Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Minggu, 29 Maret 2020

Bertawakal, Bertasbih, Dan Bertahmid - TAFSIR al-Furqan: 58



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.” (TQS. al-Furqan [25]: 58)

Di antara perkara penting yang harus dimiliki manusia adalah sikap tawakkal kepada Allah SWT. Sikap ini lahir dari keyakinan bahwa Allah SWT menjadi tempat bersandar manusia dalam segala urusan. Di samping itu, manusia juga mensucikan dan memuji Allah SWT yang telah melimpahkan berbagai kenikmatan tak terhingga kepada manusia. Inilah di antara yang dikandung dalam ayat ini.

Diperintahkan Bertawakal

Allah SWT berflrman: Wa tawakkal 'alaa al-Hayyi al-ladzii laa yamuutu (dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup [Kekal] Yang tidak mati). Huruf wawu dalam ayat ini adalah wawu al-'athf menyambungkan kalimat dengan kalimat sesudahnya. Karena khithaab atau seruan ayat sebelumnya ditujukan kepada Rasulullah , maka demikian pula khithaab ayat ini, masih ditujukan kepada beliau.

Setelah dalam ayat sebelumnya diberitakan bahwa orang-orang kafir menjadi penolong dalam menyakiti beliau, maka Allah SWT memerintahkan beliau untuk tidak meminta upah dari mereka sama sekali dan memerintahkan beliau untuk bertawakal kepada-Nya dalam menolak semua mudharat dan menarik semua manfaat. Demikian penjelasan Fakhruddin al-Razi.

Dalam ayat ini digunakan fi'l al-amr (kata perintah): tawakkal (bertawakallah). Menurut al-Khazin dalam tafsirnya ketika menerangkan QS Ali Imran [3]: 122, al-tawakkul (tawakal) merupakan bentuk tafa’ul dari kata wakala amrahu ilaa ghayrihi (mewakilkan urusannya kepada pihak lain), ketika dia mempercayakan kepada pihak lain itu dalam memenuhi dan melaksanakan urusan tersebut.

Imam al-Qurthubi juga mengatakan bahwa secara bahasa al-tawakkul adalah menampakkan kelemahan dan mempercayakan kepada pihak yang lain. Disebutkan: Waakala Fulaan apabila dia meletakkan urusannya dan memasrahkan kepada pihak lain. Masih menurut al-Qurthubi, bertawakkal kepada Allah berarti percaya kepada Allah SWT dan meyakini bahwa keputusan-Nya pasti berlaku. Tak jauh berbeda, al-Syaukani juga berkata, "Tawakal adalah bergantungnya hamba kepada Allah SWT dalam segara urusan."

Abdurrahman al-Sa'di berkata, ”Tawakal adalah percayanya hati terhadap Allah SWT dalam menarik manfaat dan menolak mudarat disertai dengan kepercayaan kepada Allah. Sesuai dengan kadar keimanannya, demikian pula kadar tawakalnya."

Bertolak dari semua penjelasan itu, tampak jelas bahwa tawakal berkaitan dengan masalah akidah. Yaitu meyakini bahwa Allah-lah yang dijadikan sebagai tempat bersandar oleh setiap Muslim ketika mencari manfaat dan menolak mudharat. Orang yang mengingkari perkara ini berarti dia kafir. Tawakal juga merupakan aktivitas hati. Sehingga jika ada seseorang yang mengucapkannya namun tidak meyakini dengan hatinya, maka ia tidak dimasukkan sebagai orang yang bertawakal.

Dalam ayat ini disebutkan: 'alaa al-Hayy al-ladzii Laa yamuutu (kepada Allah Yang Hidup [Kekal] Yang tidak mati). Dikhususkannya sifat hidup di sini untuk mengisyaratkan bahwa yang hidup adalah pihak yang dapat dipasrahi berbagai kemaslahatan. Tidak ada kehidupan abadi kecuali bagi Allah SWT. Sehingga, tidak bisa menggantungkan kepada makhluk yang kehidupannya terputus. Sebab, jika dia mati, hilanglah orang yang bergantung kepadanya. Demikian diterangkan al-Syaukani.

Menurut Ibnu Katsir, perintah dalam ayat ini seperti halnya firman Allah SWT: “(Dia-lah) Tuhan timur dan barat, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai wakiil[an] (pelindung)” (TQS. al-Muzzammil [73]: 9). Juga dalam QS. Hud [11]: 123 dan al-Mulk [67]: 29.

Patut dicatat, ketika seseorang bertawakal kepada Allah SWT bukan berarti meninggalkan yang secara sunnatullah menjadi sebab-sebabnya. Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, "Yang dimaksud dengan tawakal kepada Allah SWT adalah meyakini apa yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT: ”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” (TQS. Hud [11]: 6). Dan bukanlah yang dimaksud dengan tawakal itu adalah meninggalkan sebab dan mempercayakan kepada apa yang akan datang dari makhluk. Sebab, hal itu terkadang justru menyeret kepada sesuatu yang berlawanan dengan tawakal. Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang yang duduk-duduk saja di rumahnya atau di masjid seraya berkata, "Aku tidak mengerjakan sesuatu hingga rezeki datang kepadaku." Beliau berkata, "Orang-orang itu bodoh terhadap ilmu. Sungguh Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah menjadikan rezekiku di bawah bayang-bayang tombak.”

Nabi juga mencontohkan dalam kehidupannya. Untuk mendapatkan rezeki-Nya, beliau juga bekerja. Demikian juga ketika berdakwah, berperang, dan berjuang. Beliau merencanakan, menyiapkan, dan mengerjakan dengan serius segala wasilah yang dapat mengantarkan kepada keberhasilan dan kemenangan.

Diperintahkan Bertasbih dan Bertahmid

Kemudian Allah SWT berfirman: Wa sabbih bihamdihi (dan bertasbihlah dengan memuji-Nya). Menurut al-Qurthubi, yang dimaksudkan dengan al-tasbiih adalah al-tanziih (menyucikan). Sehingga perintah: wa sabbih bihamdihi berarti, ”Sucikanlah Allah SWT dari semua yang disifatkan oleh orang-orang musyrik."

Dijelaskan al-Alusi, ”Menyucikan-Nya dengan disertai pujian terhadap-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna untuk meminta tambahan nikmat dengan mensyukuri kenikmatan sebelumnya.”

Kemudian ayat ini ditutup dengan firman-Nya: Wa kafaa bihi bidzunuub ‘ibaadihi Khabiir[an] (dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya). Menurut al-Syaukani, berarti hasbuka (cukuplah engkau). Kalimat ini dimaksudkan untuk mubaalaghah (melebihkan), seperti halnya kalimat: kafaa bilLaah Rabban (cukuplah bagimu Allah sebagai Tuhanmu).

Sedangkan pengertian al-Khabiir adalah yang mengawasi dan mengetahui segala urusan, sehingga tidak ada satupun yang tersembunyi bagi-Nya. Menurut al-Alusi, makna kata al-khibrah adalah mengetahui perkara yang tersembunyi. Barangsiapa yang mengetahui perkara yang tersembunyi, tentu lebih mengetahui perkara yang tampak. Ibnu Katsir berkata, "Karena ilmu-Nya yang sempurna, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya dan tidak ada yang samar bagi-Nya walaupun hanya seberat biji dzarrah.”

Diterangkan Fakhruddin al-Razi, ayat ini memberikan pengertian bahwa kamu tidak membutuhkan selain-Nya. Sebab, Dia mengetahui keadaan mereka dan mampu menghadapi mereka, sehingga merupakan ancaman keras. Seolah-olah dikatakan, "Jika kalian mengerjakan perbuatan yang melanggar perintah-Ku, cukuplah bagi kalian ilmu-Nya dalam memberikan balasan dan hukuman yang layak kepada kalian.”

Bahwa penggalan akhir ayat ini konteksnya adalah ancaman keras bagi orang-orang kafir juga dikemukakan al-Alusi. Di samping menurutnya, untuk menghibur hati Rasulullah . Makna ayat ini adalah Dia mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya, lantaran tidak ada sedikitpun yang tersembunyi bagi-Nya. Kemudian Dia membalas mereka atas semua perbuatan tersebut. Dan bukanlah menjadi tanggung jawabmu (Rasulullah ) jika mereka beriman atau kafir.

Demikianlah. Rasulullah diperintahkan untuk bertawakal kepada-Nya, bergantung dan menyerahkan segala urusan kepada-Nya. Beliau juga diperintahkan untuk menyucikan-Nya dari segala sifat lemah dan memuji-Nya atas semua nikmat tersebut.

Beliau tak perlu takut dan risau terhadap ulah kaum kafir. Sekalipun mereka mengerahkan segala daya-upaya dan menjadi pembantu setan dalam memusuhi beliau, akan berakhir dengan kegagalan. Sebaliknya, akibat kejahatan itu akan kembali kepada mereka. Mereka akan mendapatkan siksa dan azab atas kejahatan mereka. Patut diingat, perintah kepada Rasul dalam ayat ini juga berlaku bagi umatnya. Semoga kita diberikan kekuatan untuk mengerjakannya. WalLaah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Rasulullah dan umatnya diperintahkan untuk bertawakal, bertasbih, dan bertahmid kepada Allah SWT.

2. Tawakal berkaitan dengan masalah akidah sehingga orang yang mengingkari perkara ini menyebabkan pelakunya jatuh kepada kekufuran.

3. Tawakal merupakan kegiatan hati sehingga jika hatinya tidak meyakininya tidak dikategorikan sebagai tawakal.

4. Tawakal kepada Allah tidak berarti meninggalkan hukum kausalitas ketika beramal.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 161

Sabtu, 21 Maret 2020

Bertawakal Kepada Pencipta Alam Semesta - TAFSIR al-Furqan: 59



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah) kepada yang lebih mengetahui.” (TQS. al-Furqan [25]: 59)

Langit dan bumi beserta seluruh isinya tidak ada dengan sendirinya. Semuanya ada karena ada Dzat yang menciptakannya. Penciptanya tak lain adalah Allah SWT. Oleh karena itu, hanya kepada-Nya manusia bertawakal. Yakni, menyerahkan semua urusannya. Selain itu, juga bertahmid dan bertasbih kepada-Nya.

Pencipta Langit, Bumi, dan Semua Isinya

Allah SWT berfirman: al-Ladzii khalaqa al-samaawaat wa al-ardh wamaa baynahuma fii sittati ayyaam (yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa). Dalam ayat sebelumnya Rasulullah diperintahkan untuk bertawakal, bertahmid, dan bertasbih kepada-Nya. Perintah tersebut juga berlaku kepada umat-Nya.

Diterangkan oleh Fakhruddin al-Razi, bahwa Allah SWT telah memerintahkan Rasulullah untuk bertawakkal kepada-Nya dengan menggambarkan beberapa sifat-Nya. Pertama, bahwa Dia Hayy[un] layamuutu (Yang Maha Hidup dan tidak pernah mati). Ini disebutkan dalam ayat sebelumnya, yakni firman Allah SWT: Watawakkal 'alaa al-Hayy al-ladzii laa yamuutu (bertawakallah kepada Allah Yang Hidup [Kekal] yang tidak mati).

Kedua, bahwa Dia Maha Mengetahui terhadap semua berita. Ini juga disebutkan dalam ayat sebelumnya, yakni firman Allah SWT: Wakafaa bidzunuubi 'ibaadihi Khabiir[an] (dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya).

Dan ketiga, bahwa Dia Maha Kuasa atas segala yang ada. Inilah yang dimaksudkan dalam ayat ini: al-Ladzii khalaqa al-samaawaat wa al-ardh (yang menciptakan langit dan bumi). Ketika Allah SWT adalah Pencipta langit dan bumi beserta semua isinya, maka menetapkan bahwa Dia Maha Kuasa atas segala jenis manfaat, mencegah berbagai madharat, dan sesungguhnya semua kenikmatan adalah berasal dari-Nya. Konsekuensinya, tidak boleh bertawakal kecuali kepada-Nya.

Firman Allah SWT: Fii sittati ayyaam (dalam enam masa) memberikan keterangan tentang masa penciptaan langit dan bumi berserta isinya. Kata al-ayyaam merupakan bentuk jamak dari kata al-yawm. Dalam perhitungan manusia, kata yawm menunjuk kepada periode waktu dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam seminggu, ada tujuh hari. Akan tetapi, di sisi Allah SWT, al-yawm setara dengan seribu tahun menurut perhitungan manusia (lihat: QS. al-Hajj [22]: 47, al-Sajdah [32]: 5). Bahkan dalam ayat lainnya, satu hari setara dengan lima puluh ribu tahun (lihat: QS. al-Ma'arij [70]: 4). Oleh karena itu, hanya Allah SWT yang mengetahui waktu sesungguhnya sittati ayyaam (enam hari) yang dimaksudkan ayat ini.

Patut dicatat, Allah SWT Maha Kuasa untuk menciptakan semua itu dalam sekejap. Ini ditegaskan dalam beberapa ayat, seperti TQS. al-Baqarah [2]: 117. Juga dalam QS. Ali Imran [3]: 47, al-Nahl [16]: 40, Maryam [19]: 35, Yasin [36]: 82, Ghafir [40]: 68, dan lain-lain.

Lalu mengapa dalam menciptakan langit dan bumi beserta isinya dalam enam hari? Jawabannya: itu dikembalikan kepada masyiiatulLaah (kehendak Allah SWT). Menurut Fakhruddin al-Razi, penetapan jumlah tersebut sebagaimana penjaga neraka Saqar yang berjumlah sembilan belas, malaikat pemikul al-Arsy yang berjumlah delapan, dalam satu tahun ada dua belas bulan, jumlah langit ada tujuh lapis, demikian pula bumi. Juga jumlah shalat, ukuran nishab dalam zakat, ukuran hudud dan kaffarat. Mengakui bahwa semua yang difirmankan Allah SWT adalah benar, itu adalah agama, dan tidak melakukan pembahasan tentang semua itu adalah wajib. Dalilnya adalah QS. al-Muddatstsir [74]: 31.

Kemudian Allah SWT berfirman: Tsumma [i]stawaa 'alaa al-'arsy al-Rahmaan (kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, [Dialah] Yang Maha Pemurah). Menurut al-Qurthubi, al-istiwaa' menurut orang Arab bermakna al-‘uluw wa al-istiqraar (tinggi dan menetap). Sedangkan al-‘arsy merupakan lafzh musytarak, kata yang digunakan untuk menunjuk lebih dari satu. Di antara maknanya, sebagaimana dikatakan al-Jauhari adalah syariial-malik (singgasana raja).

Mengenai makna Allah SWT [i]stawaa 'alaa al-'arsy, ada banyak penjelasan para ulama. Bahkan menurut al-Qurthubi, terdapat empat belas pendapat tentang ini. Patut dicatat, perkara tersebut merupakan perkara ghaib yang tidak dapat dindera oleh akal manusia. Oleh karena itu, kita harus bersikap tawqifiyyah terhadapnya. Artinya, sebatas memahami dari perkara yang diberitakan, tanpa menambah atau menguranginya, disertai dengan al-tanziih, yakni menyucikan-Nya dari segala kekurangan. Di samping itu, juga wajib menjauhkan dari tasybiih (menyerupakan) Allah SWT dengan semua makhluk-Nya. Sebab, ditegaskan dalam QS. al-Syura [42]: 11. Juga tidak menganggap Allah SWT membutuhkan makhuk-Nya. Sebab, Dia al-Ghaniyy (Maha Kaya, tidak butuh yang lain).

Imam Malik, sebagaimana dikutip al-Qurthubi dalam tafsirnya, berkata, ”al-istiwaa‘ ma'luum -ya'nii fii al-lughah- wa al-kayf majhuul wa al-su‘aa 'an hadzaa bid'ah (bersemayamnya Allah SWT itu diketahui berdasarkan pemahaman bahasa, bagaimana realitasnya tidak diketahui, dan menanyakan perkara tersebut adalah bid'ah).” Pendapat yang sama juga dikatakan oleh Ummu Salamah ra.

Bertanya kepada Yang Mengetahui

Ayat ini diakhiri dengan firman-Nya: Fas ‘al bihi Khabiir[an] (maka tanyakanlah tentangnya kepada yang lebih mengetahui). Menurut al-Samarqandi, khithaab ayat ini ditujukan kepada Nabi , dan yang dimaksud adalah umatnya. Sedangkan dhamiir al-ghaaib pada kata bihi kembali kepada al-Rahmaan. Menurut al-Syaukani, al-Alusi, dan al-Baidhawi, kembali kepada perkara yang telah disebutkan, seperti penciptaan langit dan bumi, al-istiwaa’ dan lain-lain.

Kata Khabiir[an] berkedudukan sebagai al-maf'uul bih (obyeknya). Yang dimaksud dengannya adalah Allah SWT. Demikian menurut al-Alusi dan al-Baidhawi. Dikatakan al-Jazairi, pengertian ayat ini adalah: ”Wahai Muhammad, bertanyalah tentang al-Rahman kepada Dzat Yang Maha Mengetahui terhadap ciptaan-Nya. Sebab, Dia adalah Pencipta dan Maha Mengetahui tentang segala sesuatu. Dialah satu-satunya Yang Maha Mengetahui tentang keagungan 'Arsy-Nya, luasnya kerajaan-Nya, kesempurnaan Dirinya; tidak ada ilaah kecuali Dia, dan tidak ada rabba selain Dia.”

Diterangkan Ibnu Katsir, pengertian ayat ini adalah: Bertanyalah tentang-Nya kepada orang yang mengetahui dan mengerti tentang-Nya, lalu ikutilah dan teladanilah. Dan sungguh telah diketahui bahwa tidak satupun orang yang lebih mengetahui dan mengerti tentang Allah melebihi hamba dan rasul-Nya Muhammad di dunia dan akhirat; tidak ada yang diucapkan olehnya berdasarkan kemauan hawa nafsunya; yang diucapkan semata-mata dari wahyu yang diwahyukan. Sehingga, semua yang dikatakan adalah kebenaran; dan semua yang dikabarkan adalah benar. Dialah al-Imam yang menghakimi; yang ketika manusia berselisih tentang sesuatu, maka wajib mengembalikan perselisihan itu kepadanya. Apa saja yang jika sesuai dengan perkataan dan perbuatannya adalah benar; dan sebaliknya, apa saja yang jika menyelisihinya, maka tertolaklah perbuatan dan perkataannya, siapapun dia. Kemudian, mufassir tersebut menyitir beberapa ayat yang mendasari penjelasannya, yakni firman Allah SWT: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)” (TQS. al-Nisa' [4]: 59). Juga firman-Nya dalam QS al-Syura [42]: 10) dan al-An'am [6]: 115).

Demikianlah. Kepada Dzat Pencipta langit dan bumi beserta isinya manusia harus bertawakal. Sebab, Dialah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. WalLaah a’lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Langit, bumi dan semua isinya diciptakan Allah SWT dalam enam masa.

2. Allah SWT ber-istiwaa 'alaa al-’arsy.

3. Bagi Nabi hanya bertanya tentang al-Rahman, penciptaan langit dan bumi, istiwaa, dan lain-lain kepada Allah SWT; sedangkan bagi umatnya bertanya kepada Nabi .[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 162


Rabu, 11 Maret 2020

Tanda Kebesaran Allah - TAFSIR al-Furqan: 53



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (TQS. al-Furqan [25]: 53).

Amat banyak realitas tergelar di alam semesta yang menjadi tanda kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Tak hanya dapat melahirkan dan mengokohkan keimanan kepada-Nya, namun sekaligus juga menjadi kenikmatan besar bagi manusia.

Di antaranya adalah adanya air tawar dan air asin. Keduanya amat diperlukan oleh manusia dan kehidupan. Oleh Allah SWT, dua jenis air itu, meskipun keduanya bertemu, akan tetapi keduanya tidak saling merusak. Yang tawar tetap tawar, dan yang asin tetap asin. Di antara keduanya terdapat dinding pemisah. Inilah tanda kebesaran Allah SWT sekaligus nikmat-Nya atas manusia yang diingatkan oleh ayat ini.

Dua Jenis Air

Allah SWT berfirman: Wahuwa al-ladzii maraja al-bahrayn (dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir [berdampingan]). Dalam ayat sebelumnya, tepatnya ayat 48, manusia diingatkan tentang kenikmatan berupa angin yang dikirimkan Allah SWT dengan membawa kabar gembira berupa hujan yang turun setelah itu. Air hujan yang diturunkan itu sangat bersih, sehingga sebagaimana diterangkan para mufassir, air tersebut suci dan menyucikan. Di samping itu, dengan air tersebut Allah SWT menghidupkan tanah yang mati dan gersang; dan dijadikan sebagai minuman oleh binatang dan manusia.

Kemudian dalam ayat ini diberitakan adanya al-bahrayn yang dialirkan oleh Allah SWT dan saling berdampingan. Menurut Imam al-Qurthubi, ayat ini kembali mengingatkan nikmat-nikmat Allah. Fakhruddin al-Razi dan al-Syaukani berkata, ”Ini merupakan jenis keempat yang menunjukkan bukti-bukti kebenaran tauhid."

Kata al-bahr, menurut al-Raghib al-Asfahani, pada asalnya menunjuk semua tempat luas yang menghimpun air yang amat banyak. Dijelaskan pula oleh Fakhruddin al-Razi, air yang banyak dan luas itu disebut bahrayn. Bertolak dari pengertian tersebut, maka kata al-bahr mencakup laut, danau yang luas, dan sungai yang besar. Semua dapat dikategorikan sebagai al-bahr. Penyebutan kata al-bahrayni dalam ayat ini yang meliputi dua jenis air, yakni air tawar dan air asin semakin memperkuat kesimpulan tersebut.

Masih menurut al-Asfahani, ada pula sebagian yang berpendapat bahwa al-bahr adalah air yang asin, bukan yang tawar. Ini berarti, kata tersebut hanya untuk menyebut laut. Sebab, yang airnya asin adalah laut. Lalu mengapa dalam ayat ini disebutkan al-bahrayn (dua laut), yang mencakup air tawar dan air asin? Menurut mereka, ini sebagaimana kata al-syams (matahari) dan al-qamar (bulan) ketika keduanya dinyatakan secara bersamaan disebut al-qamaraani (dua bulan).

Sedangkan kata maraja, menurut al-Razi pada asalnya bermakna al-irsaal wa al-khalth (melepaskan dan mencampuradukkan). Ini sebagaimana firman Allah SWT: Fahum fii amr[in] mariij (maka mereka berada dalam keadaan kacau-balau, QS. Qaff [50]: 5). Tak jauh berbeda, al-Syaukani juga memaknainya sebagai khallaa wa khalatha wa arsala (membiarkan, membaurkan, dan melepaskan). Mujahid berkata, “Melepaskan keduanya dan mengalirkan yang satu kepada yang lainnya.”

Kemudian Allah SWT berfirman: Hadzaa 'adzb[un] furaat wa hadzaa milh ujaaj (yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit). Ini merupakan penjelasan tentang dua laut yang saling bertemu. Pertama, 'adzb[un] furaat (air tawar lagi segar). Pengertian 'adzb[un], adalah tawar. Sedangkan kata furaat merupakan puncak dari rasa tawar, hingga menjadi manis.

Kedua, milh ujaaj (yang lain asin lagi pahit). Kata ujaaj merupakan kebalikan dari furaat. Demikian dikatakan al-Razi.

Dipisahkan Dinding Pembatas

Kemudian Allah SWT berfirman: Waja'ala baynahumaa barzakh[an] (dan Dia jadikan antara keduanya dinding). Meskipun keduanya bertemu, akan tetapi di antara keduanya dibuat barzakh. Kata barzakh bermakna al-haajiz (penghalang, pemisah). Yakni, pemisah yang dijadikan Allah SWT dengan kekuasaan-Nya untuk memisahkan antar kedua jenis air itu dan mencegah keduanya bercampur-baur. Demikian menurut al-Syaukani.

Ditegaskan Iagi dalam firman-Nya: Wahijr[an] mahjuur[an] (dan batas yang menghalangi). Frasa tersebut bermakna satr[an] mastuur[an] (tabir yang ditutupi), mencegah salah satunya bercampur-baur dengan yang lain. Demikian dikatakan al-Syaukani. Menurut al-Alusi, maksud darinya adalah tetapnya kedua jenis air dengan sifatnya masing-masing, yang tawar maupun yang asin. Air yang tawar (di sungai besar, -pen.) tidak berubah menjadi asin. Demikian juga sebaliknya, air yang asin (di laut) tidak berubah menjadi tawar.

Tentang adanya dua air yang bertemu dan keduanya dipisahkan dinding penyekat sehingga tidak saling melampaui juga diberitakan dalam firman Allah SWT: “Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu, antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing” (TQS. al-Rahman [55]:19-20). Juga firman-Nya: “Dan menjadikan suatu pemisah antara dua laut?” (TQS. al-Naml [27]: 61).

Kenikmatan

Ayat ini memberitakan tentang kebesaran dan kekuasaan Allah SWT atas alam semesta, sekaligus mengingatkan kenikmatan besar yang dianugerahkan-Nya kepada manusia. Seperti telah diketahui, di bumi ini terdapat dua jenis air, yakni air tawar dan air asin yang mengandung garam. Air tawar berada di sungai, danau, telaga, sumur, dan berbagai sumber mata air di daratan. Sedangkan air asin berada di laut.

Air tawar merupakan kebutuhan utama yang harus selalu tersedia untuk kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Sekitar tiga per empat bagian dari tubuh manusia terdiri dari air. Selain itu, air tawar juga dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi, membersihkan kotoran, dan lain-lain. Air tawar juga digunakan untuk keperluan industri, pertanian, pemadam kebakaran, dan lain-lain.

Tidak hanya bagi manusia, air tawar juga merupakan bagian yang amat penting bagi tumbuh-tumbuhan, binatang, dan lain-lain. Tanpa air tawar yang tersedia cukup semua mahluk hidup di permukaan bumi akan musnah.

Oleh karena itu, keberadaan air tawar merupakan kenikmatan tak terhingga bagi manusia. Maka, sudah sepantasnya manusia bersyukur atasnya. Allah SWT berfirman: “Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?” (TQS. al-Waqi'ah [56]: 68-70).

Sedangkan air laut dimanfaatkan oleh para penambang garam untuk menghasilkan garam berkualitas. Tanpa air laut tidak mungkin ada garam yang sering kita konsumsi pada makanan kita. Garam memiliki kandungan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh kita seperti magnesium dan lain-lain. Air laut juga merupakan tempat pembusukan dan penghancuran bahan baku biologis.

Demikianlah. Allah SWT menciptakan air tawar dan air asin. Dalam tempat tertentu, keduanya bertemu. Akan tetapi, pertemuan itu tidak membuat keduanya menjadi saling merusakkan. Semua hanya terjadi atas kekuasaan dan kemurahan Allah SWT. Mengapa masih ada manusia yang mengingkari kekuasaan-Nya dan menolak bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya? Wal-Laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Air dari daratan dan air laut dibiarkan Allah SWT saling bertemu, tetapi keduanya tidak bercampur.
2. Keberadaan air air tawar dan air laut merupakan kenikmatan besar bagi manusia.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 157
---


https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=217612919427467&id=100035362820806

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam