Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 27 Juni 2016

Hukum Islam wajib diterapkan total dan sekaligus


 


Tidak ada satu udzur (halangan) bagi seorang muslim untuk tidak menerapkan satupun dari hukum-hukum syara’; baik dia sebagai khalifah dan jajarannya ataupun sebagai individu biasa, kecuali apabila terdapat rukhshah syar’iyyah (keringanan yang telah ditetapkan oleh syara’) yang terdapat di dalam nash-nash syara’.
Ketidakmampuan yang dapat diterima (secara syar’i) sebagai rukhshah syar’iyyah adalah dalam kondisi lemah yang sebenarnya, yang bisa diindera, atau dalam kondisi keterpaksaan yang sebenarnya, seperti pada keadaan adanya mukrah al-mulji (yaitu, keterpaksaan yang jika tidak dilaksanakan diduga kuat akan membahayakan jiwa).

Hendaklah umat mensikapi syara’ dengan bentuk hubungan yang meyakini secara total Rabbnya, beriman kepada-Nya dengan keimanan yang kuat bahwa Dialah yang mengatur seluruh perkara dan merubah seluruh situasi dan kondisi. Dialah yang memberikan pertolongan kepada yang berhak mendapatkan pertolongan.
Dengan keimanan seperti itulah seorang muslim (seharusnya) menghadapi realitas yang keras dan situasi yang sulit. Dengan imannya itu seorang muslim mencari kemuliaan dan menjadikannya sebagai titik tolak dakwahnya, sekaligus sebagai terminal perjalanan dakwahnya. Tidak melihat jauhnya jalan perjuangan, tidak melihat lamanya harus menempuh, tidak melihat penolakan atas dakwah ideologi Islam. Kita akan melihat bahwa keteguhan akan dapat mempengaruhi obyek dakwah dengan bentuk keterikatan yang benar dan konsistensi yang lurus meski ideologi Islam masih banyak dianggap asing.

Sikap kompromis dan menyembunyikan sebagian dari kebenaran menjadikan orang-orang non muslim dan muslim yang lalai akan menjadi ragu-ragu dalam menerima apapun yang ditawarkan kepadanya. Keraguan ini muncul karena tidak dipaparkan tentang Islam secara totalitas. Seruan semacam itu juga jauh dari asas ruhiyah, yang dibangun di atas keimanan kepada Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur. Berdasarkan asas ruhiyah itulah diambil hukum-hukum syara. Kejelasan dakwahlah yang menjadikan hujjah Allah tetap tegak atas para da’i.

Kita telah diperintahkan agar tidak mendahulukan atau menunda-nunda apa yang telah ditetapkan Allah atas kita. Lagi pula bukankah yang mengobati manusia (menyelesaikan segala persoalannya) adalah Rabbnya Yang Maha Mengetahui, yang mengetahui apa yang diciptakan-Nya.

Berbagai pandangan rusak mulai banyak muncul setelah penerapan sistem hukum Islam dilakukan oleh Daulah Khilafah Islamiyah selama lebih dari 1000 tahun hingga berakhir seiring dengan runtuhnya Daulah Islamiyah. Sejak saat itu, masyarakat Muslim tidak bisa lagi menyaksikan kesempurnaan penerapan sistem hukum Islam. Bahkan, membayangkannya saja sudah sangat sulit.
Ditambah lagi ada upaya orang-orang kafir untuk mengikis habis seluruh sistem hukum Islam hingga ke simbol-simbolnya. Semua ini mengakibatkan sebagian besar masyarakat benar-benar ‘buta’ terhadap hukum-hukum Islam yang seharusnya menjadi keyakinan dan tolok-ukur mereka.
Padahal, setelah al-Qur’an sempurna diturunkan oleh Allah Swt. kepada umat manusia melalui Rasulullah Saw., tidak ada lagi alasan bagi siapapun untuk tidak menerima dan tidak menerapkan seluruh hukum Islam. Hukum Islam wajib diterapkan secara total dan sekaligus. Kewajiban ini ditujukan baik kepada individu, jamaah, maupun khalifah.

“Tidaklah patut bagi pria Mukmin dan tidak pula bagi wanita Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah benar-benar tersesat.” (TQS. al- Ahzâb [33]: 36)

Allah Swt. telah menyempurnakan agama-Nya. Tidak ada lagi pilihan bagi kita selain menaati dan menjalankan apa yang telah dibebankan atas kita, yaitu seluruh perintah dan larangan Allah Swt. Tidak boleh ada pilihan antara mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu. Tidak mengerjakan sesuatu, yakni sesuai perintah dan larangan Allah, berarti telah terjerumus ke dalam perbuatan maksiat. Sikap demikian adalah haram.

Hadits riwayat ‘Abdullah ibn ‘Umar r.a. melalui jalur para perawi yang terpercaya (tsiqah). Ia bertutur demikian:
“Rasulullah Saw. pernah menjumpai kami, lalu beliau bersabda, “Wahai kaum Muhajirin, ada lima perkara yang jika kalian diuji dengan kelima perkara tersebut, aku berlindung kepada Allah terhadap perjumpaan dengannya….., dan ketika pemimpin-pemimpin mereka tidak bertahkim (merujuk) pada Kitab Allah karena memiliki pilihan lain selain yang diturunkan oleh Allah; niscaya Allah akan menimpakan azab kepada mereka.” (HR. Ibn Majah)

Hadits Rasulullah Saw. ini merupakan petunjuk yang pasti mengenai larangan mencari alternatif selain hukum Islam, sehingga diterapkan hukum selain Islam. Larangan secara qath‘î (pasti) tampak dari celaan yang diindikasikan dengan adanya azab Allah Swt. Maksudnya, setiap perbuatan yang mengakibatkan datangnya azab Allah Swt. adalah tercela dan diharamkan secara pasti.

Hadits riwayat Imam Ahmad melalui jalan as-Sudaysi, yakni Ibn al-Khashasiyah, yang bertutur demikian:
“Aku pernah datang kepada Nabi Saw. untuk berbai’at. Rasulullah Saw. lalu mensyaratkan kepadaku agar bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba sekaligus Rasul-Nya; juga agar aku menegakkan shalat, menunaikan zakat, berhaji, menjalankan shaum di bulan Ramadhan, dan berjihad fi sabilillah. Akupun berkata, “Demi Allah, mengenai dua perkara itu, aku tidak mampu menjalankannya, yaitu jihad dan sedekah. Sesungguhnya mereka mengatakan bahwa, orang yang lari dari medan perang akan memperoleh kemurkaan Allah. Oleh karena itu, aku khawatir kalau aku turut berperang, aku sangat mencintai diriku dan takut mati. Sedangkan sedekah, aku tidak memiliki apapun kecuali ghanîmah dan sepuluh orang tanggungan keluarga. Semua hartaku adalah untuk keluargaku, memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.” Kemudian, Rasulullah Saw. menarik tangannya sendiri seraya menggerak-gerakkannya, lalu bersabda, “Jika tidak dengan berjihad dan sedekah (maksudnya zakat), maka dengan apa engkau masuk Surga?” Akupun menjawab, “Aku membaiatmu.” Aku lalu membaiat beliau dengan seluruh syarat-syarat tadi.”

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. tidak menerima alasan Ibnu Khashasiyah yang meminta untuk meninggalkan jihad dan tidak menunaikan zakat. Padahal, dua perkara itu jelas-jelas hukumnya wajib. Namun demikian, pada akhirnya Ibn Khashasiyah menyetujui syarat-syarat yang diminta Rasulullah Saw. kepadanya, yaitu menunaikan seluruh kewajiban-kewajiban Islam, termasuk berjihad dan menunaikan zakat.

Sabtu, 25 Juni 2016

Tak Ada Kompromi Dalam Aqidah Dan Syariah


 


Rasulullah Saw. telah berkata kepada bani ‘Amir bin Sha’sha’ah ketika beliau mendakwahkan Islam kepada mereka dan meminta nushrah (pertolongan) kepada mereka:
‘Perkara (kekuasaan Islam) itu di tangan Allah, Dialah Yang menetapkan sekehendak-Nya’. (Sirah Ibnu Hisyam)
Ini diucapkan beliau tatkala mereka meminta kepada beliau (sebagai syarat pertolongan mereka) agar kendali kekuasaan diberikan kepada mereka setelah wafatnya Rasulullah Saw. Hal itu terjadi pada saat kondisi beliau Saw. sangat membutuhkan adanya orang (pihak) yang dapat menolong dakwah.
Apa yang dilakukan Rasulullah saw merupakan ajakan yang benar, dan perintah Allah-lah yang menjadikannya benar di dalam perkataannya tanpa mengindahkan lagi bujuk rayu dan tawar menawar (kompromi), agar dapat diketahui dengan jelas orang-orang yang benar dan orang-orang yang salah.

Rasulullah Saw. telah mengatakan kepada paman beliau Abi Thalib:
“Demi Allah, wahai pamanku, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku agar aku meninggalkan perkara ini (dakwah) maka aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah akan memenangkanku atau aku binasa karenanya.” (Sirah Ibnu Hisyam)

Nash yang berasal dari Rasulullah Saw. ini menunjukkan bahwa beliau tidak menerima sedikitpun kompromi atau tawar menawar di dalam syari’at. Beliau dalam hal ini telah memberikan sebaik-baik contoh di dalam dakwahnya. Beliau tidak mencari muka, tidak “berdamai”, tidak mengikuti mereka, tidak menunjukkan keridhoan dan tidak berbasa-basi kepada para penguasa. Dakwah beliau jelas dan berani, yang bisa melahirkan pemikiran yang benar, yang mematahkan dan menyebabkan kebatilan itu sirna.

Allah Swt. telah memerintahkan kaum Muslim untuk berhijrah dari Makkah, dari tempat di mana mereka tidak bisa melaksanakan apa yang diwajibkan Allah Swt. ke tempat mereka bisa melaksanakannya. Dan Allah mengharamkan mereka tetap tinggal di tempat selain Negara Islam yang telah berdiri untuk tegaknya seluruh amal Islam (kecuali kerena keterpaksaan yang sungguh-sungguh). Firman Allah Swt:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini? mereka menjawab: ‘Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” (TQS. an-Nisa [4]: 97)

Rasulullah Saw. memulai dakwahnya dengan Lâ ilâha illa Allah Muhammad Rasulullâh dan beliau mulai menyampaikan kalimat itu kepada kaumnya. Kalimat itu pula ucapannya yang terakhir tanpa ada perubahan sedikitpun. Apakah beliau mendakwahkan sesuatu yang lebih ringan dari (kalimat) itu terlebih dahulu sehingga bisa menuai simpati penguasa dan penduduk Makkah, kemudian beliau berdakwah menyampaikannya secara bertahap sampai akhirnya menyampaikan hukum Allah yang sebenarnya? Sesungguhnya kalimat itu merupakan awal dan akhir dakwah beliau Saw.

Abu Bakar ra. telah memerangi orang-orang yang bersikeras tidak mau membayar zakat. Beliau tidak memberikan tempo (jeda waktu) dan tidak pula ridha kepada mereka. Tidakkah kita ingat terhadap perkataannya yang terkenal:
‘Demi Allah, seandainya mereka tidak mau membayar zakat kepadaku sebagaimana mereka telah membayarnya kepada Rasulullah Saw. maka sungguh aku akan memerangi mereka’.
Padahal kaum Muslim saat itu sedang menghadapi gerakan pemurtadan dan pembangkangan yang sangat besar?

Kaum Muslim terdahulu telah mengemban dakwah kepada Islam tanpa ada pemahaman tadarruj (pentahapan). Dan mereka mengambil metode ini pada saat mereka menerapkan Islam di negeri-negeri yang ditaklukkan, yang wilayahnya berubah dari dâr al-kufur menjadi dâr al-Islâm. Kaum Muslim terdahulu tidak mempedulikan kondisi negeri-negeri yang saat itu baru memeluk Islam, tidak berkompromi untuk membiarkan mereka berhukum kufur demi pentahapan.

Mereka tidak membiarkan orang-orang yang baru masuk Islam itu meminum khamr sedikit sampai jiwa-jiwa mereka terbiasa dengan tidak meminumnya; dan tidak membolehkan bermuamalah dengan riba sedikit; dan tidak membolehkan melacur dengan wanita sedikitpun,.... Mereka masuk ke dalam agama Islam secara keseluruhan. Mereka semuanya dilarang mempraktekkan riba, zina atau minum khamr, dan seluruh perkara yang diharamkan Allah atas mereka. Mereka menerapkan hukum-hukum syari’at yang telah dibebankan, baik kewajiban yang dibebankan itu terkait dengan individu ataupun jama’ah, fardhu ‘ain ataupun fardhu kifayah.

Syari’at secara umum telah menunjukkan atas wajibnya membalut dakwah dengan kebenaran dan lurusnya jalan. Firman Allah Swt:
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Quran) dan Dia tidak mengadakan kebengkokan di dalamnya, sebagai bimbingan yang lurus.” (TQS. al-Kahfi [18] 1-2)

Allah Swt. telah memberitahukan kepada kita bahwa orang-orang kafir ingin membujuk-bujuk kita, berjalan bersama mereka, dan agar kita melepaskan kebenaran serta agar kita menerima perkara-perkara yang dianggap (pada mulanya) sebagai perkara yang enteng dan sepele terhadap kekafiran. Allah Swt berfirman:
“Sebagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri.” (TQS. al-Baqarah [2]: 109)

Kemudian dengan hukum-hukum, firman Allah Swt:
“Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu).” (TQS. al-Qalam [68]: 9)


Sabtu, 18 Juni 2016

Terbebas Dari Racun Pemikiran


 

Di antara keistimewaan manhaj Islam adalah bahwa di dalamnya juga terdapat sistem ibadah, sistem ekonomi, sistem sosial, sistem politik dan sistem militer.

Di dalam sistem ekonomi terdapat hukum-hukum syara yang berkaitan dengan tanah, dengan kepemilikan, dengan industri, juga dengan perdagangan dalam dan luar negeri. Seluruh hukum-hukum ini maupun yang lainnya telah digantungkan oleh Syâri’ dengan Khalifah. Khalifahlah yang mengatur dan memelihara seluruh perkara tersebut, bukan partai ideologi Islam. Partai hanya berdakwah.

Di dalam sistem politik, Khilafah harus berdiri di atas pilar-pilar yang telah ditetapkan oleh syara’, dari Khalifah sampai mu’awin, termasuk wali dan qadhi, aparat administrasi hingga majelis umat. Khalifah memiliki wewenang dan tugas sebagaimana mu’awin; wali dan tentara memiliki tugas masing-masing, demikian juga dengan aparat administrasi yang memiliki tugas sendiri.

Bahkan termasuk dalam tentara Islam, seluruh persiapannya -yang dengan persiapan itu akan merealisasikan tujuan adanya tentara yaitu menyebarkan dakwah ke seluruh dunia -mengharuskannya mencakup level dunia, bukan hanya sampai tingkat gerakan saja; yang memungkinkan seorang muslim mampu mempelajari penggunaan senjata.

Di samping itu harus dimengerti bahwa ada jenis-jenis persenjataan yang hanya dimiliki oleh negara. Semua ini mengharuskan latihan (mobilisasi) pada level internasional (mencakup artileri, kapal-kapal penjelajah, pesawat-pesawat tempur, nuklir, pesawat ruang angkasa, dan sejenisnya); juga untuk mengembangkan berbagai penelitian dan pengembangan industri persenjataan, penyediaan lapangan-lapangan terbang serta pusat-pusat latihan.

Rasulullah Saw. ketika mempersiapkan dan melatih para sahabat, beliau tidak melakukannya dalam kapasitasnya sebagai pemimpin partai ideologi Islam, melainkan sebagai penguasa negara Islam. Meneladani beliau dalam perkara ini tidak boleh keluar dari perspektif ini.

Kewajiban partai ideologi Islam adalah mewujudkan Khalifah, yang akan menjalankan tugasnya untuk merealisir seluruh perkara tersebut. Sebab, Khalifahlah yang bertanggung jawab dalam perkara ini. Apabila umat lalai dalam mewujudkan Khalifah dan (berpaling dengan) berusaha untuk melaksanakan tugas-tugas Khalifah maka jamaah dalam hal ini telah menyeleweng dari syara’.

Partai ideologi Islam wajib mengadopsi konsep sistem-sistem yang ingin diterapkannya atas manusia ketika Allah memberikannya kemenangan untuk melaksanakannya. Partai ideologi Islam pun menetapkan struktur negara sistem Islam dan menetapkan UUD Khilafah, serta memberikan gambaran secara umum kepada manusia tentang hukum-hukum Islam, agar mereka melihat bahwa Islam mampu menyelesaikan problematika manusia, dan akan berjalan bersama mereka dalam mencapai peribadatan komprehensif mereka, dengan menjadikan mereka berada di dalam kancah nikmatnya penerapan hukum syara’ yang hanif atas mereka.

Partai ideologi Islam tsaqafah (khazanah keilmuan) Islam-nya harus luas, demikian juga lapangan aktivitasnya. Dia dituntut untuk melaksanakan seluruh perkara yang memang dituntut atasnya. Pemikirannya adalah pemikiran-pemikiran untuk mengatur/mengurus urusan umat dan mengadopsi kepentingan umat.

Terbebas Dari Racun Pemikiran

Ketika kaum Muslim mengalami kemerosotan yang amat dalam di bidang ruhiyah, keterbelakangan di bidang materi, kemunduran di bidang pemikiran dan politik Islam, maka pemikiran mereka menjadi sejalan dengan kenyataan-kenyataan buruk yang menimpa mereka.

Akibatnya, di tengah-tengah orang yang memiliki komitmen kepada Islam muncul pemikiran-pemikiran yang tidak menggambarkan hakikat Islam yang sebenarnya dan pandangan Islam tentang kehidupan. Pemikiran mereka lebih menggambarkan tentang buruknya pemahaman dan ketidaktahuan terhadap Islam dan petunjuk-petunjuk Islam di dalam kehidupan.

Pihak kafir imperialis yang menguasai urusan kaum Muslim dan mampu membolak-baliknya sekehendak hati, telah berhasil menanamkan pemahaman dan tolok ukur mereka di kalangan kaum Muslim. Mereka (kaum kafir) berhasil menanamkan berbagai pemikiran dengan berbagai citarasa yang terasa enak di mulut musuh-musuh kaum Muslim dan terasa manis diucapkan. Semua itu untuk kepentingan kaum kafir.

Penyebabnya bukan karena Islam, melainkan terpulang kepada para penganutnya yang telah kehilangan ikatan kuat terhadap Islam, dan hilangnya pemahaman yang benar di dalam diri mereka. Sebagian kaum Muslim itu berusaha melakukan perlawanan dengan bermodalkan pemahaman yang telah dipengaruhi oleh realitas dan tunduk kepada kepentingan (asas manfaat). Sayangnya perlawanan itu hanya usaha-usaha yang gagal dan langkah-langkah yang tertatih-tatih yang berakhir pada kegagalan, berujung pada kehinaan dan kepasrahan yang menyedihkan.

Orang–orang kafir menyerang Islam dengan mengatakan bahwa Islam tidak mampu menyesuaikan diri dengan zaman, dan Islam tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah kontemporer yang bermunculan. Reaksi kaum Muslim terhadap lontaran ini adalah menciptakan solusi-solusi Islami dari berbagai perkara yang dilontarkan sistem kapitalis. Karena asas yang mendasari tegaknya sistem kapitalis berlawanan dengan asas tempat tegaknya Islam maka merekapun menyengaja mengkompromikan antara dua perkara yang (sesungguhnya) saling berlawanan. Mereka juga secara sengaja membuat-buat ta’wil (interpretasi) yang salah, yang pada gilirannya akan melahirkan pemahaman-pemahaman dan tolok ukur yang salah pula yang disandarkan kepada syara’ secara zalim dan dusta. Semua itu bertujuan untuk mengkompromikan di antara keduanya dan memberikan gambaran bahwa Islam mampu mengikuti perkembangan zaman.

Akibatnya, pemahaman-pemahaman dan tolok ukur semacam itu dianggap Islami dan digunakan untuk memahami Islam. Padahal, hakikatnya jika kita mengambil pemahaman dan tolok ukur semacam itu berarti sama saja dengan meninggalkan Islam dan mengikuti sistem kapitalis.

Setiap seruan untuk kompromi atau apapun yang dipengaruhi oleh seruan kompromi ini hakikatnya adalah seruan untuk mengambil kekufuran dan meninggalkan Islam. Ini berarti juga mengemban pemikiran kafir kepada kaum Muslim dan mengajak mereka untuk mengambilnya, seraya meninggalkan dakwah kepada Islam yang sebenarnya.

Dengan demikian, jika kaum Muslim sepanjang masa kemundurannya berusaha untuk membangkitkan umat dengan pemikiran-pemikiran yang semodel ini, maka usaha-usaha itu ibarat fatamorgana.
Dari sinilah kita mulai mendengar berbagai perbincangan yang melampaui batas-batas syari’at Islam, baik disertai dengan niat atau karena kebodohan, lalu menyatakan bahwa tidak masuk akal jika kita yang hidup pada masa lebih dari empatbelas abad sejak masa Rasulullah saw masih berpegang dengan pola pikir yang sama dengan pola pikir masa kenabian, harus dilakukan upaya tajdîd (pembaruan) kembali syari’at Islam agar bisa menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Menurut mereka, Islam harus diberi suntikkan pemikiran-pemikiran “modern.”

Bertolak dari sini sebagian kaum Muslim mengeluarkan sejumlah pemikiran yang menjadi bentuk kaidah-kaidah pemikiran mereka, dan menetapkan perspektif baru dalam kehidupan mereka. Itu terjadi ketika sebagian kaum Muslim beranggapan bahwa mengikuti perkembangan zaman dan mengambil manfaat dari pemikiran Barat yang sedang bangkit merupakan suatu keharusan yang Islami agar Islam tetap berada pada kemodernannya.

Sejak itu muncul pemikiran kontemporer yang melayani tujuan ini, seperti: inna ad-dîna marinun wa mutathawwir (agama Islam itu elastis dan mengikuti perkembangan), khudz wa thâlib (ambil dan tuntutlah hak anda), al-qabûl bimâ yuwâfiqu asy-syar’i aw bimâ lâ yukhâlifu asy-syar’i (menerima apapun yang sesuai dengan syara’ atau apapun yang tidak bertentangan dengan syara’), irtikâbu akhaffu adh-dhararain wa ahwanu asy-syarrain (pelaksanaan yang lebih ringan bahayanya dan yang lebih sedikit keburukannya), mâ lâ yu’khadzu kulluhu lâ yutraku jalluhu (apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya maka jangan ditinggalkan semuanya), at-tadarruj fi akhzi al-Islâm (bertahap dalam penerapan Islam), ad-dimuqrâthiyyah min al-Islâm (demokrasi adalah bagian dari Islam), lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi taghayyuri az-zamân wa al-makân (tidak diingkari perubahan hukum dengan berubahnya waktu dan tempat), haitsuma takûnu al-maslahah fatsamma syar’ullâh (di mana ada maslahat di sana ada hukum Allah).

Pemikiran-pemikiran seperti ini menjadi titik tolak pemikiran atau kaidah berpikir bagi apa yang mereka namakan dengan ”kebangkitan Islam modern” yang dimotori oleh tokoh terpenting dalam masalah ini, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan muridnya yang menjadi anggota organisasi Freemason, Muhammad Abduh, yang saat itu digelari syaikhul Islam.

Sesungguhnya perkataan semacam ini diucapkan oleh orang-orang yang memiliki niat buruk dan kebusukan yang tersembunyi dengan maksud bisa memisahkan kaum Muslim dengan sebab-sebab kekuatan mereka, dan mewariskan kepada mereka kelemahan yang membuatnya berdiam diri terhadap penerapan hukum-hukum Allah untuk kedua kalinya.

Perkataan tersebut juga dilontarkan oleh orang-orang yang berniat dan maksud yang baik, tetapi mereka mengira bahwa pemikiran tersebut merupakan obat mujarab yang menyembuhkan apa saja yang diderita kaum Muslim saat ini, yaitu berupa kemunduran dan kemerosotan.

Perkataan seperti ini, baik diucapkan dengan niat buruk atau baik, pengaruhnya terhadap realitas kaum Muslim sama saja. Pemikiran orang-orang kafir pasti kegagalannya secara riil, yang tidak melahirkan kebaikan dan tidak mampu mengusir keburukan.

Minggu, 12 Juni 2016

Dakwah Internasional


 


Adanya seorang Khalifah dan adanya Daulah Khilafah Islamiyah adalah representasi dan penampakan terpenting dari bentuk-bentuk persatuan kaum Muslim; tidak ada persatuan selain dalam kerangka itu. Memang, dalam Khilafah Islamiyah, akan banyak pemahaman yang berbeda-beda, tetapi kita diperintahkan untuk tetap menaati Khalifah. Khalifahlah yang mengadopsi sekaligus melegislasi hukum publik. Legislasi hukum yang dilakukan Khalifah —bukan melarang atau menghapuskan pemahaman/mazhab tertentu— jelas akan menghilangkan perbedaan pendapat di kalangan umat. Sebab, perintah Khalifah harus diterapkan, baik secara lahir maupun batin, oleh seluruh kaum Muslim.
Sementara itu, pemimpin jamaah/partai sesungguhnya hanya ditaati di dalam urusan jamaah/partainya saja. Perintahnya akan menghilangkan perbedaan pendapat di antara anggota-anggota partainya saja, bukan di antara kaum Muslim secara keseluruhan.

Agama Islam adalah agama yang bersifat universal; karena Muhammad Saw. diutus kepada manusia seluruhnya.
“Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kalian.” (TQS. al-Baqarah [2]: 143)

Katakanlah, “Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadalian semuanya.” (TQS. al-A’raf [7]: 158)

Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Akan tetapi, kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (TQS. Saba’ [34]: 28)

Dengan demikian, Rasulullah Saw. telah mengarahkan dakwahnya ke seluruh dunia, ke segala kekuatan, ke seluruh blok, dan kepada semua raja. Karena itulah, beliau sebagai kepala negara Islam mengirim utusan kepada Najasyi (Raja Habsyah), Heraklius (Kaisar Romawi), Muqauqis (Pembesar Koptik), dan Kisra (Pemimpin Persia). Dalam hal ini, dakwah Islam tidak boleh hanya berbentuk semacam “toko-toko” dan “lahan-lahan pertanian” yang ada di sana-sini, sementara jihad Islampun hanya merupakan teriakan di padang sahara yang lengang.

Islam sebagai agama bersifat internasional dalam akidah dan sistemnya. Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Pengatur segala sesuatu. Dia Maha Mengetahui yang lahir maupun yang batin. Manusia yang lemah yang diciptakan dari air yang hina tentu wajib untuk kembali kepada-Nya. Allah adalah Pencipta manusia. Dia adalah Tuhan setiap manusia. Keberadaan manusia berkaitan dengan tujuan penciptaannya, yaitu ibadah. Keberadaan manusia juga berkaitan dengan kehidupan setelah dunia, yaitu Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan; Surga dan Neraka; balasan bagi keimanan dan kekufuran; serta balasan bagi ketaatan dan kemaksiatan. Hakikat akidah Islam wajib untuk disampaikan kepada manusia seluruhnya.

Allah Swt. berfirman:
Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula).” (TQS. al-Anfal [8]: 42)

Peraturan yang telah diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan yang berasal dari akidah ini juga merupakan peraturan untuk manusia sebagai manusia tanpa memperhatikan lagi warna kulit, ras, atau keadaannya.

Islam adalah agama yang universal. Islam mewajibkan benih berdirinya Daulah Islamiyah adalah benih yang mendunia. Selanjutnya, Islam juga mengharuskan jamaah/partai ideologi Islam mempersiapkan dirinya untuk menegakkan tugas ini. Oleh karena itu, jamaah/partai ideologi Islam pada dasarnya wajib untuk tidak memandang aktivitasnya dengan pandangan yang sempit.

Akan tetapi, jamaah/partai ideologi Islam harus memandang bahwa dirinya wajib menyelamatkan umat manusia seluruhnya dari ide-ide kufur dan syirik meskipun kekufuran dan kemusyrikan itu menampilkan diri dalam berbagai bentuk dan nama. Jamaah/partai ideologi Islam juga harus mengembalikan manusia pada kebenaran yang tidak berbilang. Inilah yang wajib menjadi perspektif jamaah/partai ideologi Islam. Berdasarkan ini pula diadopsi pemikiran-pemikiran (tsaqâfât) jamaah/partai ideologi Islam.

Jamaah/partai ideologi Islam juga mesti memandang bahwa aktivitas dan langkah-langkah perjalanannya telah didesain sedemikian rupa sesuai tuntunan Rasul Saw. Dengan begitu, apabila jamaah/partai berjalan tanpa melenceng sedikitpun dan bersabar menghadapi segala hal yang menimpanya tanpa bias, tanpa melakukan rekonsiliasi, dan tanpa melakukan kamuflase, maka Allah Swt. telah mempersiapkannya (secara praktis dan teoritis) untuk menegakkan urusan ini secara internasional. Yang demikian itu adalah setelah berdirinya Daulah Islamiyah. Dengan demikian, apabila dilihat dari segi pemikiran, jamaah/partai ideologi Islam haruslah bersifat internasional. Sebaliknya, dari segi aktivitas, ia tidak keluar dari keadaannya sebagai suatu jamaah/partai yang beraktivitas di satu tempat tertentu untuk mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah. Setelah itu, Daulah Khilafah Islamiyahlah yang akan berperan untuk menegakkan tugas yang agung itu.

Negeri-negeri kaum Muslim telah terbagi-bagi menjadi sejumlah negara. Inilah yang dikehendaki oleh musuh-musuh Islam. Secara umum, kaum Muslim di negara-negara itu hidup dalam kondisi yang mirip. Ekspansi dakwah akan memberikan kekuatan bagi jamaah/partai ideologi Islam, membuat orientasinya lebih besar dan lebih efektif, dan menjadikan tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah di salah satu wilayah di antara wilayah-wilayah yang menerima dakwah lebih luas dan lebih tersebar. Faktor inilah yang dapat membantu jamaah/partai ideologi Islam untuk melaksanakan tugas yang akan mengantarkannya pada tegaknya Daulah Khilafah Islamiyah dan mempersiapkan Daulah Islamiyah memasuki fase pergulatan internasional. Dalam dua perkara ini jamaah/partai ideologi Islam tentu harus menyandarkan diri pada pertolongan Allah Swt.

Minggu, 05 Juni 2016

Waspada Pemikiran Asas Bukan Islam


 


Sekarang ini, di lapangan dakwah terdapat banyak sekali lontaran pemikiran yang tidak berlandaskan pada asas yang benar, dan banyak sekali partai dakwah yang tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh syariat. Sejumlah partai yang ada itu tidak lain sekadar merupakan perkumpulan umat Islam yang rela melakukan aktivitas yang bersifat parsial —yang tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang ada, sekalipun bersifat parsial— serta melalaikan pandangan yang komprehensif menurut syariat Islam.

Sejumlah partai tersebut pada dasarnya tidak mengemban Islam secara benar, yakni yang memungkinkan Islam dapat diterapkan secara sempurna di tengah-tengah kehidupan umat Islam. Partai dakwah semacam ini sangat banyak jumlahnya, bahkan di satu negeri saja bisa mencapai ratusan. Pada gilirannya, mereka menjadikan sejumlah “toko dan lahan pertanian” menghabiskan segala usahanya, serta menjadikan orientasi dan aktivitas yang sahih hilang pada diri umat Islam.

Di tengah sejumlah banyak partai dakwah yang banyak menarik perhatian ini, hanya ada sedikit sekali yang memiliki pandangan yang jauh ke depan untuk mencapai berbagai tujuan Islam dan berusaha merealisasikannya. Umat dilarang menyelisihi hal-hal yang qath’i (pasti) di dalam Islam.

“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian menyembah-Ku.” (TQS. al-Anbiya’ [21]: 92)

“Sesungguhnya umat kalian ini adalah umat yang satu dan Akulah Tuhan kalian semua. Oleh karena itu, hendaklah kalian bertakwa kepada-Ku.” (TQS. al-Mukminun [23]: 52)

“Permisalan orang-orang Mukmin itu dalam kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh; jika salah satu anggotanya ada yang sakit maka seluruh tubuh akan merasakan gelisah dan demam.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad)

“Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang berpecah-belah dan berselisih setelah datang kepada mereka sejumlah bukti yang nyata. Mereka itulah orang-orang yang layak mendapatkan azab yang pedih.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 105)

“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.” (TQS. al-An’am [6]: 159)

Berkaitan dengan ayat di atas, al-Baydhawi, berkata, “Mereka berlebih-lebihan dalam agama; mereka mengimani sebagian dan kafir atas sebagian yang lain; dan merekapun berbeda pendapat di dalamnya.”

Ayat-ayat ini telah mengeluarkan orang yang akidahnya bertentangan dengan akidah umat Islam dari agama Islam. Ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik di seputar perbedaan ijtihad dalam hal-hal yang dzanni (tidak pasti).

Janganlah kalian seperti orang-orang yang melepaskan diri dari agamanya dan berbeda pendapat tentangnya setelah datang kepada kalian bayyinât, yaitu perkara-perkara akidah yang jelas dan bukti-bukti yang tegas (qath‘î). Yang dimaksud dengan mereka di sini adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Imam al-Baydhawi, ketika menafsirkan ayat yang artinya, “Janganlah kalian bertikai dan berpecah-belah” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104),” menyatakan demikian:
“Maksudnya adalah seperti orang-orang Yahudi dan Nasrani yang bertikai dalam masalah tauhid, penyucian Allah, dan beberapa kondisi alam Akhirat; sementara mereka telah mengetahui —setelah datang kepada mereka bukti-bukti— berbagai tanda dan hujjah yang menjelaskan kebenaran yang wajib mereka sepakati. Tampak jelas bahwa larangan di dalam ayat ini khusus ditujukan pada perbedaan pendapat dalam masalah ushûl, bukan masalah furû‘, berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang menyatakan:
“Siapa saja yang berijtihad dan ijtihadnya benar maka baginya dua pahala, sedangkan jika ijtihadnya salah maka baginya satu pahala.”
Potongan ayat yang artinya, “Mereka itulah yang akan mendapatkan azab yang berat,” merupakan ancaman bagi orang-orang yang berpecah-belah dan bagi orang-orang yang menyerupai mereka.”
Demikianlah pernyataan al-Baydhawi.

Sesungguhnya proses perubahan yang Islami merupakan aktivitas yang sulit; mengalahkan opini jahiliyah dari kedudukannya juga bukanlah perkara yang mudah; sementara upaya merealisasikan kekuasaan Islam atas masyarakat —dalam pemikiran, perilaku, dan sistem— menuntut adanya upaya bersama.

Konspirasi internasional atas Islam dan atas harakah Islam mengharuskan adanya persatuan dalam menghadapi dan menantangnya. Kekuatan internasional yang memusuhi Islam dan bersekongkol untuk menguasai Dunia Islam telah saling bekerjasama dan menyatukan perjuangannya. Oleh karena itu, kekuatan Islam yang ada di Dunia Islam tidak boleh ada yang bertentangan dengan perkara-perkara yang qath’i (pasti) di dalam Islam agar tidak menjadi santapan yang lezat bagi musuh dan agar tidak mudah bagi mereka untuk mengeliminasi dan menjatuhkannya. Jika umat ada yang menyimpang dalam hal yang qath’i (pasti) di dalam Islam maka tidak akan menjadi penjaga masa depan Islam serta memelihara perjalanan Islam dari kerusakan, pelecehan, dan pemusnahan.

Berbagai kekuatan dan partai yang bersifat lokal yang memusuhi Islam sampai sekarang ini telah memiliki cabang-cabangnya di seluruh Dunia Islam. Mereka senantiasa mempelajari, mengawasi, merancang strategi, dan selalu bersiap diri di segala lini....

Kamis, 02 Juni 2016

Partai Islam Yang Sukses


Sebagaimana telah dimaklumi, sesungguhnya yang dituntut oleh syariat bukanlah semata-mata keharusan adanya suatu partai, tetapi, lebih dari itu, adalah adanya partai ideologi Islam yang mampu melaksanakan tugas dakwah ini. Dalil-dalil mengenai keharusan adanya partai dakwah ideologi Islam telah menjelaskan hal itu kepada kita.

Allah Swt. berfirman:
Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan al-Khayr (al-Islâm), menyuruh kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 104)

Melalui ayat di atas, syariat Islam telah mewajibkan umat Islam untuk mendirikan partai politik yang berideologikan Islam serta mengemban sejumlah pemikiran dan hukum-hukum syariat yang diperlukan untuk mencapai tujuannya, yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan transformasi kekuasaan (istikhlâf).

Yang dimaksud tentu bukan sekadar adanya sebuah partai semata; tetapi adanya partai yang dapat merealisasikan tujuannya yaitu mendakwahkan Islam, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran. Lebih dari itu, yang dituntut juga bukan sekadar adanya partai yang mendakwahkan Islam, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemungkaran; tetapi partai yang melaksanakan semua itu dalam upaya merealisasikan tujuan lain yaitu tampil ke permukaan (izhhâr), melakukan konsolidasi (tamkîn), dan kemudian melakukan perubahan (dan penerapan) kekuasaan (istikhlâf).

Rasulullah Saw. bersabda:
“Tidak halal atas tiga orang yang berada di muka bumi kecuali mereka mengangkat salah seorang di antara mereka menjadi amir (pemimpin).” (HR. Ahmad ibn Hanbal)

Hadis di atas menunjukkan, bahwa setiap kerja kolektif yang dituntut atas umat Islam untuk dilaksanakan harus segera direalisasikan sampai terlaksana, seperti adanya seorang amir yang wajib ditaati dalam hal yang karenanya dia diangkat, dan adanya partai yang memiliki komitmen terhadap perintah amir. Dengan adanya kerja kolektif ini, akan dihasilkan apa yang memang dikehendaki sesuai dengan tuntutan syariat.

Kita telah memahami bahwa Allah Swt. telah membebankan banyak kewajiban atas umat Islam, termasuk yang pelaksanaannya bagi Khalifah semata, bukan yang lain. Konsekuensinya, umat Islam harus mengangkat seorang Khalifah untuk menegakkan berbagai kewajiban tersebut. Kitapun telah memahami bahwa pengangkatan Khalifah dan penegakkan ke-Khilafahan tidak mungkin dapat direalisasikan kecuali dengan adanya partai Islam. Implikasinya, harus ada partai Islam yang didirikan dalam rangka mengangkat Khalifah dan untuk menegakkan keKhilafahan. Ketentuan semacam ini didasarkan pada kaidah syariat berikut:
Selama suatu kewajiban tidak bisa direalisasikan dengan sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.

Dengan demikian, jelaslah bahwa keberadaan partai Islam terkait erat dengan adanya tujuan syariat yang dituntut. Partai yang dimaksud bukanlah partai yang didirikan untuk sekadar mengemban dakwah Islam atau tabligh semata. Lebih dari itu, partai Islam yang ada haruslah ditujukan dalam rangka menegakkan Islam di dalam realitas kehidupan umat Islam melalui pendirian Daulah Khilafah Islamiyah. Daulah Islamiyahlah yang dianggap sebagai metode syariat untuk menerapkan setiap hukum Islam.

Partai ideologi Islam mengadopsi seluruh pemikiran, hukum, dan pendapat —yang sesuai dengan syariat Islam— yang dibutuhkan bagi aktivitas perjuangannya, sekaligus terikat dengan ketiganya; baik dalam pemikiran, perkataan, maupun tindakan. Alasannya, di antara fungsi pengadopsian (tabanni) —dalam pemikiran, hukum, dan pendapat— adalah untuk mempersatukan para anggota partai ideologi Islam.

Sebuah partai yang para anggotanya memiliki berbagai pemikiran dan menganut berbagai ijtihad —meskipun mereka bersatu dalam satu tujuan dan dalam Islam secara umum— tidak bisa tidak, akan mudah ditimpa oleh keretakan dan perpecahan. Bahkan, lebih jauh, akan muncul di dalam tubuh partai itu sejumlah ‘partai kecil’ dan akan lahir sejumlah ‘jamaah’ di dalam jamaah; dakwahnya akan berubah dari upaya mengajak orang lain berjuang secara bersama-sama untuk menegakkan kewajiban ini ke arah upaya mengajak masuk ke dalam kelompoknya; mereka akan saling bertengkar; dan masing-masing menginginkan agar pendapatnyalah yang dipakai di dalam partai.

Dari sini, tampak jelas, betapa penting adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat) dan legislasinya bagi partai ideologi Islam. Alasannya, kesatuan partai ideologi Islam sangat dituntut oleh syariat, dan tidak ada yang dapat menjaga kesatuan partai ideologi Islam kecuali dengan adanya adopsi (pemikiran, hukum, pendapat) yang dibutuhkan partai ideologi Islam dalam aktivitas perjuangannya.

Dalam hal ini, para aktivis partai ideologi Islam jelas wajib juga untuk mengadopsi apa yang telah diadopsi oleh partainya. Adopsi (tabanni) merupakan tuntutan syariat berdasarkan kaidah, “Mâ lâ yatim al-wâjib illâ bihî fahuwa wâjib.”

Selama berbagai pemikiran, hukum, dan pendapat untuk beraktivitas pada sebuah partai ideologi Islam sesuai dengan syariat serta selama para aktivisnya menaruh kepercayaan penuh pada partai ideologi Islam, maka partai boleh mewajibkan para aktivisnya untuk mengikatkan diri secara penuh pula dengan apa yang telah diadopsinya. Hal ini didasarkan pada kebolehan seorang bagi Muslim untuk meninggalkan pendapatnya dan beramal dengan pendapat orang lain.

Utsman ibn ‘Affan r.a., misalnya, ketika dibaiat menjadi Khalifah, rela meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil ijtihad Abu Bakar dan ‘Umar r.a., meskipun pendapat keduanya bertentangan dengan pendapatnya. Para sahabat telah menyetujui sikap ‘Utsman dan mereka pun membaiat ‘Utsman.

Hanya saja, hal ini merupakan sesuatu yang boleh, bukan suatu kewajiban. Alasannya, Sayidina ‘Ali r.a. tidak mau meninggalkan ijtihadnya untuk mengambil pendapat Abu Bakar dan ‘Umar, sementara tidak ada seorangpun dari para sahabat yang mengingkari hal itu.

Ada pula ada hadis sahih dari asy-Sya‘bi yang menyebutkan bahwa Abu Musa pernah meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat Ali; Zaid meninggalkan ijtihadnya dan mengambil pendapat ‘Ubay ibn Ka‘ab; ‘Abdullah meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat ‘Umar. Banyak pula hadis yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar pernah meninggalkan pendapat mereka dan mengambil pendapat ‘Ali. Hal ini menunjukkan bolehnya seorang mujtahid meninggalkan pendapatnya dan mengambil pendapat orang lain dengan didasarkan pada keyakinan pada ijtihadnya. Namun demikian, para aktivis partai ideologi Islam harus berpegang teguh pada pemahaman partainya sehingga akan tumbuh pada diri mereka suatu kesatuan pemikiran dan perasaan….

Rabu, 01 Juni 2016

Meruntuhkan Pemikiran Selain Islam


 
Harus dijelaskan kepalsuan setiap pemikiran kontemporer seperti kapitalisme, nasionalisme/ ashobiyah, atau patriotisme. Harus pula dilakukan upaya untuk membandingkan antara pemikiran-pemikiran Islam dan pemikiran-pemikiran lainnya untuk memperoleh hasil, yaitu meruntuhkan setiap pemikiran selain Islam dan selanjutnya meruntuhkan pula setiap institusi yang berdiri di atasnya.

Dari sini kemudian dijelaskan, bahwa hanya Islam yang benar dan layak untuk seluruh dunia (karena keuniversalan akidah dan sistemnya) dan hanya pada Daulah Islamiyah Islam dapat direpresentasikan secara utuh. Di dalam medan semacam inilah jamaah ideologi Islam berusaha untuk menjatuhkan setiap propaganda, slogan-slogan yang digelar, papan-papan pengumuman, dan seruan-seruan palsu yang ditanamkan oleh orang-orang kafir di benak umat Islam seperti slogan, “Kebebasan kebudayaan dan pemikiran,” “Berikan apa yang menjadi hak kaisar kepada kaisar dan berikan apa yang menjadi Allah kepada Allah,” “Tanah airku selalu benar.”

Hendaknya partai politik ideologi Islam beraktivitas untuk menjauhkan setiap pemikiran Barat dari benak umat Islam dan dari kehidupan mereka, yaitu dengan menyangkal berbagai pemikiran destruktif yang berkembang seperti: “Pembaharuan Syariat,” “Yurisprudensi Syariat,” “Elastisitas syariat untuk merespon perkembangan zaman,” (menurut versi Barat) “Pemisahan agama dari politik,” “Tidak ada politik dalam agama,” “Tidak bisa diingkari adanya perubahan hukum-hukum karena adanya perubahan waktu dan tempat,” dan lain-lain. Selain meruntuhkan semua propaganda ini, organisasi/partai dakwah ideologi Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran yang benar yang berlandaskan pada —sekaligus lahir dari— konsep syahadat “Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasûlullâh.”

Secara syar‘î, dapat dimaklumi, bahwa kalimat Lâ ilâha illâ Allâh Muhammad Rasûlullâh —baik secara ilmu maupun amal— tidak akan bersih berada di dalam jiwa sampai segala pemikiran selainnya dibuang dan setiap keimanan kepada selain-Nya dijauhkan dari dalam jiwa itu. Allah Swt. berfirman:
Oleh karena itu, siapa saja yang ingkar (kufur) terhadap thâghût dan beriman kepada Allah, berarti ia telah berpegang pada tali yang amat kuat dan tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.“ (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Dalam ayat di atas, kata kufur terhadap thâghût supaya tidak menempel satu noda syirik atau satu kotoran kekufuran pun dalam jiwa, sehingga setelah itu datang keimanan yang ikhlas. Inilah keadaan yang dialami oleh orang yang berpegang teguh pada tali yang kukuh (‘urwah al-wutsqâ).

Allah Swt. berfirman:
Oleh karena itu, ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah, serta mohonkanlah ampunan atas dosamu dan atas dosa orang-orang Mukmin, laki-laki dan perempuan. Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.” (TQS. Muhammad [47]: 19).

Frasa lâ ilâha berarti bahwa setelah meneliti dan memikirkan, muncullah ‘ilm (baca: keyakinan) —yang bermakna negasi— bahwa sesungguhnya tidak ada ‘tuhan’ yang ada sebagai Tuhan yang layak untuk disembah. Kemudian, frasa illâ Allâh merupakan afirmasi (itsbât) bahwa ketuhanan (ulûhiyyah) hanyalah hak/milik Allah semata. Artinya, kalimat di atas menegasikan tuhan selain Allah, dan sekaligus mengafirmasikan (mengukuhkan) bahwa hanya Allah yang layak disebut Tuhan.

Dalam perspektif bahasa Arab, kalimat semacam ini adalah bentuk pengukuhan (itsbât) yang paling kuat dan memiliki fungsi untuk memberikan pembatasan/pengkhususan (al-hashr). Oleh karena itu, bukan pemikiran sosialis, nasionalisme/ashobiyah, atau patriotisme yang akan menyelamatkan atau merupakan pemikiran yang benar. Alasannya, pemikiran-pemikiran itu semuanya adalah rusak dan batil, menyengsarakan manusia, dan bukan membahagiakannya. Jadi, selain Islam dan syariat-Nya, tidak ada yang lain yang merupakan petunjuk, cahaya, dan penyembuh.

Partai politik ideologi Islam mesti melakukan pembinaan atas para anggotanya sekaligus membentuk kepribadian Islam (syakhshiyah Islâmiyyah) mereka. Caranya adalah dengan menyampaikan kepada mereka sejumlah tolok ukur/ standar yang benar dan memuaskan jiwa-jiwa mereka. Dengan begitu, mereka suka untuk senantiasa terikat dengan syariat, dan benci jika melanggarnya; mereka cinta untuk selalu berhukum dengan syariat, dan benci jika berhukum dengan selainnya. Dengan begitu pula, cara berpikir mereka dalam memandang perkara-perkara yang ada selalu terjaga dengan sejumlah tolok ukur dan pemikiran yang bersumber dari syariat; kecenderungan mereka mengikuti kecenderungan Islam; serta keridhaan dan kebencian mereka semata-mata karena alasan syar‘î.

Partai politik ideologi Islam juga mesti menanamkan pemikiran-pemikiran ini kepada para pengikutnya melalui sejumlah halqah murakkazah (pembinaan intensif). Halaqah ini dimaksudkan dalam rangka mempersiapkan para aktivis partai ideologi Islam untuk memimpin dan melaksanakan aktivitas dakwah ideologi Islam. Hal itu dilakukan setelah mereka ikut terjun ke dalam realitas bersama partai untuk mengajak masyarakat agar mengadopsi pemikiran-pemikiran Islam.

Partai politik ideologi Islam juga mesti berusaha memahami realitas yang ada dengan cara berpikir. Ia juga mesti menyampaikan kepada para aktivisnya proses berpikir yang dipergunakannya. Dengan demikian, partai ideologi Islam berperan sebagai pembimbing bagi para aktivisnya mengenai bagaimana cara mereka berinteraksi dengan realitas, serta bagaimana cara mereka untuk sampai pada pemahaman Islam mengenai sejumlah realitas yang ada yang menempati posisi sebagai obyek hukum (manâth al-hukm) baginya; seperti definisi akal, kebutuhan fisik (hâjât al-‘udhawiyyah), naluri-naluri (gharâ-iz), kebangkitan (nahdhah), masyarakat (mujtama‘), peradaban/kultur (hadhârah), kebudayaan material (madaniyyah), dan lain-lain. Semua itu tentu saja mesti didefinisikan karena adanya kebutuhan untuk mengetahui hakikatnya yang sangat berkaitan dengan banyak hukum syariat….

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam