Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 28 Oktober 2018

Masa Depan Suriah



Idlib masih menjadi daerah terakhir –dalam perang tujuh tahun untuk Suriah- yang berada di luar kendali rezim. Setelah Rusia bersiap untuk serangan akhir atas propinsi sebelah utara, Erdogan dan Putin bertemu di Sochi pada 16 September 2018 di mana para pemimpin di kedua pihak itu setuju untuk menciptakan zona demiliterisasi, yang berarti bahwa Turki akan mengambil senjata-senjata berat dari kelompok-kelompok di Idlib. Kelompok-kelompok itulah yang sebelumnya telah dipersenjatai dan dikendalikan oleh Turki, maka mereka akan kehilangan kemampuan untuk bertempur dan mereka dipaksa untuk menerima berakhirnya revolusi tujuh tahun. Solusi dan situasi pasca revolusi saat ini semakin mendekat dan sangat mungkin beberapa solusi politik akan dipertimbangkan, masing-masing dengan tantangannya sendiri.

Komentar:

Dari sejak hari-hari awal revolusi, AS telah menjelaskan apa agendanya di Suriah, ini penting karena tidak ada negara yang terlibat di Suriah menyodorkan visi alternatif dan tidak ada yang menjalankan agenda-agenda alternatif. Bahkan Rusia tidak memiliki agenda yang berbeda dari AS, meski ada perbedaan rincian operasional.

Agenda AS dibeberkan oleh Sekretaris Pertahanan ketika itu Leon Panetta, dalam sebuah wawancara dengan CNN pada Juli 2012, dia mengatakan: “Aku pikir adalah penting ketika Assad pergi – dan dia akan pergi – untuk berupaya menjaga stabilitas di negara itu. Dan cara paling baik untuk menjaga stabilitas semacam itu adalah dengan mendukung sebanyak mungkin militer, polisi, sebisa mungkin, bersama dengan pasukan-pasukan keamanan, dan berharap mereka akan bertransisi ke bentuk pemerintahan demokratis. Itu kunci.” Melestarikan rezim di Damaskus adalah agenda AS sejak hari pertama, rezimnya bukan Bashar al-Assad, tidak pernah satu orang itu. Inilah mengapa AS selalu mengkritik al-Assad, tapi tidak pernah melakukan apapun secara fisik untuk menyingkirkannya.

Tapi beralih ke hari ini dan posisi rezim sangatlah berbeda sehingga akan mempengaruhi solusi politik melestarikan rezim. Setelah tujuh tahun perang dan banyak desersi tentara, angkatan bersenjata kuwalahan dan rezim di Damaskus sangatlah lemah dan tak mampu menjaga kendali di seluruh wilayah negara itu di waktu yang sama. Rezim kekurangan jumlah orang, dan inilah mengapa Hizbullah, tentara bayaran Syi’ah, dan Russia terus menanggung beban untuk Bashar selama bertahun-tahun. Meskipun persenjataan dan sumberdaya disediakan untuk rezim di Damascus, dia tetap kekurangan orang untuk bisa bertahan hingga revolusi berakhir dan melestarikan solusi politiknya. Bagi AS solusi politiknya memerlukan kekuatan di Suriah untuk mengamankan agendanya, dan inilah tantangan yang dihadapi AS.

Iran mengorganisir kelompok-kelompok milisi yang melawan kelompok-kelompok pemberontak di Suriah dan menyelamatkan rezim. Kumpulan milisi ini bisa terus ada di Suriah untuk melanjutkan peran ini. Ini akan memerlukan upaya rezim sehingga secara efektif menetralisir mereka masuk ke angkatan bersenjata dan memberi mereka akomodasi permanen untuk memenuhi peran itu. Para milisi itu jumlahnya lebih dari 40.000 orang dan telah ditempatkan di lingkar damaskus yang mengindikasikan bahwa rezim di Damaskus telah menganggap mereka sebagai kekuatan yang akan mengamankan solusi politiknya.

Pada April 2018 The Wall Street Journal menggarisbawahi keinginan pemerintahan Trump untuk membentuk sebuah pasukan militer Arab di Suriah untuk menggantikan pasukan AS di sana. Para pejabat memberitahu surat kabar itu bahwa John Bolton, penasihat keamanan nasional Donald Trump, belakangan ini menghubungi Abbas Kamel, kepala intelijen Mesir dan satu figur utama dalam pemerintahan Abdul-Fattah al-Sissi, untuk mencari dukungan militer dan keuangan bagi pembentukan pasukan itu. Al-Jazeera mengutip National Interest di 2016 bahwa perang Suriah telah berkobar selama bertahun-tahun dan bahwa negara itu telah terjerembab ke dalam lumpur dan perlu pasukan penjaga perdamaian. Pengerahan pertama pasukan NATO Muslim tampaknya untuk menjaga solusi politik Amerika.

Memecah Suriah dan membelahnya bukanlah bagian dari solusi itu meskipun banyak pemikir dan analis menyebutkannya sebagai sebuah pilihan. AS telah lama menganggap Suriah, yang ada di tengah Timur Tengah sebagai alat untuk mengendalikan kawasan yang lebih besar, untuk sementara ini sebuah rezim di Damaskus yang menguasai seluruh Suriah, sebagaimanapun lemahnya, tetap berguna untuk agendanya. Jika itu tidak mungkin maka negara-negara kecil bisa menjadi pilihan.

Walaupun berhasil mengeluarkan revolusi dari relnya, kekuatan-kekuatan global dan regional akan berjuang keras untuk menerapkan solusi politiknya karena diperlukan banyak tenaga manusia untuk menjaga solusi ini. Rezim di Damaskus akan selamanya membutuhkan dukungan finansial dari luar bersama dengan dukungan fisik, sehingga kemenangan apapun yang diraih rezim, akan merupakan kemenangan kosong, yang hampir pasti tidak akan langgeng.

Adnan Khan


Selasa, 16 Oktober 2018

Menyalahi Janji Kampanye, Penguasa Mengincar Banyak Utang Dari IMF



Menurut Bloomberg:

“Setelah berkonsultasi dengan “para ekonom terkemuka”, Pakistan akan secara resmi meminta bantuan IMF, dan Menteri Keuangan Asad Umar akan bicara dengan para pejabat [IMF] selama pertemuan tahunan lembaga pemberi utang itu di Bali minggu ini, Kementerian Keuangan mengatakannya dalam sebuah pernyataan kemarin Senin. Umar memberitahu Bloomberg di bulan Agustus bahwa pemerintah mungkin perlu lebih dari $12 milyar.”

“Perdana Menteri Imran Khan, yang berkuasa setelah pemilu Juli, berada dalam tekanan untuk menghasilkan pendanaan eksternal karena negara itu menghadapi akhir dari serangkaian financial blowouts (di mana penjualan surat berharga negara telah laku keras). IMF mengatakan di minggu lalu bahwa upaya pemerintah belum cukup untuk menghentikan munculnya krisis.”

Menteri Keuangan mengatakan, “Tantangan bagi pemerintah sekarang adalah memastikan bahwa reformasi fundamental struktur ekonomi dijalankan untuk memastikan bahwa spiral (bolak-balik) masuk dalam program IMF tiap beberapa tahun bisa diakhiri untuk selamanya.” “Untuk membenahi ketidakseimbangan fundamental, maka aksi-aksi fiskal dan keuangan perlu dilaksanakan tanpa penundaan.”

Komentar:

Perdana Menteri Pakistan sekarang, Imran Khan, menghabiskan lebih dari dua dekade menjadi politisi oposisi, seringnya mengkritik pemerintah yang mengambil utang luar negeri, khususnya dari IMF. Namun, sebelum sampai 100 hari pertamanya, dia mengirim menteri keuangannya, dengan tangan mengacungkan wadah, untuk mengemis dan mengais uang dari IMF. Selain itu, telah tampak jelas bahwa tindakan-tindakan semacam devaluasi ekstrim mata uang sesuai saran IMF dimaksudkan untuk menunjukkan kepatuhan menerapkan syarat-syarat IMF bahkan sebelum ada perjanjian yang diteken.

IMF adalah institusi penjamin tatanan Kapitalis internasional, yang tujuannya adalah untuk menjaga superioritas Barat atas seluruh dunia, kelanjutan imperium dengan cara yang lain. Tapi para ekonom Pakistan yang dididik dengan buku ekonomi Kapitalis sepenuhnya terbujuk untuk menerima resep-resep IMF dan, malah aktif menyeru pemerintah mereka untuk kembali lagi kepada institusi penghisap itu.

Barat mengajarkan Kapitalisme ke seluruh dunia tapi dia sendiri selektif dalam mempraktikkan ekonomi Kapitalis karena para politisinya sadar betul bahayanya resep-resep Kapitalisme: Perancis memilih untuk terus membiayai sektor publik yang memberatkan anggaran, Skandinavia tetap menerapkan kebijakan-kebijakan sosial yang cenderung komunis, dan Amerika, khususnya di bawah Trump, menerapkan kebijakan proteksionisme ketat.

Inggris mengusung ide-ide Adam Smith -yang menulis buku The Wealth of Nations di 1776- pada awalnya hanya untuk menyebarkan pemikiran pasar bebas atas United States of America yang baru terbentuk, yang kebetulan merdeka dari Inggris di tahun yang sama.

Sementara hari ini, para politisi dan ahli ekonomi dunia ketiga, tragisnya, berlanjut memandang bahwa penerapan penuh Kapitalisme adalah solusi bagi semua sakit mereka, padahal hasil sesungguhnya dari penerapan ekonomi Kapitalisme adalah pemiskinan yang menyeluruh atas penduduk melalui pelucutan kendali negara dan pembukaan perekonomian sepenuhnya untuk semua kepentingan swasta dan asing. Kekayaan dan sumberdaya negeri diekspor sebanyak-banyaknya untuk mendapat uang fiat sementara populasi terjebak mengkonsumsi barang-barang jadi imporan.

Pakistan, meski telah merdeka dari Inggris lebih dari 70 tahun lalu, berlanjut taklid buta menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang telah diterapkan oleh Inggris atas India (yang mana tanah Pakistan tadinya bagian dari India) setelah Inggris menghapus kekuasaan Muslim Mughal dan yang sebelum mereka. Dan cukup disayangkan, Imran Khan tidak lebih dari satu politisi dangkal dan naif yang berpikir bahwa karakter pribadi sudah cukup untuk memecahkan berbagai krisis sistemik tanpa perlu menginvestigasi sebab-sebab krisis yang sesungguhnya. Hasilnya, puluhan juta orang Pakistan yang polos tertipu untuk memilih dia, berpikir bahwa dia bisa membawa perubahan riil atas situasi Pakistan.

Pakistan tidak akan pernah bisa lepas dari trauma ekonomi sampai ekonomi Kapitalis ditinggalkan dan kembali kepada penerapan Islam, yang membawa kemakmuran pada India selama lebih dari 800 tahun penerapannya, bahwa negeri ini menjadi kawasan industri terdepan dunia, konsentrasi kekayaan dan kemakmuran yang menarik para penjelajah dari negara-negara terbelakang di Eropa Barat untuk mengambil risiko mengarungi samudra berbahaya dalam rangka mencari jalur perdagangan yang lain untuk mencapai permata India.

Allah Swt. berfirman dalam al-Qur’anul Karim:

“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhan kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan bertawakkallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara.” (TQS. al-Ahzab: 1-3)


Minggu, 07 Oktober 2018

Amerika Mengencangkan Jeratan Pada Leher Jajahan Melalui IMF Dan Bank Dunia



Dilaporkan bahwa Somalia telah memenuhi seluruh 27 persyaratan dana global International Monetary Fund (IMF) yang diwajibkan dalam rangka meringankan utangnya (Radio Dalsan, 22/09/2018). Selain itu, Bank Dunia telah menyetujui pemberian $80 juta bagi Somalia untuk mendanai reformasi keuangan publik, yang menandai pertama kalinya pengeluaran untuk pemerintah itu -yang selalu didominasi konflik- dalam 30 tahun, kata Bank Dunia (Radio Dalsan, 27/09/2018).

Komentar:

Somalia adalah negara korban pertarungan para kolonialis Barat antara Amerika dan Eropa, khususnya Inggris, dalam rangka menguasai dan menjarah sumberdaya alamnya yang melimpah khususnya minyak dan penggunaan mulut Laut Merah. Situasinya semakin memburuk setelah jatuhnya Mohamed Siad Barre, seorang penguasa antek Amerika sejak 1991, karena hampir 2/3 Somalia dialokasikan untuk para raksasa minyak Amerika Conoco, Amoco, Chevron dan Phillips di tahun-tahun terakhir sebelum presiden pro-AS Mohamed Siad Barre digulingkan dan negeri itu masuk dalam kekacauan. Dalam rangka menyelamatkan hak konsesi perusahaan-perusahaan, pemerintahan Bush memutuskan untuk mengirim pasukan AS (menginvasi) untuk melindungi investasi multijuta-dollar yang ditopengi sebagai pengamanan atas pengiriman bantuan untuk Somalia.

Cengkeraman Amerika dan penggarongan atas Somalia terus berlanjut kokoh dengan Mohamed Abdullahi “Farmajo” Mohamed sebagai Presiden saat ini sejak 2017. Selain itu, kebijakan-kebijakan Amerika sejak era Siad Barre dan hingga hari ini hanya peduli dengan pengeksploitasian sumberdaya Somalia. Namun, dengan kalahnya pasukan Amerika di Somalia karena adanya respon global kaum Muslimin untuk bersatu di bawah bendera “Jihad untuk mengusir pasukan pendudukan,” Amerika telah dipermalukan meski punya persenjataan canggih dan pelatihan berteknologi-tinggi dalam peperangan dibandingkan dengan para “Mujahidin.”

Sejak saat itu Amerika mengubah taktiknya dan mengerahkan seruan demokratisasi dan reformasi pemerintah atas institusi-institusi Somalia. Pada dasarnya, itu berarti bahwa Amerika sedang berusaha untuk membentuk masyarakat di Somalia dengan budaya dan nilai-nilai Barat sekular yang kental sehingga identitas Islam mereka terdistorsi sepenuhnya. Untuk mencapai tujuan keji ini, Amerika menggunakan institusi-institusi keuangannya, termasuk tapi tidak terbatas pada IMF dan Bank Dunia, dalam menyokong pemerintah Somali dengan dana yang dibutuhkan untuk mendongkrak eksistensi rezim dan memastikan bahwa pemerintah itu menyetujui dan melaksanakan berbagai kebijakannya di Somalia. Oleh karena itu, peran utama IMF dan Bank Dunia adalah menguasai negara dan menjalankan kebijakan-kebijakannya dan tidak mengurus kepentingan masyarakat Somalia! Sebagaimana terbukti di 2017, ketika lebih dari 6 juta orang di Somalia menghadapi kelaparan parah dengan salah satu alasan terjadinya musibah itu adalah perang proxy berkepanjangan yang dipimpin AS atas nama Terorisme dan Ekstrimisme tapi kenyataannya adalah bahwa itu adalah perang-perang proxy dengan sasaran menggarong negeri itu!

Sangat jelas bahwa Amerika dan berbagai institusi keuangannya bukan hanya musuh bagi Somalia tapi juga bagi Kenya yang belakangan ini mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keuangan 2018 yang mencerminkan proposal-proposal IMF yang pada akhirnya menjerumuskan penduduk negeri itu ke dalam gaya hidup terjangkiti kemiskinan yang lebih parah! Solusi paling mendesak adalah Somalia, Kenya dan seluruh Afrika memutus hubungan dengan berbagai institusi Barat itu, seperti IMF dan Bank Dunia, yang juara dalam mencitrakan kebijakan ideologis kapitalis sekular beracun sebagai gula! Maka dari itu, sambutlah seruan penegakan Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian. Khilafah tidak hanya akan menjamin kebangkitan sejati Afrika tapi juga menyingkirkan para kolonialis sekular, sehingga mengembalikan harapan bagi Afrika dan mendayagunakan potensi Afrika di jalan menuju kedamaian dan kemakmuran.

Ali Nassoro Ali

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam