Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 30 Oktober 2017

Membebaskan Umat Dari Jeratan Sekularisme-Demokrasi



Format sebuah negara maupun masyarakat sangat ditentukan oleh asas yang mendasarinya. Jika sejak awal asasnya rusak dan bathil dengan sendirinya bangunan negara dan masyarakat juga rusak dan batil. Oleh karena itu, pembahasan tentang asas negara dan masyarakat, UUD, dan yang sejenisnya tidak dapat dianggap enteng. Implikasinya amat luas dan berkelanjutan. Pasalnya, rusak dan bathilnya asas bernegara dan bermasyarakat, sebagaimana yang kita saksikan saat ini, jelas akan mengakibatkan rusak dan -tidak mustahil- hancurnya negara dan masyarakat tersebut.

Negara yang berasas Islam saja, jika penguasa dan rakyatnya tidak menjaga penerapan sistem Islam itu sebaik-baiknya, tetap bisa hancur; apalagi jika asasnya memang bukan-Islam –semacam sekularisme-demokrasi, jebakannya yahudi- dan cacat parah sejak lahir, sudah barang tentu hidupnya sakit-sakitan dan umurnya tidak lama.

Telah tampak bahwa demokrasi yang juga dipraktekkan di negeri ini (lebih-lebih demokrasinya negara jajahan, bukan negara penjajah) semakin lama hanya bisa semakin rusak, penduduknya mengalami krisis multidimensi yang semakin parah, upaya-upaya perbaikan sesuai sistem itu hanya sedikit saja memperlambat kerusakan laten.

Semakin lama umur negara sistem bukan-Islam, maka semakin banyak undang-undang yang pro-imperialis (dan pro-setan). Dan setelah ratusan aturan diterapkan –yang merugikan penduduk negeri dan menguntungkan asing-aseng beserta segelintir antek-anteknya- maka dapat dipastikan sistem tidak-Islam itu tidak bisa diharapkan sama sekali untuk memperbaiki kerusakan. Semakin lama, semakin rusak, maka semakin tampak jelas kecacatan sistem republik/demokrasi yang memang diimpor dari hawa nafsu kaum kafir itu.

Kehancuran sebuah negeri bisa terjadi bukan semata karena dampak faktor internal sistemnya, tapi juga karena kaum kafir imperialis Timur dan Barat tidak akan menghentikan nafsu penjajahannya.

Pemegang tampuk kepemimpinan yang baru dalam sistem bukan-Islam pasti terjebak dan terikat ratusan aturan bathil yang telah diterapkan -yang terus menghasilkan kerusakan- sehingga wajah-wajah baru penguasa itu meski seandainya dengan semangat untuk memperbaiki melalui sistem, akan tersandera oleh sistem rusak itu sendiri. Sistem tidak-Islam itu memang tidak memiliki mekanisme dan landasan untuk sungguh-sungguh melawan kebathilan undang-undang yang bathil, serta tidak mampu sungguh-sungguh membela kebenaran dan keadilan, karena sekularisme-demokrasi semata-mata menuruti hawa nafsu, tanpa kejelasan mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang adil dan mana yang zhalim, mana yang taqwa dan mana yang maksiat. Ketidakjelasan itu memanglah cacat permanen dalam demokrasi, ingat, demokrasi ada untuk memfasilitasi hawa nafsu. Sistem aturan yang rinci, jelas, dan selalu tepat untuk memperbaiki kehidupan umat manusia –yaitu dalam sistem Islam- nyata bertentangan dengan demokrasi.

Kampanye yang pro terhadap sistem bukan-Islam selalu berupaya untuk mengesankan seakan-akan pemerintahan baru –yaitu pemenang pemilu- nantinya mampu mewujudkan mimpi-mimpi masyarakat. Namun, masyarakat saat ini berada dalam iklim kesadaran untuk perubahan dari status quo; dan perubahan itu sudah seharusnya ke arah Islam, dengan perjuangan metode Rasul Saw., demi ridha Allah Swt., untuk kemenangan kebenaran dan keadilan Islam beserta umat, kemenangan dalam hidup di dunia dan di akhirat.

Manusia akan diadili di Hari Pembalasan dalam hal aqidah dan syariahnya, apakah aqidahnya Islam, apakah mengimani dan membenarkan ayat-ayat al-Qur’an seluruhnya, apakah rela diatur dengan syariah Islam, apakah menolak semua hukum selain syariah Islam, apakah perbuatannya selama hidup di dunia sesuai syariah Islam, apakah menolak sistem negara bukan-Islam, apakah membela Islam dan umatnya atau justru membela kebathilan, apakah menerima syariah Islam sebagai standar perbuatan dan untuk menghukumi manusia.

Ideologi Islam (aqidah dan syariah) inilah faktor yang menentukan nasib kaum Muslimin, jika berpegang teguh dengannya maka mereka akan ditolong Allah Swt. di dunia dan di akhirat mendapat kemenangan hakiki. Sebaliknya, jika umat terjauhkan dan awam terhadap ideologi Islam, maka bahaya akan menjadi semakin besar meski perasaan mereka tulus terhadap agama Islam. Ideologi pada diri umat haruslah ideologi Islam, jika ideologinya tidak jelas maka kondisi memprihatinkan akan terus berlanjut, kehidupan umat akan jauh dari kemuliaan Islam.

Kondisi realitas buruk akibat bercokolnya sistem bukan-Islam yang menjadi bahaya laten, yang terus berpotensi memakan korban, terjauhkannya umat dari aqidah dan syariah Islam, inilah yang harus diprihatinkan oleh setiap elemen umat Islam. Para nabi dan rasul diutus oleh Sang Pencipta pada dasarnya adalah untuk mewujudkan ideologi yang berasal dari Allah Swt. kepada umatnya sehingga diterima dan diamalkan, bukan lain-lain.

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka hukumilah di antara manusia dengan kebenaran dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (TQS. Shad: 26)

“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang haq); dan kepada masing-masing mereka (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hikmah dan ilmu...” (TQS. Al-Anbiya: 79)

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (TQS. Al-Maidah: 78)

Nabi Ibrahim dan Ismail telah sabar –atas dasar keimanan- menerima perintah, syariat dari Allah Swt. untuk mereka:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (TQS. Ash-Shaffat: 102)
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim.
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu," sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.
(yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim."
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (TQS. Ash-Shaffat: 103-111)

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.” (TQS. An-Nisa’: 163)

Kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya juga diturunkan ayat:

“dan hendaklah kamu menghukumi di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka.” (TQS. Al-Maidah: 49)

Asas bagi negara haruslah al-Qur’an dan as-Sunnah:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (TQS. an-Nisa’: 59)

Alhamdulillah. []

Artikel terkait: “Tawaran Perubahan Di Tengah Euforia Perubahan” Majalah Al-Wa`ie No.13 tahun 2, 1-30 September 2001

Jumat, 27 Oktober 2017

Gerakan Islam dan Komitmen Terhadap Ideologi Islam


Ketika Barat yang kafir mampu menjadikan metode kehidupannya sebagai metode yang diikuti oleh umat manusia, kaum Muslim justru hidup dalam berbagai kondisi pemikiran, sosial, ekonomi, politik sistem kufur yang menyengsarakan. Mereka hidup dengan pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam mereka. Akibatnya, mereka kehilangan jejak yang lurus.
Mereka pun telah kehilangan kepribadian ketika berusaha mengkompromikan berbagai pemikiran yang memancar dari akidah Islam dengan berbagai pemikiran asing (non-Islam) yang sebetulnya tidak diakui oleh umat ini. Akan tetapi kemudian, “asap” pemikiran asing ini masuk juga menyelimuti umat karena kebodohan dan karena tidak adanya upaya mereka untuk mengambil segala persoalan dengan dilandaskan pada akidah Islam.

Pada gilirannya, umat terjebak pada sinkretisme atau ekletisisme (pencampuradukan) absurd antara Islam dengan berbagai pemikiran atau metode kehidupan bukan-Islam yang kontradiktif. Umat pun menjadikan kemaslahatan yang didasarkan hawa nafsu sebagai maksud syariat (maqshûd syarî’ah). Mereka juga menerima segala bentuk penakwilan dan melakukan justifikasi atas semua penyimpangan yang terjadi. Akibat lanjutannya, seluruh kehidupan sosial-ekonomi umat manusia dipenuhi dengan berbagai kontradiksi, dan berbagai realitas politik pun diarahkan untuk memperkuat berbagai pemikiran asing pada posisi pemikiran umat yang asli.

Di dalam berbagai situasi yang sangat buruk semacam ini, bermunculanlah berbagai gerakan Islam untuk menghadapi akumulasi berbagai pemikiran yang salah, pemahaman yang keliru, perasaan yang menyimpang, dan kondisi politik yang terikat dengan pihak asing.

Sebuah gerakan atau partai Islam sudah seharusnya memiliki penawar racun dan obat yang menyembuhkan. Gerakan atau partai Islam juga sudah seharusnya meretas jalan yang lurus yang bisa dilewati manusia berdasarkan bimbingan ideologi Islam, bukan jalan “nyaman” yang justru menjerumuskan manusia ke dalam lubang biawak yahudi semacam demokrasi.

“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (TQS al-An’am [6]: 153)

Sebuah jamaah atau partai Islam juga sudah selayaknya memiliki sejumlah sifat yang menjadikannya mampu mencapai tujuan. Sifat-sifat itu antara lain kejelasan pemikiran Islam dan semangat untuk mencapai tujuan; upaya mempersiapkan kelompok yang tercerahkan dan mempersiapkan umat, serta komitmen terhadap berbagai hukum Islam yang terkait dengan metode (tharîqah) dalam merealisasikan gagasan (fikrah), dengan kata lain, komitmen terhadap ideologi Islam.

Gagasan atau pemikiran (fikrah) Islam sudah seharusnya mendapatkan perhatian utama dari sebuah jamaah atau partai Islam. Bagi sebuah jamaah atau gerakan Islam, pemikiran Islam harus dipandang sebagai kebenaran yang wajib diyakini oleh setiap manusia; sebagai petunjuk yang dapat menyinari setiap orang yang dibimbingnya; sebagai rahmat yang diberikan oleh Allah Swt. kepada para hamba-Nya; sekaligus sebagai cahaya yang mampu mengeluarkan manusia seluruhnya dari kegelapan hawa nafsunya.
Pemikiran Islam harus dipandang sebagai sesuatu yang layak bagi manusia, sesuai dengan fitrahnya, memuaskan akalnya, dan menentramkan hatinya. Pemikiran Islam pun harus dipandang sebagai sesuatu yang mampu membahagiakan kehidupan dan membangkitkan harapan. Di dalamnya terdapat kedalaman dan kesempurnaan.
Oleh karena itu, pemikiran Islam akan mampu menjawab setiap persoalan manusia tentang kehidupan yang dihadapinya; mampu menghubungkan manusia secara benar dengan Hari Perhitungan Amal; serta mampu mengikat manusia secara shahih dengan Penciptanya sehingga ia bisa memahami tujuan hidupnya dan menjadikannya bahagia hakiki.

Sebuah jamaah atau partai Islam yang meyakini pemikiran Islam harus pula meyakini bahwa seandainya bukan pemikiran Islam (akidah maupun syariah) yang mendominasi masyarakat, maka kebatilan akan berkuasa, kemungkaran akan merajalela, hawa nafsu akan diikuti, kezaliman akan menyebar, kegelapan akan merata, dan kehidupan yang sempit akan membuat manusia tidak bisa tidur. Akibatnya, jiwa-jiwa manusia tampak tidak pernah merasakan ketenangan, fitrah mereka tidak pernah merasakan kedamaian, dan akal-akal mereka pun tidak pernah lurus.

Dengan demikian, topik utama yang harus diperhatikan dengan cermat oleh jamaah atau partai Islam adalah menentukan pemikiran Islam secara tepat dari nash-nash wahyu. Dengan begitu, jamaah atau partai akan selalu memegangnya; menjaga kejernihannya, sehingga ia akan terhindar dari segala anasir yang bukan berasal dari Islam; mencegahnya dari percampuradukan dengan berbagai pemikiran asing yang bukan bersumber dari Islam; serta menentukan sikapnya terhadap berbagai propaganda lain.
Kejernihan pemikiran diharapkan menciptakan kecemerlangan pandangan yang dimiliki oleh jamaah. Kecemerlangan pandangan diperoleh melalui pemahaman terhadap hukum syariat dengan metode penggalian dalil (istidlâl) yang benar. Hukum ini wajib berasas akidah Islam.

Ketika pemikiran yang jernih, cemerlang, mengkristal, dan jelas itu hilang maka akan hilang pula keistimewaannya; cahaya, petunjuk, dan rahmat pun tidak akan kembali. Akibat lanjutannya, legitimasi keberadaan partainya pun akan hilang, sehingga ia menjadi seperti gerakan-gerakan lainnya yang pasrah menyerah di hadapan realitas yang berhasil mempengaruhinya.

Sejauh mana kristalisasi pemikiran (fikrah) terjadi pada anggota-anggota gerakan akan berbanding lurus dengan kristalisasi metode (tharîqah) untuk mewujudkankannya ke dalam realitas praktis. Jalan untuk mencapai tujuan adalah termasuk hukum syariat yang harus direalisasikan sebagaimana halnya hukum-hukum syariat yang lain.

Sebuah jamaah atau partai politik berideologi Islam adalah jamaah atau partai yang senantiasa mengikatkan diri dengan ideologi Islam di dalam setiap gerak dan diamnya. Sebab, sebuah pemikiran ideologis sejatinya akan mencegah para penganut dan pengembannya untuk mengambil ideologi lain. Di samping itu, sebuah pemikiran ideologis merupakan pemikiran pokok yang pertama-tama membahas segala perkara dari dasarnya dan memberikan jawaban yang khas tentang arti keberadaan manusia di alam ini. Semua pemikiran cabang lahir dan memancar dari pemikiran pokok ini. Segala pemikirannya tentang kehidupan, berbagai pemahamannya tentang segala sesuatu, dan berbagai hukum tentang perbuatan-perbuatan semuanya berasal dari pemikiran pokok ini.

Bangunan Islam demikian sempurna, tidak ada sedikitpun kekurangan, meskipun hanya satu topik. Semua ajaran yang ada di dalam Islam sangat harmonis satu sama lain karena memancar dari landasan ideologis yang sama dan baku serta menyatu dengan fitrah kehidupan dan tabiat penciptaan.

Siapa saja yang beriman dengan Islam, maka halal dan haram –bukan asas manfaat- menjadi standar (miqyâs) bagi setiap perbuatan dan pandangannya terhadap segala sesuatu. Sebab, manfaat –menurut pendapat akal manusia- pada dasarnya selaras dengan pemikiran tidak-Islam bahwa manusialah yang membuat hukum, bukan Allah Swt. Oleh karena itu, kebahagiaan seorang Muslim sejatinya adalah memperoleh keridhaan Allah, bukan memperoleh sebanyak-banyaknya kelezatan.
Kehidupannya pun merupakan kehidupan yang penuh pengabdian kepada Allah dan ketundukkan pada segala perintah-Nya, bukan kehidupan yang berdiri di atas ide kebebasan yang menjadikannya terlepas dari ikatan syariat. Sebab, siapa saja yang menerima asas, ia akan menerima apa saja yang lahir dari asas itu. Siapa saja yang ingin melakukan perubahan, ia mesti memulainya dari asasnya dulu, di samping harus memperhatikan kesesuaian antara berbagai pemikiran cabang dengan asasnya. Inilah watak dari sebuah pemikiran dan dakwah yang bersifat ideologis yang seharusnya menjadi titik-tolak sebuah jamaah atau partai Islam.

Oleh karena itu, kaum Muslim tidak layak untuk mencampuradukan (sinkretisasi) Islam dengan ideologi ataupun sistem hidup yang lain. Islam menolak sistem pemerintahan sekularisme-demokrasi yang menjadikan Islam sebagai salah satu faktor berpengaruh di samping berbagai sumber perundang-undangan lainnya.
Islam juga menolak jika sejumlah jamaah Islam melakukan upaya sinkretisasi ini, misalnya dengan melaksanakan sebagian hukum Islam dan sebagian hukum bukan-Islam. Tindakan demikian merupakan bentuk penghancuran Islam yang ditolak oleh Allah Swt. dan hamba-hamba-Nya yang beriman.

Dengan demikian, seluruh jamaah atau partai Islam yang berdiri di atas asas Lâ Ilâha Ilâ Allâh Muhammad Rasûlullâh atau tidak ada yang berhak disembah dan ditaati kecuali Allah, haram untuk berkiblat ke Barat atau ke Timur di dalam mengambil berbagai hukum tentang kehidupannya. Artinya, setiap pemikiran apapun harus bersumber dari akidah Islam, diambil dari sumber-sumber syariat yang terpercaya, dan digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Lalu, bagaimana mungkin kalimat Lâ Ilâha Ilâ Allâh dapat selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa sosialisme -yang tegak di atas konsepsi atheisme dan materialisme- adalah berasal dari Islam; atau selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi -yang berdiri di atas aqidah sekularisme- adalah berasal dari Islam; atau selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa primordialisme dan nasionalisme -yang berlandaskan pada sikap fanatisme yang telah dianggap hina oleh Islam- adalah berasal dari Islam?

Bagaimana mungkin kalimat Lâ Ilâha Ilâ Allâh Muhammad Rasûlullâh -yang berarti hanya Allah Yang berhak membuat undang-undang- bisa sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa kita juga bisa ikut serta untuk membuat undang-undang? Bagaimana mungkin pula kalimat Lâ Ilâha Ilâ Allâh Muhammad Rasûlullâh -yang tegak di atas sikap merendahkan diri, ketaatan, dan ibadah kepada Tuhan semesta alam- akan selaras dengan kebebasan (liberalisme) yang ada di dalam sistem Barat yang menjadikan manusia sebagai tuan bagi dirinya sendiri dalam segala sesuatu, serta tidak tunduk kepada Tuhan kecuali kalau ketundukan itu sesuai dengan syahwat, keinginan, dan kepentingannya?

Memang, sesungguhnya berpegang teguh pada akidah Islam menuntut pula untuk berpegang teguh pada apa saja yang terpancar dari akidah tersebut. Jika tidak demikian, akan hilanglah kepribadian atau karakter jamaah atau partai Islam, tergilas oleh sikap kompromi yang tidak diridhai Allah dan hamba-hambanya yang beriman.

Untuk memelihara pemikiran agar tetap jernih, cemerlang, jelas, dan terkristal, ia wajib dijauhkan dari pengaruh realitas rusak yang ada; dari ketundukan pada berbagai situasi dan kondisi; dan dari penyimpangan, penggantian, dan proses tawar-menawar. Sebab, sebagaimana pengemban dakwah ingin mengubah masyarakat sesuai dengan pemahamannya, maka penguasa pun -dengan berbagai pemahaman dan pemikirannya yang salah serta dengan berbagai hukumnya yang bathil- akan berusaha menekan pengemban dakwah dan jamaah atau partai Islam yang berusaha untuk melakukan perubahan ke arah sistem Islam.

Menolak Kompromi

Sebuah jamaah, gerakan, atau partai Islam, ketika melandaskan dirinya pada pemikiran ideologi Islam dan kemudian terjun ke dalam realitas masyarakat, ia pasti akan diterpa “angin ribut” yang berusaha untuk mencerabutnya dari akarnya. Sikap penguasa terhadap jamaah ini akan berbeda dengan sikap mereka terhadap gerakan-gerakan lainnya. Hal itu terjadi karena jamaah lain hanya melontarkan pemikiran yang bersifat parsial dan tidak ideologis sehingga tidak secara langsung menohok sistem yang ada. Kadang-kadang, berbagai jamaah tersebut tidak jarang malah berfungsi sebagai penutup berbagai borok yang dihasilkan oleh sistem penguasa yang ada.

Kenyataan ini akan berbeda dengan jamaah yang mengemban dakwah yang mengakar dan berlandaskan pada pemikiran ideologi Islam. Jamaah semacam ini akan senantiasa mencari solusi atas berbagai masalah dari akarnya. Ia tidak akan pernah rela jika persoalan yang dihadapi diselesaikan secara tambal sulam atau dengan sikap kompromi.
Ia akan menolak prinsip “jalan tengah”, tidak akan mau menerima penyelesian yang ditawarkan oleh sistem yang ada, tidak akan meninggalkan dakwah yang ditujukan bagi sebuah perubahan total dan komprehensif, serta tidak akan mau mengambil hanya yang cabang seraya meninggalkan asasnya. Oleh karena itu, “wajar” jika penguasa atau sistem bukan-Islam yang ada akan berusaha menghancurkannya. Kadar permusuhan dan perlawanan penguasa sistem kufur terhadap sebuah jamaah Islam ideologis semacam ini tentu akan sebanding dengan kadar konsistensi jamaah tersebut terhadap perubahan fundamental dan total yang diperjuangkannya.

Kerasnya perlawanan penguasa tidak jarang ditujukan secara langsung terhadap para individu pengemban dakwah atau aktivis jamaah tersebut. Ia harus menjauhi pikiran untuk lebih bersikap “moderat” dan “lunak”. Kedzaliman penguasa bisa saja mulai menekan jamaah dan mendesaknya untuk mengganti tuntutannya dari perubahan total dan revolusioner (taghyîr) ke arah perubahan parsial (ishlâhiyyah). Jamaah yang rela dengan upaya-upaya parsial minimalis menyangka bahwa mereka tetap mampu berusaha demi dunia dan agamanya serta dapat tetap memperoleh ridha Tuhannya. Dalam kondisi semacam ini, sebuah jamaah yang tetap memegang teguh komitmennya terhadap ideologi Islam laksana menggenggam bara.

Seandainya jamaah Islam lebih memilih sikap kompromi dan tawar-menawar, maka jamaah itu berarti telah menjual umat dan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Sebaliknya, jika gerakan Islam tetap konsisten dengan komitmen ideologi Islamnya, ia tentu harus siap berhadapan dengan sikap keras dan permusuhan penguasa.

“Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (TQS. Ali Imran: 160)

Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa pemikiran Islam yang bersifat ideologis dan benar membutuhkan jamaah Islam yang bersifat ideologis dan benar pula. Para pemimpin dan para anggota partai seperti ini harus memiliki keterikatan yang kuat dengan -sekaligus menjunjung tinggi- syariat Islam. Mereka juga akan senantiasa berusaha keras untuk memelihara kejernihan dan kecemerlangan pemikiran Islam yang mereka emban; menjaga kesucian dan kesabaran mereka. Semua itu dimaksudkan agar tidak terjadi penyelewengan dari jalan dakwah dan proses pelemahan cita-cita ideologisnya.

Agar gerakan ideologi Islam tetap bisa berjalan dengan senantiasa memelihara aktivitasnya serta terjauh dari penyelewengan, ia wajib selalu mengikatkan setiap pemikiran dengan akidah Islam. Dengan begitu, sikap tegar dan sabar dalam dakwah akan mengalahkan keinginan nafsu cinta dunia dan takut mati. Fitnah dan ujian yang menderanya, jika selalu disikapi dengan sikap tegas dan sabar, justru akan semakin mensucikan diri mereka sebagaimana api membersihkan emas dari kotoran.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu (Muhammad) beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (TQS. Ar-Rum: 47)

Lebih dari itu, agar “perahu” jamaah ideologi Islam tidak karam dan tenggelam di tengah samudera realitas yang demikian buruk, ia mesti memiliki pijakan ideologis yang kuat yang menentukan corak pemikiran (fikrah) dan metode (tharîqah) untuk mewujudkannya. Jika pijakan ideologis jamaah telah melemah dan bahkan hilang, jamaah tersebut akan dengan mudah dikendalikan oleh realitas di sekelilingnya. Dalam kondisi semacam ini, jamaah tidak boleh mendistorsi pemikiran Islamnya dan malah mendukung kepentingan penguasa sistem bukan-Islam.
Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt. ketika berfirman kepada Rasul-Nya dan kepada umatnya:

“Waspadalah engkau terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkan dirimu dari sebagian wahyu yang diturunkan Allah.” (TQS. al-Maidah [5]: 49).

Semoga Allah Swt. menguatkan dan selalu menolong kami dalam kebenaran Islam.

Bacaan: Jurnal Politik Dan Dakwah Al-Wa'ie No.07 Tahun I, 1-31 Maret 2001

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam