Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Kamis, 29 Agustus 2019

Begini Merdeka Dalam Islam



oleh: Annas I. Wibowo

Merdeka bukan berarti tidak menghamba pada siapapun. Sebab ketika tidak menghamba kepada Allah SWT maka sejatinya dia sedang menghamba kepada hawa nafsunya sendiri. Allah SWT berfirman,

اَفَرَءَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ اِلٰهَهٗ هَوٰىهُ وَاَضَلَّهُ اللّٰهُ عَلٰى عِلْمٍ وَّخَتَمَ عَلٰى سَمْعِهٖ وَقَلْبِهٖ وَجَعَلَ عَلٰى بَصَرِهٖ غِشٰوَةًۗ فَمَنْ يَّهْدِيْهِ مِنْۢ بَعْدِ اللّٰهِ ۗ اَفَلَا تَذَكَّرُوْنَ

“Maka tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah benar-benar menyesatkannya dengan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?” (QS. al-Jatsiyah: 23)

Demikian pula Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Tidak beriman (secara sempurna) seseorang di antara kalian sampai hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.” (HR. al-Hakim)

Merdeka tentu harus dimaknai dengan sudut pandang atau kacamata Islam, yaitu sesuai dengan aqidah Islam, sesuai dengan keimanan, bahwa merdeka artinya adalah bebas dari penghambaan kepada sesama makhluk, hanya menghamba kepada Allah SWT Sang Pencipta alam semesta.

وَمَنْ يَّتَوَلَّ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَاِنَّ حِزْبَ اللّٰهِ هُمُ الْغٰلِبُوْنَ

Dan barangsiapa menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, golongan pengikut Allah itulah yang menang.” (QS. al-Ma’idah: 56)

Ketika Rasulullah SAW masih di fase Makkah, masih ditindas bersama para Sahabat ra., maka kemerdekaan itu barulah ada pada jiwa mereka saja, bahwa mereka tidak akan mau tunduk pada apapun yang bathil, pada apapun yang menyalahi Islam, mereka berpegang teguh pada Islam apapun risikonya. Namun tentu kemerdekaan pada jiwa-jiwa saja belumlah berarti merdeka pada tataran kehidupan, di mana kehidupan umat pada saat itu masih di bawah belenggu sistem jahiliyah, masih di bawah hegemoni aqidah kufur yang dianut oleh penguasa.

Demikian pula pada masa sekarang, sistem aturan yang diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan masih belum sistem Islam. Artinya, umat Islam masih belum merdeka, masih dibelenggu oleh sistem yang tidak Islam itu, sekularisme, ekonomi kapitalisme, pemikiran liberalisme, ‘ashobiyah, maupun hukum-hukum yang kufur.

اِذَا جَاۤءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُۙ

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan penaklukan,” (QS. an-Nashr: 1)

Maka, sesungguhnya adalah kewajiban bagi kaum Muslimin untuk berjuang mewujudkan kemerdekaan hakiki dengan meneladani thariqah perjuangan Rasulullah SAW hingga bisa terwujud kemerdekaan itu dalam kehidupan, bahkan bisa menyebarkan Islam ke seluruh kaum-kaum yang lain di dunia melalui politik luar negeri Islam, dengan dakwah dan jihad. Sehingga memerdekakan manusia dari kegelapan, kejahiliyahan menuju kepada cahaya Islam, menuju kepada penghambaan kepada Allah SWT semata.

Selamat berjuang saudara-saudaraku. Semoga Allah SWT selalu memberi pertolongan kepada kita semua dalam kebenaran. Aamiin yaa Arhama ar-Rahimiin. Allahu Akbar!

Rabu, 07 Agustus 2019

Karakter Orang-Orang Mukmin - TAFSIR at-Taubah: 71



Oleh: Rokhmat S. Labib, MEI

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (TQS al-Taubah: 71)

Allah SWT berfirman: Wa al-mu'minuun wa al-mu'minaat ba'dhuhum awliyaa' ba'dh (dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka [adalah] menjadi penolong bagi sebagian yang Iain). Kata al-awliyaa' merupakan bentuk jamak dari kata al-waliyy.

Secara bahasa, kata tersebut memiliki beberapa makna. Di dalam kamus al-Muhiith, kata al-waliyy diartikan al-nashiir (penolong), al-muhibb (yang mencintai), al-shadiiq (sahabat). Sedangkan menurut al-Zuhaili dalam tafsirnya, selain makna tersebut, juga bermakna al-mu’iin (pembantu). Al-Raghib menjelaskan secara lebih definitif, bahwa sebutan al-waliyy dapat disematkan kepada setiap orang yang mengurus urusan orang lain.

Karena tidak ada indikasi yang membatasi makna-makna itu, maka semua makna itu tercakup dalam ayat ini. Bahwa sesama kaum Mukmin, mereka saling menolong dan membantu. Sesama mereka tertanam perasaan saling mencintai dan menyayangi hingga terjalin persahabatan yang erat. Sesama mereka juga saling memperhatikan dan mengurusi urusan mereka. Pendek kata, di antara kaum Mukmin terjalin solidaritas yang tinggi, persatuan yang erat, dan kasih sayang yang kuat.

Patut dicatat, sifat saling menolong dan melindungi itu bukan dilandasi karena kesamaan suku, bangsa, atau kepentingan, namun semata dilandasi oleh kesamaan akidah. Kesimpulan ini dapat dipahami dari penggunaan lafazh al-mu'minuun dan al-mu'minaat. Dua kata tersebut termasuk kata sifat. Itu berarti, siapapun yang berstatus Mukmin, tercakup di dalamnya. Sementara status mereka sebagai mu'min atau mu'minah disebabkan karena akidah yang mereka peluk. Dengan demikian, yang menyebabkan sebagian mereka bisa menjadi wali bagi sebagian yang lain adalah karena kesamaan akidah yang dipeluk.

Oleh sebab itu, tepat sekali pernyataan al-Syaukani tatkala menjelaskan ayat ini, bahwa persatuan hati kaum Mukmin dalam kasih sayang, cinta, dan rasa simpati disebabkan oleh perkara yang menyatukan mereka, yakni perkara agama dan iman kepada Allah SWT.

Sifat ini menjadi ciri khas seorang Mukmin. Sebab, jika dia seorang kafir, tentulah yang dia angkat sebagai wali adalah sesama kaum kafir (QS. al-Maidah: 51, al-Anfal: 73). Demikian juga orang zhalim. Mereka juga menjadikan sesama orang zalim sebagai wali (QS. al-Jatsiyah: 19). Lebih dari itu, kaum Mukmin dilarang mengangkat orang kafir sebagai wali mereka (lihat: QS al-Mujadilah: 22, Ali Imran: 118, an-Nisa: 144, al-Mumtahanah: 1, dan al-Maidah: 51-52).

Sifat-Sifat Terpuji

Setelah itu Allah SWT menyebutkan beberapa sifat kaum Mukmin yang terpuji lainnya. Allah SWT berfirman: ya'muruuna bi al-ma'ruuf wa yanhawna 'an al-munkar (mereka menyuruh [mengerjakan] yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar).

Menurut al-Qurthubi, yang dimaksud al-ma'ruuf adalah penyembahan kepada Allah SWT dan segala yang mengikutinya. Sedangkan al-munkar adalah penyembahan kepada berhala dan segala yang mengikutinya. Al-Thabari tidak jauh berbeda. Menurutnya, al-ma'ruuf adalah iman kepada Allah dan rasul-Nya, dan segala yang dibawa Rasulullah dari-Nya.

Bertolak dari penafsiran itu, maka kategorisasi al-ma'ruuf dan al-munkar ditentukan oleh syara'. Sehingga, perkara ma'ruf adalah yang ditetapkan ma'ruf oleh syara'. Demikian pula yang munkar, penentuannya pun diserahkan kepada syara'.

Dalam kaitannya dengan perkara yang ma'ruf dan perkara yang munkar, kaum Mukmin tidak sebatas mengerjakan dan meninggalkan untuk dirinya sendiri. Namun mereka juga menyerukan hal serupa kepada orang lain. Karena menjalankan aktivitas inilah, sehingga mereka dinobatkan menjadi umat terbaik (khairu ummah, lihat: QS. Ali Imran: 110).

Sifat ini juga menjadi sifat khas kaum Mukmin. Sebab, kaum kafir jelas akan bertindak sebaliknya. Sifat orang-orang munafik digambarkan selalu memerintahkan yang munkar dan melarang yang ma'ruf (lihat: QS. al-Taubah: 67).

Sifat terpuji yang disebut berikutnya adalah ketaatan dan ketekunan mereka dalam beribadah. Allah SWT berfirman: Wa yuqiimuuna al-shalaah wa yu'tuuna al-zakaah (mendirikan shalat, menunaikan zakat). Mendirikan shalat juga menjadi sifat khas kaum Mukmin. Orang-orang kafir jelas tidak akan mengerjakannya. Sebab, bagaimana mungkin ada orang yang ingkar kepada-Nya, sementara dia mau menyembah-Nya. Tak mengherankan jika kaum munafik -orang kafir yang berpura-pura memeluk Islam- merasa berat mengerjakannya. Pasalnya, mereka mengerjakan itu bukan dilandasi ikhlas karena Allah, namun bisa dilihat manusia (lihat: QS. an-Nisa: 142).

Pun demikian, menunaikan zakat, sifat itu hanya dimiliki kaum Mukmin saja. Sementara orang munafik berlaku kikir (lihat: QS. al-Taubah: 68). Menurut al-Syaukani, disebutkannya dua ibadah itu secara khusus karena keduanya merupakan rukun yang agung yang berkaitan dengan badan dan harta.

Kemudian Allah SWT menggambarkan sifat mereka secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasulullah . Allah SWT berfirman: wa yuthii'uunaLlaah wa Rasuulah (mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya). Menaati Allah SWT dan Rasul-Nya berarti menjalankan perntah-perintah keduanya dan menjauhi larangan-larangan keduanya.

Kendati sifat-sifat tersebut diungkapkan dalam bentuk kalimat berita (khabar), namun juga memberikan makna tuntutan dilaksanakan dalam perbuatan (thalab al-fi'l). Buktinya, semua amal kebaikan dijanjikan akan mendapat ganjaran dari Allah SWT. Allah Swt. berfirman: Ulaaika sayarhamuhumuLlaah (mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah). Mereka juga akan diberikan Surga, yang di bawahnya ada sungai-sungai mengalir, dan keridhaan-Nya (QS. al-Taubah: 72).

Demikianlah. Orang-orang Mukmin memiliki banyak sifat. Di antaranya, sesama mereka saling membantu dan tolong-menolong. Sungguh aneh jika ada orang yang mengaku Mukmin bersikap sebaliknya. Suka memusuhi umat Islam, namun justru berkasih sayang dengan orang kafir. Di samping itu, mereka juga memerintahkan yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Atas semua yang mereka kerjakan itu, mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Semoga kita termasuk di dalamnya. WaL-laah a'lam bi al-shawaab.[]

Ikhtisar:

1. Orang-orang Mukmin memiliki kepribadian khas yang berbeda dengan yang lainnya.

2. Di antara sifat mereka adalah mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.

3. Atas sifat mulia mereka itu, Allah SWT memberikan rahmat kepada mereka.[]

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 197

Sabtu, 03 Agustus 2019

Pelajaran dari Pembantaian Muslim Bosnia



Juli 1995, peristiwa yang tak pernah terlupakan bagi Muslim Bosnia. Sebanyak 200 ribu orang dideportasi ke kamp-kamp konsentrasi tempat mereka disiksa, dibuat kelaparan, dan dibunuh. Yang lain hidup di bawah pengepungan, seperti di Sarajevo dan Mostar, dibuat hingga kelaparan dan menjadi sasaran penembak jitu dan penembakan senjata berat. Srebrenika, yang dikenal sebagai kamp penahanan terbesar di dunia, dikepung selama tiga tahun, sebelum jatuh ke tangan pasukan Serbia Bosnia pada Juli 1995. Pasukan Serbia memisahkan anak laki-laki dan orang laki-laki berusia antara 12 dan 77 tahun dari penduduk lainnya dan membawa mereka ke ladang, sekolah, dan gudang untuk dieksekusi.

Pada 11 Juli pukul 16:15 Jenderal Ratko Mladic (sekarang menjadi penjahat perang) memasuki Srebrenika dengan pasukan Serbia, termasuk unit paramiliter dari Serbia, dengan mengklaim kota itu adalah untuk orang-orang Serbia. Sambil berjalan-jalan dengan sorotan kamera-kamera TV, Mladic mengumumkan bahwa akan ada "pembalasan terhadap orang-orangTurki."

Pada hari itu, ribuan pria Bosnia mulai melarikan diri melalui hutan, membentuk satu barisan dan mendaki sejauh sekitar 100 km dalam upaya untuk mencapai wilayah bebas yang dikendalikan oleh tentara Bosnia. Perjalanan itu dikenal sebagai pawai kematian, karena mereka kemudian disergap, ditembaki, dan diserang oleh pasukan Serbia.

Kurang dari seperempat dari mereka yang selamat. Selama enam hari, lebih dari 8.000 orang Bosnia terbunuh. Kaum perempuan dan anak-anak kecil dideportasi. Puluhan ribu Muslimah diperkosa. Menyedihkan.

Inilah peristiwa yang memilukan, PBB menyebutnya sebagai pembantaian terkeji di Eropa di era modern pasca perang dunia kedua.

Sudah seharusnya kita umat Islam juga merasakan pilu yang luar biasa. Karena Muslim Bosnia adalah saudara kita. Genosida ini menunjukkkan kegagalan sistem global dunia di bawah naungan kapitalisme yang dipimpin Amerika Serikat dan sekutu Baratnya. Bahkan Amerika Serikat dengan alat-alat penjajahannya seperti PBB dan NATO, justru paling bertanggung jawab atas genosida ini. Mereka membiarkan pembantaian ini. Padahal mereka bisa mencegahnya.

Penguasa-penguasa negeri Islam juga turut bertanggung jawab. Diamnya mereka, atau ketiadaan aksi nyata, membuat musuh-musuh Islam dengan seenaknya melakukan pembantaian terhadap umat Islam. Tidak ada satupun negara ataupun penguasa negeri Islam yang ditakuti para pembantai itu. Karena mereka tahu, penguasa negeri Islam dalam kebijakan luar negerinya, akan bertindak selalu dalam kontrol Amerika sebagai tuan mereka. Jadi kalau Amerika membiarkan, mereka pun akan melakukan hal yang sama.

Ketertundukan kepada Amerika dan kelemahan penguasa negeri-negeri Islam inilah yang juga membuat kenapa musuh-musuh Islam dengan ringannya membantai umat Islam. Seperti yang dilakukan Cina di Turkistan Timur terhadap Muslim Uighur. Bahkan negara lemah sekalipun seperti Birma dengan leluasa mengusir dan membunuh Muslim Rohingya. Di Palestina, Zionis Israel yang didukung Amerika dengan leluasa menghancurkan rumah sakit, pemukiman, dan mengusir rakyat Palestina dari pemukimannya sendiri.

Inilah yang membuat Rusia tanpa rasa takut, membombardir Suriah, membunuh puluhan ribu umat Islam. Amerika Serikat pun bertindak seenaknya terhadap negeri-negeri Islam. Menjajah, merampas kekayaan alam negeri, mengadu domba sesama umat Islam, dan membunuh kaum Muslimin.

Semua ini, seharusnya membuat kita semakin paham pentingnya keberadaan khilafah di tengah-tengah umat Islam. Khilafah ala minhajin nubuwah yang merupakan negara adidaya yang disegani dunia. Negara yang akan mempersatukan negeri-negeri Islam yang terpecah-pecah akibat racun nasionallsme sempit. Negara khilafah yang akan mengurusi rakyatnya dengan benar berdasarkan syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Dengan syariah Islam ini, akan menjamin kebaikan bagi Muslim maupun non-Muslim.

Dalam kebijakan luar negeri, khilafah akan menyebarkan Islam ke seluruh dunia dengan dakwah dan jihad. Menjaga hubungan dengan negeri Muslim dan melakukan berbagai upaya diplomasi agar terjadi reunifikasi mereka dengan khilafah. Khilafah menjaga hubungan dengan negara kafir dengan tetap berpedom pada hukum syara’. Maka terhadap negara kafir dalam status harbi fl'lan, negara khllafah tidak boleh membuat kerjasama baik secara diplomatik maupun ekonomi.

Negara khilafah ini pulalah yang akan dengan sungguh-sungguh membebaskan negeri-negeri Islam yang tertindas dengan memobilisasi pasukan reguler negeri-negeri Islam. Memberikan pelajaran nyata terhadap Yahudi yang dilaknat Allah. Dengan pasukannya yang kuat, persenjataan yang modern, apalagi didorong oleh iman dan kewajiban jihad fi sabilillah, pasukan khilafah akan menjadi pasukan terkuat yang disegani oleh kawan dan ditakuti musuh. Ditambah lagi, jutaan rakyat negara khalafah siap turun ke medan jihad membantu pasukan reguler karena kecintaan mereka kepada saudara Muslim mereka. Allahu Akbar![]farid wadjdi

Sumber: Tabloid Media Umat edisi 246

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam