Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 27 April 2016

Islam harus mengatur pemerintahan dan kendali atas masyarakat


 

Kaum muslimin telah menaklukkan banyak negara, lalu memerintahnya dengan Islam, menggabungkannya menjadi wilayah negara Khilafah. Islam mengharuskan mereka mengatur pemerintahan dan kendali masyarakat. Mereka tidak boleh diperintah oleh pemerintah non-muslim. Dalam surat al-Nisa', Allah berfirman:
"Dan sekali-kali Allah tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang mukmin" (TQS.An-Nisaa': 141).
Allah memberikan kemuliaan pada kaum muslimin. Dalam surat al-Munafiquun, Allah berfirman:
"Padahal kekuatan hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik tidak mengetahui" (TQS. Al-Munaafiquun: 8).

Akan tetapi, Allah tidak memberi mereka kemuliaan (kemenangan) dan tidak menguasakan pemerintahan dan kepemimpinan pada mereka kecuali jika mereka telah mampu mewujudkan jiwa Islam dalam diri mereka yang mampu menciptakan pemerintahan sebagai sarana untuk menerapkan Islam dan mengemban dakwahnya, bukan karena nafsu pada pemerintahan dan kekuasaan.

Ketika pada diri mereka ditemukan akal Islami, maka akal itu akan memahami makna pemerintahan dan mengetahui hakikat tanggung jawabnya di hadapan Allah. Cahaya Islam tampak pada aktivitas-aktivitas dan ucapan-ucapan para penguasa itu sebagaimana cahaya ini tampak dalam penerapan hukum-hukum Islam pada mereka yang menguasai masyarakat.

Akibat dari pemberlakuan penerapan hukum-hukum Islam terhadap manusia, maka mereka berbondong-bondong masuk agama Allah dan memeluk akidah Islam tanpa paksaan. Mereka menjadi muslim yang memiliki kemuliaan, kepemimpinan, dan pemerintahan. Negara mereka menjadi bagian wilayah Negara Islam. Penaklukan-penaklukan Islam menjadi memusat dengan adanya penerapan pemerintahan Islam, kemudian penduduknya memeluk agama baru ini (Islam), sehingga penaklukan kaum muslimin di negara manapun menjadi penaklukan abadi hingga hari kiamat.

Penaklukan Islam berhasil menghapus negara-negara bangsa dan penduduknya dari kondisi lama menjadi kondisi baru, dan mengubah mereka dari kondisi kafir menjadi muslim, sebagaimana juga mengubah negara mereka dari negara kafir menjadi bagian wilayah Negara Islam. Negara-negara bangsa itu akhirnya menjadi Negara Islam hingga pemerintahan Islam hilang darinya karena penjajahan, sementara penduduknya masih tetap muslim. Wilayah negara itu menjadi Negara Islam hingga pemerintahan Islam hilang darinya dan naungan negara terkelupas darinya karena penjajahan. Jika Negara Islam telah hilang, maka negara yang telah ditaklukkan kaum muslimin masih tetap menjadi wilayah Negara Islam dan penduduknya tetap dalam keadaan muslim. Negara Khilafah tetap menjadi tempat untuk kembalinya pemerintahan Islam dan pendistribusian kekuasaan Negara Khilafah Islam di atas rumahnya.

Ada beberapa hal yang menjadikan penaklukan-penaklukan Islam terkonsentrasi secara abadi dan Islam menjadi tetap berada di dalamnya hingga hari kiamat. Di antaranya, memudahkan semua pemerintahannya semenjak awal kemunculannya, seperti perumusan undang-undang; menyiapkan penduduknya untuk memeluk Islam, seperti tata operasional pemerintahan dan perilaku para penguasa; dan memantapkan pemusatan Islam dalam jiwa pemeluknya dengan pemusatan yang abadi, seperti akidah Islam dan pembangunan hukum-hukum Islam. Secara global persoalan-persoalan ini dapat disimpulkan dalam beberapa poin.

(1) Islam adalah agama yang akidahnya logis. Ide-ide dan hukum-hukumnya penuh pemikiran-pemikiran. Islam mewajibkan pemeluknya beriman melalui akal dan memahami hukum-hukumnya. Karena itu, memurnikan pemelukannya akan mengubahnya menjadi manusia pemikir ketika berhasil mengarahkan pandangannya pada makhluk-makhluk Allah untuk mengetahui adanya Sang Maha Pencipta dan ketika pemikiran itu bisa dibangkitkan untuk membahas hukum-hukum syara' agar memperoleh kesimpulan-kesimpulan hukum yang tepat dan mampu memecahkan problem-problemnya. Dengan demikian, Islam telah menyatu dalam dirinya selamanya ketika dia meyakininya secara pasti, memahami hukum-hukumnya, dan menerapkannya.

(2) Islam mengharuskan pemeluknya membaca dan belajar. Untuk mempelajari dan memahami Islam, tidak cukup bagi seorang muslim mengucapkan dua kalimat syahadat saja, tetapi dia harus mempelajari dan mendalaminya dengan sungguh-sungguh, banyak inspirasi, dan penuh kesadaran. Penelaahan ini memperluas ketinggian cakrawala seorang muslim, menumbuhkan pengetahuan-pengetahuannya, menyuburkan akalnya, dan menjadikannya mampu mengajari lainnya.

(3) Tabiat mabda' (ideologi) dan hukum-hukum syari'at Islam menetapkan keharusan adanya tata operasi mempelajarinya. Tata operasional ini bernilai tinggi dan berpengaruh bagi yang mempelajarinya dan di tengah kehidupan. Karena itu, kaum muslimin mempelajari Islam untuk dikerjakan. Mereka menekuni dan mengakrabi hukum-hukumnya dengan pemikiran. Ini sangat mempengaruhi perasaan-perasaan mereka. Karena itu, perasaan-perasaan mereka tentang kehidupan dan dampak-dampaknya merupakan hasil dari pemikiran yang membawa efek.

Dari perasaan-perasaan, pemikiran, banyaknya pengetahuan, dan keluasan cakrawala, maka dalam diri kaum muslimin dapat dihasilkan gelora dan semangat untuk gerakan Islam. Ini terjadi karena akidah Islam telah meresap dan tertanam dalam jiwa mereka; ide-ide, pemikiran-pemikiran, dan hukum-hukumnya telah mereka ambil setelah dipelajari dan dimurnikan; dan karena sisi prakteknya merupakan standar dan pengendaliannya.

Mereka mempelajari Islam tidak semata-mata karena ilmu. Jika demikian, niscaya mereka hanya menulis buku-buku yang mencakup pengetahuan-pengetahuan tentang Islam. Mereka juga tidak sekedar mendengar fatwa-fatwa dan petunjuk-petunjuknya saja. Jika demikian, tentu mereka hanya menjadi kaum yang pengetahuannya dangkal dan tidak ada api yang membakar semangat iman. Akan tetapi, mereka justru menyingkirkan dua sisi yang membahayakan ini, yaitu (i) bahaya mempelajari Islam semata-mata untuk dipelajari dan (ii) bahaya menjadikan Islam semata-mata sebagai nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk belaka. Mereka mengambil pemahaman-pemahaman dan hukum-hukum dengan cara Islam, yaitu mengambil Islam dengan keseriusan, pemahaman, dan kejelasan; untuk diterapkan sebagai perbuatan nyata dalam kancah kehidupan.

Selasa, 26 April 2016

Pelaksanaan politik luar negeri Islam


 

Politik luar negeri yang baku dan tidak berubah ini dijalankan dengan cara yang tetap dan tidak berubah pula, yaitu jihad futuhat/ penaklukan. Meski para pemegang kekuasaan Khilafah berbeda-beda, cara ini tetap berlaku dan sudah dijalankan di semua periode, semenjak Rasul Saw. menetap di Madinah hingga akhir Negara Khilafah Islam di masa 'Utsmani.

Secara mutlak, cara pelaksanaan politik luar negeri ini tidak berubah. Rasulullah Saw. semenjak berhasil mendirikan negara Islam seluas Madinah, beliau telah menyiapkan pasukan dan memulai jihad untuk menghilangkan penghalang-penghalang dakwah yang berbentuk fisik atau materi. Militer kafir Quraisy adalah penghalang dakwah yang bersifat materi (fisik). Mereka menghalang-halangi jalan dakwah Islam, dan Rasul Saw. bertekad untuk menghilangkannya. Tidak berapa lama, beliau berhasil menyingkirkan militer kafir Quraisy dan penghalang-penghalang lain. Dan, jihad pun terus dilakukan hingga Islam merata di seluruh Jazirah Arab. Kemudian Negara Khilafah Islam mulai mengetuk pintu-pintu umat-umat lain agar Islam tersebar pula di tengah-tengah mereka.

Setiap penguasa muslim yang sedang berdakwah ke umat yang lain pasti menemukan militer penghalang. Untuk itu dia dituntut harus menghilangkannya dari hadapan dakwah dan mengajak mereka dengan bijak hingga mereka bisa melihat dan merasakan langsung keadilan Islam dan kebahagiaan hidup di bawah panji-panjinya. Mereka diajak ke Islam dengan ajakan yang terbaik, tanpa pemaksaan.

Seperti demikianlah peran jihad futuhat dalam melanjutkan pelaksanaan thariqah (metode) penyebaran Islam. Negara-negara dan berbagai wilayah ditaklukkan dengan jihad futuhat. Pengikisan kerajaan-kerajaan dan negara-negara di luar kekuasaan Negara Khilafah Islam, pelaksanaan pemerintahan Islam di bangsa-bangsa dan umat-umat, dan penyebaran Islam ke alam hingga ratusan juta manusia memeluk Islam setelah mereka dikuasai, semuanya diwujudkan dengan jihad futuhat. Dengan demikian, thariqah (tata operasional atau cara) yang menyertai pelaksanaan politik luar negeri Negara Islam adalah jihad. Thariqah (metode) ini baku, tidak berubah, dan tidak akan berubah selama-lamanya.

Jihad adalah ajakan kepada Islam dan perang di jalan Allah. Operasinya bisa dijalankan secara langsung ataupun dengan bantuan harta, pikiran atau dengan memperbanyak tokoh. Jihad hukumnya wajib yang ditetapkan oleh nash Al-Quran dan hadits. Kaum muslimin tidak boleh memulai permusuhan dengan peperangan hingga mereka menawarkan Islam lebih dulu atau mereka membayar jizyah (kompensasi mereka sebagai warga Negara Khilafah Islam).

Hukum syara' dalam jihad memberi aturan bahwa jika kita mengepung musuh (kaum kafir), artinya kita mengajak mereka ke dalam Islam. Jika mereka menerima, maka mereka menjadi bagian dari umat Islam dan haram diperangi. Jika menolak, maka mereka dituntut membayar jizyah. Jika mereka membayar, maka darah dan harta benda mereka dijaga Islam. Dan, jadilah wilayah mereka sebagai bagian dari Negara Islam, yaitu suatu wilayah yang diperintah dengan Islam oleh Khalifah. Mereka juga memperoleh hak sebagaimana yang didapat kaum muslimin, seperti keadilan, kesepadanan, pemeliharaan, pengayoman, dan memberi keamanan pada mereka. Urusan-urusan mereka dijaga Negara Islam seperti halnya menjaga urusan-urusan kaum muslimin. Mereka juga mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban kaum muslimin, baik terhadap negara maupun sistem pemerintahan.

Akan tetapi, jika kaum kafir menolak Islam dan menolak membayar jizyah, maka seketika itu mereka yang melawan halal diperangi. Karena itu, peperangan tidak dihalalkan kecuali setelah menawarkan dakwah Islam ke penduduk negeri itu. Para ulama fiqih memfatwakan bahwa kita tidak dihalalkan memerangi orang yang belum menerima dakwah Islam. Atas dasar itu, maka sebelum melancarkan operasi militer, maka lebih dulu negara membentuk opini umum tentang Islam, memberi pikiran yang benar tentang dakwah Islam, dan berupaya menyampaikan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia, hingga mereka punya kesempatan untuk memperoleh pemahaman yang di dalamnya ada jaminan hukum yang dapat menyelamatkan mereka, meski pengetahuan itu bersifat global.

Sementara Negara Khilafah Islam wajib menjalankan tugas-tugas politik yang di antaranya berkaitan dengan pemberian informasi yang jelas tentang Islam, menyebarkan pikiran-pikiran Islam, dan berdakwah serta mendorong mereka pada Islam, di antaranya juga yang berkaitan dengan penampakan kekuatan Negara Khilafah Islam dan keperkasaan serta keberanian kaum muslimin.

Rasulullah Saw. pernah memberikan contoh tentang hal ini. Di antaranya dengan mengirim para utusan di jantung negara kafir agar penduduknya memeluk Islam sebagaimana yang pernah dilakukan Rasul dengan mengutus 40 laki-laki ke penduduk Najd agar mendakwahkan Islam. Beliau juga terkadang menampakkan kekuatan negara, seperti inspeksi pasukan Islam di Madinah pada perang Tabuk sebelum keluar ke medan perang. Karena itu, beliau bersabda, "Saya dimenangkan dengan ketakutan [yang bisa dirasakan musuh] dari perjalanan sejauh sebulan."

Pasukan Islam di Negara Khilafah Islam di banyak periode yang berbeda sering ditakuti. Karena itu, negara-negara Eropa mempunyai persepsi tersendiri tentang pasukan Islam. Mereka berpendapat bahwa pasukan Islam selamanya tidak bisa dikalahkan. Persepsi ini terus menguasai benak mereka hingga beberapa abad. Karena itu, di antara pekerjaan-pekerjaan politik yang harus dijalankan adalah yang berkaitan dengan penyebaran pemikiran-pemikiran Islam, menampakkan kekuatan negara (Negara Khilafah Islam), kemudian baru melancarkan serangan langsung ke jantung musuh. Dan jihad, meski ini merupakan thariqah (metode) yang baku dan tidak berubah sebagai metode penyebaran Islam, pekerjaan-pekerjaan politik dan gerakan-gerakan yang diorientasikan ke Islam harus dijalankan lebih dulu sebelum mengawali peperangan.

Inilah persoalan asasi dalam memusatkan pembentukan hubungan antara Negara Khilafah Islam dengan negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lain. Pemusatan hubungannya dibangun di atas arah dan visi yang jelas dan tertentu, baik dari sisi kebaikan hubungan ketetanggaan, hubungan ekonomi, atau bentuk-bentuk lain yang sekiranya akan memudahkan penyebaran Islam.

Atas dasar itu, maka pemikiran politik yang di atasnya dibangun hubungan Negara Khilafah Islam dengan negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lain adalah bentuk operasi penyebaran Islam dan pengembanan dakwah di tengah mereka. Jalan yang ditempuhnya adalah jihad futuhat. Hanya saja harus diingat bahwa di sana terdapat garis-garis besar dan uslub-uslub yang dibangun negara. Uslub-uslub dan garis-garis itu memiliki sarana-sarana dan perangkat-perangkat pelaksanaan, seperti membuat perjanjian bilateral yang baik dengan sebagian negara kafir dan pada sisi lain memerangi musuh yang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan Rasul Saw. di awal pembangunan Madinah.

Atau, bisa juga dengan mengumumkan perang terbuka terhadap semua musuh, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar ketika menghadapi pasukan Iraq dan Syam dalam waktu yang bersamaan, atau membentuk perjanjian-perjanjian untuk tujuan tertentu, sehingga opini umum untuk dakwah terbentuk. Contoh ini dapat dilihat pada peristiwa pembentukan perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan Rasul Saw.

Terkadang ada ide politik yang menciptakan pertempuran-pertempuran lokal dan melakukan sabotase atau penguasaan suatu daerah sebagaimana pernah dilakukan Rasul dengan mengirimkan detasmen sebelum meletus perang Badar. Ide ini juga pernah dilakukan di zaman Amawi ketika menyerang daerah-daerah perbatasan Romawi dengan mengikuti perbedaan cuaca di musim panas dan dingin.

Negara terkadang membuat perjanjian-perjanjian dagang dengan sebagian negara dan tidak mengikat perjanjian yang sama dengan negara-negara lain. Semua strategi dan operasi politik luar negeri ini dilakukan dengan tetap mengacu pada asas kepentingan dakwah. Bahkan, kadang pula politik ini dilakukan dengan membentuk hubungan-hubungan tertentu dengan negara-negara tertentu, sementara dengan negara-negara lain tidak dibentuk. Pola-pola hubungan ini atau tidak adanya hubungan sama sekali mengikuti garis kebijaksanaan yang terumus untuk dakwah. Rumusan kebijakan ini terkadang mengikuti uslub-uslub dakwah dan propaganda bersama sebagian negara dan di waktu yang sama mengikuti uslub-uslub yang menyingkap garis kebijakan negara dan melancarkan perang cepat pada sebagian negara yang lain.

Seperti demikianlah Negara Khilafah Islam meletakkan garis-garis besar kebijakan politik luar negerinya dan menjalankan uslub-uslubnya dengan mengikuti apa yang ditetapkan oleh satu bentuk perbuatan dan menyelesaikan maslahat dakwah. Garis-garis haluan dan uslub-uslub ini akan mempermudah penyebaran Islam sebagaimana mempermudah urusan jihad futuhat/ ofensif. Karena itu, garis-garis besar haluan negara dan uslub-uslub merupakan keharusan dalam politik luar negeri. Maka, mewujudkan opini umum tentang Islam dan negara Khilafah ke seluruh alam adalah keharusan juga. Akan tetapi, semua itu harus diorientasikan pada kepentingan penyebaran Islam. Sementara thariqah atau tata operasi penyebarannya adalah jihad futuhat.

Senin, 25 April 2016

Negara Khilafah Penyebaran Islam ke Dunia


Politik luar negeri adalah hubungan Negara Islam dengan negara-negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lain. Hubungan ini adalah bentuk pemeliharaan urusan-urusan umat di sektor luar negeri. Politik luar negeri Negara Khilafah Islam adalah bentuk hubungannya dengan negara, bangsa, dan umat lain. Politik ini berdiri di atas pemikiran yang baku dan tidak berubah.

Wujud pemikiran baku ini adalah penyebaran Islam ke semesta alam di semua umat dan bangsa. Inilah asas yang di atasnya dibangun politik luar negeri Negara Islam. Asas ini tidak berubah selamanya juga tidak berbeda-beda meski para pemegang kekuasaannya berbeda-beda. Asas ini ada dan tetap baku dalam semua periode semenjak Rasul Saw. tinggal di Madinah hingga Negara Khilafah 'Utsmani berakhir, yaitu Negara Khilafah Islam yang terakhir.

Secara mutlak, asas ini tidak berubah. Semenjak Rasul Saw. mendirikan Negara Islam yang awalnya hanya sebatas Madinah, beliau mulai mengadakan hubungan kenegaraan dengan negara-negara lain. Bentuk hubungannya didasarkan pada asas penyebaran Islam. Beliau menjalin hubungan perjanjian dengan Yahudi agar punya kesempatan menyebarkan dakwah di Hijaz. Kemudian beliau menjalin perjanjian Hudaibiyah dengan kafir Quraisy agar bisa memantapkan penyebaran dakwah di Jazirah Arab. Kemudian beliau mengirim surat-surat ke negara-negara di luar dan dalam Jazirah Arab. Semua hubungannya ditegakkan di atas prinsip penyebaran Islam dan mengajak mereka memeluk Islam.

Para khalifah yang datang sesudah Nabi Saw. juga menjalin hubungan-hubungan kenegaraan dengan semua negara kafir. Hubungan ini juga dibangun di atas dasar penyebaran Islam dan mengambil peran pengembanan dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.

Para penguasa yang menjalankan pemerintahan berbeda-beda dalam penyebaran Islam. Para penguasa Negara Islam dari bani Amawi lebih banyak menjalankan politik ekspansi dan penaklukan besar-besaran. Banyak wilayah negara yang dikuasai. Sementara Bani 'Abbasi lebih banyak menjalankan politik penyebaran Islam ke luar wilayah Negara Khilafah Islam. Periode Bani 'Utsmani lebih banyak menjalankan politik ekspansi dan penaklukan sekaligus penyebaran Islam ke luar di kerajaan-kerajaan non-Islam. Akan tetapi, perbedaan-perbedaan ini sebatas perbedaan sumbangan politik luar negeri Negara Khilafah. Sedangkan penyebaran Islam tetap selalu asas yang di atasnya dibangun hubungan Negara Khilafah Islam dengan negara, bangsa, dan umat lain. Tidak ada perubahan pada khalifah keberapapun. Adanya Negara Khilafah semata-mata untuk menerapkan Islam di dalam dan mengemban dakwahnya ke luar di seluruh penjuru alam. Karena itu, urgensi Negara Khilafah Islam di luar wilayahnya adalah pengembanan dakwah Islam.

Adapun yang menjadikan penyebaran Islam sebagai landasan politik luar negeri Negara Khilafah adalah risalah Muhammad Saw. yang didatangkan ke dunia untuk seluruh manusia.
Allah berfirman:
"Dan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan" (QS. Saba': 28).
"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu" (QS. Yunus: 57).
"Katakanlah, hai manusia, sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu semua" (QS. Al-A'raaf: 158).
"Dan Al-Qur'an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang Al-Qur'an telah sampai [kepadanya]" (QS. Al-An'aam: 19).
"Hai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan [apa yang diperintahkan itu, berarti] kamu tidak menyampaikan amanat-Nya" (QS. Al-Maaidah: 67).

Dan, Rasulullah Saw. telah menyampaikan risalahnya kepada seluruh manusia. Ketika Rasul Saw. sudah bertemu (wafat) dengan Allah Yang Maha Tinggi, penyampaian risalah Islam kepada seluruh manusia dilanjutkan oleh kaum muslimin. Dengan demikian, pengembanan dakwah Islam ke penjuru alam terus berlanjut sebagai bentuk pelaksanaan wasiat Rasul Saw. Kaum muslimin berjalan di atas jalan itu dan melanjutkan misi dakwah Islam.

Pada waktu haji wada', Rasulullah Saw. bersabda:
"Agar orang yang menyaksikan (hadir) menyampaikan pada yang tidak hadir. Berapa banyak orang yang menerima penyampaian (yang tidak hadir) lebih mengerti daripada yang mendengar."
Beliau juga bersabda,
"Allah membaguskan orang yang mendengar ucapanku, lalu dia mengumpulkannya, kemudian menyampaikannya kepada orang yang belum mendengarkannya."

Seperti demikianlah pengembanan dakwah Islam yang dijadikan landasan pembentukan jalinan hubungan antara Negara Khilafah Islam dengan negara, bangsa-bangsa, dan umat-umat lainnya di masa Rasulullah Saw., para khalifahnya, dan generasi berikutnya. Ini adalah hukum syara' dan ditetapkan dengan Al-Kitab, Al-Sunnah, dan Ijma' Shahabat. Dengan demikian, politik luar negeri Negara Islam adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.

Minggu, 24 April 2016

Berselisih dalam dalil yang dzaniy


 

Kaum muslimin sepakat dalam akidah Islam. Mereka juga menyepakati Al-Kitab dan al-Sunnah sebagai dua sumber pokok dalil-dalil dan kaidah-kaidah syara' serta hukum-hukum syara'. Secara mutlak, tidak satupun di antara mereka yang berselisih dalam masalah ini. Akan tetapi, dalam memahami Kitabullah dan Sunnah Nabi Saw. dengan hukum ijtihad, mereka berselisih dalam dalil-dalil yang sifatnya dzanniy/ tidak pasti. Akibat adanya perbedaan-perbedaan pemahaman, maka mereka berada dalam mazhab-mazhab yang berbeda-beda pula dan kelompok-kelompok yang bermacam-macam. Demikian itu, karena Islam mendorong kaum muslimin melakukan ijtihad untuk memperoleh istinbat (penggalian, penyimpulan, dan perumusan hukum).



Demikian juga dalam hukum-hukum dan pendapat-pendapat yang disimpulkan. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan munculnya kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab.

Rasul Saw. telah mendorong kaum muslimin agar melakukan ijtihad. Beliau menjelaskan bahwa seorang hakim/mujtahid jika berijtihad dan keliru, maka dia memperoleh satu pahala. Jika benar, maka dia memperoleh dua. Islam telah membuka pintu ijtihad. Maka tidak heran jika di tengah umat Islam banyak kelompok Islam. Juga tidak asing jika di sana timbul banyak mazhab Islam, seperti Syafi'iyah, Hanafiah, Malikiah, Hambaliah, Ja'fariah, Zaidiah, dan yang lainnya.



Semua kelompok dan mazhab Islam menganut akidah yang satu, yaitu akidah Islam. Mereka semua diseru dengan keharusan mengikuti perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Mereka juga diperintah mengikuti hukum syara' dan  tidak terbatas hanya pada satu mazhab tertentu. Mazhab tidak lain hanyalah satu pemahaman tertentu tentang hukum syara' yang diikuti oleh orang-orang yang bukan golongan mujtahid, yaitu orang-orang yang tidak mampu berijtihad. Oleh sebab itu,  orang muslim diperintah mengikuti hukum syara', bukan pada mazhab. Dia harus mengambil hukum ini dengan ijtihad jika mampu, dan ber-itiba' atau bertaklid jika tidak mampu berijtihad.



Atas dasar ini, semua kelompok dan mazhab yang meyakini akidah Islam dan mempercayai Kitabullah dan Sunnah sebagai sumber dalil-dalil, kaidah-kaidah, dan hukum-hukum syara', semuanya dikatagorikan muslim. Mereka semua dikatagorikan dan mengkategorikan sebagai muslim dan hukum-hukum Islam diberlakukan kepada mereka. Bagi Negara Khilafah tidak boleh menghalang-halangi kelompok-kelompok Islam ini, juga tidak diperkenankan melarang mengikuti mazhab-mazhab fiqih selama kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab itu tidak keluar dari akidah Islam. Jika kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab keluar dari akidah Islam, baik sebagai individu atau kelompok, maka semuanya dihukumi sebagai orang yang keluar dari Islam dan hukum murtad wajib dikenakan kepada mereka.



Kaum muslimin dituntut dengan semua hukum Islam. Khusus untuk hukum-hukum yang qath'iy (kepastian hukumnya bersifat mutlak dan tidak bisa ditawar), tidak ada peluang atau ruang bagi satu pikiranpun untuk mengeluarkan pendapat atau hasil ijtihad, seperti hukum potong tangan dalam pencurian, pengharaman riba, kewajiban zakat, shalat 5 waktu, dan hukum-hukum qath'iy (pasti) lainnya.

Dengan demikian, semua hukum Islam harus diberlakukan pada seluruh kaum muslimin dalam pemahaman yang satu-utuh karena kedudukannya sebagai hukum yang qath'iy (pasti).



Ada pula hukum-hukum, pemikiran-pemikiran, dan pendapat-pendapat yang kaum muslimin berbeda dalam memahaminya karena dalil yang bersifat dzanni/ tidak pasti. Setiap mujtahid berbeda pemahamannya dengan mujtahid yang lain, seperti tentang sifat-sifat khalifah, jumlah persen pungutan tanah, dan lain-lainnya. Jika terdapat hukum-hukum yang berbeda dengan hukum-hukum yang dibangun oleh khalifah, maka ketaatan terhadap hukum khalifah wajib dilakukan oleh kaum muslimin dalam urusan publik. Ketika itu setiap orang yang memiliki pendapat yang berbeda dengan pendapat yang didektritkan oleh seorang imam (khalifah), maka dia wajib meninggalkan pendapatnya dan menjadikan pendapat imam (khalifah) sebagai pendadatnya. Karena, perintah imam (khalifah) menghapus perbedaan dan taat pada imam (khalifah) hukumnya wajib.



Kaum muslimin wajib melaksanakan semua perintah khalifah yang diwujudkan dalam hukum-hukum yang dibangunnya. Perintahnya berlaku secara zahir dan batin, dalam rahasia maupun terang-terangan. Setiap perbuatan yang dilakukan dengan hukum syara' dalam urusan publik yang bukan hukum yang dibangun dan diperintahkan oleh imam (khalifah) dihukumi perbuatan dosa. Karena, perintah khalifah yang dikatagorikan sebagai hukum syara' yang ditetapkan sebagai kewajiban kaum muslimin hanya menyangkut hukum yang didekritkan oleh imam (khalifah), dan apa yang selain dekrit itu tidak dikatagorikan hukum syara'.



Mengapa? Karena hukum syara' dalam masalah yang satu tidak dihitung dengan hak seorang saja. Seorang khalifah tidak berhak membangun nilai apapun dalam akidah karena bangunan ini akan menjadikan beban bagi kaum muslimin dalam berakidah Islam. Hanya saja jika terdapat ahli bid'ah dan ada kecenderungan-kecenderungan terhadap akidah yang tidak benar (Islam yang disimpangkan), maka negara wajib mendidik dan memberi pelajaran mereka dengan sanksi-sanksi yang mengekang. Sanksi ini dijatuhkan jika akidah mereka kufur, yaitu mereka mengaku muslim yang tidak menyimpang dari Islam padahal jelas menyimpang. Jika akidah mereka benar-benar kufur, maka mereka harus diperlakukan sebagai orang murtad. Demikian pula khalifah tidak berhak membangun hukum-hukum dalam masalah ibadah karena ketetapan hukumnya akan menciptakan kesulitan bagi kaum muslimin dalam beribadah.



Karena itu, dalam masalah ibadah, khalifah tidak mengeluarkan dekrit dengan hukum yang jelas kecuali tentang zakat, jihad, dan pembatasan dua hari raya. Aturan ini berlaku selama ibadah-ibadah ini adalah hukum-hukum syara'. Zakat, jihad, dan dua hari raya itu terkait dengan pengaturan urusan publik. Di luar masalah ibadah pribadi, yaitu dalam bidang muamalah, khalifah berhak membangun hukum-hukum, seperti jual-beli, sewa-menyewa, perkawinan, perceraian, nafkah, syirkah, kerja-sama, dan lain-lainnya, juga dalam masalah sanksi, seperti hudud dan ta'zir, serta dalam hal makanan, pakaian, dan akhlak. Dalam hal ini kaum muslimin wajib menaati hukum-hukum yang ditetapkan khalifah.

Kamis, 21 April 2016

Racun pemikiran asing serta kebodohan


Di sana, terdapat berbagai kesulitan yang menghadang di hadapan "wajah" interaksi (dakwah), yang harus diketahui jenis dan tabiatnya, untuk mengatasi sesuai dengan aturan Islam. Kesulitan-kesulitan tersebut banyak sekali, di antaranya adalah :

1.    Pertentangan ideologi (Islam) dengan sistem yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat.
Ideologi partai [Islam ideologis] adalah sebuah sistem yang (dianggap) baru dalam kehidupan bagi masyarakat sekarang. Dia bertentan­gan dengan sistem yang (sedang) diterapkan atas masyarakat, yang dengannya golongan penguasa memerintah rakyat. Oleh sebab itu para penguasa tersebut akan mendapat­kan bahwa ideologi (Islam) ini adalah ancaman atas kelompok mereka dan wadah kekuasaan mereka. Mereka pasti akan menghalangi dan memeranginya dengan berbagai macam cara, dengan propaganda, mengusir para pengem­ban da'wah, atau dengan menggunakan kekuatan fisik. Oleh sebab itu, hendaklah para da'i ideologi (Islam) ini --mereka yang berinteraksi dengan umat untuk ber­da'wah-- pandai-pandai menjaga diri dari siksaan dengan segenap kemampuan, menentang propaganda-propa­ganda sesat, dengan menjelaskan da'wah mereka, dan siap sedia menanggung segala kesusahan di jalan da'wah ini.

2.    Perbedaan tsaqafah (khazanah keilmuan pandangan hidup).
Dalam masyarakat terdapat berbagai macam tsaqafah dan tersebar berba­gai macam pemikiran yang bertentangan. Hanya saja mereka masih mempunyai perasaan yang sama. Berbagai macam tsaqafah (ilmu-ilmu terkait pandangan hidup) tersebut, tak terkecuali tsaqafah para penjajah, merupakan ungkapan yang bertentangan dengan perasaan masyarakat. Sementara tsaqafah ideologi (Islam) (tsaqafah Islamiyah) merupakan ungkapan yang benar dari perasaan-perasaan umat. Walaupun tsaqafah (ilmu jalan hidup) yang menjadi pendapat umum dalam masyarakat dan kurikulum pendidikan di sekolah dan universitas dan seluruh forum tsaqafah, adalah sejalan dengan tsaqafah asing. Demikian pula seluruh gerakan politik dan tsaqafah (kebudayaan) berjalan sesuai dengan tsaqafah asing. Karenanya, partai dalam pembinaannya, haruslah menerjunkan diri menghadapi tsaqafah asing itu dan pemikiran asing tersebut, sampai umat itu mengetahui dengan jelas ungkapan yang benar nurani dan perasaan mereka, sehingga kemudian umat berjalan bersama partai (Islam ideologis). Dari sini dalam fase ini, mesti terjadi benturan-benturan antara tsaqafah dan pemikiran partai (Islam ideologis) dengan tsaqafah dan pemikiran lainnya. Ben­turan-benturan pemikiran ini adalah antara anak-anak umat Islam sendiri. Oleh sebab itu tidak boleh dilakukan "debat kusir", tetapi jama'ah partai (politik Islam) harus berjalan di atas jalan yang lurus di samping jalan bengkok lainnya. Debat kusir harus dihindari secara mutlak, supaya tidak memunculkan "ananiyah" yang membutakan mata dan menulikan telinga dari hakikat kebenaran Islam. Bahkan partai harus menjelaskan secara gamblang pemikiran-pemikirannya dan membeberkan kepalsuan-kepalsuan pemikiran-pemikiran dan kebatilan tsaqafah lainnya itu, dan akibat-akibatnya yang berbahaya. Pada saat itu umat berpaling dari tsaqafah-tsaqafah asing tersebut dan mengalihkan perhatiannya pada tsaqafah dan pemikiran partai (Islam). Bahkan tokoh-tokoh tsaqafah asing tersebut pun akan berpaling kepada tsaqafah dan pemikiran partai, setelah mereka mengetahui kepalsuan-kepalsuannya apabila mereka ikhlas, dan mau membersihkan diri. Hanya saja tugas/pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling berat bagi partai (dakwah Islam). Oleh sebab itu interaksi dengan umat di tempat yang di dalamnya banyak tsaqafah asing lebih sulit dibanding tempat-tempat/wilayah-wilayah yang sedikit tsaqofah asingnya, dan kemungki­nan terjadinya kebangkitan pada wilayah yang sedikit tsaqafah asingnya adalah lebih besar dari wilayah yang di dalamnya banyak tsaqafah asing. Oleh sebab itu partai harus betul-betul mengetahui jamaah (masyarakat) yang ingin diterjuninya untuk berinteraksi, untuk mengam­bil tindakan yang tepat, sesuai dengan keadaan jamaah (masyarakat) itu.

3.    Adanya Al Waaqiiyin (orang-orang yang realistis) di tengah-tengah umat.
Adanya tsaqafah asing dan racun-racun (pemikiran) asing, serta kebodohan di tengah-tengah umat telah memunculkan dua macam kelompok orang-orang realistis di tengah-tengah umat.

Kelompok pertama, adalah "Al waqiiyah/kelompok re­alistis" yang menyeru kepada realitas, dan untuk ridho dengan realitas, tunduk kepada realitas, sebagai suatu keharusan. Sebab, kelompok ini menjadikan realitas sebagai sumber pemikirannya dan memecahkan masalah sesuai dengan realitas yang ada. Satu-satun­ya cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah dengan berusaha membahas sesuatu secara mendalam dengan mereka, sampai mereka melihat dan menyadari bahwa realitas (yang buruk) itu adalah objek pemikiran, yang harus dirubah. Dengan cara ini dimungkinkan untuk melurus­kan pemikiran kelompok ini.

Kelompok kedua, adalah kelompok orang-orang zholim yang enggan hidup dalam kebenaran, karena mereka bisa hidup enak dalam kegelapan, biasa "cuek" tak peduli orang lain, dan berpikiran rendah. Mereka ini adalah orang-orang yang kena penyakit malas, jasad mereka maupun akal mereka, mereka ini jumud [membebek] pada moyang mereka, yang mereka warisi dari bapak-bapak mereka, semata-mata dengan alasan karena mereka adalah moyang mereka. Inilah "kelompok realistis" yang sebenarnya. Karena mereka secara faktanya adalah orang-orang berpikiran jumud. Oleh sebab itu untuk menyadarkan kelompok ini perlu usaha yang lebih banyak. Cara mengatasinya adalah berusaha mendidik mereka dan bersungguh-sungguh dengan segala cara untuk memperbaiki pemahaman mereka.
 Bacaan: Terjemahan AT TAKATTUL AL HIZBI

Rabu, 20 April 2016

Menerapkan Ideologi Islam di masyarakat



9.    Partai ideologis berjalan dalam tiga marhalah (tahapan), sampai mabda’ (ideologi) (Islam)nya diterapkan di tengah masyarakatnya.
Pertama: marhalah (tahapan) belajar dan mengajar untuk mendapatkan tsaqofah al-hizbiyah (ide-ide Islam partai).
Kedua: marhalah (tahapan) tafa'ul (interaksi) dengan masyarakat, tempat hidupnya sampai mabda’ (ideologi) (Islam)nya menjadi 'urf 'am (kebia­saan umum) sebgai hasil dari pemahaman masyarakat akan mabda’ (ideologi) (Islam) dan masyarakat menganggap bahwa mabda’ (ideologi) (Islam) hizb (partai) adalah mabda’ (ideologi) (Islam) mereka, sehingga mereka mau membelanya bersama-sama. Pada marhalah (tahapan) ini mulai terjadi pergolakan antara umat dan orang-orang yang menghalangi diterapkannya mabda’ (ideologi) (Islam) yaitu para penjajah dan orang-orang yang mereka tempat­kan di depan mereka seperti kelompok-kelompok penguasa, orang-orang zolim, dan pengikut-pengikut tsaqafah (pemikiran) asing, karena mereka telah menganggap bahwa mabda’ (ideologi) (Islam) Islam adalah mabda’ (ideologi) (Islam) mereka dan hizb (partai) adalah pemimpin mereka.
Ketiga : marhalah (tahapan) pengambil-alihan pucuk pemerintahan (kekuasan) melalui umat secara menyeluruh, untuk menjadi­kan pemerintahan itu sebagai metode untuk menerapkan mabda’ (ideologi) (Islam) atas ummat. Dari marhalah (tahapan) ini hizb mulai melakukan aspek amaliyah dalam medan kehidupan, dan aspek dakwah mabda’ (ideologi) (Islam) menjadi kerja utama bagi negara dan hizb, karena mabda’ (ideologi) (Islam) adalah risalah yang diemban oleh ummat dan daulah (negara).
10.    Adapun marhalah (tahapan) awal merupakan marhalah (tahapan) pembentukan pondasi gerakan, itu dilakukan dengan suatu anggapan seluruh individu-individu ummat kosong dari kebudayan/ tsaqo­fah apapun. Pada marhalah (tahapan) ini hizb mulai mendidik/membina orang-orang yang mau menjadi anggotanya dengan tsaqofahnya, dan mengganggap bahwa masyarakat adalah sekolah hizb, sehingga dalam waktu singkat mampu mencetak sekelompok orang yang mampu berhubungan dengan jamaah umat untuk berinteraksi dengannya.
Namun demikian perlu diketahui bahwa pembinaan ini bukanlah ta'lim, dan bahwa ia berbeda dengan sekolah secara menyeluruh. Oleh sebab itu, pembinaan dalam halaqoh-halaqoh tersebut haruslah berjalan dengan suatu anggapan bahwa mabda’ (ideologi) Islam adalah gurunya, dan bahwa ilmu dan tsaqofah yang didapatkan di halaqoh terbatas pada mabda’ (ideologi) (Islam) saja, dan ilmu yang diperlukan untuk mengarungi medan kehidupan, dan bahwa ilmu dituntut untuk diamalkan secara langsung dalam medan kehidupan.
Oleh sebab itu pembinaan itu haruslah bersifat amaliyah, yaitu bahwa tsaqofah dipelajari untuk diamalkan dalam kehidupan. Segala sesuatu yang mendinding otak dan aspek amaliyah haruslah disingkirkan, sehingga tsaqofa­tul hizbiyah tidak mengarah ke pendidikan tsaqafah sekolahan bersifat ilmu (di mana orang menuntut ilmu semata-mata demi ilmu).

11.    Hizb adalah kelompok yang berdiri atas fikroh (pemikiran) dan thori­qoh (metode), yaitu atas mabda’ (ideologi) (Islam) yang diimani oleh setiap anggotan­ya. Hizb juga mengontrol ­pemiki­r­an dan perasan masyarakat untuk digerakkan dalam sebuah gerakan yang terus meningkat (kualitas dan kuantitasnya). Hizb juga beru­saha menghalangi munculnya pertentangan (ketidakselara­san) antara pemikiran dan perasan masyarakat. Hizb adalah sekolah umat yang dididiknya umat, menge­luarkannya (dari kebodohan), dan mendorongnya untuk mengarungi medan kehidupan internasional. Dia adalah sekolah yang hakiki, yang tidak bisa ditandingi oleh sekolah-sekolah lain walaupun jumlah sekolah-sekolah tersebut banyak, punya murid melimpah dan mencakup berbagai bidang ilmu. Hanya saja ada perbedaan antara hizb dan sekolah yang perlu diketahui. Perbedaan terse­but secara jelas terdapat pada beberapa poin :
1.    Bahwa sekolah, sekalipun kurikulumnya benar, tidak bisa menjamin kebangkitan umat tanpa adanya suatu partai di daerah itu --yang menganggap masyarakat sebagai sekolahnya-- yang berjuang di tengah masyara­kat. Sebab, sekolah pada dasarnya sekalipun mampu membangkitkan "panas" murid-muridnya, mesti mempunyai sifat rutinitas, menyebabkannya berdiri atas suatu bentuk khusus. Sekolah berdiri dengan bentuk khu­sus, mempunyai sifat khusus, dengan demikian ia kehilangan kemampuan membentuk suatu kenyataan sesuai dengan keinginannya, ia dibentuk oleh keadaan. Jika ia diinginkan mempunyai suatu bentukan khas, ia membutuhkan suatu kegiatan tertentu, waktu tertentu, sampai terjadi suatu ciri khas. Persiapannya berdiri atas suatu dasar yang tetap yang tidak punya bentukan khusus.

2.    Jika partai mempunyai rencana tertentu yang benar, ia mempunyai beberapa ciri sebagai berikut:
a.    hidup, yaitu pertumbuhan
b.    berkembang, ia berpindah dari satu keadaan ke keadaan lain
c.    bergerak, ia bergerak dalam setiap aspek kehidupan masyarakat dan pada kawasan negeri
d.    kepekaan, ia bisa melihat dan merasakan setiap apa yang terjadi dalam masyarakat dan berpengaruh dalam masyarakat itu.
Persiapannya dirancang atas dasar bahwa ia bertugas membentuk kehidupan dan perasaan dalam masyarakat. Pada partai semacam ini selalu terjadi perkembangan dan perubahan yang kontinu. Dia tidak berjalan atas suatu metode rutin, karena ia berjalan bersama kehi­dupan dan membentuk kehidupan itu dengan suasana keimanannya, merubah realita dan membentuknya sesuai dengan tuntutan ideologi.
3.    Sekolah mendidik seseorang, mencerdaskannya, serta memberinya ilmu dengan memandang bahwa ia seorang individu. Sekolah, sekalipun berbentuk suatu komunitas kecil, dari sifat ta'lim sifatnya individual. Oleh sebab itu, hasilnya juga individual tidak bersifat komunitas. suatu kota, misalnya mempunyai penduduk 10 ribu orang, di dalamnya terdapat sekolah yang mendi­dik ribuan siswa. Maka sekolah tersebut tak mampu mencetuskan sebuah kebangkitan yang bersifat jamaah di dalam kota tersebut.
 Bacaan: Terjemahan AT TAKATTUL AL HIZBI

Selasa, 19 April 2016

Kader awal partai Islam



2.    Anggota Halaqoh ‘Ula (kader awal partai Islam ideologis) ini biasanya berjumlah sedikit dan geraknya lamban pada mulanya karena meskipun ia mengung­kapkan perasaan masyarakat tempat hidupnya , akan tetapi slogan-slogan dan pemahaman yang disampaikannya, sering kali berlawanan dengan apa yang biasa didengar masyara­kat. Kelompok ini mempunyai pemahaman-pemahaman baru yang berlawanan dengan pemahaman-pemahaman masyarakat awam, sekalipun slogan-slogan dan makna-makna merupakan ungkapan dari perasaan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu Halaqoh ‘Ula (kader awal partai) tersebut seakan-akan terasing dari masyarakat dan tidak akan bergabung ke dalamnya kecuali orang-orang yang mempunyai perasaan (nurani) yang kuat (tajam) sampai pada suatu batas tertentu di mana tercipta kecenderungan seseorang untuk tertarikan pada magnet mabda’ (ideologi) (Islam) yang telah menyatu pada Halaqoh ‘Ula (kader awal partai) terse­but.

3.    Biasanya pemikiran Halaqah ‘Ula (kader awal partai) tersebut mendalam, metode kebangkitannya mendasar, atau bermula dari aspek yang mendasar. Oleh sebab itu halaqah ‘ula tersebut terangkat dari keadaan yang buruk di mana umat hidup, dia "ter­bang" di alam (suasana) yang lebih tinggi. Dia bisa melihat realita masa depan yang harus dicapai oleh umat atau mampu melihat kehidupan baru di mana umat harus mampu diubah ke arah keadaan tersebut, sebagaimana ia juga melihat jalan yang harus dilewatinya dalam mengubah realita tersebut. Oleh sebab itu ia mampu melihat sesua­tu (yang tersembunyi) di balik dinding/tabir pada saat kebanyakan orang hanya melihat kulit luarnya saja. Karena masyarakat yang ada terikat dengan keadaan buruk yang ia juga hidup di dalamnya, ia sulit untuk "terbang", dan sulit pula baginya untuk merubah realita itu secara benar. Sebab, masyarakat yang terbelakang pemikirannya dangkal, mereka hanya menilai sesuatu pada fakta apa adanya saja, kemudian mengkiaskan segala sesuatu dengan fakta tersebut dengan cara pukul rata dan keliru. Mereka mengatur diri mereka sesuai dengan hasil pengkiasan tersebut yang mereka lakukan itu. Oleh karena itu mereka menempatkan manfaat yang mereka inginkan beredar bersama dengan standar yang mereka ukur dengan fakta itu.

Adapun Halaqah ‘Ula (kader awal partai), pemikirannya tidaklah dangkal lagi, mereka sudah mendekati batas kesempurnaan. Mereka menja­dikan realita sebagai objek pikiran, untuk diubah sesuai dengan mabda’ (ideologi), tidak menjadikan realita sebagai sumber pemikiran dengan mencocokkan mabda’ (ideologi) dan kenyataan. Oleh sebab itu mereka berusaha mengubah keadaan itu, membentuk serta mendudukkannya sesuai dngan kehendak mereka agar keadaan itu menjadi sesuai dengan mabda’ (ideologi) yang mereka yakini, bukan menyesuaikan/mencocok-cocokkan mabda’ (ideologi) dengan keadaan itu. Oleh sebab itu terdapat perbedaan pemahaman yang tajam antara Halaqah ‘Ula (kader awal partai) dengan masyara­kat daalam pandangan mereka mengenai kehidupan. Di sinilah dibutuhkan pendekatan terhadap masyarakat.

4.    Pemikiran Halaqah ‘Ula (kader awal partai) (al qiyadah/ kepemimpinan) bertumpu pada suatu kaidah yang tetap, yaitu bahwa fikrah (pemikiran) harus berkaitan dengan aktivitas (amal) dan bahwa pemikiran dan amal haruslah sesuai dngan tujuan yang ingin dicapai. Oleh sebab itu, dengan menyatukan mabda’ (ideologi) di dalam diri mereka dan dengan bersandarnya mereka pada suatu kaidah, mencip­takan suatu suasana keimanan yang tetap. Hal ini memban­tu mereka dalam menundukkan dan mengubah keadaan atau realita. Sebab pemikiran tersebut tidak terbentuk dari realita, bahkan keadaan itu sendirilah yang kemudian terbentuk sesuai dengan kehendak mereka. Berlainan dengan masyarakat terbelakang, masyarakat terbelakang tidak mempunyai dasar berfikir, karena mereka tidak mengetahui tujuan mereka berfikir dan beramal. Tujuan-tujuan individu pada masyarakat seperti ini bersifat sementara dan sangat indiviualis. Oleh sebab itu tidak ditemukan adanya suasana keimanan. Mereka dikuasai oleh keadaan, bukan membentuk keadaan sesuai dengan kehendak mereka. Oleh sebab itu akan terjadi benturan-benturan antara Halaqah ‘Ula (kader awal partai) dengan masyarakat pada awal mereka saling berinteraksi.

5.    Dan karena kewajiban halaqoh al-hizbiy al-ula ( al-qiya­dah ) menciptakan suasana keimanan yang mengharuskan mereka mengikuti metode berpikir tertentu, maka ia harus­lah melakukan gerakan terarah, untuk mengembangkan dirin­ya secara cepat, untuk memurnikan suasana iman dengan sempurna sehingga ia mampu membangun tubuh partainya dengan baik, secepat kilat dan agar mampu berubah dengan perkembangan yang cepat, dari "halaqoh hizbiyah" ke "qutlah hizbiyah" (kelompok kepartaian), untuk kemudian menjadi sebuah partai sempurna, yang mewajibkan dirinya terjun ke masyarakat untuk menjadi subyek di dalamnya, bukan obyek/kelompok yang terpengaruh oleh keadaan ma­syarakat.

6.    Gerakan-gerakan terarah tersebut terbentuk dengan mempe­lajari secara sungguh-sungguh keadaan masyarakat, orang-orangnya dan suasananya, dan waspada agar wadah hizb (partai) tak disusupi oleh unsur yang merusak, dan agar tak terjadi kesalahan-kesalahan dalam menyusun struktur hizb, yang kelompok itu terukur dengan cara demikian sehingga ia tidak tergelincir pada pandangan selain pandangannya yang benar dan agar ia tidak hancur dari dalam.

7.    Aqidah yang mendalam dan teguh, serta tsaqofah hizbiyah (khazanah pemikiran partai) yang mendalam adalah pengikat antara anggota partai, dan tsaqafah kepartaian yang mendalam menjadi pengikat bagi para anggota hizb (partai) dan menjadi undang-undang yang mengendalikan jamaah hizb, bukan undang-undang administrasi yang hanya tertulis di dalam kertas. Cara memperkuat aqidah dan memperdalam tsaqofah dilakukan dengan belajar dan berfikir. Sehingga akal mereka ter­bentuk secara khas, dan menciptakan pikiran yang berhu­bungan dengan perasaan. Suasana keimanan haruslah menye­limuti hizb (partai) secara keseluruhan, sehingga pemersatu Hizb (partai) adalah dua hal, yaitu hati dan aqal. Oleh sebab itu iman terhadap mabda’ (ideologi Islam) haruslah ada, sehingga ia bisa menjadi pemersatu pada individu-individu anggota hizb. Kemudian anggota hizb (partai) harus mempelajari mabda’ (ideologi) secara mendalam, menghapalkannya, mendiskusikannya dan memahaminya, se­hingga pengikat yang kedua adalah aqal. Dengan demikian Hizb (partai) telah mempersiapkan dirinya dengan benar dan mempun­yai ikatan yang kuat yang memungkinkannya selalu tetap kokoh menghadapi setiap goncangan.
 Bacaan: Terjemahan AT TAKATTUL AL HIZBI

Minggu, 17 April 2016

Pertaksian Dalam Sistem Islam


 

Persoalan transportasi di negeri ini memang tak pernah usai. Pada 22 Maret 2016 di beberapa tempat di Jakarta terjadi demonstrasi ribuan pengemudi taksi yang merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah sehingga mulai kalah bersaing dengan taksi berbasis aplikasi online. Taksi konvensional diharuskan mengikuti UU No. 22 tahun 2009 yang membebani berbagai pajak. Sementara hukum tersebut tidak mengatur taksi online. Pengaturan pertaksian seharusnya menggunakan sistem aturan Islam.

Taksi adalah jenis kendaraan transportasi publik untuk disewa dengan seorang sopir, digunakan oleh satu penumpang atau sekelompok kecil penumpang. Taksi mengantar penumpang dari dan ke lokasi yang mereka pilih. Ini berbeda dengan moda transportasi lainnya di mana lokasi jemput dan tujuan ditentukan oleh penyedia jasa, bukan oleh penumpang.

Jasa taksi adalah boleh menurut hukum Islam. Penyedia jasa taksi tidak perlu izin kepada negara untuk melakukan usaha jasa taksinya sebagaimana jual-beli dan media massa. Tiap pekerjaan yang halal, maka hukum mengontraknya adalah halal pula. Sehingga transaksi tersebut boleh dilakukan. Syarat sah dan tidaknya transaksi tersebut adalah bahwa jasa dalam kontrak adalah jasa yang mubah. Tidak diperbolehkan mengadakan kontrak untuk melakukan jasa yang diharamkan. Sehingga, tidak diperbolehkan mengadakan kontrak jasa untuk mengangkut minuman keras, mengangkut narkoba, dll. Imam At Tirmidzi meriwayatkan dari Anas Bin Malik yang artinya: “Rasulullah Saw. melaknat dalam masalah khamer sepuluh orang, yaitu: pemerasnya, orang yang diperaskan, peminumnya, pembawanya, orang yang dibawakan, orang yang mengalirkannya, penjualnya, pemakan keuntungannya, pembelinya, termasuk orang yang dibelikan.”
Allah SWT berfirman:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan takwa, jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Maidah [5]: 2)

Islam telah mengharamkan pajak seperti pajak penghasilan badan usaha, PPH pribadi, dan pajak pertambahan nilai yang diwajibkan kepada orang kaya maupun miskin secara langsung atau tidak langsung. Pajak di dalam Islam hanya diwajibkan terhadap orang-orang Muslim kaya saja dan tidak diwajibkan kepada orang-orang miskin. Dan pajak di dalam Islam itu hanya dipungut secara temporer, hanya dipungut untuk pembiayaan yang bersifat wajib bagi kaum Muslim ketika sumber pendapatan lainnya tidak mencukupi, bukan terus menerus.

Di dalam sistem Islam, terdapat pemasukan besar dari zakat yang masuk ke kas pendapatan baitul mal kaum muslim yang akan dibelanjakan untuk delapan golongan yang berhak menerima zakat. Juga terdapat pendapatan dalam jumlah besar dari kepemilikan umum seperti minyak, gas, batubara, barang tambang untuk memenuhi belanja negara. Mestinya dengan adanya potensi berlimpah itu negara tidak boleh mewajibkan berbagai macam pajak kepada masyarakat umum. Rasulullah Saw. telah memperingatkan siapa saja yang memungut pajak itu dan mengancamnya dengan Neraka. Rasul Saw. bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
“Tidak akan masuk Surga orang yang memungut cukai/pajak.” (HR. Ahmad dan Ad Darimy)

Khilafah juga tidak akan menetapkan biaya apapun dalam pelayanan publik, seperti biaya kesehatan, pendidikan termasuk pelatihan, dan keamanan. Semuanya diberikan dengan gratis, dan terbaik. Begitu juga negara tidak akan memungut biaya-biaya administrasi seperti biaya pembuatan SIM, KTP, KK, proses peradilan, biaya kir (pemeriksaan kendaraan), dan sebagainya. Karena semuanya itu sudah menjadi kewajiban negara kepada rakyatnya. Paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-ummah (mengurus urusan umat) bukan paradigma bisnis, untung dan rugi.

Dalam menjamin penerapan hukum-hukum Syariah untuk mencegah kedzaliman maka negara Khilafah dengan Qadhi Hisbah-nya akan memastikan:
(1) Mobil taksi dikemudikan oleh sopir yang berkemampuan. Negara akan mewajibkan bahwa seorang sopir mobil telah menjalani pelatihan dan telah lulus ujian kemampuan mengendarai mobil sehingga mendapatkan surat izin mengemudi.
(2) Mobil taksi telah lulus uji kelayakan kendaraan. Mobil yang tidak layak diduga kuat dapat menimbulkan bahaya. Rasul Saw. bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh ada dharar (bahaya) dan tidak boleh ada yang membahayakan.” (HR. Ibn Majah, Ahmad, ad-Daraquthni)
(3) Taximeter atau argo -yaitu alat yang dipasang pada taksi yang menghitung ongkos jasa taksi berdasarkan jarak yang ditempuh maupun kombinasi jarak dan waktu tunggu- yang digunakan taksi mendapatkan pemeriksaan mengenai keakuratannya sehingga tidak terjadi kedzaliman. Rasul Saw. bersabda:
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى
“Siapa yang menipu maka ia bukan bagian dari golongan kami.” (HR. Muslim)
لا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلا بِطِيبِ نَفْسِهِ
“Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaannya.” (HR. Ahmad, al-Baihaqi dan ad-Daraquthni)

Tarif jasa taksi harus jelas di awal bagi penyedia jasa maupun konsumen sehingga transaksinya diridhoi kedua pihak, tidak fasid/rusak.
Diriwayatkan dari Abi Sa’id:
نَهَى عَنْ اِسْتئجَارِ الأَجِيْر حَتّى يَتَبَيّنَ لَهُ اَجْرهُ
“Bahwa Nabi Saw. melarang mengontrak seorang ajiir hingga upahnya jelas bagi ajiir tersebut.” (HR. Imam Ahmad)

Taksi biasanya menggunakan mobil berjenis sedan serta minibus/ van yang berkapasitas penumpang antara 4 hingga 6 orang. Dari segi bentuk kendaraannya dapat diketahui bahwa taksi termasuk transportasi ruang privat di mana hanya penumpang yang menyewa taksi saja yang bisa memanfaatkannya dan mencegah orang lain untuk ikut menumpang taksi yang disewa. Hal ini berbeda dengan bus kota di mana siapapun yang ingin menggunakan jasa bus bisa ikut naik bus.

Dalam hal ruang privat maka berlaku hukum-hukumnya. Di antaranya:
Dilarang ber-khalwat misalnya sopir taksi adalah laki-laki sementara penumpangnya seorang perempuan bukan mahram. Namun boleh jika perempuan itu disertai mahramnya maupun suaminya atau bersama-sama dalam jamaah perempuan yang saling menjaga yang terdiri dari minimal 3 perempuan di dalam mobil.
Khalwat artinya adalah bertemunya dua lawan jenis secara menyendiri (al-ijtimâ’ bayna itsnayni ‘ala infirâd) tanpa adanya orang lain selain keduanya di suatu tempat; misalnya di tempat sepi, rumah, termasuk di dalam mobil. Khalwat diharamkan berdasarkan hadits Nabi Saw.:
“Janganlah sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali wanita itu disertai dengan mahram-nya.” (HR. al-Bukhari)

Demikian pula seorang sopir perempuan tanpa mahram dilarang berpenumpang seorang laki-laki.

Interaksi pria-wanita seharusnya merupakan interaksi umum, bukan interaksi khusus.
Interaksi khusus yang tidak dibolehkan ini misalnya pria dan wanita yang bukan mahram-nya mengobrol hal-hal yang bukan merupakan keperluan yang syar’i, pergi bertamasya bersama, saling bersentuhan. Tidak dibolehkan pula penumpang taksi adalah laki-laki dan perempuan yang bukan mahram sebab itu merupakan campur-baur dalam ruang privat tanpa keperluan syar’i.

Jika seorang perempuan yang akan bepergian menggunakan taksi tidak mendapatkan mahram ataupun tidak bersama jamaah perempuan maka negara maupun swasta bisa menyediakan jasa taksi khusus perempuan.

Demikianlah, Islam merupakan panduan yang lengkap untuk umat manusia. Sebagaimana Allah Swt. dahulu memerintahkan Nabi Dawud as. untuk menerapkan hukum-hukum dari-Nya:
يَا دَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Wahai Daud sesungguhnya kami menjadikan engkau sebagai Khalifah di bumi maka hukumilah manusia dengan kebenaran dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu sehingga ia menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (QS. Shad [38]: 26)
demikian pula Allah Swt. memerintahkan Nabi Muhammad Saw. dan umatnya untuk menerapkan hukum yang berasal dari wahyu Allah termasuk dalam kebijakan negara. Firman Allah SWT:
﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِن الْحَقِّ﴾
“Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. al-Maidah [5]: 48)

Daftar bacaan:
hizbut-tahrir.or.id/2013/08/30/al-uqubat/
hizbut-tahrir.or.id/2010/02/09/bolehkah-wanita-berkendaraan-dengan-sopir-pribadi/
hizbut-tahrir.or.id/2010/11/02/ht-pakistan-pemaksaan-pajak-lalim-oleh-pemerintah-adalah-haram/
hizbut-tahrir.or.id/2010/02/25/islam-memuliakan-pekerja-rumah-tangga-prt/
hizbut-tahrir.or.id/2015/12/24/kebijakan-khilafah-dalam-urusan-pajak/
hizbut-tahrir.or.id/2012/08/23/tidak-boleh-ada-dharar/
Terjemahan An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm

Disusun oleh Annas I. Wibowo, SE

Sabtu, 16 April 2016

Rasulullah SAW menyerahkan al-liwa' kepada komandan divisi


 


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَ لِوَاؤُهُ أَبْيَضُ
“Sesungguhnya Rasulullah Saw. memasuki Kota Makkah pada saat pembebasan Makkah, sementara al-liwâ’ beliau berwarna putih.” (HR. Ibn Majah, dari Jabir)
Keberadaan Rasulullah Saw. pada saat pembebasan Kota Makkah adalah sebagai panglima militer. (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 213)

Secara bahasa, masing-masing dari al-liwâ’ dan ar-râyah digunakan untuk kata al-‘alam, yang artinya bendera. Di dalam Al-Qâmûs al-Muhîth, pada materi (mâddah) “rayaya” dinyatakan bahwa râyah adalah al-‘alam (bendera). Bentuk jamak (plural) dari râyah adalah râyât. (Al-Fairuzabadi, Al-Qâmûs al-Muhîth, hlm. 689)

Rasulullah Saw. juga menyerahkan al-liwâ’ kepada para komandan divisi yang dia kirim. Dalam kitab ‘Uyûn al-Atsar fî Funûn al-Maghâzî wa asy-Syamâ’il wa as-Siyar, karya al-Imam al-Hafidz Abu al-Fath, yang dikenal dengan Ibn Sayyidunnas (w. 734 H), antara lain dikisahkan: Pada hari Senin malam Selasa, 26 Shafar 11 H, Rasulullah Saw. memerintahkan para Sahabat untuk bersiap memerangi (militer) Romawi. Ketika pagi hari, Rasulullah Saw. memanggil Usamah bin Zaid. Rasulullah Saw. lalu bersabda kepada Usamah, “Pergilah ke tempat ayahmu terbunuh. Pimpinlah pasukan berkuda dan pasukan ini telah aku serahkan kepada kamu…” Pada hari Rabu Rasulullah Saw. mulai merasakan sakit…Pada hari Rabu pagi Rasulullah Saw. menyerahkan sendiri al-liwâ’ langsung kepada Usamah. Lalu Rasulullah Saw. bersabda, “Berperanglah dengan nama Allah dan di jalan Allah. Kemudian bunuhlah siapa saja yang mengingkari Allah.” Kemudian Usamah keluar dengan membawa al-liwâ’ yang diberikan oleh Rasulullah Saw…” (Sayyidunnas, ‘Uyûn al-Atsar fî Funûn al-Maghâzî wa asy-Syamâ’il wa as-Siyar, II/369)

Ketika Rasulullah Saw. menjadi panglima militer di Khaibar, beliau bersabda:
لأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ أَوْلَيَأْخُذَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُولُهُ أَوْ قَالَ يُحِبُّ الله َوَرَسُولَهُ يَفْتَحُ اللهُ عَلَيْهِ فَإِذَا نَحْنُ بِعَلِيٍّ وَمَا نَرْجُوهُ فَقَالُوا هَذَا عَلِيٌّ فَأَعْطَاهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّايَةَ فَفَتَحَ اللهُ عَلَيْهِ
“Sungguh besok aku akan menyerahkan ar-râyah atau ar-râyah itu akan diterima oleh seorang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya atau seorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah akan mengalahkan (musuh) dengan dia.” Tiba-tiba kami melihat Ali, sementara kami semua mengharapkan dia. Mereka berkata, “Ini Ali.” Lalu Rasulullah Saw. memberikan ar-rayah itu kepada Ali. Kemudian Allah mengalahkan (musuh) dengan dia.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Saat itu Ali karramalLâhu wajhah merupakan seorang komandan batalion atau detasemen. (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 214; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 169)



Khilafah Islam, secara qath’i, pernah berdiri. Khilafah adalah satu-satunya bentuk negara dan sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad Saw. Nabi-lah yang mendirikan negara Islam yang pertama yang pada awalnya hanya sebatas Madinah, dengan bentuk dan sistemnya yang khas. Bentuk dan sistemnya yang khas inipun kemudian diwariskan kepada para sahabat ridhwanullah ‘alaihim. Inilah Negara Khilafah.
Karena itu, mengingkari Khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam, dan menolak kewajiban untuk menegakkannya bukan hanya membawa dosa besar bagi pelakunya, tetapi bisa mengancam akidahnya. Karena jelas-jelas telah mengingkari apa yang secara mutawatir dipraktekkan oleh Nabi saw. Juga mengingkari apa yang secara mutawatir disepakati dan dipraktekkan oleh para sahabat Nabi Saw. Sikap ini seperti orang yang mengingkari kewajiban shalat, puasa, zakat, haji dan jihad.
Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang diwajibkan oleh Tuhan semesta alam. Di dalam sistem Khilafah ini, Khalifah diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah.

Buku ini disusun oleh: Annas I. Wibowo
4 Maret 2016
Daftar bacaan:
hizbut-tahrir.or.id
mediaumat.com

BUKU Kewajiban Syariah Islam

BUKLET Ulama Dan Hizbut Tahrir KUMPULAN TESTIMONI


Beberapa buku yang telah diterbitkan oleh Hizbut Tahrir
(sebagian bisa diunduh di hizbut-tahrir.or.id)

  1. Kitab Nizhâm al-Islâm (Peraturan Hidup Dalam Islam)
  2. Kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm (Sistem Pemerintahan Islam)
  3. Kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam)
  4. Kitab An-Nizhâm al-Ijtimâ‘î fî al-Islâm (Sistem Pergaulan Pria-Wanita Dalam Islam)
  5. Kitab At-Takattul al-Hizbî (Pembentukan Partai Politik)
  6. Kitab Mafâhm Hizbut Tahrîr (Pokok-Pokok Pikiran Hizbut Tahrir)
  7. Kitab Ad-Dawlah al-Islamiyyah (Daulah Islam)
  8. Kitab Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah (Kepribadian Islam, tiga jilid)
  9. Kitab Mafâhîm Siyâsah li Hizbut Tahrir (Pokok-Pokok Pikiran Politik Hizbut Tahrir)
  10. Kitab Nadharât Siyâsiyah li Hizbut Tahrir (Beberapa Pandangan Politik Menurut Hizbut Tahrir)
  11. Kitab Muqaddimah ad-Dustûr (Pengantar Undang-Undang Dasar Negara Islam)
  12. Kitab Al-Khilâfah (Khilafah)
  13. Kitab Kayfa Hudimat al-Khilâfah (Dekonstruksi Khilafah: Skenario di Balik Runtuhnya Khilafah Islam)
  14. Kitab Nizhâm al-‘Uqûbât (Sistem Peradilan Islam)
  15. Kitab Ahkâm al-Bayyinât (Hukum-Hukum Pembuktian Dalam Pengadilan)
  16. Kitab Naqd al-Isytirâkiyyah al-Marksiyah (Kritik Atas Sosialisme-Marxis)
  17. Kitab At-Tafkîr (Nalar Islam: Membangun Daya Pikir)
  18. Kitab Al-Fikr al-Islâmî (Bunga Rampai Pemikiran Islam)
  19. Kitab Naqd an-Nadhariyah al-Iltizâmi fî Qawânîn al-Gharbiyyah (Kritik Atas Teori Stipulasi Dalam Undang-Undang Barat)
  20. Kitab Nidâ’ Hâr (Seruan Hangat Dari Hizbut Tahrir Untuk Umat Islam)
  21. Kitab As-Siyâsah al-Iqtishâdhiyyah al-Mutsla (Politik Ekonomi Islam)
  22. Kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Dalam Negara Khilafah)

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam