Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Rabu, 23 Agustus 2017

China Mengejar Pertumbuhan Ekonomi Ke Luar Negeri Tapi Menelantarkan Jutaan Anak-Anaknya di Dalam Negeri



Sebuah laporan yang baru diterbitkan mengenai "China's left-behind children" (anak-anak China yang ditelantarkan) mengatakan bahwa hampir 1/3 dari seluruh siswa di desa ditelantarkan oleh para orangtuanya, dengan 8% mengklaim bahwa kematian orangtua mereka tidak mempengaruhi mereka. Lebih dari 1/2 anak-anak desa bertemu orangtua mereka -yang menjadi pekerja migran- kurang dari 2 kali per tahun, demikian menurut White Paper Chinese Left-behind Children’s Psychological Conditions yang dikirm ke Global Times pada Senin 24 Juli oleh On the Road to School, sebuah NGO (Non-Government Organization) yang menyediakan bantuan psikologis dan keuangan untuk anak-anak yang terlantar.

Tahun lalu, menurut the All-China Women’s Federation, sebuah badan resmi, dan UNICEF, badan PBB untuk anak-anak, 61 juta anak-anak di China yang berusia 17 tahun telah ditinggalkan di area pedesaan sementara seorang atau kedua orangtua mereka pindah untuk bekerja. Lebih dari 30 juta anak laki-laki dan perempuan, sebagian masih usia 4 tahun, tinggal di sekolah-sekolah asrama di desa, jauh dari orangtua dan seringkali jauh dari kakek-nenek ataupun pelindung. 36 juta anak-anak yang lain telah pindah dengan keluarga mereka ke kota-kota, tapi orangtua mereka sering terlalu sibuk untuk mengurus mereka secara layak.

Komentar:
Dehumanisasi selalu menjadi ongkos sosial yang bersifat merusak demi pertumbuhan ekonomi kapitalistik. Di tengah industrialisasi dan ekspansi ekonomi Cina yang massive ke luar negeri untuk membangun ambisi Jalur Sutranya, negara ini menelantarkan generasi masa depannya dengan memaksa jutaan orangtua bermigrasi untuk bekerja. Fenomena ini juga beriringan dengan pertumbuhan jumlah perempuan lajang (single) yang percaya bahwa pernikahan tidaklah dibutuhkan untuk hidup bahagia. Populasi China yang tidak menikah menyentuh angka 200 juta.

Cina juga layak untuk disebut sebagai negara tidak-ramah-anak. Kebijakan satu-anak -yang kontroversial- selama puluhan tahun, melawan dan menghalangi lahirnya generasi masa depannya sendiri karena pandangannya bahwa populasi yang besar adalah beban ekonomi. Meskipun hari ini kebijakan itu telah direvisi, China tetap memiliki visi yang buruk mengenai anak-anak dan generasi masa depan.

Ini adalah buah pahit ideologi kapitalis materialistis yang memandang solusi atas semua masalah dari sudut pandang ekonomi dan mengabaikan dampak sosial pada kehidupan anak-anak, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Hasil dari sebuah penelitian oleh seorang Profesor dari Beijing Normal University, Li Yifei (2015), bahkan menyatakan bahwa tingkat trafficking (penculikan/jual-beli untuk dipekerjakan secara ilegal) terhadap anak-anak, kekerasan seksual, bunuh diri, kejahatan, dan penyakit-penyakit sosial lainnya sangatlah tinggi di antara anak-anak "yang ditinggalkan" itu.

Sebelum sebuah imperium runtuh, pertamanya dia mengalami keropos dari dalam. Keruntuhannya mungkin tampak tiba-tiba, tapi terjadi proses pembusukan internal yang merapuhkan ketahanan dan vitalitas imperium itu sebelum keruntuhan finalnya. Bom waktu demografi China terus berdetak menunggu kematiannya; hingga akhirnya tak lagi punya kendali atas kerusakan-kerusakan sosial sebagai harga mahal bagi kemajuan ekonomi yang mereka kejar. Ini sesungguhnya merupakan esensi dari sistem buatan-manusia, yang jauh dari petunjuk Allah, dan menjadi kehancuran manusia karena bereksperimen dan berpetualang (menuruti akalnya yang terbatas). China jelas perlu belajar dari Islam sebelum kejatuhannya. Ingat apa yang telah difirmankan Allah Swt.:

"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (TQS. Thaha [20]: 124)

Sumber: China Pursues Economic Growth Abroad but Abandons Millions of its Children in Homeland

Jumat, 18 Agustus 2017

Data Anti-Feminisme / Kontra-Feminisme



Berikut ini adalah kumpulan kutipan dari buku “The Politically Incorrect Guide to Women, Sex And Feminism, Regnery Publishing, United States, 2006” tulisan Carrie L. Lukas. Kutipan tulisan maupun kutipan data-data statistik dari masyarakat berperadaban kufur Barat (sekularisme, kapitalisme, demokrasi, pluralisme, individualisme, liberalisme) ini bermuatan kontra-feminisme/anti-feminisme atau bertentangan dengan propaganda gerakan feminisme.

“Gerakan feminisme modern bukanlah tentang kesetaraan jender. Gerakan itu adalah tentang sebuah agenda yang dirancang untuk menguntungkan kelompok berkepentingan: para perempuan yang mau mengikuti ide-ide feminis profesional mengenai apa yang seharusnya perempuan inginkan. Untuk mendorong agenda ini, gerakan feminis modern menempuh jalur udara, internet, dan media cetak, dan berjalan di ruang-ruang Congress, pemerintah federal, dan gedung-gedung DPR negara bagian untuk meluaskan pemerintah, mensubsidi pilihan-pilihan yang “benar” secara politik, dan mengubah budaya kita sehingga pria dan wanita menjadi sama saja. Mereka juga bekerjasama dengan rekan-rekan liberal untuk mencapai tujuan-tujuannya.”

“Pengaruh feminis pada pemerintah, media, dan sistem pendidikan kita berarti bahwa banyak perempuan muda yang mendapatkan banyak informasi yang salah. Dan informasi yang salah menghasilkan keputusan-keputusan yang salah yang khususnya merupakan keputusan yang berdampak buruk ketika dibuat oleh perempuan muda, yang baru saja memulai kemandirian.”

“Pikirkan tentang banyak keputusan penting yang seorang wanita muda –sebut saja Amanda- akan buat selama sepuluh tahun hidupnya. Amanda bekerja keras di sekolah menengah atas untuk mendapatkan sekolah tinggi yang bagus. Dia punya sekelompok teman baik dan menikmati berbagai aktivitas gadis-kampus –dia baca bermacam majalah semacam Cosmopolitan dan Glamour, menyelami Desperate Housewives dan menonton-ulang Sex and the City, tapi tetap selalu bisa menyelesaikan studi kampusnya. Segera, dia akan dapat gelar dari universitas ternama dan bersiap untuk memulai tahap berikutnya dalam hidup.”

“Dia akan dapat pekerjaan dan memulai karir. Dia akan bertemu calon pasangan potensial dan mungkin akan berpikir untuk menikah. Dia akan membuat keputusan kesehatan yang penting: dia mungkin mempertimbangkan hidup dengan seks bebas dan mungkin akan menghadapi keputusan apakah akan melakukan aborsi.”

“Dia akan berpikir untuk punya anak. Jika dia memutuskan untuk mulai membangun keluarga, dia akan menghadapi pilihan-pilihan tentang perannya sebagai orangtua dan bagaimana menyeimbangkan antara keluarga dan aspirasi karir. Dia mungkin juga berpikir untuk bercerai.”

“Apakah Amanda punya informasi yang diperlukannya untuk membuat keputusan yang akan meningkatkan kesempatan jangka-panjangnya untuk hidup dengan kesehatan dan kebahagiaan?”

“Sayangnya, jawabannya adalah tidak. Kemungkinan besar, dia telah diberi banyak informasi yang salah, yang kebanyakannya berlabel benar-secara-politik.”

“Amanda tumbuh dalam budaya yang membuatnya kesulitan untuk mendeskripsikan benar dan salah –dia khawatir menjadi seorang yang menghakimi. Bahkan ketika dia mengharapkan pernikahan, dia melihat perceraian sebagai suatu hasil yang alamiah dari pernikahan yang tidak sepenuhnya bahagia. Dia telah dipenuhi dengan budaya popular yang mengagungkan pergaulan bebas, dan membaca literatur feminis yang memberitahu dia bahwa mengaitkan seks dengan pernikahan dan cinta adalah kuno. Dia terkadang bingung mengenai peran seks dalam hidupnya, apakah dia harus memandangnya sebagai aktivitas bebas, semata untuk kesenangan, atau sebagai sesuatu yang lebih berarti. Dia ingin karir yang memuaskan dan telah mendengarkan berbagai organisasi politik feminis yang mengatakan bahwa tujuan utama perempuan seharusnya adalah untuk bekerja full-time dan menghasilkan banyak uang. Amanda bergelut untuk menimbang antara berbagai pandangan itu dengan harapan dan keinginannya sendiri.”

“Bisakah kamu mengenali Amanda? Aku yakin bisa – dia kurang lebih adalah aku sepuluh tahun yang lalu. Banyak temanku hari ini yang sedang belajar di usia tiga puluhan bahwa mereka berhadap dulunya ketika usia dua puluhan membuat keputusan-keputusan yang berbeda. Dan ketika aku bicara pada beberapa orang dari generasi yang sekarang baru saja lulus sekolah tinggi, aku menjumpai para perempuan yang punya harapan dan kekhawatiran yang sama, dan mereka –seperti aku- tak punya peta jalan untuk bagaimana menavigasi di medan bergelombang masa dewasa.”

“Aku sekarang tiga puluh dua tahun, menikah, dan baru saja punya anak pertama. Aku tahu kesulitan yang dihadapi perempuan selama usia dua puluhan dan tiga puluhan ketika mereka membuat keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi sisa hidupnya.”
---

“Sudah terlalu lama, gerakan feminis mendiktekan apa yang layak dibicarakan tentang –dan apa yang tidak boleh- mengenai isu-isu kehidupan perempuan. Etika bungkam telah meliputi isu-isu semacam dampak negatifnya seks bebas, hubungan antara usia dan kesuburan, dan dampak penitipan anak dan perceraian terhadap anak-anak. Kebungkaman ini punya konsekuensi serius bagi para wanita, keluarganya dan masyarakat kita.”
---

“Feminisme “gelombang kedua” terjadi selama 1960-an dan 1970-an ketika para wanita mulai mendorong perubahan hukum dan sosial yang akan memungkinkan mereka berpartisipasi secara penuh dalam masyarakat dan perekonomian. Banyak yang menyoraki mulainya feminisme gelombang-kedua dengan terbitnya buku The Feminist Mystique karangan Betty Friedan. Buku ini mendeskripsikan ketidakpuasan yang dirasakan banyak ibu rumah tangga tentang situasi mereka dan mendorong para perempuan untuk mempertimbangkan bekerja di luar rumah. Pesan ini banyak diterima perempuan, dan banyak dari mereka bergabung untuk menekankan perubahan politik dan sosial.”

“Para feminis “gelombang-kedua” menuntut jaminan perlakuan hukum yang sama terhadap perempuan dan berakhirnya diskriminasi berdasar gender. Mereka juga mengupayakan perubahan ekspektasi sosial bagi perempuan. Beberapa dari perubahan ini termasuk sekadar mendorong para perempuan untuk bekerja dan memiliki peran yang biasanya diperuntukkan bagi laki-laki. Namun, beberapa feminis punya keinginan akan pilihan yang lebih banyak dan terang-terangan menyerang peran-peran yang biasanya dilakukan perempuan. Mereka mempertanyakan –dan kadang menyerang untuk merendahkan- konsep keluarga. Mereka memandang laki-laki bukan sebagai rekan yang setara, tapi sebagai musuh yang menindas perempuan. Mereka mendorong perempuan untuk meninggalkan hubungan tradisional dan memeluk “pembebasan” seksual. Selama periode ini –dan sebagian karena pengaruh gerakan feminis- sikap orang Amerika terhadap seks bergeser drastis, termasuk keterbukaan terhadap seks pranikah, dan struktur keluarga mulai bergeser, dengan perceraian dan kelahiran di-luar-nikah melejit.”
---

“Sesungguhnya, jika perbedaan jender adalah alamiah, maka ide feminis mengenai kemajuan bukanlah kemajuan sama sekali, dan agenda mereka mengakibatkan pria dan wanita menjadi lebih buruk dengan menjauhkan mereka dari pilihan mereka sebenarnya demi mengejar fantasinya feminis.”
---

“Tapi bahkan para perempuan yang berusaha mengikuti “The Rules” (ide yang mendorong perempuan untuk agresif dalam berpacaran) dan mengubah dinamika pacaran modern dengan secara personal mengadopsi standar yang lebih konvensional untuk hubungan –seperti menunda seks hingga menikah atau menunda seks hingga hubungan monogami yang serius- pun terpengaruh realitas era pacaran feminis. Seorang perempuan yang berharap menjaga keperawanannya hingga menikah harus bersaing dengan perempuan yang mau seks sebelum menikah dan seringkalinya tanpa komitmen. Kemampuannya untuk memegang kendali atas laki-laki dan mendorong laki-laki untuk menawarkan komitmen dan pernikahan, bukannya keintiman yang lebih (sebelum menikah), menjadi terbatasi oleh ketersediaan seks di tempat lain.”
---

“anak-anak yang dibesarkan oleh orangtuanya cenderung punya lebih sedikit masalah emosi dan perilaku daripada anak-anak yang menghabiskan banyak waku di penitipan anak.”
---

“orang yang menikah cenderung lebih bahagia, sehat, dan lebih baik keuangannya.”
---

“Seorang wanita muda yang membaca Cosmopolitan atau menonton televisi popular bisa dengan mudah berasumsi bahwa dia gagal menjadi seorang wanita yang terbebaskan kecuali jika dia melakukan seks bebas. Para feminis telah lama mengeluhkan bagaimana masyarakat mengidealkan kesucian perempuan dan mendorong mereka untuk menjadi penjaga gerbang seksual. Para feminis menyoraki revolusi seksual yang membuat seks bebas menjadi lebih diterima.”
---

“Dalam dunia majalah-majalah wanita, seks adalah aktivitas rekreasional. Sebagaimana majalah tentang memancing atau memasak yang menawarkan tips berguna tentang bagaimana mendapatkan kesenangan yang maksimal dari hobi-hobi itu, demikian pula dengan banyak majalah wanita dan seks.”
---

“Banyak perempuan menyesali seks bebas, tidak hanya segera setelah melakukannya, tapi juga bertahun-tahun setelahnya ketika mereka telah menikah atau akhirnya menemukan cinta dalam hidupnya.”
---

“Tidak hanya artikel-artikel semacam itu –yang secara rutin ditampilkan dalam majalah-majalah yang menyasar wanita muda- menampilkan seks sebagai hobi yang menyenangkan, tanpa arti, mereka juga melestarikan kepercayaan bahwa semua orang melakukan seks dan banyak melakukannya. Seorang perempuan yang tidak “mengambil kendali atas seksualitasnya” dan melakukan banyak percintaan berarti rugi.”
---

“Seks bebas juga menjadi pondasi bagi banyak tayangan reality show yang menarget remaja, semacam The Real World. Serial ini dirancang dengan tujuan eksplisit menempatkan anak-anak usia mahasiswa yang tak terikat, berfisik atraktif ke dalam situasi hidup intim, di mana alkohol tersedia, dalam rangka mendorong terjadinya berondongan situasi seksual. Para karakter yang melibatkan dirinya dalam petualangan seksual terbanyak diberi hadiah dengan ditayangkan lebih banyak dan seringkali akhirnya menjadi pseudo-celebrities. Dan, tentu saja, dalam tayangan popular HBO Sex and The City, para karakter utamanya melakukan banyak percintaan, seringkali tanpa mengharap atau berkeinginan untuk komitmen.”

“Tayangan-tayangan itu tampak mempengaruhi para wanita muda.”
---

“Ikon feminis terdepan Gloria Steinem merangkum keyakinan feminis tentang apa artinya menjadi seorang perempuan modern: “Seorang perempuan terbebaskan adalah yang telah melakukan seks sebelum menikah dan bekerja setelah menikah.” Dengan kata lain, jika kamu belum melakukan seks sebelum menikah, kamu tidak termasuk terbebaskan.”
---

“Pesan budaya popular kepada anak-anak: lakukan saja!”
“Pendidikan seks dimulai di sekolah dasar di seantero Amerika hari ini. Thongs (celana dalam seksi) dipasarkan ke anak-anak perempuan semuda usia tujuh tahun. Majalah-majalah yang menyasar audiens anak-anak pra-remaja diisi dengan masukan tentang seks dan hubungan. Remaja perempuan makin banyak yang mendapat pembesaran payudara melalui operasi –kadang sebagai hadiah kelulusan dari orangtua mereka.”
---

“Salah satu jalan cerita berterusan pada tayangan televisi popular 1990-an Beverly Hills 90210 berkutat sekitar karakter Donna Martin (dimainkan oleh Tory Spelling) –seorang perawan yang awalnya berniat menunggu hingga pernikahan. Sentimen yang sangat kuno ini menyebabkan banyak problem bagi Donna di dalam dunia 90210, dan audiens menunggu untuk melihat kapan perawan terakhir ini akhirnya menjadi bijak dan menyerah.”

“Pesan itu merupakan pengulangan dari klasik remaja 1980-an semacam Breakfast Club dan Sixteen Candles, di mana para karakter sekolah menengah atas menolak untuk mengakui bahwa mereka masih perawan. Film-film itu sekarang menjadi makanan pokok atau “klasik yang baru” yang ditampilkan rutin di jaringan televisi kabel seperti TNT.”

“Dalam beberapa tahun terakhir, tayangan-tayangan televisi semacam The O.C. dan Dawson’s Creek terus menampilkan perkara percintaan usia remaja agresif, dan mengeluhkan nasib remaja yang canggung atau tak beruntung yang belum mengikat deal. Film popular American Pie berfokus pada empat remaja sekolah menengah atas dan petualangannya untuk melepaskan keperjakaannya saat senior prom (pesta kelulusan sekolah). Lulus dari sekolah sebagai perjaka adalah nasib yang terlalu buruk untuk diterima.”
---

“Penulis best-selling dan mahasiswa hukum Harvard Ben Shapiro mendeskripsikan bagaimana dia telah diejek sebagai “The Virgin Ben.” Shapiro telah menulis secara lebar tentang over-seksualisasi generasinya –yang dia sebut the “porn generation”- dan mendukung sikap tidak melakukan seks bebas, membuatnya menjadi target empuk.”
---

“Pendidikan seks liberal mengabaikan informasi penting. Wanita muda, terbebaskan dari rasa takut akan kehamilan yang tak diinginkan karena memakai kontrasepsi, mungkin melakukan lebih banyak aktivitas seksual yang mengakibatkan berbagai penyakit menular seksual.”

“Kondom, sementara menurunkan risiko-risiko kesehatan, adalah alat yang terbatas dalam hal melindungi dari penyakit-penyakit menular seksual yang menjadi perhatian serius perempuan.”
---

“Kenyataannya, pendidikan seks hari ini seringkali menjadi forum-forum untuk menyuntikkan moral liberal dan pandangan dunia feminis ke dalam para siswa.”
---

“Menurut National Campaign to Prevent Teen Pregnancy, 1 dari 3 perempuan mengalami kehamilan setidaknya sekali sebelum umur 20. (“Factsheet: How is the 34% statistic calculated?” National Campaign to Prevent Teen Pregnancy, Washington, DC, 2004. Available at: http://www.teenpregnancy.org/resources/reading/pdf/35percent.pdf)”
((NB: Jika link mati atau halaman web tidak ditemukan maka silakan coba search judul laporan tersebut))

“Sekitar 8 dari 10 kehamilan remaja tidaklah direncanakan dan di luar pernikahan. (“Not Just Another Single Issue: Teen Pregnancy Prevention’s Link to Other Critical Social Issues,” The National Campaign to Prevent Teen Pregnancy, February 2002, 2. Available at: http://www.teenpregnancy.org/resources/data/pdf/notjust.pdf)”

“Sekitar 30% kehamilan remaja berakhir pada aborsi, yang menunjukkan bahwa lebih dari 250.000 remaja melakukan aborsi tiap tahun. (“Not Just Another Single Issue: Teen Pregnancy Prevention’s Link to Other Critical Social Issues,” The National Campaign to Prevent Teen Pregnancy, February 2002, 2. Available at: http://www.teenpregnancy.org/resources/data/pdf/notjust.pdf)”
---

“Tapi meskipun tingkat kehamilan tak diinginkan telah turun sekitar 30 persen sejak puncaknya di 1990, jumlah infeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) terus berlanjut naik. Setiap tahun sekitar 10 juta orang di kelompok usia 15 sampai 24 mengidap PMS, yang berarti bahwa dari antara mereka yang aktif secara seksual, sekitar 1 dari 3 akan mengidap PMS sebelum usia 24. (“It’s Your (Sex) Life: Your Guide to Safe and Responsible Sex,” Henry J. Kaiser Family Foundation, August 18, 2005. Available at: http://www.kff.org/youthhivstds/upload/MTV_Think_IYSL_Booklet.pdf)”

“Sebagai contoh, tingkat infeksi herpes genital tumbuh 30% sejak 1970, dengan peningkatan terbesar terjadi pada remaja muda. Menurut CDC, 45 juta orang Amerika berusia lebih dari 12 –atau 1 dari 5 total populasi remaja dan dewasa- terinfeksi herpes alat kelamin. Mereka yang terinfeksi bisa mengalami perih periodik di daerah alat kelamin sepanjang hidupnya. (“Genital Herpes,” Health Matters, National Institute for Allergy and Infections Diseases, National Institute of Health, Department of Health and Human Services, September 2003. Available at: http://www.niaid.nih.gov/factsheets/stdherp.htm)”

“The Human Papillomavirus (HPV) telah mendapatkan perhatian lebih di beberapa tahun terakhir karena tumbuhnya kesadaran mengenai hubungan virus itu dengan kanker serviks. HPV adalah nama dari sekumpulan virus yang terdiri dari 100 jenis lebih, yang mana sebagiannya menular secara seksual.”
---

“Infeksi Chlamydia adalah PMS yang paling umum dan insiden-insiden terdiagnosis Chlamydia telah melejit selama 20 tahun terakhir. CDC memperingatkan bahwa tingkat diagnosis yang tinggi sebagian merupakan berita baik –peningkatan itu bisa menjadi pendeteksian lebih baik dan lebih banyak penanganan, bukan hanya peningkatan dalam hal jumlah pengidap. Mendiagnosis Chlamydia khususnya penting karena walaupun bisa ditangani dengan antibiotik, jika tak tertangani maka bisa menghasilkan penyakit inflamasi pelvic, yang bisa mengakibatkan infertilitas/ketidaksuburan dan komplikasi-komplikasi lain. (“Chlamydia,” STD Surveillance 2003, Center for Disease Control, Department of Health and Human Services. Available at: http://www.cdc.gov/std/stats/chlamydia.htm)”

“Tanpa melihat apakah tingkat infeksi naik atau selalu setinggi ini, penyakit ini mempengaruhi terlalu banyak perempuan hari ini. Faktanya, Chlamydia adalah yang paling umum di antara para perempuan di kelompok usia 15 sampai 24: di 2003, 2,5% perempuan di kelompok usia ini terdiagnosis dengan Chlamydia.”

“Kenyataannya adalah “PMS tidaklah netral-gender”; perempuan jauh lebih berpotensi mengidap PMS daripada laki-laki yang straight (bukan pelaku sodomi). (Steven E. Rhoads, Taking Sex Differences Seriously (San Francisco, Encounter Books, 2004) 108).”
“Perempuan 8 kali lebih mungkin mendapat HIV dan 4 kali lebih mungkin mendapat gonorrhea dari satu tindakan senggama daripada laki-laki. Perempuan juga lebih mungkin terkena kerusakan permanen dari PMS, seperti infertilitas dan kanker-kanker. Meski demikian, hanya 1/3 perempuan yang menyadari lebih mungkinnya mereka mengidap PMS.( Steven E. Rhoads, Taking Sex Differences Seriously (San Francisco, Encounter Books, 2004) 108)”

“Tentu saja, penyakit menular seksual punya konsekuensi lebih daripada sekadar konsekuensi fisik. PMS juga bisa menghancurkan secara emosi, khususnya bagi orang muda. Dr. Meg Meeker, penulis buku Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our Kids, merinci bagaimana semua pasien yang didiagnosis dengan penyakit seumur-hidup, herpes, mengalami perasaan kehilangan dan sakit hati sementara menghadapi penyakit mereka, tapi dia menekankan bahwa diagnosis itu khususnya berdampak menghancurkan bagi para remaja yang memang galau, sering mengakibatkan depresi dan kehilangan harga diri. (Dr. Meg Meeker, Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our Kids, (Washington DC, LifeLine Press, 2002) 44)”

“Apakah seks yang aman membuat anak kurang aman?”
“Beberapa peneliti percaya bahwa meningkatnya kesadaran dan ketersediaan alat-alat kontrasepsi telah menjadi bahan bakar bagi meningkatnya penyakit-penyakit menular seksual. Wanita muda, terbebaskan dari rasa takut akan dampak negatif jangka pendek hubungan seksual –kehamilan tidak diinginkan- mungkin melakukan lebih banyak aktivitas seksual yang berakibat pada peningkatan PMS. Dr. Meeker merangkum keterkaitan itu: “Alat-alat kontrasepsi itu sendiri yang telah membuat tingkat kelahiran remaja turun, juga membuat seks bebas lebih mudah dari sebelumnya, maka membuat tingkat PMS secara bersamaan meroket. (Mary Eberstadt, Home-Alone America: The Hidden Toll of Day Care, Behavioral Drugs, and Other Parent Substitutes (New York, Sentinel, 2004) 131)”

“Selain itu, sekalinya seorang remaja melakukan seks, ia menjadi lebih mudah untuk melakukannya lagi. Hasilnya, para remaja melakukannya dengan lebih banyak pasangan dan berperilaku lebih berisiko. Tidak mengherankan, semakin muda seorang perempuan menjadi aktif secara seksual maka lebih mungkin dia punya banyak pasangan dan semakin besar kesempatan dia mengidap PMS.”
---

“Dan jika kamu mungkin bertanya, “Bagaimana dengan kondom?” lanjut baca. Kita memberi terlalu banyak kepercayaan kepada paket latex tipis dan kulitdomba itu. Dalam kebanyakan kasus, kemungkinan kondom mencegah PMS adalah setipis kondom itu sendiri.” –Dr. Meg Meeker, dokter anak dan penulis Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our Kids.”

“Batasan Kondom”
“Kondom, sementara mengurangi risiko penularan penyakit-penyakit menular seksual, merupakan alat yang terbatas dalam melindungi dari beberapa PMS yang menjadi kekhawatiran kaum perempuan. Sebuah laporan tahun 2001 oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases menemukan bahwa kondom tidak mengurangi kemungkinan mengidap HPV. (“Workshop Summary: Scientific Evidence of Condom Effectiveness for Sexually Transmitted Disease (STD) Prevention,” National Institute of Allergy and Infectious Diseases, National Institutes of Health, Department of Health and Human Services, July 20, 2001, 26)”

“CDC menyatakan bahwa keterbatasan kondom dalam mencegah penyebaran penyakit radang alat kelamin, semacam herpes genital dan syphilis, karena infeksi bisa ada di kulit yang tidak tertutup kondom. (“Male Latex Condoms and Sexually Transmitted Diseases,” Fact Sheet for Public Health Personnel, National Center for HIV, STD and TB Prevention, Center for Disease Control, Department of Health and Human Services, available at: http://www.cdc.gov/hiv/pubs/facts/condoms.htm)”

“Sayangnya, para remaja cenderung menggunakan kondom secara sporadis. Sebuah penelitian tahun 1997 mengenai remaja perempuan sekolah menengah atas menemukan bahwa hanya sekitar setengah dari mereka yang menggunakan kondom ketika terakhir kali melakukan senggama. (Dr. Meg Meeker, Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our Kids, (Washington DC, LifeLine Press, 2002) 26)”

“Sekalinya para remaja menjadi terlibat dalam hubungan seksual, mereka semakin mungkin menjadi malas menggunakan kondom. Mereka pernah melakukan seks tanpa mendapat kehamilan dan tanpa mengidap PMS (setidaknya jenis yang mereka tahu), jadi mereka menjadi kurang khawatir terhadap berbagai konsekuensi seks dan semakin mungkin mengambil risiko. (Dr. Meg Meeker, Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our Kids, (Washington DC, LifeLine Press, 2002) 113)”

“Ini adalah salah satu penjelasan potensial atas temuan bahwa remaja yang lebih tua (usia 18 dan 19) cenderung kurang menggunakan kondom daripada remaja yang lebih muda (15 hingga 17). (Dr. Meg Meeker, Epidemic: How Teen Sex Is Killing Our Kids, (Washington DC, LifeLine Press, 2002) 116)
---

“Kekerasan terhadap perempuan –kekerasan domestik, perkosaan, atau bentuk-bentuk serangan lain- adalah problem yang signifikan di Amerika Serikat.”
---

“Hampir 1/3 pembunuhan yang korbannya perempuan dilakukan oleh seorang pasangan, mantan pasangan, atau pacar laki-laki/perempuan, dibandingkan dengan hanya 5% yang korbannya laki-laki. Lebih jauh para perempuan terhitung hampir 2/3 dari semua yang dibunuh oleh orang-orang dekat itu sementara laki-laki melakukan hampir 2/3 dari pembunuhan semacam itu.”
---

“Para wanita juga terhitung lebih dari 80% dari semua pembunuhan terkait-seks, yang cenderung untuk mendapatkan perhatian media dan publik. Sebaliknya, lebih dari 90% korban terkait narkoba dan geng adalah laki-laki,”
---

“Kekerasan domestik mungkin adalah satu-satunya area di mana para peneliti sosial menggunakan istilah suami untuk menyebut salah satu atau semua dari berikut ini: laki-laki yang dinikahi, laki-laki yang tadinya dinikahi, laki-laki yang hidup bersamanya, laki-laki yang sekadar melakukan seks dengannya, dan/atau laki-laki yang seseorang tadinya biasa melakukan seks dengannya. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000) 150-151)”

“Dengan sekitar 188.000 perempuan mendapat kekerasan tiap tahun, tidak diragukan bahwa kekerasan rumah tangga, atau kekerasan pasangan intim, terhadap perempuan di negara ini (AS) adalah problem yang sangat signifikan. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000) 154)”

“Penelitian menunjukkan bahwa para perempuan yang menikah kurang cenderung menjadi korban kekerasan daripada mereka yang bercerai, berpisah, atau tidak menikah tapi berhabitat-bersama (cohabitating) dengan laki-laki. Waite dan Gallagher meneliti data yang dikumpulkan dalam National Crime Victimization Survey dan menemukan bahwa 2/3 dari serangan pada perempuan yang termasuk kategori “kekerasan intim” (yang berarti bahwa serangan kekerasan dari teman atau kenalan tidak termasuk) tidaklah dilakukan oleh para suami. Demikian pula, mantan pasangan, pacar laki-laki, ataupun mantan pacar laki-laki bertanggung jawab atas 21% pemerkosaan dibandingkan dengan 5% yang dilakukan oleh suami (kenalan, teman, atau kerabat lainnya bertanggung jawab atas lebih dari ½ kasus-kasus perkosaan). (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000) 155)”

“Kekerasan dalam pernikahan jelas ada. Tapi perempuan muda yang mempertimbangkan hubungan masa depannya harus memahami bahwa kekerasan menjangkiti sejumlah minor pernikahan. Kurang dari 2% istri dan 1% suami menjadi korban kekerasan yang mengakibatkan luka fisik dalam setahun. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000) 153)”
---

“Menurut Department of Justice, lebih dari 150.000 perempuan menjadi korban perkosaan ataupun upaya perkosaan di Amerika Serikat selama 2001-2002. (Callie Marie Rennison, Ph.D and Michael R. Rand, “Criminal Victimization, 2002,” Bureau of Justice Statistics National Crime Victimization Survey, August 2003, 3)”

“Untuk banyak alasan, angka ini mungkin lebih kecil dari jumlah perempuan yang mengalami serangan semacam itu. Sebagian perempuan mungkin enggan untuk mengungkapkannya karena rasa malu yang tidak pada tempatnya, atau karena mereka punya hubungan dengan penyerangnya yang membuat jadi sulit untuk melaporkan kejahatan itu. Sebagian mungkin hanya ingin menghindari polisi dan pengadilan.”

“Adalah tindakan bertanggung jawab menganggap bahwa statistik ini angkanya lebih kecil daripada prevalensi pemerkosaan di Amerika Serikat, berapa perkiraan frekuensinya yang lebih baik?”

“Salah satu statistik umum yang digunakan oleh pusat-pusat studi perempuan –dan diulang oleh media- adalah bahwa ¼ mahasiswi sekolah tinggi adalah korban dari perkosaan ataupun upaya perkosaan. Ini adalah rasio yang mengejutkan; jika benar maka ini berarti menaikkan jumlah pemerkosaan di Amerika Serikat jauh lebih dari 150.000. “
---

“Penelitian lainnya yang melibatkan 4.000 perempuan, disusun dalam laporan “Rape in America” menemukan bahwa 1 dari 8 perempuan Amerika –atau sekitar 12%- pernah menjadi korban forcible rape, yang didefinisikan sebagai “kejadian tanpa kehendak si perempuan, melibatkan penggunaan kekuatan atau ancaman kekuatan, dan melibatkan penetrasi seksual vagina, mulut, ataupun rectum si korban.”
---

“Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa tingkat perceraian melejit selama paruh kedua abad 20, sementara tingkat pernikahan menurun. Semakin meningkat jumlah pasangan yang memilih mengabaikan atau setidaknya menunda pernikahan dan berhabitat-bersama, meyakini bahwa di bawah permufakatan semacam ini mereka bisa menikmati banyak keuntungan pernikahan tapi tanpa komitmen dan tanggung jawabnya.”

“Banyak faktor berkontribusi pada penurunan pernikahan, termasuk dalam hukum-hukum perceraian, revolusi sosial, dan kemandirian ekonomi perempuan yang semakin meningkat. Serangan para feminis pada pernikahan juga memainkan peran dalam merendahkan pernikahan. Para feminis radikal memandang pernikahan sebagai jebakan keji bagi wanita, melanggengkan patriarki, dan melestarikan ketundukan wanita pada pria. Mereka mengeluhkan peran-peran yang pria dan wanita biasanya ambil dalam pernikahan, meyakini bahwa perempuan mendapat bagian lebih buruk dari kontrak pernikahan.”

“Meskipun ada persepsi negatif terhadap pernikahan dan tingkat perceraian yang tinggi ini, kebanyakan wanita muda tetap ingin menikah. Para wanita harus diyakinkan bahwa pernikahan adalah tujuan yang beralasan kuat, berkaitan dengan kesehatan, kebahagiaan, dan keamanan finansial yang lebih besar.”

“Para feminis radikal memandang pernikahan sebagai melanggengkan patriarki, dan melestarikan ketundukan wanita pada pria. Adalah penting bagi para wanita muda untuk mengenali bahwa berhabitat-bersama dengan pernikahan tidaklah sama.”

“Para perempuan yang menikah menyatakan tingkat aktivitas seksual dan kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dinyatakan oleh perempuan yang lajang.”

“Gerakan feminis punya sejarah panjang dalam memandang pernikahan dengan kecurigaan, dan beberapa feminis radikal telah melangkah lebih jauh hingga menyerukan untuk memboikot pernikahan secara keseluruhan.”
---

“Bahkan para anggota gerakan feminis yang lebih mainstream, semacam Robin Morgan, yang menjadi editor majalah Ms. Magazine, ingin mengakhiri pernikahan yang biasanya: “Kita tidak bisa menghancurkan ketimpangan antara laki-laki dan perempuan hingga kita menghancurkan pernikahan. (Patrick F. Fagan, Robert E. Rector, and Lauren R. Noyes, “Why Congress Should Ignore Radical Feminist Opposition to Marriage,” Heritage Backgrounder #1662, June 16, 2003, 4)”
---

“Penelitian oleh Glenn dan Marquadt terhadap para mahasiswi menemukan bahwa lebih dari 8/10 dari mereka yang disurvei masih berpikir untuk “menjadi menikah” sebagai tujuan penting dan lebih dari 7/10 berharap untuk bertemu pasangan masa depannya selama kuliah.”
---

“Waite dan Gallagher, dalam The Case of Marriage, mereka mengkatalog penelitian tentang efek pernikahan pada laki-laki dan perempuan. Mereka menyimpulkan bahwa kedua jenis kelamin itu menunjukkan kesehatan mental yang lebih baik dan lebih bahagia daripada ketika lajang, berhabitat-bersama, bercerai, berpisah, ataupun menjanda.”

“Waite dan Gallagher menggarisbawahi beberapa penelitian yang mendukung temuan ini. Salah satunya yang paling meyakinkan adalah penelitian longitudinal yang mengamati individu-individu yang sama sepanjang waktu. Para peneliti melakukan follow-up dari wawancara awal setelah 5 tahun, yang mana selama waktu itu subjek-subjek penelitian ada yang menikah, yang lainnya bercerai ataupun berpisah, dan sebagian tetap lajang. Mereka menemukan bahwa pernikahan meningkatkan secara substansial kesehatan mental individu sementara perceraian dan perpisahan berkaitan dengan penurunan kesejahteraan mental dan emosional. Waite dan Gallagher menunjukkan pentingnya penelitian ini karena ini melihat para individu sebelum dan setelah mereka mengalami perubahan dalam status pernikahan, dan oleh karenanya mampu menyaring hipotesis bahwa orang yang lebih bahagia menikah:”

“Mereka menemukan bahwa menikah sesungguhnya membuat orang lebih bahagia dan lebih sehat; sebaliknya, bercerai membalik capaian-capaian itu –bahkan ketika kita mempertimbangkan pengukuran-pengukuran kondisi sebelumnya mengenai kesehatan mental dan emosional. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000) 70)”

“Waite dan Gallagher juga menggarisbawahi data dari sebuah survei atas 14.000 orang dewasa, yang mana pria dan wanita yang menikah jauh lebih cenderung menyatakan bahwa mereka puas terhadap kehidupan. 40% mereka yang menikah mengatakan bahwa mereka sangat bahagia, dibandingkan dengan kurang dari ¼ dari mereka yang lajang dan berhabitat-bersama, 15% dari mereka yang berpisah, dan 18% dari mereka yang bercerai. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000) 67)”

“Dari orang yang menikah, sekitar 50% menyatakan ketidakbahagiaan secara umum (general unhappiness) dengan kehidupan mereka, sebagaimana sejumlah itu pula yang lajang ataupun yang berhabitat-bersama menyatakan demikian. Mereka yang bercerai 2,5 kali lebih cenderung menyatakan “tidak terlalu bahagia,” dan yang janda hampir 3 kali lebih cenderung “tidak terlalu bahagia. (Linda J. Waite and Maggie Gallagher, The Case for Marriage: Why Married People Are Happier, Healthier, and Better Off Financially (Doubleday, New York, 2000) 68)”
---

“The Pew Research Center for the People and the Press mensurvei 1.101 perempuan Amerika pada 1997 dan menanyakan tentang sikap mereka terhadap pernikahan. Sementara para perempuan yang menikah sangat banyak merespon bahwa pernikahan mereka adalah sumber kebahagiaan, hampir separuh dari mereka juga mengungkapkan bahwa pernikahan adalah sumber frustasi: “9 dari 10 perempuan mengatakan bahwa pernikahan mereka membuat mereka bahagia selalu ataupun seringkalinya. Hampir separuh perempuan yang disurvei mengaku setidaknya beberapa waktu frustasi dengan kehidupan pernikahannya.” (“As American Women See It; Motherhood Today—A Tougher Job, Less Ably Done,” The Pew Research Center for People and the Press, May 9, 1997, 5)
---

“Pernikahan juga baik untuk dompet, tabungan, dan stabilitas keuangan jangka-panjangnya perempuan. Para pasangan yang tetap menikah jauh kurang cenderung untuk masuk ke dalam kemiskinan daripada orang yang tidak pernah menikah. (Waite and Gallagher, 121. For a longer discussion of the effects of marriage and divorce on women and men’s financial security, see 97-123)”
---

“Pernikahan tampaknya juga mendorong menabung. Waite dan Gallagher menggarisbawahi sebuah penelitian mengenai perilaku menabung selama periode 5 tahun dan menemukan bahwa aset para pasangan yang tetap menikah meningkat lebih dari 7% tiap tahun. Efek ini tidak bisa dijelaskan dengan peningkatan pendidikan, kesehatan, atau bahkan pendapatan yang lebih tinggi. (Waite and Gallagher, 121. For a longer discussion of the effects of marriage and divorce on women and men’s financial security, see 113)”
---

“Data menunjukkan bahwa para perempuan yang menikah lebih baik dalam hal kesehatan. The Centers for Disease Control and Prevention mengadakan survei terhadap 127.545 orang dewasa usia lebih dari 18 tahun, dan menemukan bahwa mereka yang menikah adalah secara umum lebih sehat daripada mereka yang tidak-menikah:

“Tanpa memperhatikan sub-kelompok populasi (usia, jenis kelamin, ras Hispanic, pendidikan, pendapatan, ataupun kebangsaan) ataupun indikator kesehatan (kesehatan baik atau buruk, keterbatasan aktivitas, sakit punggung bawah, sakit kepala, stres psikologis serius, merokok, ataupun tidak-aktif secara fisik dalam waktu-senggang), orang-orang dewasa yang menikah secara umum lebih sehat daripada mereka yang berada dalam kategori pernikahan yang lain… Satu indikator kesehatan negatif yang mana orang-orang dewasa yang menikah banyak mengalaminya adalah kelebihan berat badan ataupun obesitas. (Charlotte A. Shoenborn, “Marital Status and Health: United States, 1999-2002,” Advance Data from Vital and Health Statistics Number 351, U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, NationalCenter for Health Statistics, December 15, 2004, 1. Available at: http://www.cdc.gov/nchs/data/ad/ad351.pdf)”

“Laporan ini menemukan bahwa orang-orang dewasa yang menikah kurang cenderung menderita kondisi-kondisi kesehatan seperti sakit kepala dan stres psikologis serius, dan kurang cenderung melakukan perilaku-perilaku berisiko semacam merokok, minum-minum berat, ataupun ketidakaktifan fisik. (Charlotte A. Shoenborn, “Marital Status and Health: United States, 1999-2002,” Advance Data from Vital and Health Statistics Number 351, U.S. Department of Health and Human Services, Centers for Disease Control and Prevention, NationalCenter for Health Statistics, December 15, 2004, 1)”
---

“Dalam sebuah survei terhadap 3.500 orang dewasa yang dilakukan oleh Edward Laumann, University of Chicago, 42% perempuan yang menikah mengatakan bahwa mereka merasakan seks sangatlah memuaskan secara emosi dan fisik. Hanya 31% perempuan lajang yang punya pasangan seks yang menyebutkan tingkat kepuasan seperti itu. (Waite and Gallagher, 121. For a longer discussion of the effects of marriage and divorce on women and men’s financial security, 82)”
---

“Para pasangan yang tinggal bersama pra-pernikahan adalah 2 kali lebih cenderung untuk bercerai daripada mereka yang tidak hidup bersama sebelum menikah, dan melaporkan lebih banyak pertengkaran, kurang kepuasan, dan komunikasi yang lebih buruk. (Nancy Wartik, “The Perils of Playing House,” Psychology Today, July/August 2005)”
---

“Hubungan berhabitat-bersama juga gagal menyediakan keamanan pernikahan karena mereka itu, secara alami, pada dasarnya memang kurang aman dibandingkan dengan pernikahan. Morse menggunakan metafora terhadap pengambilan hubungan itu adalah untuk “test drive” (atau mengambil pasangannya untuk di-“test drive”)  (Jennifer Roback Morse, Smart Sex: Finding Life-Long Love in a Hook-Up World, (Spence Publishing Company, Dallas, 2005) 98)”
---

“The New Single Woman menggarisbawahi bagaimana para individu yang single menciptakan hubungan berdasarkan saling-percaya dan ketergantungan satu sama lain yang juga ada dalam pernikahan. Ini memang benar, tapi hubungan-hubungan itu tidak sebanding dengan kewajiban-kewajiban legal dan sosial yang diemban dalam sebuah pernikahan. Mungkin ada banyak contoh kedermawanan dan komitmen antar teman, tapi hubungan-hubungan itu tidaklah bisa diandalkan sebagaimana pernikahan.”

“Trimberger menulis sebuah bab khusus mengenai bagaimana komunitas teman saling membantu dalam melalui sakit (penyakit fisik) dan bahkan kematian. Meski begitu, dia menekankan pentingnya membangun komunitas individu yang lebih besar untuk dukungan karena merupakan sesuatu yang “tidak realistis” untuk menganggap bahwa seorang sahabat akan mampu memenuhi semua kebutuhan seseorang dalam masa krisis semacam itu.”

“Ini sangat bertolak belakang dengan pernikahan.”

“Tentu saja, seorang pasangan (suami/istri) tidaklah harus mampu memenuhi semua kebutuhan partnernya dan akan mendapatkan keuntungan dari cinta dan dukungan jaringan lebih luas keluarga dan teman.”

“Tapi telah menjadi hal yang diterima bahwa pasangan adalah bertanggung jawab untuk merawat suami atau istrinya yang sakit dan akan memikul beban utamanya.”
---

“Masyarakat juga punya kepentingan dalam menjaga pentingnya pernikahan karena peran unik pernikahan dalam membina generasi berikutnya. Buktinya sangatlah banyak bahwa anak-anak yang dibesarkan di dalam pernikahan yang stabil kurang cenderung melakukan kejahatan, menyalahgunakan obat-obatan dan alkohol, melahirkan di luar nikah, dan drop-out dari sekolah daripada mereka yang dibesarkan di luar pernikahan. Singkatnya, anak-anak dari pasangan menikah kurang cenderung berakhir sebagai beban atas masyarakat dan lebih cenderung menjadi warga yang produktif. Ini ada dalam kepentingan kita semua untuk mendorong pernikahan yang stabil untuk meningkatkan kesejahteraan jangka-panjang masyarakat.”
---

“Perceraian telah menjadi rutin, kejadian lumrah di dalam budaya popular. Dari pernikahan Vegas 24-jam Brittany Spears hingga lika-liku putusnya Brad Pitt dan Jennifer Aniston yang secara cermat diceritakan runut, berbagai tabloid dan majalah hiburan mengulas pernikahan selebriti sebagaimana ulasan olahraga, perceraian yang segera mengikuti, dan hubungan-hubungan berikutnya yang seringkali bermula sebelum hubungan pertamanya berakhir. Perceraian adalah umum dalam film dan televisi; seringkali, media itu menampilkan dampak dramatis perceraian pada para anggota keluarga, tapi jarang keputusan perpisahan itu dipertanyakan.”
---

“Selama 1970-an dan 1980-an, keseluruhan 50 negara bagian mengadopsi hukum perceraian “no fault” yang memberi para pasangan kemampuan untuk mengajukan perceraian tanpa mengklaim bahwa pasangannya melakukan sesuatu yang “merusak” kontrak pernikahan dengan melakukan perselingkuhan, kejahatan serius, atau melakukan kekerasan.”

“Karena perceraian menjadi lebih mudah, perceraian menjadi umum. Sejak 1960, jumlah perceraian telah meroket –lebih dari 2 kali lipat selama 15 tahun. Tingkat perceraian memuncak pada 1980 dan sedikit menurun dalam 20 tahun terakhir. (Barbara Dafoe Whitehead and David Popenoe, “The State of Our Unions: The Social Health of Marriage, 2004” The National Marriage Project, 2004, 15. Available at: http://marriage.rutgers.edu/Publications/SOOU/TEXTSOOU2004.htm)”
---

“Ketidaksuburan mempengaruhi lebih dari 6 juta orang Amerika atau sekitar 10% populasi usia-produktif. Sementara ada banyak faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi seseorang, usia memainkan peran utama dalam kemampuan perempuan untuk hamil.”

“Mengetahui fakta-fakta tentang kesehatan dan tubuhmu, secara universal dianggap sebagai hal yang lumrah (common sense). Tapi ketika menyentuh urusan reproduksi, politik bisa mengalahkan common sense.”
---

“Banyak perempuan telah diarahkan untuk percaya bahwa mereka bisa menunda kehamilan tanpa konsekuensi”
---

“Gerakan feminis dan program-program studi perempuan terorganisasi bisa dikatakan tidak melakukan apapun untuk menangani kurangnya informasi soal ketidaksuburan terkait-usia.”

“Seorang perempuan sehat berusia 30 tahun punya 20% kesempatan untuk hamil dalam suatu bulan. 10 tahun berikutnya, yang berusia 40 tahun itu hanya punya kesempatan 5%.”
---

“Di 2001, the American Society of Reproductive Medicine –organisasi profesi AS spesialis kesuburan terbesar- meluncurkan kampanye iklan yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan perempuan. Iklan-iklan itu fokus pada 4 perkara: merokok, penyakit menular seksual (PMS), kelebihan berat badan, dan usia, yang semua itu mempengaruhi kemampuan perempuan untuk hamil. Tak ada yang menolak terhadap masalah-masalah yang ditampilkan yang terkait merokok, obesitas, dan PMS, tapi soal usia, muncul banyak kritik.”
---

“Seorang juru bicara menjelaskan bahwa Asosiasi (ASRM) ingin menyajikan iklan itu karena para dokter sudah jenuh terhadap para perempuan usia akhir 30-an dan 40-an yang terkejut, frustasi, dan patah hati karena ternyata impian mereka untuk punya anak telah sirna.”
---

“Seorang perempuan sehat berusia 30 tahun punya 20% kesempatan untuk hamil dalam suatu bulan. 10 tahun berikutnya, yang berusia 40 tahun itu hanya punya kesempatan 5%.”
---

“Menurut American Society for Reproductive Medicine, sekitar 1 dari 3 pasangan yang mana si perempuan berusia lebih dari 35 tahun, akan punya masalah kesuburan. Menginjak usia 40, 2 dari 3 perempuan akan tidak mampu mencapai kehamilan spontan. (“Patient’s Fact Sheet: Prediction of Fertility Potential in Older Female Patients,” American Society of Reproductive Medicine, August 1996. Available at: http://www.asrm.org/Patients/FactSheets/Older_Female-Fact.pdf). Menurut RESOLVE, seorang perempuan di usia akhir 20-an, kurang subur 30% daripada ketika dia di usia 20-an.”

“The American Society for Reproductive Medicine mendeskripsikan bagaimana umur berkaitan dengan penurunan kesuburan:”

“Walaupun usia rata-rata menopause adalah 51, puncak efisiensi dalam sistem reproduksi wanita terjadi pada awal 20-an dengan penurunan konstan setelahnya.”

“Terdapat penurunan gradual pada kesuburan sebagai fungsi dari usia perempuan dengan tingkat penurunan kesuburan menjadi semakin cepat setelah usia 35. (“Prevention of Infertility Source Document: The Impact of Age on Female Fertility,” American Society of Reproductive Medicine, 1. Available at: http://www.protectyourfertility.org/docs/age_femaleinfertility.doc)”

“Seorang perempuan usia 30 yang sehat punya kesempatan 20% menjadi hamil dalam suatu bulan. 10 tahun kemudian, dia yang berusia 40 hanya punya 5% kesempatan menjadi hamil. (“Age and Fertility: A Guide for Patients,” American Society for Reproductive Medicine, 3. Available at: http://www.asrm.org/Patients/patient-booklets/agefertility.pdf)
---

“Gallup menemukan bahwa 1/3 orang Amerika di atas usia 40 tahun tidak punya anak dan hanya ¼ dari mereka itu yang mengatakan (tetap) memilih untuk tidak punya anak jika bisa mengulang lagi. (Frank Newport, “Desire to Have Children Alive and Well in America,” The Gallup Poll, August 19, 2003, 2)”
---

“Survei-survei menunjukkan bahwa terdapat defisiensi informasi dan bahwa banyak perempuan tidak menyadari faktor-faktor yang mempengaruhi kesuburan. The American Infertility Association mensurvei 12.383 perempuan dan menemukan bahwa 88% dari mereka meng-overestimasi sebanyak 5 hingga 10 tahun usia di mana kesuburan mulai menurun. (Richard Scott, MD and Pamela Madsen, “What Mother Didn’t Tell You About Fertility... Because No One Ever Told Her,” American Infertility Association, 6. Available at: http://www.theafa.org/faqs/afa_whatmotherdidnotsay.html) Hampir setengah secara salah berasumsi bahwa kesehatan (badan) umum adalah indikator kesuburan.”
---

“Sebagai hasil dari badai kritik terhadap kampanye iklan di 2001, ketika American Society of Reproductive Medicine berencana menyebarkann iklan-iklan itu lagi di 2002, mal-mal perbelanjaan dan bioskop-bioskop di San Francisco, Boston, Houston, and Washington, D.C. menolaknya. Lokasi-lokasi itu mengklaim bahwa mereka memilih kampanye iklan yang “mall friendly” dan “happy environment”.

Perawatan kesuburan adalah industri $2,7 milyar (Psyche Pascual, “Financing Infertility Treatments,” “A Healthy Me.” Available at: http://www.ahealthyme.com/topic/infertilityfinance). Menurut American Society for Reproductive Medicine, diperkirakan 300.000 pasangan sekarang sedang menjalani perawatan untuk ketidaksuburan.”
---

“Di 1998, Sylvia Ann Hewlett memulai menulis buku “celebrating the achievements of the breakthrough generation - that first generation of women who broke through barriers and became powerful figures in fields previously dominated by men (merayakan pencapaian generasi pendobrak – generasi pertama para perempuan yang mendobrak batasan dan menjadi figur kuat dalam bidang yang tadinya didominasi laki-laki)” (Sylvia Ann Hewlett, Creating a Life: Professional Women and the Quest for Children (Talk Miramax Books, New York, 2002) 1) Dia kemudian mengubah haluannya dan berfokus pada perkara ketidakpunyaan anak di antara para perempuan profesional.”

“Hewlett mewawancarai beberapa wanita yang sangat sukses, mencari pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana mereka menjadi tidak punya anak, dan mendeskripsikan keterkejutannya akan besarnya rasa patah-hati mereka dan perasaan kehilangan karena tidak punya anak:”

“Aku merasa sangat terkejut karena apa yang aku dengar. Melakukan wawancara-wawancara itu, aku berasumsi bahwa jika para perempuan berdaya dan sukses itu tidak punya anak, tentunya mereka telah memilih untuk begitu. Aku sudah benar-benar siap untuk memahami bahwa gairah dan tantangan dari karir megawatt membuat jadi mudah untuk memutuskan tidak jadi seorang ibu. Tidak ada yang lebih jauh dari kebenaran. Ketika aku bicara pada para perempuan itu tentang anak, perasaan kehilangan mereka nyata tampak. Aku bisa melihatnya dari wajah-wajah mereka, mendengarnya dalam suara-suara mereka, dan merasakannya dari kata-kata mereka. (Sylvia Ann Hewlett, Creating a Life: Professional Women and the Quest for Children (Talk Miramax Books, New York, 2002) 3)”
---

“Selain dari wawancara-wawancara itu, di Januari 2001, Hewlett bekerjasama dengan Harris Interactive dan National Parenting Association untuk melakukan sebuah survei yang menyasar 10% perempuan teratas dalam hal pendapatan dalam dua kelompok usia: 28-40 dan 41-55. Kedua kelompok dibagi menjadi “pencapai-tinggi,” yang perolehannya lebih dari $55.000 atau $65.000 bergantung pada usia, dan “pencapai-ultra,” yang perolehannya lebih dari $100.000.”

“Survei itu mengungkap bahwa 33% perempuan pencapai-tinggi dan hampir setengah dari perempuan pencapai-ultra di korporat Amerika tidak punya anak di usia 40. Sebaliknya, hanya ¼ laki-laki pencapai-tinggi dan 19% laki-laki pencapai-ultra (perolehannya lebih dari $200.000) tidak punya anak di usia 40. (Sylvia Ann Hewlett, Creating a Life: Professional Women and the Quest for Children (Talk Miramax Books, New York, 2002) 86)”

“Survei itu juga mengkonfirmasi bahwa bagi kebanyakan perempuan, tak punya anak bukanlah hasil dari pilihan sadar. Para perempuan itu diminta untuk melihat kembali ke belakang ketika mereka lulus kuliah dan memikirkan apakah mereka tadinya mau punya anak. Hanya 14% yang merespon bahwa mereka sungguh dulunya tidak mau punya anak. Bahkan di antara para perempuan yang punya anak, hampir ¼ menyatakan bahwa mereka ingin punya lebih banyak anak daripada yang pada akhirnya mereka lahirkan. (Sylvia Ann Hewlett, Creating a Life: Professional Women and the Quest for Children (Talk Miramax Books, New York, 2002) 86)”

“Banyak perempuan itu belum bisa menerima kenyataan bahwa mengandung anak nampaknya tidak akan ada dalam masa depan mereka. Menyedihkannya, hampir ¼ perempuan pencapai-tinggi dan 1/3 pencapai-ultra usia 41-55 yang diwawancara Hewlett masih berharap untuk punya anak. Hewlett menyimpulkan: “Meski kecil kemungkinan para perempuan usia-menengah itu untuk mengandung anak, respon-respon itu menunjukkan kandungan kepedihan hati dan kerinduan seorang ibu. (Sylvia Ann Hewlett, Creating a Life: Professional Women and the Quest for Children (Talk Miramax Books, New York, 2002) 87)”

“Sebuah polling oleh Gallup yang diambil pada 2003 menemukan bukti serupa tentang penyesalan di antara mereka yang tak punya anak. Gallup menemukan bahwa sekitar 1/3 orang Amerika berusia lebih dari 40 tidak punya anak dan hanya ¼ dari mereka itu yang mengatakan (tetap) memilih untuk tidak punya anak jika bisa mengulang lagi. 46% orang Amerika berusia lebih dari 40 yang tak punya anak berharap mereka telah punya 2 anak saja, 10% berharap mereka telah punya 1 anak saja, dan 15% memilih 3 atau lebih. (Frank Newport, “Desire to Have Children Alive and Well in America,” The Gallup Poll, August 19, 2003, 2)”
---

“Berjalannya studi-studi perempuan cenderung beriringan dengan organisasi-organisasi feminis dalam agenda politik dan kebijakan –dan hak-hak aborsi ada di pusat agenda itu.”
---

“Sayangnya, dalam banyak buku-teks studi perempuan, dan di media popular, posisi pro-life (anti-aborsi) jarang dijelaskan atau ketika dijelaskan pun, dijadikan lelucon.”

“Introduction to Womens’ Studies: Gender in a Transnational World mengandung 6 essai dalam bagian berjudul “Population Control and Reproductive Rights: Technology and Power” –tidak mewakili sudut pandang pro-life. Bagian itu mengulas bagaimana isu-isu reproduksi berkembang di sepanjang sejarah, termasuk bagaimana kemajuan dalam teknologi reproduksi telah membuat kontrasepsi dan aborsi lebih siap tersedia, dan penggunaan –yang keji- aborsi paksa (coerced abortion) dan sterilisasi atas nama kontrol populasi atau berdasarkan rasisme. Semua essai itu khusus fokus pada hak perempuan. Tidak ada yang mengeksplorasi argumen bahwa calon bayi (fetus) atau si anak yang belum lahir juga punya hak.”

“Issues in Feminism: An Introduction to Women s’ Studies oleh Shelia Ruth, berisi contoh yang lebih menjijikkan yang mendistorsi posisi pro-life dengan menganggap bahwa posisi itu adalah berdasarkan keinginan untuk menindas perempuan. Ruth menampilkan bahwa perhatian oleh gerakan pro-life terhadap calon bayi adalah tak lebih dari asap untuk mengaburkan pandangan.”
---

“Glamour edisi Agustus 2005 mengandung sebuah artikel, “The Mysterious Disappearance of Young Pro-Choice Women.” Artikel itu juga berisi telaah serius terhadap perubahan sikap di antara wanita muda, sebagian besar dari mereka sepuluh tahun yang lalu mendukung hak aborsi yang tak dibatasi dan sekarang punya simpati lebih besar untuk aturan-aturan yang membatasi aborsi. Si penulis mempertimbangkan beberapa faktor yang telah berkontribusi pada tren ini, termasuk meningkatnya kepercayaan pada kontrol kelahiran dan penerimaan yang lebih besar terhadap keyakinan bahwa fetus (calon bayi) adalah manusia hidup, dikarenakan banyaknya foto sonogram.”

“Nada mendasar dari artikel ini menyarankan bahwa para perempuan keliru dalam perubahan dukungan mereka atau bahwa mereka menyimpang dari kondisi alaminya.”
---

“Tiap tahun, lebih dari 1 juta kehamilan berakhir pada aborsi. (“Abortion Surveillance—United States, 2000,” Morbidity and Mortality Week Report, November 28, 2003, Vol. 52, No. SS-12)”
“Para peneliti mengestimasi bahwa antara 1/3 dan ½ dari seluruh perempuan AS akan pernah melakukan satu aborsi hingga ketika usia mereka 45. (“Facts in Brief: Induced Abortion,” Alan Guttmacher Institute. Available at: www.guttmacher.org/pubs/fb_induced_abortion.html. And, “Fact Sheet: Abortion in the U.S.” The Henry J. Kaiser Family Foundation, January 2003)”
“50% dari semua aborsi dilakukan oleh perempuan di bawah usia 25; 1 dari 5 dilakukan oleh remaja.”
---

“Aborsi tetap saja sebuah prosedur medis yang menyakitkan, dengan potensi konsekuensi-konsekuensi serius.”

“The National Right to Life Committee menggarisbawahi temuan bahwa 97% perempuan menyatakan mengalami rasa sakit selama aborsi dan lebih dari 1/3 mendeskripsikan rasa sakitnya sangat sakit. Komplikasi-komplikasi yang bisa terjadi sebagai hasil dari aborsi bisa mempengaruhi kehamilan di masa mendatang dan punya konsekuensi-konsekuensi kesehatan jangka-panjang. (“Is Abortion Safe? Physical Complications,” National Right to Life. Available at: www.nrlc.org/abortion/ASMF/asmf13.html)”
---

“Menurut Bureau of Labor Statistics, pekerjaan paling sering bagi perempuan adalah sekretaris ataupun asisten administratif. 20% jenis profesi penuh-waktu teratas bagi perempuan –yang totalnya dikerjakan oleh lebih dari 40% dari jumlah semua perempuan yang bekerja penuh-waktu- sangatlah tradisional, termasuk guru sekolah dasar, perawat, kasir, dan pelayan. Pengacara dan dokter tidak termasuk dalam daftar itu. (“20 Leading Occupations of Employed Women Full-time Wage and Salary Workers, 2003 Annual Averages,” U.S. Department of Labor, Women’s Bureau, April 25, 2005. Fact sheet available at: http://www.dol.gov/wb/factsheets/20lead2003.htm)”
---

“Pada 1996, the Independent Women’s Forum mengadakan polling yang menanyakan pertanyaan: “Jika kamu punya cukup uang untuk hidup senyaman yang kamu mau, akankah kamu memilih bekerja penuh-waktu, paruh-waktu, menjadi relawan, atau bekerja di rumah merawat keluargamu?” 1/3 menjawab bahwa kerja paruh-waktu itu ideal bagi mereka. Hampir 1/3 yang lain memilih tinggal di rumah dengan anak-anak. 20% mengatakan idealnya bahwa mereka akan melakukan kerja relawan dan hanya 15% mau bekerja penuh-waktu. (Charmaine Yoest, “What Do Parents Want?” The American Enterprise, May/June 1998)”

“Pew Research Center for the People and the Press menerima respon yang mirip ketika mereka mensurvei 1.101 wanita Amerika di 1997 mengenai keibuan kontemporer.”

“Mereka menanyai para ibu dari anak-anak usia di bawah 18 apakah jika berada dalam situasi ideal mereka akan memilih untuk bekerja penuh-waktu, paruh-waktu, atau tidak sama sekali. Kerja paruh-waktu adalah pilihan nomor satu bagi para wanita itu, mendapatkan 44% respon. 3 dari 10 memilih untuk bekerja penuh-waktu. Tapi pada realitasnya (kehidupan mereka sekarang), lebih dari ½ ibu-ibu itu bekerja penuh-waktu atau lebih daripada yang sebenarnya mereka inginkan. (“Motherhood Today—A Tough Job, Less Ably Done: As American Women See It,” Pew Research Center for the People & the Press, May 9, 1997)”
---

“Respon terhadap survei Pew itu jelas mengindikasikan bahwa perempuan yang lebih menghargai waktu dengan orang-orang tercinta daripada karir mereka adalah sedang bertindak rasional dalam hal mengupayakan kebahagiaan jangka-panjang mereka. Perempuan, tak pandang situasi hidup mereka, menilai hubungan dengan orang-orang yang dicintai sebagai sumber terbesar kebahagiaan dan kepuasan pribadi mereka.”
---

“2 dari 10 perempuan merespon pada survei Pew bahwa pekerjaan mereka membuat frustasi selalu ataupun seringkalinya dan 50% yang lain menyatakan mereka frustasi setidaknya kadang-kadang. Pekerjaan masih menjadi sumber kebahagiaan bagi 60% perempuan yang bekerja- tapi itu artinya karir adalah sumber kebahagiaan yang paling kurang konsisten dari semua aspek kehidupan yang ada dalam polling.”
---

“Para feminis sering berusaha untuk menyangkal realitas ini. Miskonsepsi mereka ataupun keengganan mereka untuk mengenali peran yang dimainkan pekerjaan dan keluarga dalam kehidupan nyata perempuan adalah lebih dari sekadar sebuah gangguan, sepaket dengan pandangan umum feminis tentang penindasan perempuan. Itu mempunyai konsekuensi kebijakan yang serius. Para feminis mendorong pembuat kebijakan untuk memeluk berbagai program dan regulasi yang didesain untuk menghalau perempuan ke dalam pasar tenaga kerja, meski itu bukanlah apa yang perempuan inginkan.”
---

“Kelompok-kelompok feminis suka menampakkan seolah perempuan bisa punya segalanya –bekerja penuh-waktu dan menjadi para pemimpin industri, tanpa mengorbankan waktu dengan keluarga. Adalah sebuah kesalahan politik (menurut feminis) jika menyatakan bahwa salah satu area kehidupan itu harus mengorbankan, atau berdampak pada, yang lain.”

“Pernyataan ini salah dan kebanyakan perempuan mengetahuinya.”
---

“Perempuan dan laki-laki secara umum juga punya perbedaan prioritas ketika menilai kesempatan kerja. Suatu survei terhadap perempuan yang bekerja menemukan bahwa bagi hampir ¾ dari mereka, jadwal yang fleksibel adalah “sangat penting” ketika mempertimbangkan sebuah pekerjaan. Ini artinya bahwa banyak perempuan yang mau menukar lebih banyak uang dengan lebih banyak fleksibilitas ataupun waktu ketika tidak ada tugas pekerjaan (time off). (“Motherhood Today—A Tough Job, Less Ably Done: As American Women See It,” 7)”
---

“Warren Farrel, seorang mantan anggota dewan NOW (National Organization for Women) chapter New York, menulis buku berjudul Why Men Earn More yang menelaah keputusan-keputusan yang dibuat individu ketika memilih suatu karir dan pekerjaannya. (Warren Farrell, Why Men Earn More (American Management Association, New York, 2005). Dia mengidentifikasi 25 keputusan yang individu buat mengenai pekerjaan dan mengungkapkan bahwa, rata-rata, laki-laki cenderung membuat keputusan yang meningkatkan upah mereka, sementara perempuan tidak selalu memilih alternatif upah tertinggi. Selain bahwa para perempuan mengambil waktu lebih banyak di luar tenaga kerja (waktu tak aktif bekerja) dan bekerja lebih sedikit jam daripada laki-laki, perempuan cenderung untuk memilih pekerjaan yang memerlukan lebih sedikit bepergian dan kurang cenderung pindah rumah untuk pekerjaan. Laki-laki mengambil lebih banyak pekerjaan berisiko tinggi –yang merupakan 92% kematian yang terjadi di tempat kerja- dan pekerjaan yang perlu menggeluti komponen-komponen luar ruang. (Warren Farrell, Why Men Earn More (American Management Association, New York, 2005, 27, 44)”
---

“Para wanita dengan anak-anak tidaklah semata memasuki lapangan kerja. Mereka juga meninggalkan rumah dan, dalam melakukannya, harus mencari pengurusan alternatif untuk pengasuhan anak-anak mereka. Kebutuhan bayi dan balita yang hampir konstan harus dipenuhi oleh seseorang yang lain –baik penyedia penitipan anak atau anggota keluarga yang lain. Anak-anak usia sekolah harus kembali ke rumah yang kosong atau menghabiskan sore di program usai-sekolah ketika ibu tak ada di rumah.”

“Tentu saja, ayah punya peran yang dimainkan dalam formula ini, dan para ayah mengambil peran lebih besar dalam pengasuhan anak-anak mereka.”

“Para feminis menciut terhadap penelitian yang menunjukkan bahwa anak-anak dengan orangtua sebagai pengasuh utama lebih baik daripada mereka yang di dalam penitipan anak penuh-waktu.”
---

“Jenis penitipan anak yang paling sering didorong oleh kelompok feminis dan pemerintah –penitipan anak institusional- adalah jenis pengasuhan anak yang paling tidak popular di antara para orangtua.”

“Orang secara umum percaya bahwa orangtua dan anggota keluarga atau sahabat dekat melakukan pekerjaan yang lebih baik mengasuh anak-anak mereka.”
---

“Seiring para perempuan meninggalkan rumah untuk bekerja, mereka harus bergantung para orang lain untuk menangani tanggung jawab itu sementara mereka pergi. Apa dampak-dampak perubahan sosial besar ini dalam kehidupan anak-anak?”
---

“Pesan implisit dari penitipan anak gratis ataupun bersubsidi adalah bahwa para perempuan harus keluar dari rumah, menyerahkan anak-anak mereka kepada para profesional, dan pergi.”

“Tentu saja, penitipan anak tidak pernah gratis, bahkan jika itu disediakan bebas biaya atas si pengguna. Para pembayar pajak harus menambalnya. Dan karena tingkat pajak naik untuk membayar jasa-jasa itu, menjadi lebih sulit bagi sebuah keluarga untuk bertahan hidup hanya dengan satu pendapatan, memaksa banyak perempuan yang memilih untuk tinggal di rumah untuk memasuki lapangan kerja.”
---

“Dorongan yang meningkat terhadap penitipan anak nasional merugikan para ibu di rumah –dan mereka yang memilih untuk di rumah. (Brian Robertson, Day Care Deception:  What the Child Care Establishment Isn’t Telling Us, 135)”
---

“Menurut Survey of Income and Program Participation di 1993 –data terkini yang tersedia- hampir ½ dari hampir 10 juta anak di bawah usia 5 diasuh oleh kerabat sementara ibu mereka bekerja. Mayoritas anak-anak itu di bawah pengasuhan kakek-nenek atau ayah mereka. 21% diasuh oleh “bukan-kerabat,” termasuk penyedia penitipan anak ataupun pusat bayi dalam-rumah (in-home baby centers). Hanya 30% yang ada di fasilitas penitipan anak terorganisasi, atau apa yang kadang disebut dengan penitipan institusional. (Lynne M. Casper, “Whose Minding Our Preschoolers?” Current Population Reports, Household Economic Studies, P70-53, U.S. Department of Commerce, Economics and Statistics Administration, March 1996, 1)”
---

“Di tahun 2000, perusahaan polling, Public Agenda, mengadakan survei terhadap 815 orangtua dari anak-anak usia di bawah 5, juga mengadakan diskusi focus group dan wawancara dengan perusahaan (tempat kerja), advokat anak-anak, dan mereka yang ada di bidang penitipan anak dan menerbitkan laporan berjudul “Necessary Comrpomised.” Hasil-hasil survei dari para orangtua mengungkapkan sebuah preferensi yang lebih mengejutkan terhadap pengasuhan oleh orangtua.”

“Ketika ditanyakan, “Pengaturan yang mana yang kamu anggap sebagai pengasuhan anak yang terbaik selama tahun-tahun awal anak-anak: seorang orangtua tinggal di rumah; kedua orangtua bekerja dengan shift (waktu kerja) berbeda sehingga satu orangtua hampir selalu ada di rumah; seorang pengasuh atau babysitter di rumah; seorang kerabat dekat untuk mengurus anak-anak; membawa anak ke seorang ibu di lingkungan tetangga yang mengasuh anak-anak di rumahnya; atau menempatkan anak-anak di pusat penitipan anak berkualitas,” 70% responden berpikir bahwa yang terbaik adalah seorang orangtua tinggal di rumah. 14% yang lain lebih memilih kedua orangtua bekerja dengan shift berbeda. Hanya 6% yang berpikir bahwa “pusat penitipan anak berkualitas” sebagai pengaturan yang terbaik bagi anak-anak.”

“Dalam pertanyaan yang lain, mayoritas orangtua menempatkan penitipan anak sebagai “pilihan yang terakhir.” Lebih dari 7/10 para orangtua yang punya anak-anak usia balita setuju dengan pernyataan “orangtua seharusnya hanya bergantung pada penitipan anak ketika mereka tidak punya pilihan lain.”
---

“Survei Pew menemukan bahwa semua perempuan, termasuk mereka yang bekerja, percaya bahwa anak-anak lebih baik dipenuhi kebutuhannya oleh orangtua di rumah ketika mereka masih kecil:”

“Hanya 29% yang berpikir bahwa ketika kedua orangtua bekerja penuh-waktu mereka seringnya bisa baik dalam mengasuh anak. Sebagian kecil yang lain mengatakan bahwa kebanyakan single-mother bisa mengasuh dengan baik. Hanya, 41% dari ibu yang bekerja penuh-waktu merasa percaya diri bahwa situasi seperti itu baik untuk anak-anak. Para perempuan, baik bekerja maupun tidak, percaya pada pengaturan yang lebih tradisional, di mana sang ayah bekerja penuh-waktu dan sang ibu tinggal di rumah, adalah yang terbaik untuk membesarkan anak. 2 kali lipat lebih banyak perempuan mengatakan bahwa meningkatnya jumlah ibu yang memasuki lapangan kerja adalah buruk, bukannya baik, untuk masyarakat (41% dibanding 17%). (“Motherhood Today—A Tough Job, Less Ably Done: As American Women See It,” 1)”

“Demikian pula, Public Agenda menemukan bahwa preferensi orangtua untuk pengasuhan berakar pada kepercayaan bahwa yang terbaik adalah para orangtua diposisikan untuk memberi pengasuhan dan bahwa pusat penitipan anak tentu tidak bisa dipercaya untuk memberi perhatian yang banyak pada anak-anak.”
---

National Institute of Child Health and Human Development mengkaji data mengenai penitipan anak untuk menentukan hubungan antara banyaknya waktu pengasuhan oleh non-ibu selama 4,5 tahun dan perilaku anak-anak. Mereka mengutip penelitian-penelitian yang mengungkap bahwa penggunaan pengasuhan non-maternal berkaitan dengan meningkatnya masalah perilaku, khususnya perilaku agresif, di antara anak-anak usia 3 hingga 4 tahun. (National Institute of Child Health and Human Development Early Child Care Research Network, “Does Amount of Time Spent in Child Care Predict Socioemotional Adjustment During the Transition to Kindergarten,” Child Development, July/August, 2003, Volume 74, Number 4, 978)”

“Semakin lama masa anak-anak diasuh di penitipan anak maka semakin kurang harmonis interaksi ibu-bayi dan pengasuhan oleh ibu menjadi kurang sensitif.” (National Institute of Child Health and Human Development Early Child Care Research Network, “Does Amount of Time Spent in Child Care Predict Socioemotional Adjustment During the Transition to Kindergarten,” Child Development, July/August, 2003, Volume 74, Number 4, 981)
---[]

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam