Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 29 November 2015

Para Khalifah Menegakkan Syariah Islam



وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. al-Anfal [8]: 25)
Suatu ketika Zainab binti Jahsy bertanya kepada Nabi, “Wahai Nabi, apakah kami akan dihancurkan (oleh Allah), padahal di tengah-tengah kami ada orang-orang shalih?” Nabi menjawab, “Iya, jika keburukan (khabats) telah merajalela.” (HR. Bukhari-Muslim)

Rasulullah Saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لاَ يُعَذِّبُ الْعَامَّةَ بِعَمَلِ الْخَاصَّةِ حَتَّى يَرَوْا الْمُنْكَرَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ وَهُمْ قَادِرُونَ عَلَى أَنْ يُنْكِرُوهُ فَلاَ يُنْكِرُوهُ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَذَّبَ اللهِ الْخَاصَّةَ وَالْعَامَّةَ
“Sesungguhnya Allah tidak mengazab manusia secara umum karena perbuatan khusus (yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang) hingga mereka melihat kemungkaran di tengah-tengah mereka, mereka mampu mengingkarinya, namun mereka tidak mengingkarinya. Jika itu yang mereka lakukan, Allah mengazab yang umum maupun yang khusus.” (HR. Ahmad)

«خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ لَمْ تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ فِي قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلاَّ فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَاْلأَوْجَاعُ الَّتِي لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِي أَسْلاَفِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنْ السَّمَاءِ وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلاَّ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِي أَيْدِيهِمْ وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللهُ إِلاَّ جَعَلَ اللهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ»
“Ada lima perkara (yang harus kalian waspadai)—aku berlindung kepada Allah, jangan sampai hal itu menimpa kalian: 1. Tidaklah kekejian (perzinaan) muncul pada suatu kaum dan mereka melakukannya secara terang-terangan, kecuali akan muncul berbagai wabah dan berbagai penyakit yang belum pernah terjadi pada orang-orang sebelum mereka. 2. Tidaklah suatu kaum berbuat curang dalam hal timbangan dan takaran (jual-beli), melainkan mereka akan diazab dengan paceklik, kesusahan hidup dan kezaliman penguasa. 3. Tidaklah suatu kaum enggan membayar zakat, melainkan mereka akan dicegah dari turunnya hujan dari langit; jika bukan karena binatang ternak, niscaya hujan itu tidak akan diturunkan. 4. Tidaklah para pemimpin mereka melanggar perjanjian Allah dan Rasul-Nya, kecuali Allah akan menjadikan musuh menguasai mereka, lalu merampas sebagian yang ada dari apa yang ada di tangan mereka. 5. Tidaklah mereka meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya, melainkan Allah menjadikan perselisihan di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah)
Sesungguhnya otoritas (kekuasaan) itu merupakan naungan Allah di muka bumi, di mana setiap orang yang terzalimi di antara para hamba-Nya pergi berlindung kepadanya.” (HR. Imam Baihaqi)
وقال أمير المؤمنين عثمان بن عفان إن الله ليزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن
Amirul Mukminin Utsman bin Affan ra. berkata, “Sesungguhnya Allah SWT memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh al-Quran.” (Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Dar Ihya At Turats, 2/12)

Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, dalam bukunya Al-Ahkâm as-Sulthâniyah wa al-Wilayât ad-Dîniyah (hlm. 3) mengatakan:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ اللهَ جَلَتْ قُدْرَتُهُ نَدَبَ لِلْأُمَّةِ زَعِيْماً خَلَفَ بِهِ النُّبُوَّةَ، وَحَاطَ بِهِ الْمِلَّةَ، وَفَوَّضَ إِلَيْهِ اَلسِّيَاسَةَ، لِيَصْدُرَ التَّدْبِيْرُ عَنْ دِيْنٍ مَشْرُوْعٍ، وَتَجْتَمِعُ الْكَلِمَةُ عَلَى رَأْيٍ مَتْبُوْعٍ، فَكَانَتْ الْإِمَامَةُ أَصْلاً عَلَيْهِ اِسْتَقَرَتْ قَوَاعِدُ الْمِلَّةِ، وَاِنْتَظَمَتْ بِهِ مَصَالِحُ الْأُمَّةِ.
Ammâ ba’du. Sungguh Allah Yang Maha Tinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan (masa) kenabian, (yaitu) melindungi agama dan mewakilkan kepada dirinya pemeliharaan urusan umat. Hal itu bertujuan agar pengaturan itu keluar dari agama yang disyariatkan dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu Imamah (Khilafah) adalah pokok yang menjadi pondasi kokohnya pilar-pilar agama dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.”

Imam Taqiyuddin an-Nabhani –radhiyallahu ‘anhu– berkata :
فكان يتولى النبوة والرسالة وكان في نفس الوقت يتولى منصب رئاسة المسلمين في إقامة أحكام الإسلام
Maka Nabi SAW dahulu memegang kedudukan kenabian dan kerasulan, dan pada waktu yang sama Nabi SAW memegang kedudukan kepemimpinan kaum muslimin dalam menegakkan hukum-hukum Islam.” (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhamul Hukm fil Islam, hal. 116-117)

Syaikh ‘Ali al-Ghazi dalam Syarah Aqidah at-Thahawi berkata: Penguasa durjana menentang Syariah dengan politik yang durjana. Mereka mengalahkan Syariah. Ahbar su’ adalah ulama’ yang meninggalkan Syariah dengan mengikuti pandangan dan analogi mereka yang rusak. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Rahib adalah orang bodoh yang menjadi sufi dengan mengikuti perasaan dan imajinasi mereka. (Ibn al-Qayyim, Ighatsah al-Lahfan, Juz I, hal. 346)

Ibnu Ishak meriwayatkan dari Anas bin Malik ra. yang berkata:
Setelah Abu Bakar dibai’at di Saqifah, besoknya Abu Bakar duduk di atas mimbar. Lalu Umar berdiri dan berbicara sebelum Abu Bakar berbicara. Umar memuji dan menyanjung Allah SWT, sebab hanya Allah semata yang berhak untuk dipuji dan disanjung. Kemudian Umar berkata, “Sesungguhnya Allah telah menjaga Kitab-Nya di tengah kalian, yang dengan itu Rasulullah membimbing kalian. Karena itu, jika kalian berpegang teguh dengan Kitab-Nya, maka Allah pasti memberi petunjuk kepada kalian. Sesungguhnya Allah telah mengumpulkan urusan kalian pada orang yang terbaik di antara kalian. Dia adalah sahabat setia Rasulullah dan orang kedua ketika keduanya tengah berada di gua. Dengan demikian dia merupakan orang yang paling layak untuk mengurusi urusan kalian. Untuk itu, bangkitlah, lalu berbaiatlah.” Lalu orang-orangpun membaiat Abu Bakar sebagai baiat umum (taat) setelah baiat yang berlangsung di Saqifah (Mahmud, Bai’ah fi al-Islam Târîkhuhâ wa Aqsâmuhâ bayna an-Nadzariyah wa at-Tathbîq, hlm. 177)

Rasulullah Saw. melalui sabdanya:
«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ»
Dahulu Bani Israel, (urusan) mereka dipelihara dan diurusi oleh para nabi, setiap kali seorang nabi meninggal digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi lagi sesudahku. Sementara yang akan ada adalah para khalifah, yang jumlah mereka banyak. Mereka (para sahabat) berkata: ‘Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Rasulullah Saw. bersabda: “Penuhilah baiat yang pertama lalu yang pertama.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra.)

Buklet ini disusun oleh: Annas I. Wibowo
27/10/2015
Daftar bacaan:
hizbut-tahrir.or.id
mediaumat.com
Tafsir Ibnu Katsir (Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir)

Sabtu, 28 November 2015

Keputusan Hukum Merupakan Otoritas Allah



«…وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مُوسَى حَيًّا مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي»
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa masih hidup ia tidak merasa lapang kecuali mengikutiku.” (HR. Ibn Abiy Syaibah dalam Mushannaf)
فَإِنَّهُ لَوْكَانَ مُوْسَى حَيًّا بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ, مَا حَلَّ لَهُ إِلاَّ أَنْ يَتَّبِعَنِيْ
Nabi Saw. bersabda, “Seandainya Nabi Musa as. hidup di tengah-tengah kalian, maka tidak halal bagi dirinya, kecuali mengikuti aku.” (HR. Imam Ahmad)

«قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ، وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ، فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا، فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ، وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ، وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ»
“Sungguh telah aku tinggalkan kalian di atas sesuatu yang putih bersih di mana malamnya laksana siangnya, tidak akan tergelincir darinya setelahku kecuali orang yang binasa, dan siapa saja dari kalian yang hidup sesudahku, ia akan melihat perbedaan yang banyak. Maka kalian wajib berpegang teguh dengan apa yang kalian ketahui dari Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidun yang mendapat petunjuk. Kalian wajib taat (kepada pemimpin yang Syar’i sah dibai’at) meski ia (asalnya) seorang hamba sahaya Habsyi, gigitlah dengan gigi geraham kalian, sesungguhnya mukmin itu laksana onta ke mana dipandu ia akan terpandu.” (HR. Ahmad)
« … فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ …»
“…Maka kalian wajib berpegang kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah itu erat-erat dengan gigi geraham. …” (HR. Abu Dawud, Ibn Majah, dan Tirmidzi )

Sabda Rasulullah Saw.:
«مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ»
“Siapa yang mencontohkan di dalam Islam contoh yang baik lalu dilakukan sesudahnya maka dituliskan untuknya semisal pahala orang yang melakukannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun, sebaliknya siapa saja yang mencontohkan di dalam Islam contoh yang buruk lalu dilakukan sesudahnya, maka dituliskan atasnya semisal dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim, Ahmad, Ibn Majah)

Abu Hurairah menuturkan bahwa Nabi Saw. juga pernah bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى، كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ، لاَ يُنْقِصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا، وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ، كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ، لاَ يُنْقِصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Siapa saja yang mengajak pada petunjuk maka untuknya pahala semisal orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Siapa saja yang mengajak pada kesesatan maka atasnya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim, Ahmad, ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Abu Ya’la dan Ibn Hibban)
إِذَا ٱلسَّمَآءُ ٱنفَطَرَتۡ, وَإِذَا ٱلۡكَوَاكِبُ ٱنتَثَرَتۡ, وَإِذَا ٱلۡبِحَارُ فُجِّرَتۡ, وَإِذَا ٱلۡقُبُورُ بُعۡثِرَتۡ, عَلِمَتۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ وَأَخَّرَتۡ
“Jika langit terbelah, jika bintang-bintang jatuh berserakan, jika lautan dijadikan meluap dan jika kuburan-kuburan dibongkar maka setiap jiwa akan mengetahui apa saja yang telah dia kerjakan dan yang telah dia tinggalkan.” (QS. al-Infithar [82]: 1-5)
Menurut Asy-Syaukani, mâ akhkharat adalah sunnah hasanah aw sayy’ah (kebiasaan yang baik maupun yang buruk). Sebab, orang tersebut memperoleh pahala dari kebiasaan baik yang dia kerjakan dan pahala orang yang ikut mengerjakannya; juga mendapatkan dosa kebiasaan buruk yang dia lakukan dan dosa orang-orang yang ikut mengerjakannya. (Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 479)

Belumkah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk menundukkan hati mereka mengingat Allah dan (tunduk) kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka). Dan janganlah mereka seperti orang-orang sebelumnya yang telah diturunkan Al Kitab, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. [57] al-Hadid: 16)

al-Zuhaili dalam tafsirnya mengartikan kata dzikril-Lâh berarti wa’zhihi wa irsyâdihi (nasihat dan petunjuk-Nya). Sedangkan wa mâ nazala min al-haqq (dan kepada kebenaran yang telah turun [kepada mereka]). Yang dimaksud dengan kebenaran yang diturunkan itu adalah Al Qur’an. Demikian penjelasan para mufassir seperti al-Thabari, al-Syaukani, al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Jazairi, dan lain-lain. Dan menurut al-Zamakhsyari dan al-nasafi, dzikril-Lâh dan wa mâ nazala min al-haqq menunjuk kepada satu obyek, yakni Al Qur’an. Sebab, Al Qur’an mencakup untuk dua perkara: al-dzikr wa al-maw’izhah (peringatan dan nasihat).

faqasat qulûbuhum, Ibnu ‘Abbas memaknai ‘hati mereka menjadi keras’ sebagai cenderung kepada dunia dan berpaling dari nasihat Allah SWT. Ibnu Hayyan al-Andalusi juga mengartikannya sebagai shalabat (keras) hati mereka lantaran tidak terpengaruh untuk melakukan kebaikan dan ketaatan.

Nabi SAW telah bersabda:
كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ
“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 2375; Muslim no. 2762; Ibnu Majah no. 2512; Ahmad no. 24603; Ibnu Hibban no. 4347)
Dikatakan oleh Imam al-Qurthubi, hadits ini menerangkan bahwa syarat atau akad yang wajib dipenuhi adalah yang sesuai dengan kitabullah atau agama Allah. Apabila di dalamnya jelas bertentangan dengannya, maka tertolak, sebagaimana ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya: Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dalam perintah kami, maka tertolak” (HR. Muslim dari Aisyah).
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul Bari berkata:
أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ
“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai Syara’ adalah bathil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Fathul Bari, 8/34)

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (QS. [5] al-Maidah: 1)
Ayat ini menegaskan bahwa keputusan hukum merupakan otoritas Allah SWT. Dikatakan oleh Ibnu Katsir, Dialah Yang Maha Bijaksana dalam semua perkara yang diperintahkan maupun dilarang-Nya.
قُلْ أَرَأَيْتُم مَّا أَنزَلَ اللَّهُ لَكُم مِّن رِّزْقٍ فَجَعَلْتُم مِّنْهُ حَرَامًا وَحَلَالًا قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ ۖ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ ﴿٥٩﴾
“Katakanlah: “Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.” Katakanlah: “Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS. Yunus [10]: 59)

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (QS. Al-A’raaf [7]: 3)
Kalimat “maa unzila ilaykum min rabbikum” (apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu)artinya adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. (Tafsir Al-Baidhawi, Beirut: Dar Shaadir, Juz III/2)

“Dan sesungguhnya jika kamu [Muhammad] mengikuti keinginan mereka setelah datangnya ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 145)
Menurut Imam Suyuthi, larangan pada ayat di atas tidak hanya khusus kepada Nabi SAW, tapi juga mencakup umat Islam secara umum. Larangan tersebut adalah larangan melakukan perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh atau orang kafir [seperti turut merayakan hari raya mereka]. Sedangkan yang mereka lakukan bukanlah perbuatan yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. (Lihat Imam Suyuthi, Al-Amru bi Al-Ittiba’ wa An-Nahyu ‘An Al-Ibtida` (terj.), hal. 92)

download buklet Kewajiban Syariah Islam

Jumat, 27 November 2015

Tidak Boleh Berhukum Dengan Selain Hukum Allah



وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِنْهُمْ مُعْرِضُونَ (48) وَإِنْ يَكُنْ لَهُمُ الْحَقُّ يَأْتُوا إِلَيْهِ مُذْعِنِينَ (49) أَفِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ أَمِ ارْتَابُوا أَمْ يَخَافُونَ أَنْ يَحِيفَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَسُولُهُ بَلْ أُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (50)

“Dan apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya, agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolak untuk datang. Tetapi jika keputusan itu untuk (kemaslahatan) mereka, mereka datang kepada Rasul dengan patuh. Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit, atau (karena) mereka ragu-ragu ataukah (karena) takut kalau-kalau Allah dan Rasul-Nya berlaku dzalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang dzalim.” (QS. an-Nur [24]: 48-50).

Ibnu katsir: “Jika keputusan hukum tidak menguntungkan mereka, maka merekapun berpaling darinya dan mengajak untuk berhukum kepada yang tidak haq serta menghendaki agar berhukum kepada selain Rasulullah Saw. demi mendukung kebathilan mereka. Kemudian Allah berfirman “(artinya) Apakah (ketidakdatangan mereka itu karena) dalam hati mereka ada penyakit” Yakni tidak ada alternatif lain selain hati mereka telah dijangkiti penyakit yang selalu menyertai, atau keraguan tentang agama ini telah merasuk ke dalam hati mereka, atau mereka khawatir Allah dan Rasul-Nya berlaku zhalim dalam menetapkan hukum.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 18, hal. 74)
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
Rasulullah SAW pernah bersabda, Setiap orang dari umatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat bertanya heran, “Siapa yang enggan masuk Surga, wahai Rasulullah?” Kata beliau, Mereka yang menaati aku akan masuk Surga, sedangkan yang menentang aku berarti mereka enggan masuk Surga.” (HR. al-Bukhari, Ahmad dan an-Nasa’i)

Rasulullah Saw. pernah bersabda, “Al-Qur’an itu merupakan pemberi syafaat dan benar isinya. Siapa saja yang menjadikan al-Qur’an sebagai imamnya niscaya ia akan memandunya menuju Surga. Sebaliknya, siapa saja menjadikan al-Qur’an di belakang punggungnya (tidak diterapkan) maka ia akan menjebloskannya ke dalam Neraka.” (HR. Ibnu Hibban)

Imam Ibnu Katsir berkata:
ينكر تعالى على من خرج عن حكم الله المحكم المشتمل على كل خير ، الناهي عن كل شر وعدل إلى ما سواه من الآراء والأهواء والاصطلاحات ، التي وضعها الرجال بلا مستند من شريعة الله ، … فلا يحكم بسواه في قليل ولا كثير ، قال الله تعالى : ﴿ أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ﴾ أي : يبتغون ويريدون ، وعن حكم الله يعدلون . ﴿ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ ﴾ أي : ومن أعدل من الله في حكمه لمن عَقل عن الله شرعه ، وآمن به وأيقن وعلم أنه تعالى أحكم الحاكمين .
“Alloh mengingkari siapa-siapa yang tidak menerapkan hukum Alloh Swt. yang jelas, komprehensif meliputi setiap kebaikan dan mencegah dari setiap keburukan, serta berpaling kepada selainnya yang berupa pendapat, hawa nafsu, dan istilah-istilah yang dibuat oleh manusia tanpa bersandar kepada Syari’at Alloh Swt., … maka tidak boleh berhukum dengan selain hukum Alloh Swt., baik sedikit maupun banyak. Alloh Swt. berfirman (yang artinya): “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki”, atau: yang mereka kehendaki dan mereka mau, sedangkan dari hukum Alloh Swt. mereka berpaling. “dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Alloh bagi orang-orang yang yakin?” atau: siapakah yang lebih adil syari’atnya daripada hukum Alloh Swt. bagi siapa-siapa yang berfikir tentang Alloh Swt., mengimani-Nya, dan yakin serta tahu bahwa Alloh Swt. adalah seadil-adilnya hakim.” (Al-Marja’ As-Sabiq, juz 3, hlm. 131) 

Nabi Saw. bersabda:
إِنْ اللهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوهَا وَحَدَّ حُدُودًا فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوهَا
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan sejumlah kewajiban maka janganlah kalian menelantarkannya; telah memberikan sejumlah batasan maka janganlah melanggarnya; dan telah melarang sejumlah perkara maka janganlah melakukannya.” (HR. ad-Dâruquthniy)

Allah Swt. melarang kaum Muslim berkompromi dalam masalah aqidah dan hukum. Allah Swt. berfirman:
فَلَا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ (8) وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ (9)
“Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (QS. al-Qalam [68]: 8-9)

At-Tirmidzi meriwayatkan dalam Musnadnya dari Ali karramallahu wajhah, yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Kelak akan ada fitnah”. Ali berkata: “Apa yang bisa menyelamatkan dari fitnah itu, wahai Rasulallah?” Rasulullah SAW bersabda: Kitabullah (Al-Qur’an). Di dalamnya terdapat berita tentang orang-orang sebelum dan sesudah kalian. Ia pemberi keputusan atas apa yang kalian perselisihkan. Al-Qur’an merupakan pemisah antara hak dan bathil, dan ia bukanlah senda gurau. Siapa saja yang meninggalkannya dengan sombong, maka ia menjadi musuh Allah. Siapa saja yang mencari petunjuk pada selain Al-Qur’an, maka Allah akan menyesatkannya. Al-Qur’an adalah tali Allah yang kokoh, cahaya-Nya yang terang, peringatan yang bijak, jalan yang lurus, obat yang ampuh, menjaga siapa saja yang berpegang teguh dengannya, keselamatan bagi siapa saja yang mengikutinya; apa saja yang bengkok, al-Qur’an meluruskannya; apa saja yang menyimpang, al-Qur’an akan mengembalikannya. Al-Qur’an tidak akan disesatkan oleh hawa nafsu, tidak akan tercampuri oleh bahasa-bahasa lain, tidak akan diwarnai oleh berbagai pendapat, tidak membuat kenyang para ulama, tidak membuat bosan orang-orang yang takwa, tidak usang meski banyak yang menolak, dan kehebatannya tidak pernah habis. Al-Qur’an membuat jin berhenti seketika ketika jin mendengarnya. Sehingga jin berkata: ‘Sesungguhnya kami mendengar bacaan (Al-Qur’an) yang begitu mengagumkan. Siapa saja yang mengetahuinya, maka ia mengetahui hal-hal sebelumnya; siapa saja yang berkata dengannya, maka ia benar(jujur); siapa saja yang berhukum dengannya, maka dia pasti adil; siapa saja yang mengamalkannya, maka ia mendapatkan pahala; dan siapa saja yang menyeru kepadanya, maka ia menyeru kepada jalan yang lurus.’
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron (3): 31)
Frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi Saw.

Imam Ibnu Katsir menyatakan,”Ayat yang mulia ini (QS. Ali Imron (3): 31) adalah pemutus bagi siapa saja yang mengaku mencintai Allah SWT, namun ia tidak berjalan di atas jalan Nabi Muhammad SAW; maka ia telah berdusta dalam pengakuannya itu, hingga ia mengikuti Syariat Nabi Muhammad SAW dan agama Nabi SAW di seluruh perkataan dan perbuatannya. Seperti yang ditetapkan dalam hadits shahih dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau SAW bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Adziim, QS. Ali Imron (3): 31)

Rabu, 25 November 2015

Beribadah Kepada Allah Dan Tunduk Pada Syariah-Nya




“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al Quran itu sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa) Allah.” (QS. [13] Ar Ra'd: 37)

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya.” (QS. [13] Ar Ra'd: 41)
Ibnu Katsir: “Ibnu Abbas berkata, “Apakah mereka tidak melihat, bahwa Kami membukakan bagi Muhammad Saw. daerah demi daerah.” Ibnu Katsir: “… yaitu dengan kemenangan Islam atas kemusyrikan, daerah demi daerah …, Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 13, hal. 515)

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا كَافَّةً لِلنَّاسِ
“Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada umat manusia seluruhnya.” (QS. Saba’ [34]: 28)
Terkait dengan firman Allah ini, Ar-Razi berkata, “Kaffa[tan], artinya bahwa risalah itu untuk semua, yakni umum untuk semua manusia, sehingga mereka dilarang keluar dari ketundukan terhadap risalah itu.” (Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghaib, XXV/207)
Rasulullah Saw. juga bersabda:
بُعِثْتُ إِلَى كُلِّ أَحْمَرَ وَ أَسْوَدَ
“Aku diutus untuk semuanya, yang berkulit merah maupun hitam.” (HR. Muslim)
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى ءَامَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. [7] Al-A’raf: 96)
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
 ”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa penafsiran yang lebih tepat adalah sebagaimana pendapat Ibn Abbas, yaitu bahwa jin dan manusia diciptakan Allah tiada lain untuk beribadah kepada Allah dan tunduk pada perintah-Nya.
وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta ‘ini halal dan ini haram’, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.”(QS. An-Nahl: 116)
Menurut al-Syaukani, ayat ini berarti: Janganlah kalian mengharamkan atau menghalalkan sesuatu melalui ucapan lisan-lisan kalian tanpa hujjah. Al-Zamakhsyari menafsirkannya dengan pernyataan: Janganlah kamu mengharamkan dan menghalalkan hanya dengan perkataan yang ucapkan lisan-lisan dan mulut-mulut kalian—bukan karena ada hujjah dan alasan yang jelas—akan tetapi hanya sekadar ucapan dan klaim yang kosong.
Menurut Ibnu Katsir, termasuk dalam tindakan yang dilarang ayat ini adalah semua bid’ah yang diada-adakan yang tidak memiliki sandaran Syar’i, menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan hanya berdasarkan pendapat dan selera mereka semata.
 الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا{
“Hari ini Aku telah menyempurnakan untuk kalian agama kalian, telah mencukupkan nikmat-Ku untuk kalian, dan telah meridhai Islam sebagai agama kalian.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 3)
Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada junjungan kita, Muhammad Saw., untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya, dirinya sendiri, dan sesamanya (An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001, hlm. 69). Hubungan manusia dengan Penciptanya meliputi masalah akidah dan ibadah; hubungan manusia dengan dirinya sendiri meliputi akhlak, makanan, dan pakaian; hubungan manusia dengan sesamanya meliputi muamalat dan persanksian. (An-Nabhâni, Nizhâm al-Islâm, Mansyûrât Hizb at-Tahrîr, Beirut, cet. VI, 2001, hlm. 69)

“Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar.” (QS. [10] Yunus: 15)
]قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي[
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata …” (QS. Yusuf [12]: 108)
Imam al-Qurthubi menjelaskan: “Katakanlah, wahai Muhammad, “Inilah jalanku, sunnahku dan manhajku.” Ibn Zaid menyatakan, ar-Rabi’ berkata, “Dakwahku.” Muqatil berkata, “Agamaku.” Semua ini, menurut al-Qurthubi, maknanya satu, yaitu apa yang menjadi jalan hidupku dan aku serukan untuk menggapai Surga. Adapun makna ‘ala bashirah adalah dengan keyakinan dan dalam kebenaran. (Al-allamah al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, t.t., IX/272)
Imam as-Syaukani menyatakan bahwa makna, ‘ala bashirah adalah dengan hujjah yang jelas (hujjah wadhihah). Kata bashirah mempunyai konotasi pengetahuan yang bisa membedakan antara yang haq dan batil. (Al-allamah Muhammad bin ‘Ali as-Syaukani, Tafsir Al-Qur’an, Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, Beirut, 1997, III/57)

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ، وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُولَهُ وَيَخْشَ اللهَ وَيَتَّقْهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Sesungguhnya jawaban orang-orang mu’min, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Mereka itulah orang-orang yang beruntung. Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS. an-Nur [24]: 51-52)

Dinyatakan ath-Thabari, frasa idzâ du‘û ilâ Allâh wa Rasûlih ditafsirkan dengan idzâ du‘û ilâ hukm Allâh wa ilâ hukm Rasûlih (jika mereka dipanggil pada hukum Allah dan pada hukum Rasul-Nya). (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 9 [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992], 341)

an yaqûlû sami’nâ wa atha’nâ (Mereka mengucapkan, “Kami mendengar dan kami patuh”) menurut Muqatil dan Ibnu ‘Abbas, frasa tersebut bermakna, “Kami mendengar ucapan Nabi Saw. dan mentaati perintahnya,”—meskipun dalam perkara yang tidak mereka sukai dan membahayakan mereka. (Al-Wahidi, an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 3 [Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994], 325; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 4, 46)

Tidak ada yang mendapatkan keberuntungan (al-falâh) kecuali orang yang berhukum kepada Allah dan Rasul-Nya, menaati Allah dan Rasul-Nya. (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 3, 382)
Waman yuthi’illâh wa Rasûlahu (Siapa saja yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya). Artinya, mereka taat pada perintah dan larangan Allah dan Rasul-Nya, menerima hukum-hukum-Nya, baik menguntungkan maupun merugikan mereka. (Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 9, 341)
Al-Jazairi menjelaskan bahwa takut kepada Allah Swt. adalah takut yang disertai pengetahuan, lalu meninggalkan larangan dan menahan diri dari apa yang disenangi. (Al- Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 3, 382)


Selasa, 24 November 2015

Perintah Melaksanakan Seluruh Hukum Islam






“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (QS. (33) al-Ahzab: 66-67)

“Dan (ingatlah), ketika mereka berbantah-bantah dalam neraka, maka orang-orang yang lemah berkata kepada orang-orang yang menyombongkan diri: "Sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikutmu, maka dapatkah kamu menghindarkan dari kami sebahagian azab api neraka?" (QS. [40] Al-Mu'min: 47)

“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.” (QS. [76] Al-Insan: 24)

Perintah tersebut tidak hanya berlaku bagi Rasulullah Saw., tetapi juga berlaku bagi seluruh umatnya jika tidak ada dalil yang membatasi bahwa khithâb/seruan tersebut berlaku khusus hanya untuk Nabi Saw.
Sesuai dengan kaidah:
«خِطَابٌ لِلرَّسُوْلِ خِطَابٌ لأِمَّتِهِ»
“Seruan untuk Rasul Saw. merupakan seruan yang juga berlaku bagi umatnya.” (Lihat: al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddîn an-Nabhânî, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, Dâr al-Ummah, Beirut, III/247)

Allah SWT berfirman:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۗ أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلَا يَهْتَدُونَ
”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?" (QS. Al-Baqarah: 170)

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الأمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. [45] Al-Jatsiyah: 18)
Ibnu Katsir: “Maksudnya, ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu oleh Rabb-mu, yang tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 25, hal. 341)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (QS. [59] Al Hasyr: 7)
Abu Nu'aim al-Ashbahaniy menyatakan: "Di antara keistimewaan Rasulullah SAW adalah perintah Allah SWT kepada seluruh umat manusia untuk menaati beliau, dengan ketaatan yang mutlak tanpa syarat." (Lihat: Jalaludin as-Suyutii, al-Khashoish al-Kubro, 2/298)
Sabda Rasulullah Saw.:
«إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَمَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ»
“Jika aku memerintah kalian dengan suatu perintah, jalankanlah semampu kalian. Jika aku melarang kalian dengan suatu larangan, jauhilah.” (HR. al-Bukhari).

Wahab bin Kisan bertutur bahwa Zubair ibn al-Awwam pernah menulis surat yang berisi nasihat untuk dirinya. Di dalam surat itu dinyatakan, “Amma ba’du. Sesungguhnya orang bertakwa itu memiliki sejumlah tanda yang diketahui oleh orang lain maupun dirinya sendiri, yakni: sabar dalam menanggung derita, ridha terhadap qadha’, mensyukuri nikmat dan merendahkan diri (tunduk) di hadapan hukum-hukum Al-Qur’an.” (Ibn al-Jauzi, Shifat ash-Shafwah, I/170; Abu Nu’aim al-Asbahani, Hilyah Awliya’, I/177)

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب: 36]
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. [33] Al-Ahzab: 36)
Al-Syaukani menjelaskan, kata mâ kâna, mâ yanbaghî, dan semacamnya bermakna al-man'u wa al-hazhr min al-syay' (larangan terhadap sesuatu).
Ibnu Katsir menegaskan, ayat ini berlaku untuk seluruh perkara. Apabila Allah SWT dan Rasul-Nya SAW telah memutuskan tentang sesuatu, maka tidak ada seorangpun yang boleh menyalahinya.

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur’an), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.” (QS. [43] Az-Zukhruf: 36)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ [البقرة: 208]
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir mengatakan:
يقول تعالى آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين برسوله : أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه ، والعمل بجميع أوامره ، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك .
“Alloh Swt. berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman terhadap-Nya dan yang membenarkan Rosul-Nya, untuk mengambil seluruh simpul-simpul Islam dan Syari’at-Syari’atnya, melaksanakan seluruh perintah-perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-larangan-Nya sebisa mungkin.” (Ibnu Katsir, Tafsir Al-Quran Al-‘Azhiim, juz 1 hlm. 565) 

Imam Thabariy menyatakan: Ayat di atas (Al-Baqarah: 208) merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan Syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam. (Imam Thabariy, Tafsir Thabariy, II/337)

As-Sa’di menjelaskan, “Ini adalah perintah dari Allah SWT untuk kaum Mukmin agar mereka masuk Islam secara kaffah, yakni ke dalam seluruh syariah agama tanpa meninggalkan sedikitpun Syariahnya; juga agar mereka tidak menjadikan hawa nafsu mereka sebagai tuhan, yakni jika perkara yang disyariatkan (Syariah) itu sesuai hawa nafsunya maka diamalkan dan jika menyalahi hawa nafsunya maka ditinggalkan.”
Imam Ali ash-Shabuni menegaskan, bahwa ayat tersebut memerintahkan kaum muslim untuk melaksanakan seluruh hukum Islam; tidak boleh melaksanakan hanya sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain.

Setan (syaythan), menurut sebagian ulama, berasal dari kata syathana; maknanya adalah ba’uda, yakni jauh. Maksudnya, setan adalah sosok yang jauh dari segala kebajikan (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, I/115; Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, I/39). Setan juga berarti sosok yang jauh dan berpaling dari kebenaran. Karena itu siapa saja yang berpaling dan menentang (kebenaran), baik dari golongan jin ataupun manusia, adalah setan (Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, I/90; Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-Azhim wa Sab’i al-Matsani, I/166).
وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ ﴿١٤﴾
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam Api Neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. [4] An Nisa': 14)
Ibnu Katsir: “Artinya, karena keadaannya tidak menggunakan hukum Allah dan menentang Allah dalam hukum-Nya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Terjemahan Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, juz 4, hal. 251)

download buklet Kewajiban Syariah Islam

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam