Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 27 Februari 2021

Bagaimana Memperlakukan Para Pengkhianat Dan Pembantai Umat Islam, Setelah Khilafah Tegak?



Pengkhianat dalam beberapa ayat Al-Qur’an senantiasa diposisikan sebagai orang yang dibenci oleh Allah SWT. Seperti dalam beberapa surat berikut:
”Dan janganlah kamu berdebat -untuk membela- orang-orang yang mengkhianati dirinya, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang banyak berkhianat dan berlumur dosa” (TQS. An-Nisaa':107).
”Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pengkhianat” (Al-Anfaal: 58).
”Tidaklah makar jahat itu akan menimpa, kecuali kepada pelakunya sendiri” (TQS. Fathir: 43).

Dalam rentang sejarah pun para pengkhianat menjadi penyebab dibantainya umat Islam. Hal ini bisa ditelusuri bagaimana ibukota kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad hancur lebur dan banjir darah disebabkan seorang pengkhianat bernama Muayyaduddin Ibnul 'Alqami, seorang perdana menteri Khalifah al-Mu'tashim Billah yang bekerja sama dengan Hulaghu Khan dengan janji jabatan untuk menghancurkan Baghdad. Begitupun tiga orang pengkhianat bernama Yusuf bin Kamasyah dan Abul Qasim al-Malih, serta satu tokoh agama bernama al-Baqini yang dengan hina menyerahkan kekuasaan Granada kepada Raja Fernando 3 dan Ratu Isabella untuk dihancurkan dan diserahkan kepada kerajaan Kristen hanya demi harta dan jabatan.

Dampak adanya pengkhianatan sangat dahsyat terhadap umat Islam. Sekitar 400.000 orang lebih terbunuh di Ibukota Khilafah Abbasiyah pada saat pembantaian oleh pasukan Mongol. Begitupun di Spanyol, umat Islam nyaris bersih tak tersisa kecuali hanya bangunan dan beberapa saja yang selamat dari pembantaian umat Kristen. Sekali lagi, ini karena pengkhianatan.

Perlakuan terhadap Pengkhianat

Pengkhianatan bisa saja dilakukan oleh Muslim ataupun kafir (ahlu dzimmah, ahlu musta'min). Berkhianat merupakan tindakan yang haram. Bahkan diposisikan sebagai ahlu bughat (pembangkang). Sebagaimana diharamkan bagi seluruh kaum Muslimin bersekongkol dengan orang kafir untuk memerangi kaum Muslimin, baik secara individu maupun negara. Sebab, jika seorang Muslim memerangi seorang Muslim lainnya diharamkan, maka pengharaman bersekongkol dengan orang kafir untuk memerangi kaum Muslimin lebih berat lagi.

Allah SWT menggambarkan pembunuhan seorang Muslim terhadap Muslim yang lain sebagai kekafiran karena begitu besar dosanya. Rasulullah SAW bersabda, "Mencela seorang Muslim adalah fasik, sedangkan membunuh seorang Muslim adalah kekafiran.” Oleh karena itu, isti'anah dengan orang kafir untuk memerangi kaum Muslimin lebih berat.

Akan tetapi, walaupun hal ini diharamkan, namun hal ini tidak mengeluarkan eksistensi keimanan ahlu bughat. Hukum Allah bagi hak mereka tidak berubah. Mereka tetap dianggap bughat dan mendapat perlakuan sebagai ahlu bughat meskipun mereka bersekongkol dengan orang-orang kafir.

Sedangkan bagi ahlu dzimmah dianggap berkhianat jika mereka membatalkan perjanjian di antara mereka dengan daulah ketika ada. Namun ketika daulah Islam tidak ada seperti saat ini, maka posisi orang kafir dianggap masih sebagai ahlu dzimmah bagi mereka yang berketurunan ahlu dzimmah. Ketika daulah Islam masih ada dahulu. Sehingga perjanjiannya masih berlaku hingga saat ini, dan batalnya perjanjian yang dilakukan saat ini berimplikasi terhadap mereka setelah nanti Daulah Khilafah tegak kembali.

Ibn al-Qayyim mengemukakan delapan perkara mengenai hukum-hukum ahlu dzimmah yang wajib tidak dilakukan oleh mereka, jika mereka melakukannya maka batal perjanjiannya. Kedelapan hal tersebut adalah:
(1) Membantu memerangi kaum Muslim
(2) Membunuh kaum Muslim dan Muslimah
(3) Membegal kaum Muslim di jalan
(4) Memberi tempat kepada mata-mata (musuh)
(5) Membantu kaum kafir untuk memerangi kaum Muslim, baik dengan panduan ataupun tulisan mengenai informasi kaum Muslim
(6) Menzinahi Muslimah
(7) Menyetubuhi wanita Muslimah atas nama pernikahan
(8) Memfitnah kaum Muslimin agar meninggalkan agamanya
Kemudian Ibn al-Qayyim menambahkan empat lagi yaitu; jika Ahlu Dzimmah menyebut nama Allah, kitab-kitab-Nya (al-Qur’an), agama-Nya dan menyebut Rasul-Nya SAW dengan sebutan yang tidak layak.

Jika ahlu dzimmah mengabaikan kedua belas hal di atas, maka mereka telah membatalkan jaminan keamanan, baik semuanya tadi dinyatakan sebagai syarat dalam perjanjian ataupun tidak.

Konsekuensi hukuman atas pengkhianatan perjanjian bagi ahlu dzimmah dibagi menjadi lima keadaan:

1. Jika mereka (ahlu dzimmah) mengangkat senjata terhadap kaum Muslimin karena terlibat dengan bughat (pemberontakan), maka mereka akan diperangi oleh khalifah sebagai ahlu bughat.

2. Jika mereka mengangkat senjata terhadap kaum Muslimin yang melakukan bughat dalam rangka membela Daulah Islam, maka Perjanjian mereka tidak batal.

3. Jika mereka mengangkat senjata untuk membegal di jalanan, maka mereka akan diperlakukan sebagaimana tindakan kriminal yang dilakukan oleh umat Islam dalam hal hukuman bagi pembegal.

4. Jika mereka mengangkat senjata tidak terlibat bughat maupun musuh (kafir harbi), maka mereka akan diperangi sebagaimana memerangi ahlu harb.

5. Jika mereka mengangkat senjata memerangi umat Islam karena bergabung dengan kaum kafir harb, maka mereka akan diperangi sebagai kaum kafir harb.

Khalifah bisa memperlakukan para pengkhianat yang menjadi sebab dibantainya umat Islam dengan dua cara: pertama, bagi seorang Muslim yang membantu orang kafir membunuhi umat Islam, maka akan dikenai hukuman bughat.

Kedua, bagi kafir harbi yang bersama dengan ahlu bughat harus diperangi dengan pemerangan yang sebenarnya, dan berjihad melawan mereka dengan jihad yang bersifat syar'iyyah, serta memerangi mereka dengan peperangan yang tanpa kompromi. Bagi mereka ditegakkan kondisi perang, dan memperlakukan mereka yang kena tawan sebagai tawanan, dan diberlakukan bagi mereka hukum-hukum tawanan.

Mereka dikenai seluruh hukum jihad, serta seluruh hukum yang dikenakan kepada ahlu harbi. Demikian pula jika orang-orang kafir tersebut adalah kafir musta'min. Sebab, jika mereka bersekongkol dengan ahlu bughat, pada dasarnya mereka (kafir musta'min) telah melepaskan perjanjiannya, sehingga mereka berubah menjadi ahlu harbi. Akan tetapi hal itu bisa dijatuhkan kepada mereka jika mereka (kafir musta'min) melakukan hal tersebut berdasarkan pilihan dan ketertundukan mereka. Yaitu, jika mereka bersekongkol dengan ahli bughat karena pilihan mereka.

Adapun jika mereka (kafir musta'min) bersekongkol dengan ahlu bughat karena paksaan, takut siksaan dan ancaman mereka, otomatis kafir musta'min diperlakukan sebagai bughat bukan perlakuan muharibin [layaknya kafir harbiy].
Adapun jika orang-orang kafir yang bersekongkol dengan ahlu bughat adalah kafir dzimmiy maka persekongkolan dengan ahlu bughat tidak mengeluarkan eksistensi mereka sebagai ahlu dzimmah, baik persekongkolannya atas pilihan [sendiri] atau paksaan. Sebab, kafir dzimmi adalah bagian dari warga Daulah Islamiyah. Oleh karena itu, kafir dzimmi dikenai hukum bughat. Mereka diperangi dengan pemerangan yang bersifat edukatif, bukan dengan agresi militer.
Wallahu'alam.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 195
---

Jumat, 26 Februari 2021

Keluarga Tangguh Sejak Pranikah



Indonesia darurat ketahanan keluarga. Menteri Agama Lukman Hakim bereaksi, karena peningkatan angka perceraian rata-rata mencapai 10 hingga 15% di seluruh Indonesia. ”Karena itu, laki-laki harus tahu fungsi suami dan perempuan paham fungsi istri," tegasnya dalam situs kemenag.go.id

Nah, untuk mengatasi persoalan tersebut, solusi yang ditawarkan adalah mewajibkan pasangan yang akan nikah untuk mengantongi sertifikat pranikah. ”Yang akan menikah harus memiliki sertifikat kursus pra-nikah," kata Menag, (10/11/2016) lalu dalam pembukaan Mukernas I MUI Pusat, di Hotel Mercure, Ancol, Jakarta Utara.

Tentu saja, solusi ini hanya parsial. Tidak akan mampu mewujudkan ketahanan keluarga hanya dengan kursus singkat yang menjelaskan fungsi suami-istri. Karena, persoalan mendasar gagalnya kerumahtanggaan, bukan sekadar gagal pahamnya suami-istri dalam memainkan peran. Lebih dari itu, ada campur tangan negara dengan sistem kehidupannya yang menyebabkan suami-isteri tak berdaya menjalankan fungsi idealnya.

Keluarga Liberal = Keropos

Perceraian bukan satu-satunya problem kerapuhan keluarga-keluarga Indonesia. Kondisi keluarga utuh pun, keropos di dalamnya. Bersatu memang, ayah-ibu ada, anak tampak baik-baik saja. Tetapi tiba-tiba meledak kasus-kasus seperti: suami menembak istri, istri bunuh diri, ibu bunuh anak, ayah-ibu mengajak anak bunuh diri, ayah memperkosa anak, anak memperkosa ibu, anak hamil di luar nikah, ibu jual anak, dan sebagainya. Keluarga macam apa ini? Itu adalah keluarga sekuler yang cenderung liberal. Potret keluarga yang cenderung mengadopsi nilai-nilai liberal sebagai pondasi, hingga menghasilkan keluarga keropos. Kelihatannya utuh, ayah ada, ibu ada, anak-anak tampak baik baik saja. Tetapi di dalamnya kering akan nilai-nilai kekeluargaan. Kerontang dari akidah dan syariah Islam.

Keluarga liberal bercorak materialistis. Mengutamakan kebutuhan materi dibanding kebutuhan non-materi. Keluarga liberal lebih banyak menghabiskan uang dan waktunya untuk memenuhi kesenangan jasmani. Merasa cukup dan bahagia jika materi tercukupi. Tetapi, batin tersiksa. Tidak pernah merasa puas. Jenuh. Stres. Selalu haus mencari kebahagiaan lain, pelampiasan lain dan berujung pada kehancuran.

Pendidikan Berbasis Islam

Perhatian terhadap ketahanan dan ketangguhan keluarga jangan sampai baru dimulai setelah kasus perceraian merebak. Terlebih lagi jika perhatiannya sekadarnya saja. Padahal perceraian itu hanya puncak dari kegagalan pemerintah republik dalam memilih sistem hidup yang menjamin ketahanan keluarga. Sistem yang komprehensif, mencakup aspek pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan pemerintahan.

Aspek pendidikan misalnya, di mana kurikulum sekuler justru mendidik dengan pemahaman yang sesat tentang makna keluarga. Seperti menanamkan nilai-nilai emansipasi pada anak didik, sehingga kaum wanita terdorong mengejar karier, meskipun harus melawan suami dan fitrahnya sendiri.

Diajarkan pula kurikulum kesehatan reproduksi ala liberal, yang mengajarkan wanita berhak atas organ reproduksinya sendiri, berhak menolak hamil meski atas permintaan suami, dll. Padahal inilah pemicu liberalnya wanita, liberalnya keluarga dan berujung hancurnya rumah tangga.

Idealnya, pembentukan keluarga yang kokoh dimulai sejak dini, melalui proses pendidikan berbasis akidah Islam. Dari pendidikan yang ditempuh, pola pikir dan pola sikap terbentuk. Kepribadian atau syakhsiyah Islam terwujud sehingga menjadi pribadi yang tangguh. Pribadi yang agamis, Islami dan menomorsatukan nilai-nilai spiritual, jauh dari nilai-nilai liberal.

Pribadi seperti ini juga akan melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga dengan visi akhirat, bukan duniawi semata. Mencari pasangan satu visi, satu akidah. Maka ia akan membentuk keluarga ideologis yang tangguh.

Cegah Kerapuhan

Dalam Negara Khilafah Islam, upaya yang dilakukan untuk mencegah kerapuhan keluarga dan mewujudkan keluarga-keluarga yang tangguh antara lain:

Pertama, terapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam untuk membentuk kepribadian mulia, jauh dari nilai liberal. Siapkan generasi muda agar kelak membangun keluarga dengan visi akhirat, yakni melahirkan generasi penerus yang berguna bagi umat, bangsa dan agama.

Kedua, tegakkan sistem sosial yang memisahkan dengan tegas interaksi laki-laki dan perempuan. Karena itu, negara wajib melarang segala event berbentuk campur-baur laki-laki-perempuan. Misalnya konser musik, pertunjukan bioskop/movie box, dll.

Ketiga, haramkan dan larang pacaran. Beri sanksi tegas bagi pelakunya. Pacaran adalah pintu perzinaan. Banyak keluarga yang dibangun didahului pacaran malah bubar, karena kemesraan telanjur diumbar saat belum halal, terbiasa melanggar syariat.

Keempat, haramkan dan berangus hingga akarnya segala bentuk pornografi dan rangsangan syahwat di ranah publik. Tegakkan regulasi ketat terhadap media massa yang dijadikan sarana penyebaran kemaksiatan. Keterbukaan informasi telah mengganggu keharmonisan keluarga, disebabkan besarnya godaan dari berbagai media.

Kelima, permudah lapangan pekerjaan bagi laki-laki baligh. Anak laki-laki yang sudah baligh, harus didorong dan diberi kesempatan untuk bekerja dan mencari nafkah. Jangan dimanjakan dengan dianggap masih anak-anak. Kerja keras sejak dini membentuk mental baja saat sudah berkeluarga.

Keenam, jamin kesejahteraan keluarga sehingga tidak ada alasan untuk bercerai karena persoalan ekonomi. Murahkan segala kebutuhan keluarga dengan sistem ekonomi Islam.

Ketujuh, permudah pernikahan dan persulit perceraian. Pintu pernikahan harus dipermudah agar tidak merajalela pergaulan bebas. Sementara itu, perkuat pendidikan bagi keluarga-keluarga, baik pendidikan untuk ayah maupun ibu, agar terus terjadi keharmonisan sehingga tidak mudah ketok palu perceraian.

Tegakkan Sistem Islam

Mewujudkan ketahanan keluarga di tengah sistem bukan-Islam demokrasi, masih jadi pekerjaan rumah yang berat bagi umat. Karena, kehancuran keluarga melanda berbagai strata. Mulai kalangan bawah hingga atas banyak keluarga bubrah. Semua itu karena negara menerapkan pondasi salah sekulerisme. Padahal, negara adalah tiang penyangga (soko guru) tegaknya keluarga-keluarga tangguh. Maka tidak ada kata lain, negara harus diganti pondasi sekulerismenya dengan pondasi Islam. Hanya dengan cara itu ketahanan keluarga akan siap menghadapi tantangan zaman, baik di dunia maupun akhirat.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 186
---

Kamis, 25 Februari 2021

Di Balik Wacana Sertifikasi Ulama



Ada Apa?

Usulan sertifikasi ulama digulirkan pemerintah. Adalah Menteri Agama Lukman Hakim yang melontarkan gagasan tersebut. Di hadapan wartawan ia mengemukakan alasannya, "Banyak sekali yang menyampaikan bahwa terkadang beberapa masjid, khatib (penceramah) lupa menyampaikan nasihat yang semestinya, kemudian isi khutbah malah mengejek bahkan menjelek-jelekkan suatu kelompok yang bertolak belakang dengan nasihat," kata Lukman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta (31/01/2017).

Lukman mengatakan program sertifikasi para ulama dan khatib itu diserahkan kepada ormas-ormas Islam dan para ulama, sedangkan Kemenag atau pemerintah hanya menjadi fasilitator saja.

Seperti hendak berkelit, Menag menyebutkan program ini bukan kebijakan pemerintah, tapi usulan pihak lain. "Yang harus digarisbawahi, ini bukan kebijakan pemerintah. Ini baru gagasan yang lalu direspons oleh Kementerian Agama karena kami harus responsif terhadap aspirasi masyarakat," papar Lukman.

Lukman menambahkan, nantinya khutbah Jumat diharapkan mengarah pada ajaran Islam rahmatan lil alamin yang moderat. Sebab, kata Lukman, semua agama yang berkembang di Indonesia berpaham moderat, bukan ekstrem.

Pernyataan Menteri Agama segera direspon keras oleh banyak kalangan. Mulai dari tokoh Islam, anggota DPR hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla. Aliansi Ulama Madura (AUMA) misalnya menolak keras program sertifikasi khatib dan ulama dan menilainya lebih banyak negatifnya ketimbang manfaatnya. Sedangkan Wapres menyatakan bahwa kebijakan ini sulit dilakukan karena banyaknya jumlah masjid dan banyaknya jumlah mubaligh serta khatib di tanah air. Apalagi banyak masjid di tanah air yang dibangun swadaya masyarakat.

Anehnya, beberapa hari kemudian pihak Kementerian Agama justru membantah adanya rencana sertifikasi khatib dan ulama. Kepala Pusat informasi dan Humas (Pinmas) Kementerian Agama Mastuki memastikan bahwa info sertifikasi khatib yang viral melalui media sosial adalah berita bohong alias hoax. Penegasan ini disampaikan oleh Mastuki menyusul beredarnya informasi seputar hal teknis penyelenggaraan sertifikasi khatib. Meskipun ia tak menampik bahwa Kementerian Agama sedang mempertimbangkan untuk melakukan standarisasi khatib Jumat sebagai respons permintaan masyarakat.

Maka pertanyaannya adalah masyarakat mana yang dimaksud pihak Kemenag dan Pak Menteri? Karena ternyata lebih banyak kalangan yang menolak wacana sertifikasi tersebut ketimbang yang menerimanya.

Satu-satunya suara yang terdengar mendukung datang dari fraksi PDI-P di DPR. Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PDIP yang membidangi sosial dan keagamaan, Samsu Niang mengatakan, dalam rangka untuk pendataan ulama, sertifikasi ulama menurutnya perlu dilakukan. Hal ini guna mengetahui kapabilitas, integritas para ulama itu.

Entah berkaitan atau tidak dengan wacana sertifikasi ulama, pihak kepolisian Jawa Timur juga melakukan langkah yang mengundang kontroversi, yakni pendataan ulama. Meski ada sebagian kecil ulama dan pesantren yang tidak keberatan, tapi lebih banyak yang kemudian merasa resah bahkan marah dengan pendataan tersebut. Langkah ini juga dikecam oleh Komisi VII DPR RI dengan menyatakan bahwa hal itu bukan kewenangan kepolisian, tapi Kementerian Agama.

Melumpuhkan Ulama

Wacana program sertifikasi ulama dan khatib dulu sudah pernah diusulkan oleh BNPT. Saat itu Direktur Deradikalisasi BNPT, Irfan Idris, mewacanakan sertifikasi dai dan ustadz. Menurutnya, dengan sertifikasi maka pemerintah dapat mengukur sejauh mana peran ulama dalam menumbuhkan gerakan radikal sehingga dapat diantisipasi.

Usulan yang ditentang keras oleh ormas Islam dan tokoh-tokoh Islam nampaknya ingin diulang oleh pemerintah melalui Kementerian Agama. Kalau dulu dengan dalih mencegah radikalisme dan terorisme atas nama agama, kali ini kelihatannya ditujukan untuk menjinakkan ghirah umat pasca pelecehan Al-Qur’an oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Penistaan Al-Qur’an oleh Ahok yang direspon dengan kemarahan umat dan berujung pada aksi kolosal 411 dan 212 tahun lalu, membuat gerah sejumlah pihak. Ada kekhawatiran umat mulai muncul nalar kritis terhadap persoalan politik. Karena sasaran kemarahan publik bukan saja tertuju pada Ahok, tapi juga kepada parpol pengusung dan pendukungnya, kepada pemerintah yang dicap lamban dan tidak serius menangani kasus Ahok bahkan cenderung berpihak, juga menguatkan kecurigaan adanya taipan-taipan yang memodali Ahok.

Karenanya berbagai macam cara dilakukan untuk mereduksi hal ini seperti melontarkan isu anti kebhinekaan dan intoleran, dan membuat berbagai aksi tandingan. Namun semuanya gagal.

Langkah antisipasi yang kemudian dilakukan adalah menggulirkan sertifikasi khatib dan ulama. Merekalah kelompok pertama yang mesti dikendalikan dan dijinakkan oleh pemerintah, parpol dan kelompok-kelompok yang tidak suka dengan kelompok Islam politik. Bergeraknya umat pasca kasus pelecehan ayat Al-Qur’an, dimotori oleh para ulama, ustadz, dan mubaligh lewat berbagai khutbah, ceramah juga tulisan-tulisan.

Karenanya, selain akan menetapkan kualifikasi khatib dan ulama, program ini akan membuat batasan tema bagi para khatib dan mubaligh. Seperti kata Menag Lukman Hakim, tema yang harus diusung adalah Islam moderat.

Selanjutnya akan terjadi pembodohan politik dan deislamisasi secara masif lewat tema-tema khutbah atau ceramah yang mengajarkan Islam moderat. Umat semakin dijauhkan lagi dari kesadaran politik Islam dan dihapuskan ghirah keislamannya. Oleh sebab itu proyek ini patut untuk dilawan, karena membawa kemudlaratan besar pada umat. []iwan januar, anggota lajnah siyasiyah dpp

Kriminalisasi Pemikiran Islam di Singapura, Malaysia dan Turki

Kadaryono Hafizh Nursalam, 62 tahun, dijatuhi hukuman dengan RM900 (sekitar Rp2,7 juta) di Mahkamah Rendah Syariah Malaysia, karena kedapatan berceramah tanpa tauliah (surat pengangkatan/pelantikan) di sebuah surau di Senawang, awal bulan lalu.

Malaysia adalah salah satu negara yang dengan ketat memberlakukan sertifikasi ceramah untuk para mubaligh. Nekat berceramah tanpa surat izin, tauliyah namanya, siap-siap diganjar denda atau masuk penjara.

Singapura dan Turki juga negara yang memberlakukan hal yang sama. Bahkan Singapura lebih keterlaluan lagi. Materi khutbah harus menggunakan bahan yang telah disiapkan Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS). Berani melanggar, tauliyah akan dicabut. Belum lagi pemerintah Singapura mengawasi khutbah, ceramah dan kegiatan umat Islam di seantero negeri. CCTV dipasang di hampir setiap sudut. Undang-undang ISA (Internal Security Act) juga diberlakukan dan bisa dipakai untuk menjebloskan penceramah yang dianggap kritis pada pemerintah.

Kelihatannya pola seperti ini yang ingin ditiru oleh pemerintah Jokowi. Gerah karena setiap saat kebijakan ngawurnya dikritik umat Islam dan para ulama, digagaslah program sertifikasi ulama. Ngawur tenan. []ij/ls

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 191
---

Rabu, 24 Februari 2021

Peristiwa Penting Di Bulan Rajab



Pada bulan Rajab terdapat tiga peristiwa penting dalam sejarah umat Islam. Pertama, jelas Isra Mi'raj yang terjadi pada 27 Rajab. Ketika Rasulullah SAW diperjalankan Allah SWT dari Masjidil Haram (di Makkah), menuju ke Masjid al-Aqsha di Palestina, hingga dinaikkan ke langit mencapai Sidratul Muntaha. Dalam peristiwa Isra' Mi'raj ini, banyak pelajaran yang bisa kita ambil, terutama terkait dengan keimanan bahwa Allah SWT adalah Maha Kuasa untuk melakukan apapun. Termasuk memperjalankan hamba-Nya, Rasulullah SAW, dalam satu malam dari Masjid Haram ke Masjid al-Aqsha, hingga langit yang tertinggi, dan kembali lagi hanya dalam satu malam.

Peristiwa ini sekaligus memberikan optimisme dan kayakinan kepada kita dalam perjuangan ini, dengan sifat-Nya yang Maha Kuasa, tidak ada yang tidak mungkin terjadi. Termasuk kembali memberikan kemenangan dan kekuasaan kepada umat Islam dengan kembalinya Khilafah Islam. Hal ini ditegaskan Allah SWT dalam firman-Nya: “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (TQS. Ali Imran: 26)

Peristiwa penting kedua di bulan Rajab adalah pembebasan Masjid Al-Aqsha oleh Panglima perang Shalahuddin al-Ayyubi. Pasukan umat Islam pada 27 Rajab 583 H berhasil mengepung dan membebaskan tanah Palestina, setelah beberapa abad dikuasai pasukan Salib. Shalahuddin berhasil membuktikan di hadapan Allah SWT kecintaannya kepada umat Rasulullah SAW, dengan membebaskan mereka dari penguasa yang zalim.

Tentara-tentara Islam saat itu, yang bergabung dari berbagai bangsa, suku, wilayah telah menunjukkan kecintaan mereka terhadap Allah SWT dengan perhatian mereka terhadap Masjid Al-Aqsha, tanah yang diberkati Allah SWT. Dengan nyata mereka mengusir penjajah Salibis dari negeri Islam yang mulia itu.

Perkara inilah yang sudah hilang dari penguasa-penguasa negeri-negeri Islam saat ini. Mereka tidak peduli lagi terhadap nasib umat Islam yang dibunuh, dibantai di berbagai belahan dunia. Tentara-tentara negeri-negeri Islam, tidak jarang justru menjadi pembantai bagi umat Islam sendiri, untuk melindungi tahta penguasa mereka yang menjadi boneka-boneka negara-negara imperialis.

Peristiwa ketiga, yang sering dilupakan pada bulan Rajab ini adalah dihapuskannya sistem khilafah pada 28 Rajab 1342 H (3 Maret 1924), oleh seorang pengkhianat umat terbesar Kamal at-Taturk la'natullah 'alaih yang bekerja sama dengan penjajah Inggris. Sejak saat itu umat Islam kehilangan negara khilafah yang pernah menjadi negara adidaya dunia yang disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan. Umat Islam kehilangan pelindung umat, yang sebelumnya berusaha keras untuk melindungi kaum Muslimin, tanah mereka, jiwa mereka, dan menjaga kehormatan dan kemuliaan Islam dan umat Islam. Umat Islam juga kehilangan sistem politik yang menyatukan umat Islam secara kokoh dan kuat.

Umat Islam pun kehilangan institusi politik yang menerapkan syariah Islam secara totalitas dalam level negara. Sehingga seluruh urusan umat Islam, baik ibadah, ekonomi, politik, hubungan luar negeri, keuangan, diatur berdasarkan syariah Islam saja. Bukan dengan hukum-hukum lain buatan umat manusia yang terbukti bathil, merusak, dan membawa penderitaan bagi umat ini.

Walhasil, setelah dihapuskan pada 28 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924, umat Islam hidup tanpa khilafah. Sejak itu, sebagian besar hukum syariah tidak dijalankan. Akibatnya, Islam sebagai rahmatan li al-‘alamin tidak terwujud dalam kehidupan. Maka, siapapun yang menginginkan Islam kembali menjadi rahmatan li al-'alamin, tidak ada pilihan lain kecuali mengembalikan Daulah Khilafah yang menerapkan syariah secara kaffah. Inilah jalan satu-satunya yang wajib kita tempuh. Bahkan bukan sekadar wajib atau fardhu, menegakkan khilafah adalah taj al-furudh (mahkota kewajiban), yang dengannya berbagai kewajiban lainnya dapat ditegakkan.

Inilah jalan yang mampu membebaskan kita dari dominasi, hegemoni, intervensi, dan segala bentuk penjajahan Amerika Serikat dan negara-negara kafir penjajah lainnya. Bahkan, inilah jalan yang dapat menghapuskan penjajahan dari seluruh dunia. Inilah jalan yang membuat kita dapat meraih predikat khairu ummah, sebaik-baik umat. Umat terbaik bagi manusia karena melaksanakan amar ma'ruf dan nahi munkar, serta benar-benar beriman kepada Allah SWT. Allahu Akbar!

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 172
---

Senin, 22 Februari 2021

Epidemi Kolera Di Yaman, Ulah Siapa?



Yaman sekarang menghadapi wabah kolera terburuk di dunia, menurut otoritas kesehatan internasional. "Hanya dalam dua bulan, kolera telah menyebar ke hampir semua wilayah di negara yang dilanda perang ini," kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia Margaret Chan dan Direktur Eksekutif UNICEF Anthony Lake dalam sebuah pernyataan bersama.

Badan Kesehatan Dunia atau WHO menyatakan wabah kolera yang melanda wilayah konflik Yaman telah menewaskan 1.500 penduduk. "Sejak April, ada sekitar 1.500 orang tewas dan 246 ribu penduduk sakit," kata Nevio Zagaria, perwakilan WHO di Yaman, seperti dikutip dari Al Jazeera, Ahad (2/7/2017).

Nevio menyatakan wabah epidemi itu telah menyerang 21 provinsi dari 22 provinsi di Yaman. Wabah ini meluas dengan cepat. Diperkirakan wabah ini telah meluas menjangkiti 200 ribu warga Yaman.

Dia mencurigai jumlah kasus kolera makin banyak sejak dua bulan terakhir. Penyakit kolera adalah infeksi saluran usus yang bersifat akut. Penyebabnya yakni bakteri Vibrio Cholerae. Bakteri ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang telah terkontaminasi sebelumnya.

Perwakilan UNICEF di Yaman, Sherin Varkey menambahkan bahwa seperempat korban jiwa adalah anak-anak. Wabah itu menjangkit dengan cepat, khususnya terhadap anak-anak. Sebelumnya, dua pekan lalu, WHO telah mengumumkan kolera telah mewabah dan bertambah dengan cepat.

Dari catatan UNICEF, wabah kolera di Yaman menjangkiti 5.000 orang per hari. PBB juga sebelumnya telah memperingatkan Yaman agar lebih mempedulikan kesehatan warganya.

”Buatan” Saudi dan Amerika

Kolapsnya lebih dari 80 persen fasilitas infrastruktur Yaman selama dua tahun dihantam konflik adalah pemicu utama merebaknya kolera di seantero negeri itu. WHO mengatakan, konflik yang dipicu oleh egoisme pihak-pihak yang berseteru di Yaman telah membikin krisis kemanusiaan terburuk dibanding Suriah. WHO membuat istilah "perfect storm for cholera” atau ”badai terburuk untuk kolera” menyebut kondisi Yaman hari ini.

Akibat perang, infrastruktur yang runtuh menyebabkan sekitar 14,5 juta orang -atau sekitar setengah dari penduduk negara tersebut- kesulitan untuk mendapatkan akses reguler air bersih. Hal ini meningkatkan kemungkinan penyebaran penyakit ini.

”Krisis itu adalah akibat perbuatan manusia,” kata Stephen O'Brien, Sekretaris Jenderal PBB yang membawahi sekretaris untuk urusan kemanusiaan dan koordinator bantuan darurat.

”Epidemi kolera sebagian disebabkan oleh pemboman terhadap pasokan air di Sana'a,” Senator Chris Murphy, D-Conn mengatakan.

Masalah di Yaman lebih buruk lagi mengingat isu kerawanan pangan dan gizi buruk yang semakin melebar, di mana 2,2 juta anak menderita kekurangan gizi akut.

Arab Saudi dan sekutunya sejak 2014 melancarkan serangan ke Yaman. Perang saudara itu membunuh lebih dari 10 ribu orang, selain kolera. Akibatnya ekonomi Yaman tak terkendali, kesehatan masyarakat tak terurus, dan banyak penduduk yang tewas karena sakit. Saat ini ada 11 persen dari total penduduk telah mengungsi.

Selama dua tahun terakhir, Yaman telah terlibat dalam perang sipil antara pemberontak Houthi dari utara negara tersebut dengan koalisi negara-negara Arab, yang dipimpin oleh Arab Saudi dan didukung oleh Amerika Serikat.

Perang yang dipimpin Saudi dan didorong oleh ambisi Amerika Serikat itu, telah membuat jutaan orang menjadi korban penyakit mematikan seperti kolera.

Pasukan koalisi Saudi telah menargetkan pertanian, fasilitas makanan, infrastruktur air, dan pasar. Pelabuhan Hudaidah, yang menjadi pintu masuk sebagian besar bantuan kemanusiaan pun tak luput jadi sasaran. Pemboman upacara pemakaman pada bulan Oktober 2016 yang menewaskan 150 orang tewas, menambah bukti kejahatan Saudi.

Keterlibatan Amerika sebagai penasihat di pusat kendali operasi udara koalisi pimpinan Saudi semakin memperparah keadaan yang ada. Dalam perjalanannya ke Saudi bulan Mei lalu, Trump meraih kesepakatan senilai $110 milyar yang akan digunakan untuk mengebom dan membunuh lebih banyak orang di Yaman.

Keluarga Saud berjanji pada Trump bahwa militer mereka akan menjalani pelatihan dari AS yang ketat untuk mengurangi jatuhnya korban sipil, dengan menandatangani program pelatihan senilai $750 juta. Sama seperti keluarga Saud yang mematuhi Inggris di masa lalu.

Hanya ada satu solusi untuk Yaman dan itu adalah untuk menentang agenda kolonial Barat di negeri itu melalui pendirian kembali khilafah rasyidah ala minhajin nubuwah. Sistem agung ini akan menggantikan penguasa-panguasa negeri Islam yang tak peduli dengan rakyatnya sendiri. []abu fatih

Kepentingan Amerika Di Yaman

Republik Yaman adalah sebuah negara di Jazirah Arab di Asia Barat Daya, bagian dari Timur Tengah. Yaman berbatasan dengan Laut Arab di sebelah selatan, Teluk Aden, dan Laut Merah di sebelah barat, Oman di sebelah timur dan Arab Saudi di sebelah utara. Orang-orang keturunan Arab di Indonesia sebagian besarnya berasal dari negara ini. Penduduk Yaman diperkirakan berjumlah sekitar 23 juta jiwa. Luas negara ini sekitar 530.000 km2 dan wilayahnya meliputi lebih dari 200 pulau. Pulau terbesarnya, Sokotra, terletak sekitar 415 kilometer dari selatan Yaman, di lepas pantai Somalia. Yaman adalah satu-satunya negara republik di Jazirah Arab.

Bagi Amerika dan bagi siapapun, Laut Merah dan Teluk Aden akan selalu merupakan sebuah kawasan terusan yang strategis. Lebih dari 30 persen semua minyak mentah dan lebih dari 10 persen perdagangan global melewati daerah ini. Amerika juga telah gagal untuk mendapatkan kemenangan di Somalia yang berada di seberang Negara Yaman dan memiliki garis pantai dengan Teluk Aden dan sebagai akibatnya memfokuskan penguasaan wilayah itu melalui laut.

Terlihat tampak kehadiran kapal-kapal perang asing di Teluk Aden dan di sepanjang garis pantai Somalia. Ada kapal-kapal perang dari Armada Kelima Angkatan Laut AS di kawasan itu. Komando Sentral Amerika Serikat mendirikan Wilayah Patroli Keamanan Laut (MSPA), suatu wilayah zona patroli tertentu di Teluk Aden pada bulan Agustus 2008. Walaupun perbatasan-perbatasannya adalah wilayah yang sempit, yang berbentuk persegi panjang antara Somalia dan Yaman, dan berada di dalam kawasan utara Teluk.

Dari hal ini tampaknya Amerika sedang membangun sebuah pangkalan militer permanen di Teluk Aden untuk melindungi kepentingannya di Afrika dan menggunakan ketidakmampuan rezim Yaman untuk menangani isu-isu dalam negeri untuk membenarkan kehadirannya di jalur terusan yang sangat penting itu. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 200
---

Sabtu, 20 Februari 2021

Cara Khilafah Mengatasi Kesenjangan Ekonomi



Oleh: KH Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP

Negara khilafah mempunyai sistem ekonomi yang berbeda dengan kapitalisme maupun sosialisme. Jika kapitalisme, dengan prinsip trickle down effect (penumpukan kekayaan dan efek pemerataan), berhasil memacu pertumbuhan, tetapi ternyata kapitalisme gagal mewujudkan pemerataan. Karena itu, fenomena kesenjangan di tengah masyarakat tak terelakkan. Maka, sosialisme, yang merupakan antitesa kapitalisme berhasil "memaksa" pemerataan, tetapi gagal mewujudkan pertumbuhan. Karena itu, sosialisme tumbang. Kapitalisme bisa bertahan, tetapi harus sedemikian rupa ditambal sulam. Jika tidak, iapun akan tumbang.

Pendek kata, baik kapitalisme maupun sosialisme, sama-sama telah gagal mewujudkan pertumbuhan dan pemerataan sekaligus. Karena itu, sistem ekonomi yang lahir dari kedua ideologi ini bisa dikatakan gagal. Di sinilah, keunggulan sistem ekonomi negara khilafah, yang tidak saja berhasil menciptakan pertumbuhan, tetapi juga mewujudkan pemerataan.

Pertumbuhan Tinggi

Ekonomi akan tumbuh, ketika produktivitas masyarakat terjaga. Produktivitas masyarakat dalam menghasilkan barang dan jasa terjaga ketika tidak dibatasi dengan jumlah, sebagaimana yang dilakukan oleh sosialisme, tetapi diatur dengan mekanisme. Mekanisme yang digunakan untuk mengatur tak lain adalah hukum Allah.

Dengan hukum Allah, barang dan jasa yang boleh diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan adalah barang dan jasa yang halal. Barang dan jasa yang haram jelas tidak boleh diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan. Narkoba, miras, DVD porno dan sejenisnya adalah barang yang haram diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan di tengah masyarakat. Begitu juga jasa PSK dan sejenisnya, haram diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan.

Dengan tidak adanya barang dan jasa yang haram di tengah masyarakat, maka masyarakat pun terjaga mentalitasnya, sehingga hidupnya sehat, dan produktivitasnya meningkat. Dengan mentalitas dan hidup yang sehat, serta produktivitas yang tinggi, maka sumber-sumber ekonomi, seperti perdagangan, jasa, industri dan pertanian akan bisa dijaga, dikelola, dan ditingkatkan.

Sumber-sumber ekonomi tersebut juga dihasilkan melalui mekanisme yang benar, baik sebab kepemilikan, maupun sebab pengembangan harta yang sama-sama sah. Kepemilikan individu akan dihormati, sebagaimana kepemilikan umum, dan negara. Semuanya dikelola dengan mekanisme yang benar, berdasarkan hukum syara'. Tidak ada nasionalisasi aset pribadi, ataupun privatisasi kepemilikan umum dan aset negara. Karena ini merupakan pelanggaran hukum Allah.

Begitu juga tidak ada pengembangan harta dengan cara haram, seperti riba, judi, manipulasi, penimbunan, kartel, mafia, dan sebagainya. Karena cara-cara seperti ini jelas merusak.

Distribusi yang Adil

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, disertai dengan jaminan distribusi barang dan jasa kepada masing-masing rakyat. Dimulai dari standar kemiskinan per kepala, yang tidak ditentukan berdasarkan kuantitas, seperti USD2 per orang tiap hari, tetapi: ditentukan berdasarkan terpenuhinya kebutuhan dasar masing-masing individu, kepala per kepala. Mulai dari sandang, papan, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Semuanya itu dijamin oleh negara khilafah.

Caranya? Dengan mewajibkan tiap individu, khususnya pria dewasa yang mampu bekerja untuk bekerja. Dengannya, dia bisa memenuhi kebutuhanya, kebutuhan istri dan anaknya, serta kebutuhan orang tuanya. Baru setelah itu, sanak kerabatnya. Bila pria dewasa yang mampu bekerja tidak ada, maka orang terdekat berkewajiban untuk menjaminnya. Jika tidak ada, maka negara khilafah-lah yang wajib menjamin kebutuhan mereka.

Inilah mekanisme yang adil dan produktif. Dengan mekanisme seperti ini, jaminan yang diberikan oleh negara khilafah ini tidak membuat rakyat malas bekerja. Sebaliknya tetap produktif. Jaminan ini, diberikan oleh negara khilafah bisa melalui skema zakat, pemberian modal kerja (iqtha'), dan sebagainya. Negara juga berhak memaksa orang yang kaya untuk mengeluarkan zakat fitrah dan mal-nya. Selain itu juga melarang mereka menimbun uang dan barangnya.

Khilafah juga menjamin tidak adanya praktik mafia, kartel, penimbunan, manipulasi, riba, money game, dan sebagainya di pasar dan di tengah masyarakat. Dengan begitu, setiap individu mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat mengembangkan hartanya, dan memperoleh keuntungan dari hartanya dengan cara yang benar dan sehat.

Kebijakan Teknis Negara

Untuk memastikan terdistribusikannya barang dan jasa kepada tiap rakyat, sehingga kesenjangan ekonomi bisa dihilangkan, maka secara teknis negara khilafah bisa menempuh beberapa kebijakan:

1. Kewajiban zakat: Harta yang diambil dari orang kaya, dengan ketentuan dan syarat yang berlaku, setelah terkumpul kemudian didistribusikan kepada mereka yang tidak mampu.

2. Waris dan nafkah. Baik waris maupun nafkah, sama-sama untuk menjamin kebutuhan keluarga.

3. Hak mendapatkan manfaat atas kekayaan milik umum, seperti hasil pengelolaan minyak, tambang emas, batubara, nikel, dan sebagainya. Hasil pengelolaan kekayaan milik umum ini didistribusikan kepada rakyat, baik dalam bentuk jaminan pendidikan, kesehatan, keamanan, fasilitas perumahan, kebutuhan dasar, seperti air, listrik, dan sebagainya.

4. Pemberian negara khilafah kepada mereka yang membutuhkan dari kekayaan milik negara, seperti tanah pertanian bagi yang mampu bercocok tanam, serta membiayai mereka dari harta kharaj maupun jizyah.

Karena itu, dalam hal ini, negara khilafah mempunyai peranan vital, antara lain:

a. Peran negara dalam memastikan distribusi kekayaan yang adil dan merata, dalam bentuk barang maupun jasa, kepada seluruh rakyat.

b. Mencegah berhentinya distribusi kekayaan, seperti larangan menimbun uang [kanz ad-dzahab wa al-fidzzah], dan barang [ihtikar], termasuk diharamkannya riba, mafia, kartel, manipulasi harga barang dan sebagainya. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 189
---



Jumat, 19 Februari 2021

Umat Islam Panen Tuduhan Intoleransi



Desember Kelabu, Umat Islam Panen Tudingan

Seakan menjadi tradisi tiap tahun. Umat Islam panen tudingan intoleransi. Kasus pembubaran kegiatan Kebaktian Kebangkitan Rohani (KKR) oleh ormas Pembela Ahlu Sunnah (PAS) dahulu di awal Desember 2016 contohnya. Persoalannya adalah pihak PAS menganggap kegiatan KKR tidak memenuhi prosedur perizinan dalam menyelenggarakan kebaktian di Sabuga Bandung. Kegiatan ini juga disinyalir sebagai pemurtadan terselubung. Begitu PAS mengklarifikasi ke Gedung Sabuga, justru isu miring yang muncul: intoleransi.

Dahulu di 2016 juga ada sosialisasi fatwa MUI tentang larangan bagi Muslim untuk mengenakan atribut Natal. Aksi ini yang menyosialisasikan fatwa tersebut ke pusat perbelanjaan, dianggap sweeping. Keberadaan anggota polisi dari Satuan Samapta, Bhayangkara (Sabhara), Pengendali Massa (Dalmas), dan Brigade Mobil (Brimob) Polda yang mengawal aksi tersebut, dianggap tindakan yang melegitimasi intoleransi.

Salah Kaprah Toleransi

Di sisi lain, guna menepis isu intoleransi, ada kalangan umat IsIam yang ingin menunjukkan aksi toleransinya terhadap umat beragama lain. Delapan mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, menghadiri perayaan Misa Natal di Gereja Hati Kudus Yesus, Katedral Surabaya, Ahad (25/12/2016).

Mereka beralasan, kedatangan mereka untuk mengetahui secara langsung ritual dalam gereja Katolik saat perayaan Natal. Aksi serupa pernah dilakukan pada tahun sebelumnya oleh 14 mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, yang menghadiri ibadah Malam Natal di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Margoyudan, Solo. Mereka adalah mahasiswa binaan Pendeta Wahyu Nugroho yang merupakan salah satu dosen di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Salah kaprah terhadap toleransi juga ditunjukkan pada Festival Keragaman Sulawesi Utara, di Gedung DPRD Sulut, Sabtu 10 Desember 2016. Pada festival tersebut shalawat disenandungkan oleh Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi),Taufik Bilfaqih, dengan dipadukan dengan lagu Natal berjudul Gloria yang digubah dalam bahasa Arab, diiringi dengan tabuhan rebana sebagai pengiring lagu. Taufik Bilfaqih, melakukan gubahan shalawat dan lagu Gloria dengan alasan bagian dari seni.

Toleransi salah kaprah juga ditunjukkan dalam pengerahan ratusan pelajar SMP di Kabupaten Purwakarta. Anak-anak yang mayoritas Muslim ini disuruh aksi bersih-bersih gereja yang terdekat dari sekolah mereka. Seperti yang dilakukan para pelajar SMPN 1 Purwakarta yang melakukan aksi bersih-bersih Gereja Bethel Tabernakel di Jalan Hidayat Martaloga, Kecamatan Purwakarta Kota, Kabupaten Purwakarta, pada Rabu (22/12/2016). Kegiatan ini sengaja digulirkan oleh Bupati Purwakarta, DediMulyadi, demi “toleransi”.

Islam Dituding

Tudingan intoleransi selama ini hanya mengarah kepada satu sasaran: umat Islam! Padahal dengan kasat mata fakta menunjukkan bagaimana umat Islam pun mendapatkan perlakukan yang tidak selayaknya dari umat agama lain.

Penyerangan dan perusakan masjid di Tolikara Papua, larangan penggunaan jilbab bagi pelajar di Bali, misalnya adalah salah satu contoh bahwa umat Islam menjadi korban. Pelarangan pembangunan masjid di Sulawesi Utara, dll.

Anggota Lajnah Siyasiyah DPP Budi Mulyana mengurai, setidaknya ada tiga motif di balik tudingan intoleransi kepada umat Islam. Pertama, membangun sikap permisif terhadap kemungkaran dan kemaksiatan. Dengan atas nama “toleransi”, masyarakat Indonesia khususnya umat Islam diarahkan supaya tidak mempersoalkan keberadaan berbagai kemungkaran dan kemaksiatan. Aksi pemurtadan, maraknya perilaku LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender), juga, nikah beda agama (Muslimah menikah dengan lelaki kafir), nikah sesama jenis, dan yang seimisal, didorong untuk di”toleransi”. Padahal hal itu jelas-jelas terlarang dalam Islam.

Kedua, mengokohkan propaganda HAM. Menurutnya, melalui isu toleransi, Barat dan LSM liberal berusaha terus memaksakan HAM ala Barat terhadap masyarakat Indonesia. HAM yang merupakan paham kebebasan, baik itu kebebasan beragama, berperilaku, berpendapat, maupun berkepemilikan.

Ketiga, stigma negatif terhadap syariah Islam dan kelompok lsIam. Tudingan intoleransi mengarah kepada tudingan bahwa syariah Islam sebagai ancaman negara. Muncul stigma negatif kepada pengusung ideologi Islam dengan memberi sebutan radikal, fundamentalis, atau ekstremis agar mereka dijauhi masyarakat.

Ancaman Represif Penguasa

Di balik tudingan intoleransi ternyata terselubung ancaman sikap represif dari penguasa. Toleransi yang maknanya dibiarkan penguasa penuh dengan multitafsir ini, selain menghasilkan standar ganda juga rentan dijadikan alat oleh penguasa untuk membungkam berbagai kritik dan seruan-seruan kebenaran untuk meluruskan berbagai kekeliruan yang dilakukan oleh penguasa.

Tanda-tanda ke arah itu mulai tampak. Kementerian Agama tengah menyiapkan draft peraturan baru yang isinya mengatur tentang pembatasan ceramah agama, baik yang dilakukan di masyarakat maupun di media sosial. Bekerja sama dengan Kementerian Informasi dan Komunikasi, rancangan aturan baru tersebut tinggal ditindaklanjuti.

Aturan ini, menurut Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, Abdurrahman Masud, melengkapi aturan yang sudah ada sebelumnya yang dibuat pada 1979. Pada aturan yang lama belum dibahas tentang kehadiran media sosial, karena merupakan fenomena terbaru.

Isinya terkait dengan larangan menyinggung persoalan SARA, dan persoalan otoritatif para penyuluh agama. Ada juga usulan agar ada penyaringan terhadap penceramah agama secara ketat.

Bila sertifikasi ini benar-benar dilakukan maka, apa yang terjadi pada masa Orde Baru, akan kembali terjadi. Maka akan dilarang dakwah dengan materi jihad, dilarang mengkafirkan orang kafir, dilarang menyesatkan orang sesat, khutbah cukup membaca materi yang sudah dibagikan pemerintah, dan lain-Iain.

Bacaan: Tabloid Media Umat edisi 188, 6-19 Januari 2017
---

Kamis, 18 Februari 2021

Pendidikan Indonesia Gagal Bentuk Kepribadian Islam



Tak berlebihan bila dikatakan pendidikan yang diterapkan sistem dan rezim di Indonesia dikatakan gagal. Lantaran negeri Muslim terbesar sedunia ini justru melahirkan generasi yang juara melakukan berbagai kemaksiatan, mulai dari korupsi, perzinaan, main hakim sendiri hingga narkoba. Seakan mereka tidak tahu mana yang benar, mana yang salah dan mana yang baik, mana yang buruk. Lantas apa sistem penggantinya dan bilamana sistem itu diterapkan? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo dengan     Iffah Ainur Rochmah. Berikut petikannya.

Benarkah sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah gagal mendidik generasi?

Benar.

Buktinya?

Pendidikan itu kan tujuannya mencerdaskan. Yakni mampu membedakan yang benar dan salah, baik dan buruk, menumbuhkembangkan kebaikan perilaku juga akhlak. Selain itu mereka mampu mengatasi masalah kehidupan dan tantangan zaman. Manusia terdidik sepatutnya makin tinggi takwanya, makin produktif amalnya dan tentu makin banyak sumbangsihnya untuk kebaikan masyarakat.

Buktinya kan sebaliknya. Pelajar kecanduan narkoba, mahasiswa pesta miras. remaja geng motor, kasus bullying, menjadi PSK dan menjual teman sekolahnya, perayaan kelulusan dengan pesta bikini dan seks bebas dan masih banyak lagi perilaku buruk lulusan sekolah. Ini kan menggambarkan kegagalan membentuk kepribadian.

Lebih parah lagi, pendidikan hari ini juga tidak menghasilkan orang yang kuat akidah, yakni yakin pada kebenaran agamanya. Ada intelektual tapi percaya dukun yang mampu menggandakan uang, percaya takhayul, pendukung aliran sesat bahkan membela penista agama. Belum lagi soal rendahnya penguasaan ilmu dan keahlian. Paling banyak saat ini lulusan sekolah dan kampus hanya terampil bekerja, bukan ahli di bidangnya.

Tapi ada yang mengatakan sistemnya sih sudah bagus hanya saja person pelaksananya saja yang kurang berkualitas. Tanggapan Anda?

Kalau sistemnya sudah bagus dan kesalahannya hanya pada tataran pelaksanaan yang belum sempurna, saya kira gampang saja menilainya. Di mana teruji kebaikan sistemnya, mana hasilnya? Mungkin lebih tepatnya, bukan sistemnya yang bagus tapi kemasan atau bungkusnya saja yang indah padahal isinya busuk dan rusak.

Orang menganggap sistemnya bagus karena menyatakan bahwa tujuan pendidikan menciptakan manusia bertakwa sekaligus piawai menghadapi tantangan zaman. Tapi penjabaran apa yang dimaksud dengan takwa masih kabur dan kurikulum yang dibuat tampak jelas tidak menyiapkan pribadi takwa tapi sekadar memproduksi tenaga kerja.

Apa akar masalahnya sehingga meskipun kurikulum silih berganti namun masalah dunia pendidikan tidak juga teratasi?

Karena tidak mengambil konsep pendidikan dari Allah SWT. Karena dasar pembangunan pendidikan adalah sekulerisme. Sekuler tidak selalu anti agama. Tapi agama tidak boleh mencampuri urusan di luar peribadatan. Di sekolah, agama diajarkan tapi bukan untuk dipraktikkan, sekadar untuk diketahui.

Berarti sistem pendidikan sekuler yang menjadi biang keroknya?

Ya. Pendidikan sekuler telah membuat tujuan pendidikan salah. Coba kita lihat, apakah orang sekolah untuk menuntut ilmu, memenuhi kebutuhan akal terhadap pengetahuan? Tidak kan. Orang sekolah untuk dapat ijazah yang menjadi syarat untuk bekerja. Pendidikan sekuler juga menghasilkan kepribadian yang kacau. Bayangkan bagaimana hasilnya kalau antar mata pelajaran saja saling kontradiktif.

Contohnya?

Pelajaran agama melarang pacaran, pelajaran lain justru mendorong pergaulan yang intensif antara laki-laki perempuan. Belum lagi sekarang ada modul pembelajaran agama yang dilabeli “Islam Damai”, isinya menanamkan Islam moderat, bahwa Islam mengakui pluralisme, sangat terbuka terhadap nilai-nilai liberal, dan lain sebagainya.

Mengapa negeri yang mayoritas Muslim ini bisa menerapkan sistem pendidikan sekuler?

Sebenarnya pendidikan sekuler itu konsekuensi logis dari penerapan sistem kehidupan sekuler kapitalistik. Namun begitu, pendidikan sekuler di negeri ini lebih banyak lahir dari kebijakan pemerintah yang tidak mandiri mengelola aspek pendidikan. Pemerintah mengadopsi kurikulum, strategi dan standarisasi pendidikan dari lembaga dunia semacam UNESCO. Pemerintah sekadar menambahkan 'rasa lokal' atas kurikulum pendidikan Barat yang jadi menu utamanya.

Apa bahayanya bila pendidikan sekuler ini tidak segera dihentikan?

Membiarkan berlangsungnya sistem pendidikan sekuler sama saja dengan membiarkan rusaknya generasi, khususnya identitas Islamnya. Generasi Islam bisa menjadi manusia sekuler, pelaku kebebasan, pembela penista agama dan penentang penerapan syariat. Maka mustahil terwujud generasi berkepribadian Islam yang teguh berpegang pada agama dan berkomitmen mewujudkan kembali kegemilangan peradaban Islam.

Sebagai gantinya, sistem pendidikan yang seperti apa yang harus diterapkan?

Sistem Pendidikan Islam (SPI). Bukan hanya sekolah Islam yang diselenggarakan oleh inisiatif masyarakat. Tapi semua perangkat penyelenggaraan pendidikan mulai dari penetapan tujuan pendidikan, penentuan arah kurikulum, strategi pengajaran dan mata pelajaran yang diajarkan harus berjalan sesuai Islam. Bahkan lembaga pendidikannya juga harus sejalan Islam.

Bisakah sistem pendidikan tersebut diterapkan dalam sistem pemerintahan seperti sekarang ini?

Sulit, bahkan tidak bisa.

Mengapa?

Terlalu banyak komponen yang harus diubah, bahkan tidak bisa diubah dengan sistem kehidupan yang masih sekuler kapitalis. Karena harus ada ubahan paradigma, kurikulum, standar kompetensi pendidik, anggaran. Belum lagi keharusan integrasi peran sekolah, keluarga dan masyarakat. Berarti negara juga arus meningkatkan kemampuan mendidik keluarga, menata media dan menciptakan suasana kondusif di masyarakat sesuai dengan arahan Islam.

Lantas bagaimana agar sistem pendidikan tersebut dapat diterapkan dengan baik?

SPI mensyaratkan adanya negara yang berdasar Islam dan pemerintah yang berkomitmen dan mandiri membangun kepribadian bangsa dengan kepribadian Islam. Negara khilafah yang mampu mewujudkannya, dengan politiknya yang independen, tidak didikte asing dan UNESCO. Juga khilafah yang akan memberlakukan sistem ekonom Islam agar APBN kita besar dan alokasi anggaran untuk bisa memadai, untuk membiayai biaya pendidikan bagi setiap individu rakyat secara gratis dan berkualitas, dan lain sebagainya.

Dengan SPI akan terwujud kembali sistem pendidikan Islam sebagai sistem pendidikan terbaik untuk generasi umat terbaik. []

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 193
---

Rabu, 17 Februari 2021

Hukum Islam Pasti Adil Dan Menghapus Dosa


ilustrasi umat perjuangkan negara hukum Islam

Bagaimana dengan hukum Islam? Apakah bisa menjadi oase di tengah kehausan rasa keadilan? Wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo berbincang dengan Ketua DPP Rokhmat S. Labib. Berikut petikannya.

Bagaimana tanggapan Anda dengan penegakan hukum di Indonesia?

Saya melihat ada dua masalah. Pertama, hukumnya itu sendiri sudah bermasalah, rusak dan bobrok. Kedua, penegakan hukumnya di tangan orang yang bermasalah.

Bagaimana yang Anda maksud?

Hukuman penista agama maksimal 5 tahun penjara. Itu maksimal. Kalau dibandingkan dengan hukum Islam kan jauh sekali. Dalam Islam, penista agama Islam itu bisai sampai dihukum mati. Itu artinya, penista Allah SWT, penista Rasulullah SAW dan penista Al-Qur’an itu termasuk perbuatan kriminal yang sangat berat.

Sangat berat dilihat dari sisi hukumannya. Sampai hukuman mati itu menunjukkan berat sekali. Berarti melebihi pencuri yang hanya dipotong tangannya, melebihi minum minuman keras yang hanya dicambuk 40 atau 80 kali.

Ini juga bagian dari bentuk menjaga kesucian Islam agar tidak dinodai atau dinistakan. Agar pelakunya tidak mengulangi dan tidak ditiru oleh orang lain.

Kalau dari sisi penegakan hukumnya?

Semua orang sudah tahu bagaimana penegakan hukum d negeri ini. Bisa dipermainkan. Semua tergantung dari tawar-menawar antara pengacara, JPU dan hakim. Karena maksimal 5 tahun, maka JPU bisa menuntut beberapa tahun saja, bahkan tidak menuntut dihukum kecuali dalam 2 tahun ke depan melakukan kesalahan yang sama, langsung dipenjara satu tahun. Itulah makna dari hukuman satu tahun dengan masa percobaan dua tahun yang dituntutkan oleh JPU. Jadi hukumnya sudah bobrok, aparat hukumnya juga lebih rusak lagi.

Mengapa itu semua bisa terjadi?

Karena hukum yang ditegakkan bukan hukum Allah SWT tetapi hukum buatan manusia sendiri. Oleh karena itu, tidak akan dihasilkan keputusannya yang adil. Sebab, hanya hukum Allah SWT yang adil dan benar.

Selain itu, ketika hukum tidak berasal dari Allah SWT, maka dorongan untuk menegakkannya juga amat lemah. Sebagai gambaran, ketika polisi menangkap pencuri misalnya, jaksa menuntut hukuman, atau hakim menjatuhkan vonis hukum, tidak ada dalam pikiran dan hati mereka bahwa ini sedang menjalankan perintah Allah. Atau terbersit pikiran bahwa jika tidak menjalankannya sesuai hukum itu akan masuk Neraka. Kenapa? Karena mereka menegakkan hukum itu bukan didasarkan keyakinan bahwa hukum itu diwajibkan Allah SWT untuk ditegakkan dan jika melanggarnya akan mendapatkan dosa.

Ketika itu semua tidak ada dalam pikiran dan hati mereka, maka tidak ada dorongan aqidah. Nilai yang ingin didapatkan paling-paling hanya qimah madiyyah atau nilai materi. Bahkan tidak ada qimah akhaliqiyyah atau nilai akhlak maupun qimah insaniyyah atau nilai kemanusiaan.

Mengapa begitu?

Kapitalisme dan sekularisme adalah biangnya. Dalam sistem kehidupan tersebut, maka kehidupan manusia didominasi pandangan materialistis. Semua diukur dengan materi dan uang. Ini juga merembet kepada aparat penegak hukum. Maka jangan heran jika pengacara, JPU dan hakim juga melakukan tawar-menawar dalam keputusan hukum.

Bayangkan saja, hakim itu gajinya per bulan dan honor per kasus. Dan itu jumlahnya sangat kecil bila dibandingkan dengan penghasilan pengacara per kasus.

Jadi wajar kalau pengadilan malah memenangkan penjahat...

Iya. Orang yang dirampas atau ditipu misalnya, bisa kalah di pengadilan. Karena yang menipu memiliki uang yang banyak hasil rampasan, maka bisa membayar pengacara yang paling mahal. Tak hanya itu, dia bahkan bisa menyuap hakimnya. Sedangkan yang ditipu karena sudah ditipu uangnya tinggal sedikit atau bahkan habis, maka ia tidak bisa membayar pengacara. Kalaupun bisa, barangkali yang kualitasnya juga rendah.

Maka, kemungkinan besar orang yang korban penipuan atau perampasan itu akan kalah di pengadilan. Seandainya penipu kalah di pengadilan, dia bisa naik banding. Dia bisa melakukan karena punya uang sementara korbannya sudah kehabisan uang. Bisa ditebak, siapa yang akan dimenangkan pengaduan.

Yang berkuasa adalah mereka yang punya uang...

Iya, kalaupun para koruptor atau para penjahat lainnya sampai dihukum, di dalam penjara seperti tidak dalam penjara. Di dalam penjara bisa karaoke, dibuatkan kamar khusus, ada salon segala. Ada juga meski dipenjara, bisa jalan-jalan ke Bali nonton tenis.

Kalau dilihat dari akar masalahnya, mengapa itu semua bisa terjadi?

Karena, diakui atau tidak, asas atau dasar negara ini adalah sekularisme. Menyingkirkan aturan Allah SWT dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Di antara akibatnya, menjadikan materi segala-galanya. Yang berkuasa adalah pemilik materi alias para pemodal atau kapitalis. Dan bukan di bidang peradilan saja. Dalam politik, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya pun demikian.

Kalau dalam peradilan Islam ada naik banding juga?

Tidak ada. Sehingga tidak bertele-tele dan menghabiskan dana. Ketika diputus hakim, ya sudah tidak bisa naik banding. Tetapi yang pasti hukumnya itu berdasarkan hukum Islam. Hukum Islam itu kan dari Allah, pasti adil.

Peluang pengacaranya dibayar mahal dan hakimnya disuap?

Peluang untuk itu sangat kecil. Karena bukan hanya aparat, kesadaran hukum di Daulah Islam ditanamkan pula kepada seluruh rakyat dengan disentuh keimanannya. Misalnya, kalau bersalah, merampas uang atau korupsi misalnya, jangan menuntut untuk diringankan hukuman atau malah tidak ngaku salah sehingga minta dibebaskan. Karena dosanya akan lebih besar dan nanti masuk Neraka. Kalau rela dihukum pakai hukum Islam, dosanya akan dihapuskan. Demikian juga hakim dan jaksa, bila bersekutu dengan pihak yang bersalah untuk memenangkan perkaranya, sama saja dengan memesan tempat di Neraka.

Aspek keimanan dengan dorongan ruhiyahnya ini justru yang dijauhkan dari negara sekuler-kapitalis. Sekarang ini, orang yang mengingatkan agar selalu mengingat Allah dengan menerapkan hukum-hukum-Nya disebut radikal. Orang ngaji saja disebut radikal, dianggap mengancam negara lalu dibubarkan. Itu masalahnya. Coba sekarang kita katakan bahwa hakim harus menerapkan syariah Islam, belum-belum kita sudah disebut makar. Bagaimana coba? Jadi memang sengaja dijauhkan.

Selain haram membuat hukum dan menegakkan hukum buatan manusia, yang pasti hukum buatan manusia tidak menghapus dosa pelaku kejahatan yang dihukum. Jadi rakyat rugi. Sudah dipenjara, tidak menghapus dosa, di Akhirat masuk neraka. Maka tidak ada pilihan lain bagi umat Islam selain menuntut agar hanya syariah Islamlah yang diterapkan oleh negara.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 196
---



Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam