Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 30 Oktober 2014

Harapan Kecantikan Masyarakat Barat

Harapan Kecantikan Masyarakat Barat



BAB II
HARAPAN-HARAPAN YANG TIDAK WAJAR

Tampak jelas bahwa ternyata ada harapan-harapan tertentu bagi kaum perempuan Barat yang terkait dengan kecantikan dan penampilan mereka, yang telah ditentukan oleh masyarakat dan orang-orang tertentu. Tetapi, sebagaimana biasa yang terjadi, manakala manusia menentukan aturan tentang bagaimana mereka menjalani kehidupan berdasarkan akan pikiran dan hawa nafsunya, maka akan selalu muncul berbagai kerusakan dan permasalahan. Kerusakan dan permasalahan yang berkaitan dengan aturan manusia tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan menampilkan dirinya di tengah masyarakat dunia timbul karena adanya harapan-harapan yang tidak wajar dan tujuan-tujuan yang dipaksakan. Bagaimana mungkin Anda dapat berharap semua perempuan di dunia, atau di sebuah masyarakat atau komunitas, agar mempunyai tinggi badan tertentu, atau berat badan tertentu, warna kulit dan warna rambut tertentu, bentuk wajah tertentu, dan usia tertentu. Ini konsep yang jelas-jelas tidak masuk akal.

Sebagai contoh, para model rata-rata mempunyai berat badan 23% persen lebih ringan daripada berat badan rata-rata perempuan Amerika. Lantas, apakah kemudian semua perempuan diharapkan untuk mendapatkan berat badan “ideal” itu? Tapi, ternyata banyak dari kalangan perempuan yang merasa harus mendapatkan berat badan tersebut. Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1984 oleh Fakultas Kedokteran Universitas Cincinnati terhadap 33.000 orang perempuan menunjukkan bahwa 75% dari kelompok usia 18 – 35 tahun menganggap diri mereka terlalu gemuk, padahal hanya 25% di antara mereka yang secara medis dipandang kelebihan berat badan. Sementara itu, 45% perempuan yang berat badannya kurang beranggapan bahwa mereka terlalu gemuk.

Bukti bahwa pemikiran ini tidak sesuai dengan realitas kehidupan juga ditunjukkan dengan kenyataan bahwa orang-orang yang bergerak dalam bidang industri periklanan seringkali harus melakukan upaya-upaya manipulasi tertentu agar dapat menyajikan gambar seorang model atau figur dengan penampilan yang dapat mendongkrak nilai penjualan majalah atau produk-produk kosmetika, kecantikan, dan busana yang ditawarkan. Bob Ciano, seorang mantan art director pada majalah Life, pernah mengatakan, “Tidak pernah ada foto seorang perempuan yang tidak dimanipulasi … termasuk foto-foto selebritis perempuan (tua) yang sebenarnya tidak ingin fotonya dimanipulasi … kami selalu berusaha membuat penampilannya seperti ketika ia berusia lima puluhan.” Dalma Heyn, yang pernah menjadi editor dua majalah perempuan, mengatakan bahwa proses airbrushing dari wajah perempuan merupakan suatu hal yang rutin dilakukan. Ia juga mengatakan bahwa majalah-majalah perempuan selalu “mengabaikan perempuan-perempuan yang telah berumur, atau beranggapan bahwa mereka tidak ada; majalah-majalah selalu berusaha menghindari foto-foto perempuan yang berusia lanjut, dan ketika mereka harus menampilkan selebritis-selebritis yang berusia lebih dari 60 tahun, maka para “seniman manipulator” akan berusaha membuat perempuan-perempuan cantik itu tampak lebih cantik lagi, yaitu agar mereka tampak lebih muda dari usia yang sebenarnya.” Lebih jauh lagi Dalma Heyn mengatakan, “Sampai sekarang, para pembaca sama sekali tidak tahu bagaimana sesungguhnya foto wajah seorang perempuan berusia 60 tahun, karena foto itu telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga ia tampak berusia 45 tahun. Lebih buruk lagi, ketika para pembaca yang berusia 60 tahun melihat bayangannya di cermin, mereka akan merasa terlalu tua, karena mereka membandingkan wajahnya dengan foto-foto para selebritis seusianya yang telah dimanipulasi di majalah-majalah.” Rekayasa komputer yang biasa digunakan untuk mengubah realitas sebuah foto acapkali digunakan majalah-majalah kecantikan perempuan untuk memanipulasi foto-foto para modelnya untuk mempercantik penampilan dan paras mereka.

Bahkan para selebritis perempuan yang sering disebut-sebut sebagai dewi kecantikan juga kehilangan berat badan atau terpaksa mengakui bahwa mereka telah melakukan berbagai operasi kosmetik agar mendapatkan penampilan yang terbaik dan memiliki wajah yang sempurna, seperti Britney Spears, Jennifer Lopez, dan Jane Fonda. Cher, penyanyi dan ratu operasi kecantikan, pernah suatu kali berkata, “Saya tidak tahu berapa kali lagi saya dapat memperbaiki wajah ini hingga puas.”

Demikianlah, harapan-harapan tak wajar yang ditetapkan industri kecantikan dan hiburan, hingga membuat kebanyakan perempuan di Barat tergoda untuk berusaha keras mendapatkan tubuh yang sempurna, serta bersedia menjalani beragam operasi dan cara-cara yang berbahaya untuk mencapai tujuan tersebut. Di Amerika Serikat, pada tahun 2001 tercatat 8,5 juta kali operasi kecantikan dan prosedur non operasi untuk memperbaiki penampilan, yang 88% dari keseluruhannya dilakukan oleh perempuan. Dari tahun 1997 sampai dengan tahun 2001 di Amerika Serikat terjadi peningkatan jumlah operasi kecantikan hingga sebesar 304%. Lima macam operasi kecantikan yang paling sering dilakukan adalah lipoplasty, operasi kelopak mata, pembesaran payudara, perubahan bentuk hidung, dan pengencangan kulit wajah. (berdasarkan data statistik The American Society for Aesthetic Plastic Surgery). Dalam salah satu penelitian, ditemukan bahwa 1 dari 40 perempuan di AS telah melakukan operasi pembesaran payudara. Model terbaru adalah penyuntikan “botox”, yaitu prosedur untuk menghapus kerutan-kerutan di wajah dengan jalan membekukan otot-otot wajah melalui penyuntikan botulin toxin. Tidak perlu seorang pakar untuk memperkirakan dampak-dampak yang timbul akibat prosedur seperti itu.

Semua tindakan di atas dilakukan semata-mata demi mendapatkan citra atau penampilan tertentu, yang dalam kenyataannya tidak mungkin atau hanya dapat dipenuhi oleh satu dua orang perempuan dari keseluruhan populasi. Selain itu, karena harapan-harapan yang tidak masuk akal itu ditetapkan oleh manusia, maka konsep tentang sifat-sifat atau ukuran-ukuran kesempurnaan tubuh dan wajah akan selalu berubah seiring dengan berjalannya waktu. Apakah ini tujuan hakiki yang ingin dicapai seorang perempuan yang cerdas, yang kemudian diperjuangkan dengan segenap waktu, uang, dan segala upaya dalam kehidupannya? Ataukah hal ini hanya mitos belaka?

Download Buku MITOS KECANTIKAN BARAT

Rabu, 29 Oktober 2014

Konsep Kecantikan Menurut Masyarakat Kapitalisme

http://insidewinme.blogspot.com/2014/10/download-buku-buku-islam-iman-taqwa-3.html?m=1

Konsep Kecantikan Menurut Masyarakat Kapitalisme


BAB I
MEMPERCANTIK DIRI; ANTARA PILIHAN ATAU KEWAJIBAN?

Perempuan-perempuan Barat selalu membanggakan konsep yang mereka yakini, yaitu bahwa upaya mempercantik diri merupakan suatu pilihan. Artinya, seorang wanita bebas menentukan citra dan penampilan mereka sesuai keinginannya sendiri. Namun demikian, ternyata kenyataan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat jauh dari pandangan yang naïf ini.

Konsep tentang Kecantikan

Masyarakat kapitalis Barat yang menjadi lingkungan tempat hidup perempuan itu telah menentukan standar ukuran “wanita cantik”. Menurut mereka, wanita cantik itu adalah perempuan yang tinggi, ramping, berkulit putih, berambut pirang, dan sensual. Inilah citra yang mau tak mau harus dihadapi kaum perempuan Barat setiap hari sepanjang hidupnya. Ini adalah konsep tentang kecantikan yang diagung-agungkan oleh ribuan majalah kecantikan, fesyen, dan gaya hidup, yang dijual di sepanjang jalan-jalan di kota London, Paris, Roma, New York, dan Los Angeles, seperti majalah Vogue, Cosmopolitan, dan Marie Clare. Ini adalah juga konsep kecantikan yang dibesar-besarkan oleh perusahaan-perusahaan alat kecantikan dan kosmetik berkapitalisasi miliaran dollar. Ini juga yang menjadi ukuran kecantikan, yang disajikan ke tengah-tengah masyarakat melalui model-model yang dimanfaatkan oleh berbagai industri periklanan serta menjadi figur-figur yang dipuja-puja dalam industri hiburan.

Konsep tentang bentuk tubuh dan penampilan yang “sempurna” ini membombardir rumah-rumah ribuan kali sehari dalam wujud para model, seperti Claudia Schiffer, Cindy Crawford, Naomi Campbell, atau selebritis lain seperti Britney Spears, Jennifer Aniston, Holly Valance, atau Victoria Beckham. Mereka menjadi standar yang diinginkan oleh kaum perempuan. Penayangan konsep kecantikan seperti ini bahkan telah dimulai sejak usia muda, melalui majalah-majalah “remaja” seperti Just 17, Cosmo Girl, atau Sugar, yang membicarakan segala sesuatu mulai dari tips-tips kecantikan sampai bentuk gaya hidup “kaya dan terkenal”. Karakter fiktif seperti Buffy the Vampire Slayer, atau Miss Dynamite pun dijadikan idola.

Dengan arus yang sedemikian kuatnya pengaruh konsep kecantikan seperti itu di tengah-tengah masyarakat, maka perempuan-perempuan yang hidup di Barat merasakan tekanan yang terus menerus, yang memaksa mereka untuk memenuhi harapan-harapan itu. Kalaupun bukan untuk kepentingan perempuan itu sendiri, maka penampilan atraktif itu ditujukan untuk memenuhi harapan-harapan kaum lelaki yang juga tidak bisa lepas dari citra seperti itu. Kaum lelaki juga terpengaruh dengan konsep tentang kecantikan yang “dipaksakan” kepada mereka.

Kondisi semacam ini semakin tampak jelas dengan adanya fakta bahwa perempuan-perempuan Barat semakin terobsesi dan termakan isu mengenai penampilan fisik mereka. Perhatian mereka pada masalah kecantikan sedemikian besar, bahkan tidak jarang melebihi perhatian mereka terhadap masalah-masalah kehidupan lainnya. Industri kosmetik di Inggris saja mampu meraup penghasilan hingga 8,9 miliar poundsterling pertahun. Sedangkan industri kosmetik Amerika Serikat mengalami pertumbuhan rata-rata 10% setiap tahun. Sebuah artikel di majalah Time pada tahun 1988 menunjukkan bahwa industri makanan diet di AS berhasil mencetak angka penjualan sampai sebesar 74 miliar dollar per tahun. Jumlah ini setara dengan sepertiga dari seluruh anggaran kebutuhan makanan penduduk AS selama satu tahun. Masih di AS, sebuah survei menunjukkan bahwa kalangan profesional perempuan telah menyediakan anggaran khusus untuk ‘memelihara kecantikan’ hingga sebesar sepertiga dari seluruh pendapatan mereka, dan menganggap pengeluaran ini sebagai suatu bentuk ‘investasi’. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Cincinnati, 33.000 perempuan AS menyatakan kepada para peneliti bahwa mereka lebih menyukai berat badannya berkurang 10 sampai 15 pon, daripada berhasil meraih tujuan-tujuan lainnya. Pada tahun 1998, dalam sebuah kampanye bertajuk “The Bread for Life”, telah disurvei lebih dari 900 perempuan muda berusia 18 sampai 24 tahun yang tinggal di Barat. Dari survei tersebut, para peneliti mengeluarkan sebuah laporan yang berjudul “Tekanan untuk Menjadi Sempurna.” Ketika para responden ditanya tentang aspek apa yang paling menarik dari seorang perempuan, ternyata 55% responden perempuan itu menjawab aspek penampilan, sementara hanya 1% yang menganggap kecerdasan sebagai aspek tambahan.

Adanya tekanan-tekanan untuk memenuhi harapan-harapan tertentu ini telah mengakibatkan munculnya kegelisahan dan ketakutan dalam diri perempuan Barat berkaitan dengan penampilan fisik mereka. Apakah ia terlalu gemuk, terlalu kurus, terlalu tinggi, terlalu pendek, terlalu pucat, terlalu gelap, atau terlalu tua? Sebuah laporan penelitian yang pernah dikutip oleh New York Times pada tahun 1985 menyatakan, “Orang-orang yang mengalami cacat fisik pada umumnya menyatakan puas dengan kondisi tubuhnya, sedangkan perempuan-perempuan yang kondisi tubuhnya normal pada umumnya tidak puas.” Ada kekhawatiran yang amat besar di kalangan perempuan (Barat) jika mereka menjadi gemuk atau berat badannya bertambah, dan proses penuaan seperti itu hampir-hampir mereka anggap sebagai suatu penyakit. Dr. Arthur K. Balin, ketua American Aging Association, pada tahun 1988 mengatakan kepada The New York Times bahwa, “akan lebih baik jika para dokter menganggap wajah yang buruk itu sebagai suatu penyakit, bukan suatu masalah kecantikan.” Penelitian “The Bread for Life” yang disebutkan di atas juga menemukan fakta bahwa hanya 25% responden perempuan yang merasa bahagia dengan berat badannya, dan ada 22% responden yang memilih tinggal di rumah karena merasa tidak nyaman dengan penampilannya.

Luasnya jangkauan masalah kecantikan ini, terutama yang berkaitan dengan pengaruhnya terhadap perempuan, telah membuat para ilmuwan dan dokter merumuskan suatu istilah “Body Dysmorphic Disorder.” Istilah ini menggambarkan suatu kondisi di mana seseorang memberikan perhatian yang berlebihan atau tidak wajar terhadap suatu kekurangan dalam penampilan fisik seseorang. Jangankan dapat membangun kepercayaan diri, upaya mempercantik diri tersebut justru membuat perempuan merasa lumpuh karena kurangnya kepercayaan diri dan munculnya tekanan-tekanan dari dalam benak mereka sendiri. Bahkan para perempuan yang mestinya melambangkan arti kecantikan –yaitu para model di catwalk– merasa tidak aman dengan penampilan mereka. The Independent Newspaper baru-baru ini melaporkan penderitaan yang dialami sejumlah super-model terkemuka seperti Karen Mulder yang menderita akibat anorexia (penyakit akibat diet yang kebablasan–pen) dan depresi mental. Untuk mengakhiri penderitaan ini, ia meminum obat tidur dalam dosis yang berlebihan, hingga mengakibatkan ia mengalami koma. Peristiwa ini menunjukkan dengan jelas kekeliruan pendapat bahwa kecantikan akan menghasilkan kebahagiaan. Pendapat ini jelas merupakan mitos belaka. Kenyataan seperti ini dapat diringkas melalui kata-kata seorang penulis Barat, Mary Wollstonecraft, yang menulis dalam bukunya – A Vindication of the Rights of Women sebagai berikut, “Ajarkan sejak bayi bahwa kecantikan adalah lambang kekuasaan seorang wanita, maka akal akan menyesuaikan diri dengan kemauan tubuh; akal hanya akan dapat berputar-putar dalam sangkar emasnya itu, dan tidak akan dapat berbuat lain kecuali hanya untuk berusaha memperindah penjaranya.”

Konsep Berbusana

Apabila kita menguji lebih jauh pendapat perempuan-perempuan Barat, bahwa mereka bebas menentukan etika berbusana bagi diri mereka, bebas menentukan mana yang dianggap menarik dan mana yang tidak, maka kita akan melihat bahwa kenyataan yang ada sama sekali bertolak belakang dengan pendapat itu. Industri busana dunia ditaksir mempunyai aset 1.500 miliar dollar AS (lebih besar dari industri persenjataan dunia), serta telah menetapkan standar berpakaian yang pantas untuk dipakai bagi wanita dan yang tidak pantas dipakai. Harapan-harapan yang dibangun oleh industri busana itu telah menentukan bagaimana bentuk penampilan yang menarik dan bagaimana pula penampilan yang ketinggalan zaman dan buruk bagi wanita. Pada akhirnya hal ini membuat kaum perempuan merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan harapan-harapan tersebut, agar mereka dapat diterima di masyarakat dan tidak dianggap aneh oleh teman-temannya, kolega-koleganya, serta oleh masyarakatnya.

Lebih dari itu, kita perlu mencermati siapa sesungguhnya yang menentukan standar-standar mengenai bagaimana seharusnya seorang perempuan menampilkan diri kepada masyarakat. Kita akan melihat, bahwa mayoritas perancang busana terkemuka di dunia –baik pada masa lalu maupun masa kini– adalah kaum lelaki. Melalui rancangan busananya, orang-orang tersebut telah menyebarkan pandangan mereka tentang kecantikan dan bagaimana seharusnya perempuan berpakaian. Gianni Versace, Alexander McQueen yang merancang busana untuk rumah mode Gucci, Dolce & Gabbana, John Galliano yang merancang untuk Christian Dior, dan Karl Lagerfeld yang bekerjasama dengan rumah mode Chanel adalah segelintir di antara perancang busana laki-laki terkemuka di dunia. Mereka –yang merupakan pengemban konsep kebebasan yang berakar dari akidah sekulerisme– menganggap dirinya bebas memandang seorang perempuan sesuai keinginannya, dan kemudian menentukan busana yang indah, yang dapat menyingkap keindahan bentuk tubuh perempuan. Semakin banyak keindahan tubuh perempuan yang tersingkap, semakin indah busana itu. Demikianlah, telah kelihatan jelas bahwa dalam perkara berbusana, ternyata ada harapan-harapan di tengah masyarakat yang mesti dipenuhi oleh perempuan-perempuan Barat. Lebih jauh lagi, ternyata harapan-harapan itu sebagian besar dibangun oleh kaum laki-laki, yang menganggap bahwa merekalah pihak yang paling berhak melihat keindahan tubuh dan kecantikan perempuan di tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian, upaya mempercantik tubuh dan wajah bagi perempuan Barat sebenarnya bukan merupakan suatu pilihan; dan konsep bahwa perempuan bebas memilih citra dirinya sesungguhnya hanya merupakan mitos belaka. Upaya mempercantik diri tidak akan dapat membangun kepercayaan dan penghargaan terhadap diri sendiri, tetapi justru mengakibatkan munculnya perasaan tidak aman dan terobsesi dengan penampilannya.

Download Buku MITOS KECANTIKAN BARAT

Download Buku-Buku Islam Iman Taqwa 3

klik gambar sampul untuk download

http://www.mediafire.com/download/hz2isseg650hzfx/Buku+Mitos+Kecantikan+Barat.doc


http://www.mediafire.com/download/4d1gu5u5251v9zr/buku+Propaganda+Ideologi+Islam.doc

http://www.mediafire.com/download/kt6nahd09e1p9bl/BUKLET+Ulama+Dan+Hizbut+Tahrir+KUMPULAN+TESTIMONI+plus+cover.doc

http://www.mediafire.com/download/c9pjhhm73259hh7/BUKLET+Kewajiban+Syariah+Islam+plus+cover.doc

http://www.mediafire.com/download/5r72p780sv4oobh/BUKLET_Sistem_Negara_Khilafah_Dalam_Syariah_Islam_plus_cover.docx

http://www.mediafire.com/download/lg6dd4zuq01ynia/BUKLET_Dakwah_Rasul_SAW_Metode_Supremasi_Ideologi_Islam_plus_cover.docx




Senin, 27 Oktober 2014

Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan Islami




Negara Sebagai Penyelenggara Pendidikan

Islam merupakan sebuah sistem yang memberikan solusi terhadap berbagai problematika yang dihadapi manusia. Setiap solusi yang disajikan Islam secara pasti selaras dengan keadaan fitrah manusia, termasuk perkara pendidikan. Dalam Islam, Negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan, bukan hanya persoalan yang berkaitan dengan kurikulum, akreditasi sekolah/PT, metode pengajaran, dan bahan-bahan ajarnya, tetapi juga mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Berkenaan dengan hal ini, Rasulullah Saw. memerintahkan dalam haditsnya: “Seorang Imam (khalifah/ kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).

     Perhatian Rasulullah Saw. terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau Saw. menetapkan agar para tawanan perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah. Hal ini merupakan tebusan. Perkara yang beliau Saw. lakukan tersebut adalah kewajiban yang harus dilaksanakan kepala negara. Bertanggung jawab penuh terhadap setiap kebutuhan rakyatnya. Menurut hukum Islam, barang tebusan itu merupakan hak Baitul Maal (kas negara). Tebusan ini sama nilainya dengan pembebasan tawanan perang Badar. Dengan tindakan yang seperti itu, yaitu membebankan pembebasan tawanan perang badar kepada Baitul maal (kas negara) dengan memerintahkan mereka mengajarkan baca tulis, berarti Rasulullah Saw. telah menjadikan biaya pendidikan itu setara nilainya dengan barang tebusan. Dengan kata lain, beliau memberi upah kepada para pengajar itu (tawanan perang) dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik kas negara.

     Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang kepala negara (khalifah) berkewajiban untuk memenuhi sarana-sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah kekhalifahan Islam maka kita akan melihat perhatian para khalifah (kepala negara) terhadap pendidikan rakyatnya sangat besar demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Banyak hadits Rasul yang menjelaskan perkara ini, di antaranya: “Barangsiapa yang kami beri tugas melakukan suatu pekerjaan dan kepadanya telah kami berikan rezeki (gaji/upah/imbalan), maka apa yang diambil selain dari itu adalah kecurangan” (HR. Abu Daud).
Barangsiapa yang diserahi tugas pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki rumah maka hendaklah ia mendapatkan rumah. Jika ia tidak memiliki isteri maka hendaklah ia menikah. Jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mendapatkannya. Bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memilikinya. Dan barangsiapa yang mendapatkan selain itu maka ia telah melakukan kecurangan”. Hadits-hadits tersebut memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan) untuk memperoleh gaji dan fasilitas, baik perumahan, isteri, pembantu, ataupun alat transportasi. Semua harus disiapkan oleh negara. Jika kita membayangkan seandainya aturan Islam diterapkan maka tentu saja tenaga pendidik maupun pejabat lain dalam struktur pemerintahan merasa tentram bekerja dan benar-benar melayani kemaslahatan masyarakat tanpa pamrih sebab seluruh kebutuhan hidupnya terjamin dan memuaskan. Sebagai perbandingan, Imam Ad Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari Al-Wadliyah bin Atha yang menyatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Khalifah Umar bin Khatthab memberikan gaji pada mereka masing-masing sebesar 15 dinar (1 dinar = 4,25 gram emas).

Begitu pula ternyata perhatian para kepala negara kaum muslimin (khalifah) bukan hanya tertuju pada gaji para pendidik dan biaya sekolah, tetapi juga sarana lainnya, seperti perpustakaan, auditorium, observatorium, dll. Di antara perpustakaan yang terkenal adalah perpustakaan Mosul didirikan oleh Ja’far bin Muhammad (wafat 940M). Perpustakaan ini sering dikunjungi para ulama, baik untuk membaca atau menyalin. Pengunjung perpustakaan ini mendapatkan segala alat yang diperlukan secara gratis, seperti pena, tinta, kertas, dll. Bahkan kepada para mahasiswa yang secara rutin belajar di perpustakaan itu diberikan pinjaman buku secara teratur. Seorang ulama Yaqut Ar Rumi memuji para pengawas perpustakaan di kota Mer Khurasa karena mereka mengizinkan peminjaman sebanyak 200 buku tanpa jaminan apapun perorang. Ini terjadi masa kekhalifahan Islam abad 10 Masehi. Bahkan para khalifah memberikan penghargaan yang sangat besar terhadap para penulis buku, yaitu memberikan imbalan emas seberat buku yang ditulisnya. Bagaimana dengan kita?

Download Makalah SYARIAT ISLAM DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Sabtu, 25 Oktober 2014

Garis Besar Sistem Pendidikan Islami



Gambaran Umum Sistem Pendidikan Islam

Gambaran umum tentang sistem pendidikan Islam dapat kita perhatikan pada beberapa aspek berikut ini:
    1. Kurikulum dalam sistem pendidikan Islam harus berdasarkan pada asas aqidah Islam. Dengan demikian, seluruh bahan ajar dan metode pengajarannya diselaraskan dengan asas aqidah Islam tersebut.
    2. Kebijakan sistem pendidikan Islam adalah dalam rangka untuk membentuk aqliyah Islamiyah dan nafsiyah Islamiyah.
    3. Tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam bagi seluruh anggota masyarakat sehingga metode pendidikan disusun untuk mencapai tujuan tersebut.
    4. Waktu pelajaran ilmu-ilmu Islam dan bahasa Arab diberikan setiap minggu dan hal ini tentu saja diselaraskan dengan waktu pelajaran pengetahuan yang lain, baik dari sisi lama pelajaran maupun porsi pengajaran.
    5. Pengajaran sains dan ilmu terapan harus dibedakan dengan pelajaran tsaqafah. Ilmu terapan diajarkan tanpa mengenal peringkat pendidikan, melainkan mengikuti kebutuhannya, sementara tsaqafah Islam diajarkan pada tingkat sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi dengan rancangan pendidikan yang tidak bertentangan dengan konsepsi dan hukum Islam. Di tingkat PT tsaqafah dapat diajarkan secara utuh, baik tsaqafah Islam maupun yang bukan dengan syarat tidak bertentangan dengan tujuan dan kebijakan pendidikan.
    6. Tsaqafah Islam wajib diajarkan pada semua tingkatan pendidikan. Hanya saja di tingkat PT dapat dibuka berbagai fakultas dengan berbagai cabang ilmu keislaman dan fakultas yang berkaitan dengan sains dan teknologi.
    7. Seni dan ketrampilan dapat dikategorikan sebagai sains, seperti perniagaan, pelayaran, dan pertanian. Semuanya mubah dipelajari tanpa terikat dengan batasan atau syarat tertentu. Hanya saja dari sisi yang lain dapat juga dimasukkan ke dalam tsaqafah, jika di dalamnya terdapat pengaruh dari pandangan hidup atau ideologi tertentu, seperti seni lukis, ukir, dan patung, atau pahat. Yang terakhir tentu saja tidak boleh untuk dipelajari (yaitu jika merupakan bagian dari ideologi kufur).
    8. Program pendidikan harus seragam dan ditetapkan oleh negara. Tidak terdapat larangan untuk mendirikan sekolah swasta sepanjang kurikulumnya tetap mengacu pada kebijakan pendidikan dan kurikulum yang telah ditetapkan negara. Hanya saja sekolah tersebut bukan sekolah asing.
    9. Mengajarkan masalah yang diperlukan bagi manusia dalam kehidupannya dan program wajib belajar ini berlaku bagi seluruh anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Negara berkewajiban untuk menjamin pendidikan bagi seluruh warga negara secara gratis. Masyarakat diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke tingkat pendidikan tinggi secara gratis pula. Begitu pula yang berkeinginan melakukan penelitian dalam berbagai ilmu pengetahuan dan tsaqafah, seperti fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir atau bidang ideologi, teologi, kedokteran, kimia, fisika, biologi dll., sehingga negara akan dapat melahirkan sejumlah mujtahid dan para saintis.
    10. Negara berkewajiban menyediakan perpustakaan dan kelengkapan bagi sarana belajar-mengajar secara baik, di samping tentu saja sekolah dan PT. Termasuk laboratorium, perpustakaan, buku, dll yang dimungkinkan dapat diperoleh secara mudah oleh masyarakat.
    11. Negara tidak diperbolehkan memberikan hak istimewa dalam mengarang buku-buku bagi pendidikan untuk semua tingkatan. Seseorang baik pengarang atau bukan tidak boleh memiliki hak cipta atau hak terbit, jika sebuah buku telah dicetak dan diterbitkan. Hanya saja jika masih dalam bentuk pemikiran yang dimiliki seseorang dan belum dicetak ataupun diedarkan maka seseorang boleh memperoleh imbalan ataupun bayaran, sebagaimana layaknya bayaran untuk orang yang mengajarkan ilmu.

Download Makalah SYARIAT ISLAM DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Kamis, 23 Oktober 2014

Kualitas SDM Rendah Kegagalan Pendidikan



Kualitas SDM yang Rendah

Berbicara persoalan kualitas, maka sistem pendidikan Indonesia nampaknya terbilang jelek. Berdasarkan hasil penelitian The Political and Economic Risk Consultancy (PERC) medio September 2001 dinyatakan bahwa sistem pendidikan di Indonesia berada di urutan 12 dari 12 negara Asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam. Sementara itu berdasarkan hasil penilaian Program Pembangunan PBB (UNDP) pada tahun 2000 menunjukkan kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara atau sangat jauh dibandingkan dengan Singapura yang berada pada urutan ke-24, Malaysia pada urutan ke-61, Thailand urutan ke-76, dan Filipina urutan ke-77 (Satunet.com).

Alih-alih untuk memperoleh sebuah sekolah yang berkualitas tinggi, harapan untuk mendapatkan pendidikan saja semakin menipis seiring dengan krisis moneter dan ekonomi. Berdasarkan data APTISI Jateng dinyatakan bahwa setiap tahun lulusan SMU Jateng berkisar 200.000 orang dengan 151 PTS yang dapat menampung 75.000 orang. Saat ini hanya sekitar 11% lulusan SMU yang melanjutkan ke PT, selebihnya 89% masuk dunia kerja. Kondisi tersebut tidak saja menimpa para pelajar yang hendak melanjutkan pendidikannya ke jenjang PT, tetapi juga menimpa hampir semua pelajar di tingkat SD, SLTP. Dari Ciamis diberitakan sekitar 14.000 siswa SD, SLTP, dan SMU terancam drop out.

     Sementara itu, mereka yang mampu bersekolah pun belum tentu mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dirjen Dikti Depdiknas mengungkapkan bahwa 50% PTN di luar Jawa tidak memiliki kualifikasi layak minimal. Untuk PTS mencapai angka 90%. PTN di pulau Jawa sebanyak 40% layak minimal, sedangkan untuk PTS 70% tidak layak minimal. Jika dalam jangka waktu tertentu tidak ada perubahan, alternatif terakhir adalah menutup PTN atau PTS itu (Kompas, 07/2/02).

     Jika kita perhatikan saat ini, masyarakat dunia pada saat ini sedang bergerak ke arah employee society, sementara sistem pendidikan kita masih bergulat untuk melahirkan para workers (pekerja). Benar bahwa Indonesia memiliki “prestasi” dalam pasaran tenaga kerja karena murah bayarannya; mereka tidak dapat bersaing dengan knowledge employee, walaupun mereka dibayar jauh lebih mahal. Perkembangan industri manufaktur yang mengurangi pekerja manual dan mengutamakan pekerja informasi akan menghempaskan para lulusan lembaga pendidikan kita. Singkat kata, produk pendidikan dalam negeri tidak sanggup untuk bersaing dengan produk pendidikan luar negeri. Jalaluddin Rahmat, dengan mengutip pendapat Drucker, menyatakan bahwa di pasaran kerja internasional juga di dalam negeri, tetangga-tetangga kita dari ASEAN akan menjadi “kognitariat” dan anak-anak bangsa kita terhempas menjadi “proletariat”. Apa yang terjadi di negeri kita mirip dengan apa yang terjadi sekarang di negara-negara Timur Tengah. Kita akan menemukan orang India, Filipina, Singapura di front office, tempat kasir, atau pusat komputer. Kita akan dapatkan anak-anak bangsa kita terpuruk di dapur yang pengap sebagai pembantu, di dalam mobil sebagai supir, dan di tempat panas dan berdebu sebagai pekerja bangunan.

Terdapat sejumlah pertanyaan yang muncul ketika kita melihat kondisi yang telah dipaparkan di atas. Paling tidak pertanyaan tersebut adalah seberapa produktifkah sistem pendididikan nasional yang ada saat ini? Berapa besaran biaya pengorbanan yang telah diberikan untuk pendidikan? Dengan biaya dan pengorbanan tersebut, layanan pendidikan apa yang disiapkan, berapa banyak dan dengan mutu yang bagaimana, berkorelasi dengan hal sebelumnya berapa luas dan dengan kualifikasi mutu yang bagaimana hasil pendidikan dapat dicapai, dll.

     Untuk mengubah dan memperbaiki kondisi dunia pendidikan harus dilakukan pendekatan yang integratif dengan pengubahan paradigma dan pokok-pokok penopang sistem pendidikan. Untuk itu diperlukan Islam sebagai solusi terhadap kenyataan tersebut.

Download Makalah SYARIAT ISLAM DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Selasa, 21 Oktober 2014

Prestasi Pemerintahan Bush




Lampiran 1

Berikut ini adalah beberapa ‘prestasi’ Bush selama 20 bulan pertama masa kepresidenannya.

1.         Memotong anggaran belanja negara untuk perpustakaan sebesar US$ 39 juta.
2.         Memotong anggaran pelatihan ilmu kesehatan anak-anak lanjutan bagi dokter sebesar US$ 35 juta.
3.         Memotong anggaran penelitian sumber-sumber energi yang dapat diperbaharui sekitar 50%.
4.         Menunda pemberlakuan peraturan yang akan mengurangi kandungan arsenik pada air minum.
5.         Memotong anggaran penelitian kendaraan bermotor yang lebih bersih dan efisien sebanyak 28%.
6.         Mencabut aturan yang memperkuat kekuasaan pemerintah untuk membatalkan kontrak dengan perusahaan yang melanggar undang-undang federal, undang-undang lingkungan dan standar keselamatan kerja.
7.         Melanggar janji kampanye untuk mengalokasikan dana sebesar US$ 100 juta per tahun untuk konservasi hutan tropis.
8.         Mengurangi Community Access Program (Program Akses Masyarakat) sebanyak 86%, yaitu program yang mengkoordinir layanan kesehatan dari rumah sakit umum, klinik, dan jasa pelayanan kesehatan lain, untuk orang-orang yang tidak memiliki asuransi kesehatan.
9.         Menghilangkan proposal yang ditujukan untuk meningkatkan akses publik terhadap informasi mengenai potensi ramifikasi kecelakaan pabrik bahan kimia.
10.     Menarik perjanjian Protokol Kyoto 1997 mengenai pemanasan global, yang telah ditandatangani oleh 178 negara lain.
11.     Menolak persetujuan internasional untuk menjalankan traktat tahun 1972 mengenai pelarangan senjata kuman.
12.     Memangkas US$ 200 juta dari program pelatihan angkatan kerja bagi para pekerja yang di-PHK.
13.     Memangkas US$ 200 juta dari hibah Childcare and Development, sebuah program yang memberi layanan perawatan bagi anak-anak yang berasal dari keluarga berpenghasilan rendah yang membuat anak-anaknya harus bekerja.
14.     Memangkas US$ 700 juta dana perbaikan perumahan umum.
15.     Menggusur peraturan ergonomis tempat kerja yang dirancang untuk menjamin kesehatan dan keselamatan pekerja.
16.     Mengalokasikan hanya 3% dari jumlah yang diminta pengacara Departemen Kehakiman dalam lanjutan proses litigasi pemerintah melawan perusahaan tembakau.
17.     Memaksakan potongan pajak, 43% di antaranya diperuntukkan bagi kalangan terkaya di AS, yang hanya 1% dari total penduduk AS.
18.     Memotong US$ 15,7 juta dari program yang mengurusi masalah penelantaran dan penganiayaan anak.
19.     Mengusulkan penghapusan program ‘Reading is Fundamental’, yang memberi buku-buku gratis kepada anak-anak miskin.
20.     Mendorong pengembangan ‘nuklir mini (mini-nukes)’, yang didisain untuk menyerang sasaran yang terkubur sangat dalam –berarti pelanggaran terhadap Comprehensive Test Ban Treaty.
21.     Berupaya membalikkan regulasi yang melindungi 60 juta ha hutan nasional dari penebangan dan pembangunan jalan.
22.     Menunjuk Eksekutif Monsanto, Linda Fisher, menjadi deputi administrator Environmental Protection Agency.
23.     Menunjuk seorang ahli lobi minyak dan batubara, J. Steven Giles, menjadi Deputi Menteri Dalam Negeri AS.
24.     Mengusulkan penjualan minyak dan lahan di kawasan suaka alam Alaska.

Download Buku SENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI KOLONIALIS

Kamis, 16 Oktober 2014

Konflik Antar Negara Imperialis



17.     Oleh karena itu, AS sang imperialis itu mengulangi kepentingan strategis saudara mereka, yakni Inggris, di abad ke-19, karena seperti halnya Inggris, AS pun berusaha keras mempertahankan kepemimpinan mereka di dunia dan kontrol atas wilayah Timur Tengah merupakan titik sentral yang amat vital untuk mencapai tujuan tersebut. Sejak pemerintah Inggris menyadari bahwasanya kontrol atas minyak merupakan ‘nilai yang vital bagi setiap kekuatan yang ingin memiliki pengaruh atau dominasi atas dunia’ [‘Introductory Paper on the Middle East’, FRUS, 1947, Vol. V, hal. 569], Menteri Luar Negeri Inggris, Selwyn Lloyd pada tahun 1956 menulis, ‘Kita harus mempertahankan kontrol atas minyak ini apapun risikonya’ [Pesan dari Menteri Luar Negeri Inggris Lloyd untuk Menteri Luar Negeri AS Dulles, 23 Januari 1956, FRUS, 1955-1957, Vol. XIII, hal. 323]. AS tidak terlalu jauh tertinggal dalam menyadari pentingnya hal ini –pada tahun 1953 Dewan Keamanan Nasional mengatakan, ‘Kebijakan Amerika Serikat adalah mempertahankan sumber minyak di Timur Tengah agar tetap berada di tangan Amerika [Mohammad Haekal., ‘Cutting the Lions Tail; Suez Through Egyptian Eyes’., 1986, hal. 38] dan pada tahun 1945 Departemen Luar Negeri AS menyatakan, ‘Sumber-sumber (minyak) itu menjadi sumber kekuatan strategis yang sangat menakjubkan, dan merupakan salah satu materi paling bernilai dalam sejarah dunia… barangkali nilai ekonomis tertinggi di dunia dalam bidang investasi luar negeri’ [Sejarah Departemen Luar Negeri AS, 1945, Vol. 8, hal. 45]. Karena itulah, AS mencoba mempertahankan kepemimpinannya di dunia dengan cara mengamankan kontrol atas kekayaan minyak wilayah Teluk, dengan maksud ‘mencegah munculnya musuh dalam wujud hegemoni atau koalisi regional [Conetta dan Knight, ‘Military Strategy Under Review, Foreign Policy in Focus’, Vol. IV No. 3, Januari 1999], sebagaimana digambarkan dalam Quadrennial Defence Review yang diserahkan oleh mantan Menteri Pertahanan, William Cohen, kepada Kongres AS pada bulan Mei 1997. Paul Wolfowitz juga merefleksikan ambisi AS mendominasi dunia dalam dokumen rencana yang mengatakan bahwa AS harus ‘mempertahankan mekanisme untuk bahkan menghambat ambisi pesaing potensial untuk mendapat peran regional atau global yang lebih besar’ [Max Boot, ‘Doctrine of the Big Enchilada’, Washington Post, 14 Oktober 2002].

18.     Dengan sendirinya, hal ini membuat AS terlibat konflik dengan negara-negara kolonialis lain dan telah mencapai puncaknya di PBB. AS, dengan unilateralismenya, telah mendesak Presiden Perancis, Chirac, untuk memberikan peringatan dini akan bahaya yang akan timbul, ketika Chirac mengatakan, ‘Hal ini juga mempertaruhkan masa depan hubungan internasional’ [‘UN only legitimate framework for action on Iraq’, Egyptian Gazette, 18 Oktober 2002]. Namun sejak PD II, secara diam-diam AS berupaya melikuidasi pengaruh Eropa dan Inggris di Timur Tengah, dan inilah hal yang paling ditakuti Chirac. Pada tahun 1947, AS mengumumkan berakhirnya kekuasaan Inggris di Timur Tengah kepada Kedutaan Besar Inggris di Washington. Miles Copeland menulis, ‘Dua pesan itu merupakan pemberitahuan resmi bahwa masanya Pax Britannica, yang telah memegang kekuasaan di berbagai belahan dunia selama lebih dari satu abad, sudah berakhir’ [Miles Copeland., ‘The Game of Nations’., 1989, hal. 145]. Inilah awal pertentangan sengit Anglo-Amerika di Timur Tengah yang memuncak dengan adanya permainan kudeta dan kudeta balasan. Di Mesir, AS menggusur rezim boneka Inggris Raja Farouk, dan dengan santainya Miles Copeland menceritakan masalah tersebut, ‘CIA melihat adanya sebuah kesempatan. Kami memutuskan kontak resmi dengan SIS Inggris’, selanjutnya ia kisahkan, ‘Sehingga pada tanggal 23 Juli 1952, kudeta terjadi secara mendadak tanpa menemui rintangan, dengan dipimpin oleh Jenderal Mohammed Naguib. Selama enam bulan berikutnya, kontak dengan Nasser, Revolutionary Command Council (RCC=Dewan Komando Revolusioner)-nya Nasser, dan para pejabat sipil dilakukan hanya ‘secara langsung’ di kedutaan kami, termasuk sang duta besar Caffery sendiri’ [Miles Copeland., ‘The Game of Nations’., 1989, hal. 145].

19.     Dengan demikian krisis Irak yang terjadi sekarang ini merupakan kelanjutan pertentangan di antara kekuatan-kekuatan Barat. Di awal abad ke-20, negara-negara Eropa meributkan masalah pembagian tanah Khilafah di antara mereka, dan seabad kemudian mereka mempersoalkan pembagian sumber-sumber kekayaan kawasan Teluk di antara mereka, sementara AS senantiasa mencoba mendapat porsi terbesar. Pakar Rusia dari Carnegie Endowment Institute, Michael McFaul, mengatakan, ‘Presiden Rusia, Putin, dan pemerintahannya percaya bahwa AS akan terus maju dengan atau tanpa Rusia, sehingga Rusia mencoba…mengambil apa yang mereka bisa ambil dari Amerika’. Sementara Paul Sanders, Direktur Institut Nixon, mengatakan, ‘Minyak merupakan hal yang paling utama… ada ketakutan di Rusia bahwa bilamana AS mengganti rezim di Irak, maka semua kontrak minyak akan beralih ke AS sehingga Rusia akan ditinggalkan’ [Eric Boehlert, ‘At the UN its all about the Money’, 14 Oktober 2002]. Dalam konteks ini kita bisa melihat negara-negara Barat saling bersaing memperoleh kekuasaan, saling berebut untuk mengamankan kepentingan minyak mereka di Irak, sebuah perebutan yang mengingatkan kita terhadap kolonialisasi Eropa atas Afrika pada abad 19. Kebijakan AS adalah mencoba melemahkan berbagai pengaruh dan kontrol Eropa di Irak, sebagaimana dikatakan Michael O’Hanlon dari Brookings Institute kepada The House Armed Services Committee, ‘Wilayah yang ditempati Irak merupakan daerah yang sangat kritis bagi kepentingan AS sehingga kita tidak bisa masuk begitu saja, menggulingkan Saddam, dan membiarkan orang lain membersihkannya… Irak, tidak seperti Afghanistan, terletak di jantung Arab, sebuah wilayah yang stabilitasnya sangat penting bagi kepentingan AS’ [Michael O’Hanlon, Anggota Senior, Brooking, Kesaksian di hadapan Komite Angkatan Bersenjata DPR AS, 2 Oktober 2002]. Karenanya, perubahan rezim di Irak merupakan upaya merealisasikan cita-cita AS dalam ‘membentuk lingkungan’ Timur Tengah menurut sudut pandangnya sendiri [Carl Conetta dan Charles Knight, ‘Military Strategy Under Review’, Foreign Policy in Focus Vol. IV No. 3, Januari 1999]. Perubahan rezim bahkan akan memecah wilayah Irak menjadi beberapa bagian, sesuatu yang telah AS upayakan sejak akhir Perang Teluk tahun 1991, namun selalu gagal. Pada bulan September 1998, di hadapan The House National Security Committee, Deputi Menteri Pertahanan, Paul Wolfowitz, menguraikan tipu muslihat Amerika dalam melakukan kontrol atas Irak, ‘Membangun zona aman yang terlindungi di bagian Selatan, di mana pihak oposisi Saddam bisa berkumpul dan mengorganisir, akan memungkinkan… pemerintahan sementara mengontrol ladang minyak terbesar di Irak dan membuka ketersediaan minyak, di bawah pengawasan internasional, sumber-sumber keuangan yang luar biasa besarnya untuk tujuan politis, kemanusiaan dan akhirnya, tujuan militer’ [Pernyataan Paul Wolfowitz perihal Kebijakan AS terhadap Irak, 18 September 1998]. Dukungan Donald Rumsfeld dan Paul Wolfowitz terhadap sepucuk surat yang disponsori oleh The Project for a New American Century lebih jauh lagi membuktikan kebijakan AS, ‘menyerukan pendirian pemerintahan sementara dan berdaulat di wilayah Utara dan Selatan Irak yang tidak berada di bawah kontrol Saddam… pasukan militer AS dan sekutu harus dipersiapkan untuk mendukung pihak oposisi Irak dan bersiap-siap… untuk membantu menggusur Saddam dari tampuk kekuasaan’ [‘Memorandum to Opinion Leaders’ from Tom Donnelly, Deputy Executive Director of the Project for the New American Century, 6 Juli 2001].

Download Buku SENJATA PEMUSNAH MASSAL DAN KEBIJAKAN LUAR NEGERI KOLONIALIS

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam