.

Kisah Kedurhakaan

Allah SWT berfirman: Wa 'Aad wa Tsamuud wa Ashhaab al-Rass (dan [Kami binasakan] kaum ‘Aad dan Tsamud dan penduduk Rass). Setelah dalam ayat sebelumnya dikisahkan kaum Nuh yang ditenggelamkan lantaran mendustakan Nabi Nuh As, lalu dilanjutkan ayat ini yang mengisahkan beberapa kaum terdahulu lainnya.

Mereka adalah kaum ‘Ad, Tsamud, dan penduduk Rass. Kaum 'Aad adalah nama satu kabilah Arab pada masa dahulu. Mereka hidup setelah lenyapnya kaum Nabi Nuh As. Di antara keistimewaan mereka adalah tubuh mereka yang kuat dan perkasa. Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu telah melebihkan kekuatan tubuh dan perawakanmu” (TQS. al-A'raf [7]: 69). Juga kemampuan mereka dalam membuat bangunan-bangunan yang tinggi. Allah SWT berfirman: “Apakah kamu mendirikan pada tiap-tiap tanah yang tinggi bangunan untuk bermain-main? Dan kamu membuat benteng-benteng dengan maksud supaya kamu kekal (di dunia)?” (TQS. al-Syu'ara' [26]:128-129).

Sebagaimana kaum 'Ad, kaum Tsamud juga termasuk bangsa Arab terdahulu. Mereka tinggal di daerah Hijr (lihat: QS. al-Hijr [15]: 80), sebuah daerah yang berada di antara Hijaz dan Tabuk. Mereka hidup setelah dibinasakannya kaum 'Ad (QS. al-A’raf [7]: 74). Sedangkan penduduk Rass, terdapat perbedaan di antara para mufassir tentang siapa mereka. Menurut Imam al-Qurthubi, kata Rass dalam bahasa Arab berarti sumur yang tidak kering. Bentuk jamaknya adalah rassaas. Ibnu 'Abbas berkata, "Saya bertanya kepada Ka'ab tentang ash-haab al-Rass.” Dijawab olehnya, "Mereka adalah kaum yang disebutkan dalam surat Yasin: Qaala yaa qawmii [i]ttabi'uu al-mursaliin (“dia berkata, ”Wahai kaumku, ikutilah para utusan Allah).” Kemudian dia dibunuh dan dikuburkan dalam sebuah sumur mereka, yang dinamai sumur Rass, lalu mereka melemparkannya ke dalam sumur itu. Demikian menurut Muqatil, sebagaimana dikutip al-Qurthubi.

Menurut Ali ra., mereka adalah kaum yang menyembah pohon Shaunabir, lalu didoakan keburukan oleh nabi mereka, yang merupakan salah satu anak Yahudza. Maka, pohon itu pun mengering. Kemudian mereka membunuh nabi itu dan menguburkannya di dalam sebuah sumur. Mereka lalu dinaungi awan hitam. Sedangkan Ibnu Jarir mengemukakan bahwa Ash-haab al-Rass adalah Ash-haab al- Ukhduud yang diberitakan dalam QS al-Buruj.

Di samping penjelasan tersebut, masih banyak penjelasan lain yang dikemukakan oleh para mufassir. Perbedaan itu tidak mengherankan karena di dalam Qur’an tidak diberikan keterangan yang jelas mengenai kaum Rass. Bahkan, kaum tersebut hanya disebutkan di dalam dua ayat, yakni dalam ayat ini dan dalam QS. Qaf [50]: 12.

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa quruun[an] bayna dzaalika katsiir[an] (dan banyak [lagi] generasi-generasi di antara kaum-kaum tersebut). Di samping tiga kaum tersebut, masih ada kaum-kaum lain yang hidup di antara masa mereka. Ditegaskan ayat ini, jumlah mereka banyak.

Kata al-quruun dalam ayat ini merupakan bentuk jamak dari kata al-qarn. Menurut Ibnu Katsir, makna al-qarn adalah suatu umat dari kalangan manusia. Ini sebagaimana firman Allah SWT: Kemudian, Kami jadikan sesudah mereka qarn[an] aakhariin, umat yang lain (TQS. al-Mukminun [23]: 31). Batas waktu di antara mereka dengan genarasi lainnya adalah 120 tahun. Ada juga yang mengatakan 100 tahun, 80 tahun, 40 tahun, atau jumlah lainnya. Yang jelas, al-qarn adalah umat yang berada dalam satu zaman yang sama. Apabila mereka sudah tidak ada lagi, lalu digantikan oleh generasi berikutnya.

Azab bagi yang Durhaka

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa kulla[n] dharabnaa lahu al-amtsaal (dan Kami jadikan bagi masing-masing mereka perumpamaan). Kata kulla[n] menunjuk kepada semua kaum yang disebutkan tersebut. Yakni, ‘Ad, Tsamud, penduduk Rass, dan semua kaum di antara mereka yang tidak disebutkan namanya satu per satu. Terhadap mereka, Allah SWT telah memberikan petunjuk. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini berarti: ”Kami telah menjelaskan kepada mereka berbagai hujjah, dan Kami telah menerangkan kepada mereka petunjuk.”

Kepada kaum ‘Ad, petunjuk itu disampaikan oleh utusan-Nya, Nabi Hud as. Allah SWT berfirman: “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Ad saudara mereka, Hud” (TQS. al-A'raf [7]: 65). Sedangkan kepada kaum Tsamud, Allah SWT mengutus Nabi Shaleh as. untuk menyampaikan petunjuk-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka Shaleh” (TQS. al-A'raf [7] 73). Sementara penduduk Rass dan generasi yang hidup di antara masa-masa mereka tidak diberitakan nabi yang diutus kepada mereka. Meskipun demikian, semuanya mendapatkan petunjuk dari-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk” (TQS. al-Ra'd [13]: 7). Para utusan Allah SWT itu termasuk dalam kategori yang diceritakan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu” (TQS. al-Mu’min [40]: 78).

Sekalipun telah mendapatkan petunjuk yang terang dan peringatan yang jelas, namun mereka mendustakan rasul-rasul yang diutus untuk mereka. Allah SWT berfirman: “Sebelum mereka telah mendustakan (pula) kaum Nuh dan penduduk Rass dan Tsamud, dan kaum ‘Ad, kaum Fir'aun dan kaum Luth, dan penduduk Aikah serta kaum Tubba‘, semuanya telah mendustakan rasuI-rasul, maka sudah semestinyalah mereka mendapat hukuman yang sudah diancamkan” (TQS. Qaf [50]: 12-14).

Atas sikap dan tindakan mereka itu, mereka pun harus menerima akibatnya. Yakni, ditimpa azab yang dahsyat. Dalam firman Allah SWT disebutkan: Wa kulla[n] tabbarnaa tatbiir[an] (dan masing-masing mereka itu benar-benar telah Kami binasakan dengan sehancur-hancurnya). Menurut al-Alusi, kata al-tatbiir berarti al-taftiit (meremukkan, menghancurkan). Dikatakan al-Zajjaj, kullu syay'[in] kasartuhu wafatattu, faqad tabartuhu (segala sesuatu yang saya pecahkan dan saya remukkan, sungguh telah kuhancurkannya). Dan yang dimaksudkan dengannya adalah al-tamziiq wa al-ihlaak (mengoyak dan menghancurkan).

Dengan demikian, ayat ini memberitakan bahwa mereka dihancurkan Allah SWT. Tentang ayat ini, Ibnu Katsir berkata, ahlaknaa ihlaakan, Kami menghancurkan (mereka) dengan sehancur-hancurnya. Ini seperti firman Allah SWT: “Dan berapa banyaknya kaum sesudah Nuh telah Kami binasakan” (TQS. al-Isra’ [17]: 17).

Mengenai azab yang ditimpakan kepada kaum-kaum tersebut, diberitakan dalam beberapa ayat lain. Kaum ‘Ad binasa setelah diterjang angin yang sangat dingin dan amat kencang, selama tujuh malam dan delapan hari terus-menerus. Mereka pun mati bergelimpangan seperti tunggul-tunggul pohon kurma yang telah lapuk. Setelah itu, mereka tak tersisa (lihat: QS. al-Haqqah [69]:6-8).

Sedangkan kaum Tsamud, setelah menyembelih unta yang menjadi mukjizat Nabi Shaleh, mereka ditimpa azab tiga hari setelahnya. Mereka dibinasakan dengan suara keras yang mengguntur, lalu mati bergelimpangan di rumahnya (lihat: QS. Hud [11]: 67). Di samping itu, mereka juga ditimpa oleh gempa (lihat: QS. al-A'raf [7]: 78).

Demikianlah kesudahan kaum-kaum yang mendustakan petunjuk dari Allah SWT. Karena pembangkangan yang mereka lakukan, mereka harus menerima akibatnya. Masihkah ada di antara kita yang berani menolak syariah -Nya? Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:
1. Kaum ‘Ad, kaum Tsamud, dan penduduk Rass dan beberapa kaum yang hidup di antara masa-masa mereka memiliki kesamaan sikap, yakni mendustakan rasul.
2. Sebagai balasannya, semua kaum tersebut mendapat azab di dunia dan akhirat.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 148

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam