Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Selasa, 28 April 2020

Pemilik Otoritas Dalam Ampunan Dan Adzab - TAFSIR al-Fath: 14



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan hanya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia memberikan ampun kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan mengadzab siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Pengampun Iagi Maha Penyayang.” (TQS. al-Fath [48]: 14)

Allah SWT berfirman: Wa liLlaah mulk al-samaawaat wa al-ard (dan hanya kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi). Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT adalah Sang Pemilik kerajaan langit dan bumi. Karena itu, maka semua urusan dan pengaturan dalam kerajaan langit dan bumi itu ada pada-Nya. Semua terserah Dia. Tidak ada satupun yang bisa mengatur-atur dan mencegah kehendak-Nya.

Menjelaskan ayat ini, al-Jazairi berkata, "Hanya di tangan-Nya segala urusan.” Dikatakan Wahbah al-Zuhaili, ”Dia yang mengaturnya sesuai dengan kehendak-Nya.” Al-Alusi juga berkata, ”Dialah al-Mutasharrif (Maha Pengatur) dalam semua perkara sebagaimana Dia kehendaki." Penjelasan senada juga dikemukakan oleh Ibnu Katsir yang menyatakan, ”Ayat ini menerangkan bahwa Allah SWT adalah al-Haakim al-Maalik al-Mutasharrif (Pembuat keputusan, Pemilik, dan Pengatur) seluruh penghuni langit dan bumi.”

Jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, ini merupakan bantahan keras sekaligus penjelasan yang jelas atas kesalahan alasan orang-orang yang tidak mau ikut berperang dengan Rasulullah , baik alasan yang mereka buat-buat maupun alasan mereka yang sesungguhnya. Bahwa Dialah Pemilik kerajaan langit dan bumi. Maka, Dialah yang berkuasa memberikan manfaat dan menimpakan bahaya kepada siapapun yang Dia kehendaki. Dia pula yang berkuasa untuk memenangkan dan mengalahkan siapapun dalam pertempuran. Demikian juga dalam soal ampunan dan azab, Dialah satu-satunya yang berkuasa untuk memberikannya.

Kekuasaan Allah SWT itu kemudian ditegaskan lagi dalam lanjutan ayat ini: Yaghfiru man yasyaa‘ (Dia memberikan ampunan kepada siapa yang dikehendaki-Nya). Bahwa Allah SWT berkuasa untuk memberikan ampunan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Tidak ada yang bisa mencegah dan menghalangi-Nya ketika Dia memutuskan untuk memberikan ampunan kepada seseorang. Juga, tidak ada seorangpun yang memiiiki otoritas ini kecuali Dia. Allah SWT berfirman: “Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?” (TQS. Ali Imran [3]: 135).

Kemudian disebutkan: Wayu'adzdzibu man yasyaa‘ (dan mengadzab siapa yang dikehendaki-Nya). Sebagaimana otoritas memberikan ampunan, demikian pula dalam hal menjatuhkan adzab. Dialah yang berkuasa mengadzab siapapun yang dikehendaki-Nya. Tak ada seorangpun yang bisa menolak dan menghalangi-Nya tatkala Allah SWT telah menimpakan adzab.

Penting dicatat, berkaitan dengan orang-orang yang berhak mendapatkan ampunan, Allah SWT -dengan qudrah dan iradah-Nya- telah memberitahukan kepada manusia ketentuan-ketentuan-Nya.

Contohnya, orang-orang yang mau bertaubat, berhenti dari kemaksiatan, dan memperbaiki diri dengan amal shaleh akan diampuni dosa-dosanya sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: “Maka barangsiapa bertaubat sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya” (TQS. Al-Maidah [5] ayat 39).

Demikian juga ketika mau mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya. Allah SWT berfirman: “Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad ), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Ali Imran [3] ayat 31).

Juga, berbagai amal shalih yang dikerjakan, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan lain-lain. Semua itu adalah amalan yang diberitakan akan membuat pelakunya diampuni dosa-dosanya.

Ketentuan itu yang diterangkan para ulama ketika menjelaskan ayat ini. Al-Jazairi berkata, ”Dia mengampuni orang yang dikehendaki-Nya, yakni hamba yang bertaubat dan meminta ampunan.”

Demikian juga dengan adzab. Allah SWT -dengan qudrah dan iradah-Nya- telah memberitakan tentang orang-orang yang berhak mendapatkan adzab-Nya. Di antara mereka adalah orang-orang kafir dan mati dalam kekufuran. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para Malaikat dan manusia seluruhnya” (TQS. al-Baqarah [2]: 161-162).

Demikian juga dengan orang-orang munafik. Allah SWT berfirman: “Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan Neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah Neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka adzab yang kekal" (QS. al-Taubah [9]: 68).

Dalam konteks ayat ini, al-Jazairi berkata, "Dia mengadzab orang yang dikehendaki-Nya, yakni hamba yang memiliki persangkaan yang buruk, mengatakan apa yang tidak diyakininya, dan terus-menerus dalam kekufuran dan kemunafikan.”

Penjelasan senada dikemukakan oleh Ibnu Jarir al-Thabari yang berkata, "Hanya milik Allah SWT kekuasaan langit dan bumi. Sehingga, tidak ada seorangpun yang mampu menolak kehendak-Nya terhadap kalian dengan mengadzab kalian karena kemunafikan kalian, apabila kalian terus-menerus dalam kemunafikan, atau melarang-Nya untuk memberikan maaf bagi kalian jika Dia memaafkan apabila kalian bertaubat dari kemunafikan dan kekufuran kalian."

Dikatakan al-Quthubi bahwa Dia tidak membutuhkan hamba-Nya. Sesungguhnya Dia menguji mereka dengan berbagai taklif agar Dia memberikan pahala kepada orang yang beriman dan menghukum orang yang kafir dan maksiat.

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: WakaanaLlaahu Ghafuur[an] Rahiim[an] (dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Sifat-Nya yang tetap dan tak terpisah dari-Nya adalah al-maghfirah (ampunan) dan al-rahmah (rahmat, kasih sayang), sehingga senantiasa ada di setiap waktu mengampuni orang-orang yang berdosa dan menurunkan kebaikan-Nya yang melimpah siang dan malam. Demikian menurut Abdurrahman al-Sa'di.

Menurut Ibnu Jarir, maksud penggalan ayat ini: ”Allah SWT senantiasa memiliki pengampunan terhadap orang-orang yang bertaubat kepada-Nya dari dosa-dosa dan kemaksiatan-kemaksiatan hamba-hamba-Nya. Dia juga senantiasa memiliki kasih sayang terhadap mereka hingga tidak mengadzab mereka setelah taubat mereka.”

Demikianlah. Allah SWT adalah Pemilik kerajaan langit dan bumi. Dialah Dzat Yang Maha Pengatur segala urusan. Tidak ada yang bisa mencegah dan menghalangi kekuasaan dan kehendak-Nya. Sebagaimana diterangkan Abdurrahman al-Sa'di, "Allah SWT adalah satu-satunya pemilik kerajaan langit dan bumi. Dia yang mengatur semua yang ada di dalamnya sesuai dengan kehendak-Nya, baik dalam al-ahkaam al-qadariyyah (hukum-hukum kekuasaan), al-ahkaam al-syar'iyyah (hukum-hukum syara'), dan al-ahkaam al-jazaaiyyah (hukum-hukum pembalasan).”

Sebagai hamba dan salah satu penghuni di dalam kerajaan langit dan bumi, tidak ada pilihan lain kecuali kita wajib tunduk dan patuh terhadap semua aturan dan hukum-Nya. Dengan begitu, bisa berharap mendapatkan ampunan dan ridha-Nya. WaL-laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Allah SWT adalah pemilik kerajaan langit dan bumi.

2. Dialah yang berhak membuat hukum dan menentukan balasannya.

3. Pintu ampunan terbuka bagi orang-orang yang mau bertaubat dan memperbaiki diri; sementara orang-orang yang tetap dalam kekufuran dan kemunafikannya layak mendapatkan adzab-Nya.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 199

Kamis, 23 April 2020

Peringatan Bagi Orang Bakhil - TAFSIR QS Muhammad: 38



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” (TQS. Muhammad [47]: 38)

Di antara tabiat manusia adalah mencintai harta. Meskipun demikian, itu tidak boleh menjadi alasan untuk bersikap bakhil atau kikir. Terlebih untuk sesuatu yang diperintahkan. Meskipun secara nominal terlihat berkurang, namun bersikap bakhil dengan tidak menginfakkan sebagian harta mereka di jalan Allah SWT, justru merugikan dirinya. Mengapa demikian?

Diminta Berinfak

Allah SWT berfirman: Haa antum haaulaai tad'uuna litunfiquuna fii sabiilil-Laah (ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan [hartamu] pada jalan Allah). Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang hakikat kehidupan dunia yang sesungguhnya. Bahwa kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Lalu disebutkan, jika manusia mau beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, Dia akan memberikan pahala kepada mereka.

Kemudian dinyatakan bahwa Allah SWT tidak meminta harta manusia. Jika Dia memerintahkan manusia untuk menginfakkan semua hartanya, apalagi dengan mendesak-desaknya, niscaya mereka akan kikir dan menampakkan kedengkian mereka. Kemudian dilanjutkan dengan ayat ini yang mengingatkan mereka tentang perintah berinfak.

Khithaab atau seruan ayat ini ditujukan kepada orang-orang Mukmin, sebagaimana dikatakan Imam al-Qurthubi, "Ingatlah kalian, wahai orang-orang Mukmin."

Mereka pun diseru dengan menyebut sifat mereka yang akan disebutkan pada frasa sesudahnya, yakni orang-orang yang telah diajak untuk menginfakkan harta mereka. Diterangkan al-Zamakhsyari, kata haaulaai merupakan mawshuul (kata penghubung), yang artinya al-ladziina (orang-orang yang). Sedangkan yang menjadi shilah-nya adalah frasa sesudahnya: Tud‘awna (yang diajak). Artinya, ”Kamu yang diajak” atau "Kalian, wahai orang-orang yang diajak."

Dengan demikian, sebagaimana dituturkan Wahbah al-Zuhaili, frasa tersebut bermakna, "Wahai orang-orang Mukmin yang telah diseru dengan seruan untuk berinfak di jalan Allah SWT, yakni dalam jihad, zakat, dan jalan kebaikan.”

Kemudian Allah SWT berfirman: Tad'uuna litunquu fii sabiilil-Laah (kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan [hartamu] pada jalan Allah). Ini menyebutkan sifat orang-orang yang diseru pada awal ayat ini. Bahwa mereka yang diseru itu telah diajak untuk menginfakkan sebagian harta di jalanAllah SWT.

Pengertian infak fii sabililLaah di sini, menurut al-Imam al-Qurthubi, adalah infak untuk jihad dan thariiq al-khayr (jalan kebaikan). Hal yang juga dikemukakan oleh mufassir lainnya, seperti al-Syaukani, dan lain-lain.

Akibat Bakhil

Kemudian Allah SWT berfirman: Faminkum man yabkhalu (maka di antara kamu ada yang kikir). Ketika diperintahkan untuk menginfakkan sebagian harta mereka, ada di antara mereka yang bersikap bakhil. Pengertian kata al-bukhl adalah dhann bimaa 'indahu wa amsaka 'an al-‘athaa‘ (kikir terhadap apa yang dimiliki dan menahan diri untuk memberi). Demikian menurut Ahmad Mukhtar Umar dalam Mu'jam al-Lughah al-Muaashirah.

Kata min pada kata minkum memberikan makna ba'dhiyyah (sebagian). Mafhumnya, ada sebagian lainnya tidak bersikap demikian. Mereka tidak bakhil, bahkan ada yang menyambut perintah itu dengan semangat.

Lalu disebutkan: Waman yabkhal (dan siapa yang kikir). Artinya, barangsiapa yang kikir untuk mengeluarkan harta di jalan Allah SWT. Demikian menurut Ibnu Jarir al-Thabari.

Terhadap mereka, Allah SWT berfirman: Fainnamaa yabkhal 'an nafsihi (sesungguhnya dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri). Dikatakan Abdurrahman al-Sa'di, hal itu disebabkan karena dia telah mencegah dirinya mendapatkan pahala Allah SWT, kehilangan banyak kebaikan, dan Allah SWT tidak akan menimpakan kemudaratan karena infak yang diberikan.

Patut diingat, pahala yang diberikan Allah SWT kepada orang yang menginfakkan sebagian harta mereka, akan dilipatgandakan berkali-kali lipat (lihat: QS. al-Baqarah 1 [2]: 245, al-Hadid [57]: 18). Bahkan, bisa dilipatgandakan hingga tujuh ratus kali lipat (lihat: QS. al-Baqarah [2]: 261).

Allah SWT berfirman: WalLaah al-Ghaniyy (dan Allah-lah yang Maha Kaya). Imam al-Qurthubi berkata, "Artinya, sesungguhnya Dia tidak membutuhkan harta kalian.” Tak hanya harta, namun juga semuanya. Dikatakan al-Khazin, ”Artinya, Dia tidak memerlukan sedekah dan ketaatan kalian. Sebab, Dia Maha Kaya lagi sempurna, yang menjadi pemilik kerajaan langit dan bumi.”

Lalu ditegaskan: Wa Antum al-fuqaraa' (sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak [kepada-Nya]). Berkebalikan dengan Allah SWT, manusia justru fuqaraa‘. Artinya, menurut Abdurrahman al-Sa'di, kalian membutuhkan kepada-Nya di semua waktunya dan di seluruh urusannya. Al-Khazin juga berkata, "Kalian membutuhkan-Nya dan yang ada di sisi-Nya berupa kebaikan dan pahala di dunia dan akhirat."

Menjelaskan penggalan ayat itu, Ibnu Jarir berkata, ”Dia berfirman: Wahai manusia, Allah SWT sama sekali tidak memerlukan harta dan nafkah kalian. Sebab Dia Maha Kaya (Cukup) dari makhluk-Nya, sementara semua makhluk-Nya sangat memerlukan-Nya. Kalian termasuk makhluk-Nya, maka kalian sangat memerlukan-Nya. Sesungguhnya Allah SWT mendorong kalian mengeluarkan harta di jalan-Nya hanya agar Dia memberikan kepada kamu pahala yang besar."

Diganti

Allah SWT berfirman: Wa in tawallaw (dan jika kamu berpaling). Menurut Abu Hayyan al-Andalusi, penggalan ayat ini 'athf (mengikuti) frasa sebelumnya, yakni: Wa in tu’minuu wa tattaquu (jika kamu beriman dan bertakwa). Sehingga artinya, Dan jika kamu berpaling dari iman dan takwa. Tak jauh berbeda, Abdurrahman al-Sa'di berkata, ”Jika berpaling dari keimanan kepada Allah SWT dan mengerjakan apa yang diperintahkan." Ibnu Katsir juga berkata, ”Berpaling dari ketaatan kepada Allah SWT dan mengikuti syaraih-Nya.”
Kemudian dilanjutkan dengan firman-Nya: Yastabdil qawm[an] ghayrakum (niscaya Dia akan mengganti [kamu] dengan kaum yang lain). Ketika mereka berpaling, maka Allah SWT akan menciptakan kaum lain yang menginginkan keimanan dan ketakwaan, dan tidak berpaling dari dua sikap tersebut, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru” (TQS. Ibrahim [14]: 19). Demikian dikatakan Abu Hayyan al-Andalusi.

Diterangkan juga oleh al-Alusi, kaum yang menggantikan mereka itu adalah yang menaati Allah SWT dan Rasul-Nya, dan mencintai Allah SWT dan Rasul-Nya. Ini sebagaimana diberitakan dalam QS. al-Maidah [5] :54.

Lalu ditutup dengan firman-Nya: Walaa yakuunuu amtsaalakum (dan mereka tidak akan seperti kamu ini). Artinya, tidak kikir sebagaimana kalian. "Akan tetapi, mereka mendengar dan taat kepada-Nya dan terhadap perintah-perintah-Nya." Demikian kata Ibnu Katsir. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Orang Mukmin telah diperintahkan menginfakkan sebagian harta mereka di jalan Allah SWT.

2. Barangsiapa yang kikir, sesungguhnya dia telah merugikan dirinya sendiri.

3. Allah akan mengganti kaum yang tidak taat dengan kaum yang lebih baik.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 189

Minggu, 19 April 2020

Orang Musyrik Menolak Perintah Bersujud - TAFSIR al-Furqan: 60



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang,” mereka menjawab: "Siapakah yang Maha Penyayang itu? Apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami (bersujud kepada-Nya)?”; dan (perintah sujud itu) menambah mereka jauh (dari iman).” (TQS. al-Furqan [25]: 60)

Bersujud kepada Allah SWT merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan. Bagi orang-orang Mukmin, perintah itu disambut dengan penuh ketaatan. Akan tetapi sikap sebaliknya diperlihatkan oleh orang-orang kafir. Mereka menolak perintah tersebut. Tak hanya itu, perintah tersebut justru makin menjauhkan mereka dari keimanan dan agama-Nya. Inilah di antara yang diberitakan dalam ayat ini.

Diperintahkan Bersujud

Allah SWT berfirman: Wa idzaa qiila lahun [i]sjuduu li al-Rahmaan (dan apabila dikatakan kepada mereka: "Sujudlah kamu sekalian kepada Yang Maha Penyayang"). Dhamiir al-ghaaib hum (kata ganti pihak ketiga jamak), yakni mereka dalam ayat ini menunjuk kepada orang-orang musyrik. Dikatakan oleh al-Thabari dalam tafsirnya, "Apabila dikatakan kepada orang-orang yang menyembah selain Allah SWT, (mereka menyembah) sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan tidak mendatangkan madharat." Demikian pulu Ibnu Katsir. Menurutnya, mereka adalah orang-orang musyrik yang bersujud kepada selain Allah berupa patung-patung dan sesembahan lainnya.

Sedangkan pengertian sujud, sebagaimana diterangkan al-Asfahani, pada asalnya bermakna al-tathaamun wa al-tadzallul (sikap tunduk dan merendahkan diri), dan menjadikannya sebagai ungkapan terhadap ketundukan kepada Allah SWT dan beribadah kepada-Nya. Ini bersifat umum, baik bagi manusia, hewan, maupun benda mati. Oleh karena itu, sujud mencakup dua macam, yakni:

Pertama, sujuud bi [i]khtiyaar sujud yang dilakukan secara sukarela. Ini hanya dilakukan oleh manusia, dan dengannya manusia berhak mendapatkan pahala. Ini sebagaimana dalam firman Allah SWT: “Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)” (TQS. al-Najm [53]: 62).

Kedua, sujud taskhiir, sujud yang bersifat memaksa. Ini berlaku pada manusia, hewan, dan tumbuhan, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya: “Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari” (TQS. al-Ra'd [13]: 15). Juga Firman Allah SWT: “Dan apakah mereka tidak memperhatikan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah yang bayangannya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri dalam keadaan sujud kepada Allah, sedang mereka berendah diri?” (TQS. al-Nahl [16]: 48).

Sementara sujud dalam pengertian syariah dikhususkan untuk menunjuk salah satu rukun tertentu dalam shalat. Termasuk dalam cakupan ini adalah sujud tilawah dan sujud syukur. Kadang-kadang, kata sujud juga digunakan untuk menyebut shalat itu sendiri, seperti dalam firman Allah SWT: Wa adbaar (TQS. Qaf [50]: 40). Artinya, sesudah shalat.

Diterangkan al-Samarqandi dalam tafsirnya, perintah: [u]sjuduu li al-Rahmaan bermakna [u]khdu'uu lahu wawahhiduuhu (tunduklah kepada-Nya dan esakanlah Dia). Fakhruddin al-Razi menafsirkannya, ”Tunduk dan rendahkanlah diri kalian.”

Ditegaskan bahwa sujud tersebut ditujukan kepada al-Rahmaan. Ibnu Jarir menafsirkannya, "Jadikanlah sujud kalian ikhlas karena Allah, bukan kepada sesembahan lain dan berhala-berhala." Sedangkan yang dimaksud dengan al-Rahmaan adalah Allah SWT. Sebab, hanya Dia yang memiliki asma dan sifat tersebut. Selain ayat ini, juga disebutkan dalam banyak ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: “Katakanlah: "Serulah Allah atau serulah al-Rahmaan. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asmaa al-husna (nama-nama yang terbaik)” (TQS. al-Isra' [17]: 110).

Ingkar Kepada al-Rahman

Ketika orang-orang musyrik itu diperintakan untuk bersujud hanya kepada Allah SWT, mereka pun menjawab sebagaimana diberitakan dalam firman-Nya: Qaaluu wamaa al-Rahmaan (mereka menjawab: "Siapakah yang al-Rahmaan itu?). Kata maa dalam ayat ini adalah ism al-istifhaam (kata tanya). Meskipun bentuknya kalimat tanya, namun -sebagaimana dikemukakan al-Qurthubi- mengandung makna al-inkaari wa al-ta'ajjub (pengingkaran dan keheranan). Menurut mufassir tersebut, makna ayat ini adalah, ”Kami tidak mengetahui al-Rahman kecuali Rahman al-Yamamah." Yang mereka maksudkan adalah Musailamah al-Kadzdzab.

Tak jauh berbeda, Ibnu Katsir juga memaknai ayat ini dengan ungkapan: ”Kami tidak mengetahui al-Rahman." Dan mereka mengingkari Allah SWT dengan nama-Nya al-Rahman, sebagaimana mereka mengingkari pada Perjanjian Hudaibiyah ketika Nabi berkata kepada penulis perjanjian, ”Tulislah Bismil-Laah al-Rahmaan al-Rahiim!” Lalu mereka berkata, ”Kami tidak mengetahui al-Rahmaan al-Rahiim. Namun tulislah sebagimana kamu telah menuliskannya bismika Allahumma.”

Tentang pengingkaran orang-orang Musyrik terhadap al-Rahman juga ditegaskan dalam firman Allah SWT: “Padahal mereka kafir kepada al-Rahman” (TQS. al-Ra'd [13]: 30).

Menolak Bersujud

Kemudian Allah SWT berfirman: Anasjudu limaa ta‘murunaa (apakah kami akan sujud kepada Tuhan Yang kamu perintahkan kami [bersujud kepada-Nya?"). Ayat ini masih melanjutkan perkataan kaum Musyrik ketika mereka diperintahkan untuk bersujud. Huruf al-hamzah pada awal kalimat merupakan harf istifhaam (kata tanya). Meskipun berbentuk kalimat tanya, akan tetapi memberikan makna pengingkaran. Dikatakan al-Syaukani, al-istifhaam (kalimat tanya) li al-inkaar (untuk pengingkaran). Artinya, ”Kami tidak mau bersujud kepada al-Rahman yang kamu perintahkan kepada kami untuk bersujud kepada-Nya.”

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Wazaadahum nufuur[an] (dan [perintah sujud itu] menambah mereka jauh [dari iman]). Bahwa perintah kepada orang-orang Musyrik agar bersujud kepada Allah SWT itu justru membuat mereka nufuur (berlari menjauh).

Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, perkataan kepada mereka untuk bersujud kepada al-Rahman justru menambah mereka menjauh dari keimanan. Sedangkan al-Qurthubi dan al-Syaukani memaknainya, "Menjauhkan mereka dari agama.”

Tak hanya perintah bersujud. Terhadap peringatan yang ada di dalam al-Qur’an, mereka pun bersikap sama, yakni menjauh dari kebenaran. Allah SWT berfirman: “Dan ulangan peringatan itu tidak lain hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran)” (TQS. al-Isra' [17]: 41). Demikian juga terhadap pemberi peringatan (lihat: QS. al-Isra' [17]: 42).

Sikap tersebut tentu berkebalikan dengan sikap orang Mukmin. Ibnu Katsir berkata, "Adapun orang-orang Mukmin, maka sesungguhnya mereka beribadah kepada Allah SWT, Dialah al-Rahman al-Rahim. Mereka juga mengeesakan-Nya dalam penyembahan dan hanya bersujud kepada-Nya.”

Di antara sikap dan perilaku 'ibaad al-Rahmaan (hamba Allah yang Maha Penyayang) dalam ayat berikutnya adalah menghidupkan malamnya dengan rukuk dan sujud. Allah SWT berfirman: “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” (TQS. al-Furqan [25]: 64). Demikian pula ketika mendengar ayat-ayat Al-Quran dibacakan, mereka pun bersujud (lihat: QS. Maryam [19]: 58).

Demikianlah. Orang-orang Musyrik yang menyekutukan Allah SWT itu ketika diperintahkan untuk bersujud kepada Allah SWT yang Maha Rahman, mereka menolaknya. Mereka pun mempertanyakan: "Siapa al-Rahman itu?” Apalagi perintah bersujud itu berasal dari Nabi . Maka, perintah bersujud itu makin menjauhkan mereka dari agama dan keimanan. Tentu sikap ini berbeda dengan orang beriman. Ketika mereka diperintahkan untuk bersujud dan beribadah lainnya, mereka menyambutnya dengan penuh ketaatan. Inilah sikap yang seharusnya dilakukan oleh manusia yang merupakan makhluk Allah SWT. Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Orang-orang musyrik ketika diperintahkan untuk bersujud kepada Allah SWT, mereka menolak.

2. Perintah bersujud kepada mereka justru semakin menjauhkan mereka dari agama dan keimanan.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 163

Senin, 13 April 2020

Ancaman Bagi Orang yang Berprasangka Buruk Terhadap Allah SWT - TAFSIR al-Fath: 12-13



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya dan syaitan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu, dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk dan kamu menjadi kaum yang binasa. Dan barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya Kami menyediakan untuk orang-orang yang kafir neraka yang bernyala-nyala.” (TQS. al-Fath [48]: 12-13)

Dalam ayat sebelumnya, diberitakan tentang orang-orang yang tidak mau keluar untuk berperang bersama Rasulullah . Alasan yang mereka kemukakan adalah kesibukan mereka dalam mengurusi harta dan keluarga mereka. Di samping menyampaikan alasan, mereka juga meminta kepada Rasulullah untuk dimintakan ampun kepada Allah SWT. Ayat itu pun membantah alasan mereka dan menyingkap alasan mereka sesungguhnya.

Persangkaan yang Buruk

Allah SWT berfirman: Bal zhanantum an lan yanqaliba al-Rasuul wa al-mu‘minuu ilaa ahlii abad[an] (tetapi kamu menyangka bahwa Rasul dan orang-orang Mukmin tidak sekali-kali akan kembali kepada keluarga mereka selama-lamanya). Ayat ini memberikan bantahan terhadap alasan yang dikemukakan oleh orang-orang yang tidak mau keluar untuk berperang besama Rasulullah . Jika mereka mengatakan bahwa kesibukan mengurusi harta dan keluarga merekalah yang menghalangi mereka untuk ikut berperang, maka ayat ini membantah alasan yang mereka kemukakan. Bukan itu alasan sesungguhnya. Sesungguhnya adalah mereka menyangka Rasulullah dan orang-orang Mukmin akan kalah berperang dan tidak akan kembali ke Madinah selama-lamanya.

Al-Syaukani berkata, "Namun kamu menyangka bahwa musuh akan menghancurkan orang-orang Mukmin hingga ke akarnya hanya dengan sekali saja, sehingga tidak ada seorangpun yang bisa kembali pulang kepada keluarganya. Oleh karena itulah, kalian tidak ikut serta. Bukan karena alasan batil yang kalian sebutkan itu."

Diterangkan Imam al-Qurthubi, persangkaan mereka itu disebabkan oleh sedikitnya jumlah pasukan Rasulullah dan sahabatnya. Mereka berkata, ”Sesungguhnya Muhammad dan sahabatnya itu amat sedikit, sehingga tidak akan kembali.”

Kemudian disebutkan: Wa zuyyina dzaalika fii quluubikum (dan syetan telah menjadikan kamu memandang baik dalam hatimu persangkaan itu). Kata dzaalika (itu), meunurut al-Qurthubi berarti nifaaq (kemunafikan). Itu artinya, mereka memandang kemunafikan itu sebagai sebuah kebaikan.

Menurut al-Khazin, yang membuat mereka memandang baik persangkaan buruk tersebut adalah setan, sehingga persangkaan itu berubah menjadi keyakinan. Setan itu membisikkan sesuatu di dalam hati manusia, membuatnya memandang baik persangkaan itu hingga dia memastikannya. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan al-Syaukani. Kesimpulan tersebut sejalan dengan firman Allah SWT: “Dan setan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka” (TQS. al-Naml [27]: 24).

Diterangkan Fakhruddin al-Razi, mereka menyangka terlebih dahulu, kemudian setan memperbagus persangkaan mereka yang ada pada diri mereka, hingga memastikannya. Hal itu disebabkan karena syubhat terkadang dijadikan setan terlihat baik dan digabung dengan persangkaan lain yang dipastikan oleh orang yang lalai, meskipun orang yang berakal mencurigainya.

Kemudian disebutkan: Bal zhanantum zhann al-saw‘ (dan kamu telah menyangka dengan sangkaan yang buruk). Ini memberikan penegasan tentang persangkaan orang-orang yang tidak ikut berperang itu. Bahwa mereka memiliki persangkaan yang buruk. Disebutkan ayat ini: zhann al-saw‘ (persangkaan yang buruk). Menurut al-Syaukani, mereka menyangka bahwa Allah SWT tidak menolong rasul-Nya. Ditegaskan pula olehnya bahwa persangkaan itu bisa jadi adalah persangkaan yang disebutkan sebelumnya. Pengulangan ini bermakna li al-ta‘kiid wa al-tawbiikh (sebagai penegasan dan celaan). Bisa juga yang dimaksud lebih umum dari yang disebutkan sebelumnya, sehingga persangkaan pertama itu termasuk di dalamnya.

Menjelaskan ayat ini, Ibnu Jarir al-Thabari, "Kalian menyangka bahwa Allah SWT tidak akan menolong Nabi Muhammad dan para sahabatnya yang beriman atas musuh-musuh mereka; dan musuh-musuh tersebut akan menundukkan dan mengalahkan mereka lalu membunuh mereka.”

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa kuntum qawm[an] buur[an] (dan kamu menjadi kaum yang binasa). Jika mereka menyangka Rasulullah dan kaum Mukminin akan binasa, maka sesungguhnya yang terjadi adalah sebaliknya. Merekalah yang akan binasa. Menurut al-Khazin, ayat ini bermakna, ”Disebabkan oleh persangkaan yang rusak itu, kalian menjadi kaum yang binasa dan hancur.” Ibnu Jarir al-Thabari juga berkata, ”Dan kalian adalah kaum yang binasa yang tidak pantas mendapatkan kebaikan sedikitpun.”

Keadaan mereka itu disebabkan oleh kerusakan akidah mereka. Al-Baidhawi berkata, "Mereka hancur di sisi Allah SWT karena kerusakan akidah kalian dan buruknya niat kalian."

Disediakan Neraka

Allah SWT berfirman: Wa man lam yu‘min biLlaah wa Rasuulihi (dan barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya). Setelah disebutkan keadaan yang akan menimpa mereka, yakni kehancuran, kemudian disebutkan ancaman yang lebih besar. Ancaman ini berlaku bukan hanya untuk mereka, tetapi untuk semua orang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Bahwa siapapun yang tidak beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya, niscaya termasuk dalam orang yang diancam dalam firman Allah SWT selanjutnya: Fa innaa a'tadnaa li al-kaafiriina sa'iir[an] (maka sesungguhnya Kami menyediakan untuk orang-orang yang kafir Neraka yang bernyala-nyala).

Menurut Imam al-Qurthubi, ini merupakan ancaman bagi mereka, sekaligus menjelaskan bahwa mereka kafir disebabkan oleh kemunafikan. Al-Khazin juga menegaskan bahwa sikap mereka yang tidak mau berangkat berperang dan disertai dengan persangkaan rusak mereka, itu mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Allah SWT pun mendorong mereka untuk beriman dan bertaubat dari persangkaan yang rusak tersebut dengan firman-Nya: ”Dan barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan menyangka bahwa Allah SWT menyalahi janji-Nya sesungguhnya adalah kafir; dan bagi orang-orang kafir disediakan Neraka yang menyala-nyala.

Demikianlah. Ayat ini menyingkap kebohongan orang-orang yang tidak mau ikut keluar untuk berperang bersama Rasulullah . Persangkaan buruk membuat mereka menjadi kaum yang binasa dan mengantarkan mereka kepada pengingkaran kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Ayat ini pun memberikan ancaman keras bagi pelakunya berupa siksa Neraka yang apinya menyala-nyala.

Ayat ini juga memberikan peringatan kepada kita bahwa mustahil kita dapat berdusta. Di hadapan manusia mungkin bisa dilakukan. Sebab, manusia tidak mengetahui apa yang tersimpan dalam hati. Namun tidak bagi Allah SWT. WaL-laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Alasan sebenarnya orang yang tidak mau berangkat perang bersama Rasulullah adalah karena mereka menyangka Rasulullah dan kaum Muslimin akan kalah dan tidak akan kembali.

2. Memiliki persangkaan yang buruk terhadap Allah SWT, semisal Allah SWT mengingkari janji-Nya, mengantarkan pelakunya kepada kekufuran.

3. Allah SWT mengancam orang-orang kafir dengan Neraka.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 198

Selasa, 07 April 2020

Orang-Orang yang Mengucapkan Janji Setia - TAFSIR al-Fath: 10



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.” (TQS. al-Fath [48]: 10)

Dalam ayat sebelumnya diterangkan tentang tugas yang diemban Rasulullah kepada manusia. Beliau diutus agar menjadi saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.

Dengan dijalankannya tugas itu, diharapkan manusia mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan agama-Nya, membesarkan-Nya, dan dan bertasbih kepada-Nya.

Kemudian, Allah SWT berfirman: Inna al-ladziina yubaayi'uunaka (bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu). Ayat ini memberitakan tentang orang-orang yang membaiat Rasulullah . Secara bahasa, kata al-bay'ah adalah akad yang diakadkan seseorang atas dirinya untuk mengerahkan segala kemampuan dan menepati janji yang telah ditekadkan.

Yang dimaksud dengan baiat di sini adalah baiah al-Ridhwan di Hudaibiyyah. Demikian menurut para mufassir. Mereka berbaiat kepada Rasulullah di bawah sebuah pohon untuk memerangi Quraisy. Jumlah sahabat yang ikut berjanji setia pada saat itu berjumlah 1.300 orang. Ada yang mengatakan 1.400 orang, bahkan 1.500 orang. Menurut Ibnu Katsir yang tepat adalah yang pertengahan, yakni 1.400. Ini didasarkan oleh riwayat Jabir yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim.

Ketika itu, Rasulullah mengutus Utsman ra. untuk menemui Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy dan menyampaikan bahwa Rasulullah dan kaum Muslim datang bukan untuk berperang, namun berziarah di Baitullah. Seteleh bertemu dengan mereka, Utsman menyampaikan surat yang dikirim Rasulullah untuk mereka. Setelah membacakan surat Rasulullah , Utsman dipersilakan untuk berthawaf. Utsman menjawab, "Aku tidak akan mengerjakan thawaf hingga Rasulullah bertawaf.” Kemudian orang-orang Quraisy menahan Utsman. Hingga akhirnya berita itu terdengar Rasulullah dan kaum Muslimin bahwa Utsman telah terbunuh.

Mendengar berita tersebut, Rasulullah bersabda: “Kita tidak akan tinggal diam sehingga kita berperang dengan kaum itu.” Kemudian Rasulullah menyeru umat manusia untuk berbaiat. Itulah yang disebut sabagai bay'atur al-ridhwaan yang terjadi di bawah sebatang pohon. Jabir bin Abdullah ra. berkata, "Sesungguhnya Rasulullah tidak membaiat mereka atas kematian, akan tetapi kami berbaiat untuk tidak lari.” Demikian dikatakan Ibnu Katsir.

Kemudian ditegaskan: Innamaa yubaayu'uunaLlaah (Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah). Bahwa orang-orang yang membaiat atau berjanji setia terhadap Rasulullah sesungguhnya telah berbaiat kepada Allah SWT. Dikatakan al-Syaukani, ini sebagaimana firman Allah SWT: “Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah” (TQS. al-Nisa‘ [4]: 80). Hal itu disebabkan karena mereka membaiat diri mereka dengan Allah SWT untuk memperoleh Surga.

Penjelasan serupa juga dikemukakan oleh al-Alusi. Menurutnya, mereka dikatakan berbaiat kepada Allah SWT karena maksud atau tujuan berbaiat kepada Rasulullah adalah menaati Allah SWT dan mengerjakan semua perintah-Nya karena barangsiapa menaati Rasul sesungguhnya dia telah menaati Allah SWT (lihat: QS. al-Nisa [4]: 80). Maka, berbaiat kepada Allah SWT bermakna menaati-Nya.

Kemudian Allah SWT berfirman: YaduLlaah fawq aydiihim (tangan Allah di atas tangan mereka). Ada beberapa penjelasan tentang makna ayat ini. Menurut al-Syaukani, ayat ini mengandung makna bahwa sesungguhnya akad perjanjian dengan Rasulullah seperti halnya akad dengan Allah SWT tanpa ada perbedaan.

Imam al-Qurthubi menukil pendapat al-Kalbi yang berkata, ”Sesungguhnya nikmat Allah SWT berupa hidayah atas mereka melebihi baiat yang mereka kerjakan." Sedangkan al-Kaisan berkata, ”Kekuatan dan pertolongan Allah SWT di atas kekuatan dan pertolongan mereka."

Menurut Ibnu Katsir, "Dia hadir bersama mereka, mendengar perkataan mereka dan melihat tempat mereka, mengetahui apa yang mereka sembunyikan dan mereka tampakkan. Dialah Dzat yang Maha Tinggi yang mereka baiat melalui rasul-Nya. Ini seperti firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang Mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan Surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (TQS. al-Taubah [9]: 111).”

Melanggar Baiatnya

Kemudian Allah SWT menerangkan tentang orang yang melanggar sumpahnya dengan firman-Nya: Faman nakatsa fa innamaa yankutsu 'alaa nafsihi (maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri).

Kata al-naktsu berarti melepaskan. Kemudian digunakan untuk menyebut tindakan membatalkan perjanjian. Ini seperti dalam QS. al-Taubah [9]: 12. Pengertian ini pula yang dimaksud oleh ayat ini.

Ibnu Jarir al-Thabari berkata, ”Barangsiapa melanggar dan membatalkan baiatnya kepadamu, wahai Muhammad, maka dia tidak akan menolongmu atas musuh-musuhmu dan menyalahi janjinya kepada Tuhannya."

Menurut Imam al-Qurthubi, itu artinya kemudharatan yang terjadi sebagai akibat pelanggaran itu akan menimpa dirinya sendiri. Sebab, dia telah menjadikan dirinya tidak mendapatkan pahala dan mengharuskan hukuman atas dirinya.

Balasan

Setelah diterangkan tentang ancaman bagi orang-orang yang melanggar dan membaiat Rasulullah , kemudian diterangkan tentang balasan bagi orang-orang yang memenuhi baiatnya. Allah SWT berfirman: Waman awfaa bimaa 'aahadaLlaah 'alayhi (dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah). Sebagaimana telah diterangkan, baiat tersebut adalah sumpah atau janji setia untuk membela Utsman yang dikabarkan dibunuh oleh orang-orang Quraisy.

Terhadap mereka, Allah SWT berfirman: Fasayu‘tiihi ajr[an] 'azhiim[an] (Maka Allah akan memberinya pahala yang besar). Menurut al-Qurthubi, ajr[an] azhiim[an] adalah Surga. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Qatadah. Tak jauh berbeda, al-Thabari juga memaknainya sebagai tsawaab[an] 'azhiim[an] (pahala yang besar). Menurutnya, dengan pahala tersebut Allah SWT memasukkannya ke dalan Surga sebagai balasan atas penunaian janjinya kepada Allah SWT dan kesabarannya bersama Rasulullah dalam kesulitan yang membuktikan keimanan.

Demikianlah. Orang-orang yang mengucapkan baiat kepada Rasulullah lalu melanggar janjinya, akan menjerumuskan dirinya kepada kerugian dan kemudharatan. Sebaliknya, jika mereka menunaikan janji setia mereka, mereka akan diberikan pahala yang besar. Wa-Llaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Orang-orang yang mengucapkan baiat kepada Rasulullah mendapatkan pujian.

2. Barangsiapa yang melanggar janji setia maka itu menjerumuskan dirinya kepada kerugian dan kemudharatan.

3. Barangsiapa yang menunaikan janji setia, mereka akan diberikan pahala yang besar.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 195

Minggu, 05 April 2020

Balasan Bagi Orang yang Menolak Dan yang Menerima Petunjuk - TAFSIR QS Muhammad: 16-17



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu, orang-orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi): "Apakah yang dikatakannya tadi?” Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (TQS. Muhammad [47]: 16-17)

Manusia mendapatkan apa yang diusahakan. Orang yang menolak petunjuk dari Allah SWT, enggan mendengarkan nasihat yang baik, bahkan melecehkannya, hati mereka akan dikunci mati. Itu adalah hukuman bagi mereka. Hukuman lainnya, mereka akan terus mengikuti hawa nafsu dan kekufuran.

Sebaliknya, orang-orang yang mau menerima petunjuk, akan ditambah oleh Allah SWT dengan petunjuk dan diberikan taufik untuk melakukan amal shalih. Inilah di antara yang diterangkan oleh ayat di atas.

Hukuman Bagi Orang Kafir

Allah SWT berfirman: Wa minhum man yastami'u ilayka (dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu). Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang kafir di akhirat. Bagi orang yang bertakwa, balasan yang akan diterima adalah Surga, yang di dalamnya dipenuhi dengan beragam kenikmatan. Sebaliknya, orang-orang kafir dimasukkan ke dalam Neraka yang berisi aneka siksaan yang mengerikan.

Ayat ini pun masih membicarakan dua golongan tersebut. Yang pertama diberitakan adalah golongan orang-orang kafir. Ini ditunjukkan oleh dhamiir hum (kata ganti mereka) pada kata minhum. Mereka yang dimaksudkan ayat ini adalah orang-orang munafik. Demikian menurut para mufassir, seperti Ibnu Jarir al-Thabari, al-Qurthubi, Fakhruddin al-Razi, Ibnu Katsir, al-Khazin, al-Alusi, al-Jazairi, dan lain-lain.

Kesimpulan para mufassir itu mengisyaratkan bahwa orang-orang munafik termasuk golongan orang-orang kafir. Mereka menampakkan dirinya sebagai orang Mukmin, padahal tidak ada iman dalam hati mereka.

Dikatakan pula oleh Ibnu Jarir al-Thabari, ketika itu orang-orang munafik mendengar perkataan Rasulullah . Akan tetapi, mereka tidak mengerti dan memahaminya lantaran meremehkan kitab yang dibacakan kepada mereka, melalaikan perkataan beliau, dan keimanan yang beliau serukan.

Kemudian dalam frasa berikutnya disebutkan: Hattaa idzaa kharajuu min 'indika qaaluu li al-ladziina uutuu al-'ilm maa dzaa qaala anifa[n] (sehingga apabila mereka keluar dari sisimu orang-orang berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan [sahabat-sahabat Nabi]: "Apakah yang dikatakannya tadi?"). Jika orang-orang yang keluar dari majelis Rasulullah adalah orang-orang munafik, maka orang-orang yang diberi ilmu, menurut Ibnu Zaid adalah para sahabat. Demikian pula penjelasan al-Alusi, al-Khazin, al-Jazairi, dan lain-lain. Sehingga, ayat ini dapat dipahami bahwa setelah keluar dari majelis Rasulullah , orang-orang munafik itu bertanya kepada beberapa sahabat.

Mereka bertanya sebagaimana disitir ayat ini: Maa dzaa qaala anifa[n] (apa yang dikatakan tadi). Pertanyaan ini sesungguhnya ungkapan untuk melecehkan. Dikatakan al-Khazin, itu terjadi ketika Rasulullah khutbah dan menyebut aib orang-orang munafik, lalu mereka keluar dari masjid seraya bertanya kepada Ibnu Mas'ud dengan nada mengolok-olok. Bahwa pertanyaan mereka itu sebagai bentuk ejekan, juga dikemukakan oleh Imam al-Qurthubi, al-Khazin, al-Jazairi, dan lain-lain.

Menurut al-Jazairi, seandainya mereka orang Mukmin yang mencintai Rasulullah , niscaya mereka akan berkata: Maa dzaa qaala Rasuulul-Laah anifa[n] (apa yang dikatakan Rasulullah tadi?) dan bukan Maa dzaa qaala anifa[n] (apa yang dia katakan tadi?). Dengan ucapan itu, mereka bermaksud untuk mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Rasulullah itu sama sekali tidak bermanfaat sedikitpun.

Menurut Sayyid Quthb dalam Fii Zhilaal al-Qur'aan, pertanyaan yang mereka ajukan setelah menyimak perkataan Rasulullah -kata al-istimaa' bermakna al-samaa' bi al-ihtimaam, mendengarkan dengan penuh perhatian- menunjukkan kepura-puraan mereka mendengar perkataan Rasulullah , padahal sesungguhnya hati mereka lalai dan terkunci rapat.

Kemudian ditegaskan: Ulaaika al-ladziina thaba'al-Laah 'alaa quluubihim (mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah). Ayat ini memberikan penjelasan tentang balasan yang diberikan atas sikap mereka. Balasannya adalah ditutupnya hati mereka.

Dikatakan al-Jazairi, hati mereka telah dikunci mati hati mereka oleh Allah SWT adalah karena kekufuran dan kemunafikan mereka. Hal itu disebabkan oleh banyaknya noda-noda kekufuran dan kemunafikan hingga menutupi hati mereka, maka menutup dan mengunci mati hati mereka.

Lalu diberitakan balasan lainnya untuk mereka dengan firman-Nya wa [i]ttaba'uu ahwaa‘ahum (dan mengikuti hawa nafsu mereka). Yang dimaksud dengan mengikuti hawa nafsu mereka adalah mengikuti kekufuran dan kemunafikan. Artinya, ketika mereka tidak mau mengikuti kebenaran, maka Allah SWT mematikan hati mereka, sehingga hati mereka tidak memahami dan tidak mengerti. Ketika itulah, mereka mengikuti hawa nafsu mereka dalam kebatilan. Demikian, penjelasan al-Khazin dalam tafsirnya.

Diterangkan al-Jazairi, 'mengikuti hawa nafsu mereka' menjadi sebab dua hal. Pertama, penutup dan penghalang mereka dalam mencari hidayah. Kedua, yang membuatnya menjadi buta dan tuli, sehingga mereka tidak mendapatkan petunjuk.

Balasan Bagi Penerima Petunjuk

Setelah menceritakan sikap orang-orang kafir yang meremehkan petunjuk dari Rasulullah serta balasan yang diberikan kepada mereka, kemudian Allah SWT berfirman: Wa al-ladziina [iJhtadaw zaadahum hud[an] (dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka). Mereka yang dimaksudkan ayat ini adalah orang-orang Mukmin. Demikian penjelasan al-Khazin dan al-Jazairi.

Orang Mukmin yang diterangkan ayat ini adalah orang-orang yang mau menerima petunjuk. Karenanya, mereka pun mendengarkan semua petunjuk yang disampaikan Rasulullah dengan cermat dan sungguh-sungguh. Maka, mereka pun memahami petunjuk dan ilmu yang diajarkan Nabi . Ilmu mereka pun bertambah.

Menurut Ibnu Katsir, mereka adalah orang-orang yang bertujuan untuk mendapatkan petunjuk. Terhadap mereka, Allah SWT pun memberikan taufik kepada mereka, dengan memberikan petunjuk kepada mereka, meneguhkan mereka agar tetap berada di atas petunjuk, dan menambahkan petunjuk kepada mereka.

Diterangkan al-Khazin, frasa: Zaadahum huda[n] mengandung makna bahwa setiap kali mereka mendengarkan wahyu yang disampaikan Rasulullah , mereka pun mengimani dan membenarkan apa yang mereka dengar, maka hal itu menambah hidayah yang telah ada pada mereka dan menambah keimanan yang juga telah ada pada mereka.

Menurut Fakhruddin al-Razi, ayat ini bermaksud untuk menerangkan perbedaan dua golongan tersebut. Seolah-olah dikatakan: Mereka (golongan pertama) tidak memahaminya; sedangkan mereka (golongan yang kedua) memahaminya. Juga, seolah-olah Allah SWT telah mengunci mati hati mereka, lalu menambah mereka menjadi buta; sedangkan kepada al-muhtadii (orang yang menerima petunjuk) ditambahkan petunjuk.

Kemudian disebutkan: Wa aataahum taqwaahum (dan memberikan balasan ketakwaannya). Frasa ini bermakna, Allah SWT mengilhamkan kepada mereka petunjuk. Demikian Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

Tak jauh berbeda, al-Khazin juga memaknai ayat ini bahwa Allah SWT memberikan taufik kepada mereka untuk mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. lnilah takwa.

Menurut Abdurrahman al-Sa'di, Allah SWT memberikan taufik kepada mereka kepada kebaikan, menjaga mereka dari keburukan. Diingatkan dalam ayat ini, al-muhtadiin (orang-orang yang mendapatkan petunjuk) mendapatkan dua balasan, yakni: ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

Demikianlah. Setiap manusia mendapatkan hasil dari apa yang dikerjakannya. Ketika mereka enggan mendengarkan petunjuk, apalagi mengolok-olok dan meremehkannya, maka hati mereka dibuat semakin tertutup rapat. Sebaliknya, mereka bersungguh-sungguh mencari petunjuk dan bersedia menerima penjelasannya, Allah SWT pun menambahkan petunjuk buat mereka. Semakin banyak ilmu yang bermanfaat yang mereka dapatkan. Tak hanya itu, mereka pun diberikan taufik dan kekuatan untuk mengamalkannya dalam kehidupan. Semoga kita termasuk golongan yang terakhir ini. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Orang-orang kafir yang tidak mau mendengarkan perkataan Nabi dengan sungguh-sungguh, apalagi melecehkan perkataan beliau, hati mereka ditutup dan mengikuti kekufuran.

2. Orang-orang Mukmin yang mau menerima petunjuk, diberikan tambahan petunjuk dan diberikan taufik untuk mengerjakan amal shalih.[]

Sumber: “Balasan Bagi Orang Menolak Dan Mencari Petunjuk” Tabloid Media Umat edisi 172

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam