Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Senin, 18 Desember 2017

Nabi SAW Melakukan Pembersihan Atas Yahudi Bani Quraizhah



2. Pembersihan Bani Quraizhah

a. Sebabnya

Sebab sebenarnya dilakukan peperangan terhadap Bani Quraizhah adalah pelaksanaan atas kebijakan politik yang telah disusun oleh Rasulullah Saw. untuk Negara Islam. Sungguh telah tiba masanya pembersihan terhadap Bani Quraizhah yang telah direncanakan.
Sedangkan sebab yang terkait langsung dengan dilakukannya peperangan ini adalah Bani Quraizhah telah membatalkan perjanjian yang diadakan antara mereka dengan Negara Islam. Kejadiannya, ketika orang-orang Quraisy mengepung Rasulullah Saw. pada saat perang Ahzab. Salah seorang pemimpin Bani Nadhir -Bani Nadhir adalah sekutu orang-orang Quraisy dalam memerangi Rasulullah- membuat kesepakatan dengan Bani Quraizhah untuk membatalkan perjanjian dengan Rasulullah Saw., dan akan menyerang Madinah al-Munawarah dari belakang -seperti yang telah kami jelaskan- sehingga setelah peperangan ini selesai dan berakhir, Rasulullah Saw. menyerang Bani Quraizhah, sebab mereka telah membatalkan perjanjian itu.

b. Berjalan menuju Bani Quraizhah

Tidak lama setelah pagi hari itu mereka sampai ke Madinah al-Munawwarah sekembalinya mereka dari perang Khondak (di Uhud), Rasulullah Saw. memerintahkan seseorang menyampaikan informasi pada mereka: “Siapa saja yang mendengar dan patuh, janganlah menjalankan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Rasulullah Saw. menyerahkan panji perang kepada Ali bin Abi Thalib agar pergi ke Bani Quraizhah, dan mereka pun cepat-cepat pergi.
Ali bin Abi Thalib berangkat, sehingga ketika Ali telah dekat dengan benteng, Ali mendengar ucapan yang buruk tentang Rasulullah Saw., lalu Ali kembali sampai akhirnya ia bertemu Rasulullah Saw. di jalan. Ali berkata: “Wahai Rasulullah, kamu seharusnya tidak perlu mendekati mereka orang-orang kotor.” Rasulullah Saw. bersabda: “Mengapa? Aku yakin kamu mendengar sesuatu yang menyakitkan dari mereka tentang aku.” Ali berkata: “Benar, wahai Rasulullah.” Rasulullah Saw. bersabda: “Kalau mereka telah melihatku, mereka tidak akan lagi mengatakan hal yang demikian itu.”
Ketika Rasulullah Saw. telah dekat dengan benteng mereka, Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai saudara-saudara kera, apakah Allah telah menghinakan kalian, dan menimpakan balasan yang pedih pada kalian.” Mereka berkata: “Wahai Abu Qosim, kamu bukan seorang yang bodoh.”

Setelah Rasulullah Saw. sampai di Bani Quraizhah, beliau tinggal di salah satu sumurnya, yang masih termasuk daerah kekuasaannya, yang disebut sumur ‘Anna’. Para sahabat telah menyusulnya, namun ada sebagian yang terlambat sampai di Bani Quraizhah karena banyaknya hambatan yang dihadapinya. Mereka sampai di Bani Quraizhah setelah waktu senja yang terakhir, padahal mereka belum shalat Ashar. Sebab Rasulullah Saw. bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian menjalankan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Kemudian, mereka menjalankan shalat Ashar setelah waktu senja yang terakhir.
Allah Swt. tidak mencela mereka tentang hal itu dalam kitab-Nya, dan begitu juga Rasulullah Saw. tidak menganggap buruk hal itu. Sebab, mereka tidak salah dengan perbuatannya itu. Sungguh mereka menyadari betul bahwa mendirikan Negara Islam dan beraktivitas untuk mewujudkannya merupakan kewajiban utama, mengingat jika Negara Islam telah berdiri, maka shalat dan ajaran-ajaran Islam yang lain akan lebih mudah dijalankan.

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat...” (TQS. al-Hajj [22]: 41)

Sebaliknya, jika Negara Islam belum ditegakkan, maka shalat dan hukum-hukum Islam yang lainnya sulit ditegakkan.

Oleh karena itu, mendirikan Negara Islam merupakan tujuan yang sedang diusahakan oleh orang yang beriman, sebab Negara Islam merupakan dasar, di mana sebagian besar ajaran-ajaran Islam tidak dapat dijalankan kecuali dengan terwujudnya terlebih dahulu dasar (Negara Islam) itu.

c. Rasulullah Saw. Mengepung Bani Quraizhah

Rasulullah Saw. mengepung Bani Quraizhah selama lima belas hari. Pengepungan itu membuat Bani Quraizhah lemah, akibatnya Allah Swt. membuat hati mereka merasa takut. Huyai bin Akhthab masuk bersama Bani Quraizhah ke dalam benteng mereka, ketika orang-orang Quraisy dan Ghathfan meninggalkannya, sebagai realisasi janjinya kepada Ka’ab bin Asad.
Setelah mereka yakin bahwa Rasulullah Saw. tidak akan membiarkan mereka sampai beliau berhasil memerangi mereka, Ka’ab bin Asad berkata kepada mereka: “Wahai orang-orang Yahudi, kalian telah ditimpa persoalan seperti yang kalian lihat sendiri. Aku ajukan kepada kalian tiga pilihan, ambillah mana yang kalian sukai.” Mereka berkata: “Apa itu?” Ka’ab berkata “Kita ikuti saja orang ini (Muhammad) dan membenarkannya. Demi Allah, telah jelas bagi kalian bahwa ia adalah Nabi yang diutus, sungguh tentang dia itu telah kalian dapati dalam kitab kalian, dengan (mengikutinya) darah, harta benda, anak-anak dan istri kalian dapat terjamin keamanannya.” Mereka berka “Kami tidak akan menyalahi hukum Taurat selamanya, dan kami tidak akan menggantinya dengan yang lain.”
Ka’ab berkata: “Jika kalian menolak tawaranku ini, maka marilah kita berperang dengan membawa anak-anak dan istri kita, kemudian kita datangi Muhammad dan sahabatnya sebagai orang-orang yang menyandang pedang yang siap berperang, dengan membawa anak-anak dan istri, kita tidak meninggalkan beban di belakang kita sampai Allah memutuskan antara kita dan Muhammad, sehingga jika kami binasa, maka kami binasa dengan tidak meninggalkan keturunan yang kita khawatirkan di belakang kita dan jika kita menang, maka demi Allah, kita masih mendapatkan anak-anak dan istri kita.”
Mereka berkata: “Kita perangi mereka orang-orang miskin.” Ka’ab berkata: “Jika kalian menolak tawaranku ini, maka sekarang malam Sabtu, semoga Muhammad dan para sahabatnya membuat kita tentram di hari Sabtu ini, semoga sejak awal keberuntungan di pihak kami dan kesialan di pihak Muhammad.”
Mereka berkata: “Kita akan melakukan sesuatu yang menghancurkan di hari Sabtu yang kita muliakan ini, di hari Sabtu ini kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang-orang sebelum kita, kecuali dilakukan oleh orang yang telah kamu ketahui, sehingga akhirnya ia mendapatkan cacat sebagaimana yang kamu ketahui sendiri.” Ka’ab berkata: “Seorang di antara kalian tidak akan tabah untuk tidak tidur semalaman sejak lahir meski hanya semalam.”

d. Bani Quraizhah Berunding dengan Rasulullah

Rasulullah Saw. mengintensifkan pengepungan terhadap Quraizhah. Kemudian, Bani Quraizhah mengutus Qais untuk berunding dengan Rasulullah Saw. Sya’sa bin Qais mengajukan kepada Rasulullah Saw. agar mereka (Bani Quraizhah) dijatuhi hukuman seperti yang dijatuhkannya kepada Bani Nadhir, yaitu menyerahkan peralatan perang dan persenjataan, lalu membiarkan mereka pergi dengan membawa para istri mereka dan anak-anaknya, serta membawa apa yang dapat dibawa dengan unta. Namun, Rasulullah Saw., menolak tawaran itu.
Selanjutnya, Sya'sa bin Qais mengajukan kepada Rasulullah Saw. agar menyelamatkan darah Bani Quraizhah, lalu mereka akan menyerahkan semua harta benda mereka, baik harta benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak kepada Negara Islam. Akan tetapi, Rasulullah saw masih menolak, kecuali tetap berkeinginan menjatuhkan hukumannya.
Sya’sa bin Qais akhirnya kembali dan memberitahukan tentang keteguhan sikap Rasulullah Saw. kepada mereka. Kemudian, mereka mengirim pesan kepada Rasulullah Saw. yang isinya: “Utuslah kepada kami Abu Lubabah bin Abdul Munzhir agar kami dapat berunding dengannya tentang masalah kami.” Rasulullah Saw. memenuhi permintaannya, beliau mengutus Abu Lubabah bin Abdul Munzhir kepada mereka.
Ketika mereka melihat Abu Lubabah bin Abdul Munzhir datang, mereka pun berdiri menyambutnya, para perempuan dan anak-anak kecil sambil menangis meminta perlindungan kepadanya. Mereka berkata: “Wahai Abu Lubabah, tahukah kamu, keputusan apa yang akan dijatuhkan Muhammad kepada kami?” Abu Lubabah bin Abdul Munzhir berkata: “Ya, aku tahu -dia menggoreskan tangannya ke tenggorokannya- sungguh beliau akan melakukan penyembelihan.” Abu Lubabah melakukan itu, karena dia tahu bahwa Rasulullah Saw. menolak permintaan Sya’sa bin Qais, orang yang mereka utus, ketika meminta kepada Rasulullah Saw. agar menyelamatkan darah mereka.
Abu Lubabah berkata: “Demi Allah, kedua telapak kakiku akan senantiasa di tempatnya sampai aku tahu bahwa aku benar-benar telah mengkhianati Allah dan Rasulullah Saw.” Kemudian, Abu Lubabah pergi. Namun, dia tidak mendatangi Rasulullah Saw. malah dia mengikatkan dirinya pada salah satu tiang di masjid, dia berkata: “Aku akan terus-menerus herada di tempatku ini sampai Allah menerima taubatku atas apa yang telah aku lakukan. Dan aku berjanji kepada Allah untuk tidak menginjakkan kakiku di Bani Quraizhah selamanya, dan aku tidak akan memperlihatkan diriku di negeri, yang di negeri itu aku telah mengkhianati Allah dan Rasulullah Saw. selamanya.”
Setelah sampai kepada Rasulullah Saw. berita tentang Abu Lubabah, dan keterlambatannya menghadap kepada Rasulullah Saw., maka beliau bersabda: “Tentang Abu Lubabah ini, kalau dia datang kepadaku, niscaya aku akan memintakan ampun untuknya. Adapun apabila dia telah melakukan suatu perbuatan (salah), maka aku tidak dapat membebaskan dari tempatnya sampai Allah menerima taubatnya.”

Enam hari telah berlalu, namun Abu Lubabah masih mengikatkan dirinya pada tiang masjid. Setiap tiba waktu shalat istrinya selalu datang untuk membuka ikatannya, lalu dia mendirikan shalat dengan sangat sempurna, setelah itu dia kembali mengikatkan dirinya pada tiang masjid. Allah telah menerima taubat Abu Lubabah, Rasulullah Saw. memberitahukan tentang diterimanya taubat Abu Lubabah kepada istrinya, Ummu Salamah.
Rasulullah Saw. bersabda kepada Ummu Salamah: “Sungguh, taubat Abu Lubabah telah diterima.” Ummu Salamah berkata: “Bolehkah aku sampaikan kabar gembira ini, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Tentu, jika kamu mau.” Ummu Salamah berdiri di pintu kamarnya -sebab ketika itu hijab belum diwajibkan atas kaum perempuan- lalu Ummu Salamah berkata: “Wahai Abu Lubabah, bergembiralah, sungguh Allah telah menerima taubatmu!” Orang-orang pun berdatangan untuk membebaskannya.
Abu Lubabah berkata: “Demi Allah, jangan! Sehingga Rasulullah Saw. sendiri yang membebaskanku dengan tangannya.” Ketika Rasulullah Saw. keluar melewatinya untuk shalat Subuh, maka Rasulullah Saw. pun membebaskannya.

Dengan pendidikan ini, dan di atas rasa tanggung jawabnya yang besar dari mereka, orang-orang yang ikhlas, Negara Islam bisa ditegakkan. Seseorang berbuat keliru bukan kejahatan akan tetapi merupakan suatu kejahatan jika seseorang berlindung dengan membela kekeliruannya. Abu Lubabah sebagai manusia yang lemah pada saat tertentu bisa saja berbuat keliru, akan tetapi dia tidak rela -sebab dia memiliki jiwa bersih yang dominan- terus-menerus melangkah di jalan yang keliru. Sebab terus-menerus melangkah di jalan yang keliru merupakan kejahatan kejiwaan sebelum melakukan kejahatan fisik. Untuk itu Abu Lubabah bertaubat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan terus berbuat terhadap dirinya sebagai bentuk pendidikan dan penyesalan sampai Allah menerima taubatnya.

e. Pengadilan Sa'ad untuk Bani Quraizhah

Bani Quraizhah bermusyawarah tentang persoalan yang sedang mereka hadapi, lalu mereka mendapati bahwa dominasi Rasulullah Saw. benar-benar telah menguasai mereka. Mereka tidak bisa lari dari memenuhi apa yang diinginkan Rasulullah Saw., sehingga mereka harus menerima setiap keputusannya. Akhirnya, dengan sembunyi-sembunyi mereka menemui rakyat kecil Suku Aus dan menemui orang-orang yang imannya belum kuat -antara Bani Quraizhah dan Suku Aus pernah ada ikatan persekutuan dan loyalitas- untuk meminta bantuan pada mereka.
Rakyat kecil Suku Aus mau membantunya, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, mereka (Bani Quraizhah) dahulu adalah para penolong kami, tidak seperti Suku Khazraj. Kamu sebelumnya pernah memaafkan Bani Qainuqa’ -para penolong Suku Khazraj- ketika Abdullah bin Ubay bin Salul memintakan ma'af kepadamu. Untuk itu, kami berharap mendapat bagian yang sama seperti mereka.”
Demikianlah Rasulullah Saw. berada di antara dua kobaran api. Satu kobaran api tidak terbasmi sampai ke akar kerusakannya dengan menghabisi musuh-musuh Negara Islam. Bahkan bisa saja tuntutan ini akan terulang kembali pada saat Rasulullah Saw. hendak mengambil sikap yang tegas melawan kelompok di antara musuh-musuh Negara Islam. Sehingga keberadaannya sangat membahayakan bagi Negara. Dan satu kobaran api yang memungkinkan bergejolaknya barisan internal dalam Negara Islam jika dipadamkan terlebih dahulu sebelum pembersihan Bani Quraizhah. Dengan demikian, membuat keputusan dalam masalah ini bukan persoalan mudah. Untuk itu, Rasulullah Saw. mulai berpikir tentang jalan keluar secara politik terkait krisis ini. Akhirnya, beliau menemukan bahwa jalan keluar terbaik untuk mengakhiri krisis ini adalah mewakilkan penyelesaiannya kepada pemimpin Suku Aus (Sa’ad bin Mu’adz).
Rasulullah Saw. bersabda kepada Suku Aus: “Wahai orang-orang Suku Aus, tidakkah kalian akan merasa senang jika persoalan kalian ini diputuskan oleh seseorang di antara kalian sendiri?” Mereka berkata: “Tentu kami akan merasa senang.” Rasulullah Saw. bersabda: “Keputusan persoalan itu aku serahkan pada Sa’ad bin Mu'adz.”
Jauh sebelum itu Rasulullah Saw. telah membuat kesepakatan secara rahasia dengan Sa’ad -dia termasuk orang-orang terbaik yang diletakkan di barisan depan untuk kepentingan Negara Islam- guna mengambil tindakan yang diperlukan.

Rasulullah Saw. memerintahkan agar Sa'ad bin Mu’adz -ketika ia terkena panah pada saat perang Khondak, yang menyebabkannya luka parah- di tempatkan di tenda seorang perawat “Rufaidah al-Aslamiyah”. Rasulullah Saw. bersabda: “Tempatkan dia di tenda Rufaidah, sehingga dalam waktu dekat aku dapat menjenguknya.”
Ketika Rasulullah Saw. telah menyerahkan keputusan atas Bani Quraizhah kepadanya, maka kaumnya mendatanginya, lalu membawanya dengan dinaikkan di atas keledai yang telah dilapisi dengan bantal yang terbuat dari kulit. Sa’ad bin Mu’adz adalah seorang laki-laki yang kekar dan tampan. Kemudian, mereka bersama Mu’adz menghadap Rasulullah Saw.
Mereka berkata: “Wahai Abu Amru, berbuat baiklah kepada mereka yang dahulu pernah menjadi penolongmu. Sebab, Rasulullah Saw. menyerahkan penyelesaian persoalan ini kepadamu agar kamu dapat berbuat baik kepada mereka!” Setelah mereka banyak berbicara kepada Mu’adz, maka sekarang giliran Mu’adz berkata: “Sungguh telah tiba saatnya bagi Mu'adz untuk tidak memperdulikan karena Allah celaan orang yang suka mencela.”
Sebagian dari kaumnya yang sebelumnya bersamanya pergi ke perkampungan Bani Abdul Asyhal, dia menyampaikan kepada mereka, orang-orang Bani Quraizhah, tentang ucapan Sa’ad yang telah didengarnya dari Sa’ad, sebelum Sa’ad bin Mu’adz sampai pada mereka (Yakni apa yang telah dipahaminya dari perkataan Mu’adz: “Sungguh telah tiba saatnya bagi Mu'adz untuk tidak memperdulikan karena Allah celaan orang yang suka mencela.” Sesungguhnya Sa'ad berpendapat akan membunuh mereka, lalu dia memberitahunya sebelum mereka semua meninggal).
Ketika Sa’ad telah berada di hadapan Rasulullah dan kaum muslimin, maka Rasulullah Saw. bersabda:

Berdirilah menyambut pemimpin kalian.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri. Dari sini para fuqaha’ menetapkan tentang disyari'atkannya berdiri menyambut datangnya orang yang memiliki keutamaan di antara orang-orang beriman. Adapun sabda Rasulullah Saw.: “Siapa saja yang ingin orang-orang berdiri ketika menyambut kedatangannya, maka bersiap-siaplah mengambil tempat duduknya di Neraka.” Hadits ini meliputi mereka yang menginginkan orang-orang berdiri menyambut kedatangannya, sedang orang-orang itu dalam keadaan duduk, mereka tetap dalam keadaan demikian, meski mereka telah duduk lama. Seperti yang telah dikatakan oleh Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, 12/93, penerbit al-Mathba'ah al-Mishriyah, tahun 1349 H)

Adapun kaum Muhajirin dari kalangan kaum Quraisy berkata: “Perintah berdiri ini oleh Rasulullah Saw. hanya ditujukan kepada kaum Anshar.” Sedang kaum Anshar berkata: “Tidak, perintah Rasulullah Saw. itu umum.” Lalu, beberapa orang kaum Anshar mendekati Sa’ad bin Mu’adz, dan berkata: “Wahai Abu Amru, sesungguhnya Rasulullah Saw. telah menyerahkan kepadamu persoalan orang-orang yang dahulu pernah menjadi penolongmu agar kamu memutuskan suatu keputusan terhadap mereka.” Sa’ad bin Mu’adz berkata: “Sehubungan dengan hal itu, kalian harus komitmen dengan janji Allah, dan keputusan yang tepat terkait dengan mereka pasti aku putuskan.” Mereka berkata: “Ya, kami percaya.” Sa'ad bin Mu’adz berkata: “Kalian juga harus komitmen terhadap orang yang ada di sini.” Sa’ad bin Mu’adz berkata yang demikian itu sambil menunjuk ke tempat Rasulullah Saw. Hal itu dia lakukan sebagai penghormatannya yang tinggi terhadap Rasulullah Saw. Rasulullah Saw. bersabda: “Ya.”
Sa’ad bin Mu’adz berkata: “Tentang Bani Quraizhah ini, aku memutuskan untuk membunuh mereka yang laki-laki, membagi-bagi kekayaan mereka, dan menahan anak-anak dan para wanita mereka.” Rasulullah Saw. bersabda kepada Sa’ad: “Sungguh, kamu telah memberi keputusan tentang mereka sesuai hukum Allah yang datang dari atas langit lapis ketujuh.”

Rasulullah Saw. memerintahkan agar menggiring Bani Quraizhah turun dari benteng mereka dan selanjutnya menahan mereka di Madinah, tepatnya di rumah Kaisah bintu al-Harits.
Kemudian, Rasulullah Saw. pergi ke pasar Madinah, lalu di sana beliau membuat parit. Setelah itu, beliau memerintahkan orang-orang Yahudi Bani Quraizhah dibawa ke parit tersebut, dan di dalam parit tersebut mereka semua dibunuh.
Mereka dibawa ke dalam parit tersebut secara berkelompok, termasuk di dalamnya musuh Allah, Huyay bin Akhthab dan Ka’ab bin Asad pemimpin mereka. Jumlah mereka 600 orang atau 700 orang, bahkan ada yang mengatakan jumlah mereka antara 800 sampai dengan 900 orang.
Ketika mereka dibawa kepada Rasulullah Saw. secara berkelompok, mereka berkata kepada Ka’ab: “Wahai Ka'ab, menurutmu apa yang akan dilakukan Muhammad terhadap kami?” Ka’ab berkata: “Apakah kalian tidak berpikir dengan peristiwa yang terjadi di setiap tempat? Tidakkah kalian tahu perasaan seorang penyeru yang tidak dihiraukan, sehingga siapa saja di antara kalian yang dibawa kepadanya jangan diharap bisa pulang? Demi Allah, dia akan membunuh kalian!”
Mereka terus digiring dengan keras hingga mereka sampai pada Rasulullah Saw. Ketika Huyay bin Akhthab musuh Allah itu dibawa, dia memakai pakaian berwarna seperti bunga, namun tercabik-cabik di semua sudutnya agar tidak diambil kaum muslimin, sedang kedua tangannya disatukan dengan diikat pada lehernya.
Ketika dia melihat Rasulullah Saw., dia berkata: “Demi Allah, aku tidak menyalahkan diriku karena memusuhimu, namun siapa saja yang meremehkan Allah, maka pasti Allah meremehkannya.” Kemudian, dia menghadap pada orang-orang, lalu dia berkata: “Wahai manusia, jangan sedih menghadapi perintah Allah, sebab kepatusan, takdir, dan penyembelihan ini telah ditetapkan Allah kepada Bani Israil.” Kemudian dia duduk, lalu dia pun lehernya dipenggal.

Kaum perempuan Bani Quraizhah tidak ada yang dibunuh, kecuali satu orang saja. Sebab, perempuan itu telah melemparkan batu penggiling kepada Khallad bin Suwaid, hingga Khallad terbunuh. Sedang kaum perempuan yang lain dan anak-anak mereka dibagi-bagikan di antara kaum muslimin. Rasulullah Saw. membawa bagian Negara ke Najd untuk dijual di sana. Kemudian dari hasil penjualan itu dibelikan senjata dan kuda untuk dijadikan perlengkapan kaum muslimin dalam perang ketika menghadapi musuh-musuh Negara Islam.
Jelas sekali bahwa Sa'ad bin Mu’adz dalam menetapkan keputusannya ini berpedoman pada kaidah perlakuan yang sama antar negara menurut Islam. Sebab, seperti ini juga keputusan yang akan diambil orang-orang Yahudi terhadap musuh-musuh mereka, apabila mereka menguasainya…

Rasulullah Saw. memilih untuk beliau sendiri salah seorang wanita Bani Quraizhah yang bernama Raihanah bintu Amr bin Junafah. Dia tetap dalam kepemilikan (menjadi budak) Rasulullah sampai beliau wafat. Rasulullah Saw. pernah menawarkan diri untuk menikahinya dan memasangkan hijab padanya, namun dia berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan aku tetap dalam kapemilikanmu, sebab hal ini yang lebih baik bagiku dan bagimu.” Rasulullah Saw. akhirnya tetap membiarkan status budaknya.

Selama Raihanah bintu Amr bin Junafah ini berada dalam kekuasaan Rasulullah, ia tetap memilih beragama Yahudi, dan tidak mau masuk Islam. Akhirnya, Rasulullah Saw. melepaskannya, dan perkara Raihanah ini telah membuat beliau merasa sedih.

Pada saat Rasulullah Saw. sedang bersama para sahabatnya, tiba-tiba dari belakang beliau terdengar suara dua sandal, lalu beliau bersabda: “Ini pasti Tsa'labah bin Sa’yah yang akan menyampaikan berita gembira kepadaku tentang masuk Islamnya Raihanah.” Ternyata betul, Tsa'labah mendekatinya, lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah, Raihanah telah masuk Islam.” Rasulullah Saw. sangat gembira mendengar berita masuk Islamnya Raihanah.

f. Kerugian Kaum Muslimin

Ketika mengepung Bani Quraizhah di antara kaum muslimin yang syahid adalah Khallad bin Suwaid yang dilempar dengan batu penggiling hingga meninggal dan Abu Sinan bin Muhshin semoga Allah meridhai keduanya. Keduanya dikebumikan di pekuburan Bani Quraizhah.

g. Kisah Bani Quraizhah dalam al-Qur'an

Allah Swt. menurunkan kronologis perang Bani Quraizhah dalam al-Qur’an al-Karim pada surat al-Ahzab. Dalam surat ini Allah Swt. menyebutkan musibah yang menimpa kaum muslimin, nikmat-Nya kepada mereka, dan jaminan-Nya kepada mereka, ketika Allah menghilangkan musibah tersebut dari mereka, setelah adanya ucapan orang-orang munafik:

“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kalian akan nikmat Allah kepada kalian ketika datang kepada kalian tentara-tentara, (Mereka adalah orang-orang kafir Quraisy, Ghothfan dan Bani Quraizhah ketika perang Ahzab) lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kalian lihat. (Yaitu para malaikat). Dan Allah itu Maha Melihat akan apa yang kalian kerjakan. (Yaitu) ketika mereka datang kepada kalian dari atas kalian dan dari bawah kalian, (Orang-orang yang datang kepada kalian dari atas kalian adalah Bani Quraizhah, sedang orang-orang yang datang kepada kalian dari bawah kalian adalah orang-orang kafir Quraisy dan Ghothafan) dan ketika tidak tetap lagi penglihatan dan hati kalian naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kalian menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam persangkaan. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.
Dan (ingatlah) ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata: “Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” (Mu'attib bin Qusyair ketika bersama kelompoknya berkata: “Dahulu Muhammad menjanjikan kami harta simpanan Kisro dan Kaisar. Sekarang, apa yang terjadi, keluar untuk buang hajat saja salah seorang di antara kami tidak merasa aman.”)
Dan (ingatlah) ketika segolongan di antara mereka berkata: “Hai Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kalian, maka kembalilah kalian.” Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi (untuk kembali pulang) dengan berkata, "Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka (tidak ada penjaga).” Dan rumah-rumah itu sekali-kali tidak terbuka, mereka tidak lain hanyalah hendak lari. Kalau diserang dari segala penjuru, (Yakni, kalau Madinah diserang dari segala penjuru) kemudian mereka diminta fitnah niscaya mereka mengerjakannya, (Yang dimaksud dengan fitnah adalah kembali pada syirik) dan mereka tidak akan menundanya melainkan dalam waktu yang singkat.
Dan sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah (bahwa) mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur).” (Mereka adalah Bani Haritsah, pada saat perang Uhud, mereka lari dari medan perang, setelah itu mereka berjanji kapada Rasulullah Saw. untuk tidak lari lagi dari medan perang untuk selamanya) Dan adalah perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungjawabannya. Katakanlah, “Lari itu sekali-kali tidak berguna bagi kalian, jika kalian melarikan diri dari kematian atau pembunuhan, dan jika (kalian terhindar dari kematian) kalian tidak juga akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” Katakanlah, “Siapakah yang dapat melindungi kalian dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atas kalian atau menghendaki rahmat untuk diri kalian?”
Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah.” Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang menghalang-halangi di antara kalian. Dan orang-orang yang berkata kepada saudara-saudaranya, “Marilah kepada kami.” Dan mereka tidak mendatangi perang melainkan sebentar. (Mereka itu adalah orang-orang munafik) Mereka bakhil terhadap kalian apabila datang ketakutan, kamu lihat mereka memandang kepada kalian dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati. Dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencari kalian dengan lidah yang tajam, sedang mereka bakhil untuk berbuat kebaikan. Mereka itu tidak beriman, maka Allah menghapuskan (pahala) amalnya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Mereka mengira (bahwa) golongan-golongan yang bersekutu itu belum pergi. Dan jika golongan-golongan yang bersekutu itu datang kembali, niscaya mereka ingin berada di dusun-dusun bersama-sama orang Arab Badui, sambil menanyakan tentang berita-berita kalian, (itu dikarenakan mereka bersikap pengecut dan sangat lemah imannya) dan sekiranya mereka berada bersama kalian, mereka tidak akan berperang melainkan sebentar saja.
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian, bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) bari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah. Dan tatkala orang-orang Mu’min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita, dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.” Dan yang demikian itu tidaklab menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.
Di antara orang-orang Mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada yang menunggu-nunggu. Dan sedikitpun mereka tidak mengubah (janjinya). Supaya Allah memberikan balasan kepada orang-orang yang benar karena kebenarannya, dan menyiksa orang munafik jika dikehendaki-Nya, atau menerima taubat mereka.
Sesungguhnya Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan Allah menghalau orang-orang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. (Yaitu orang-orang kafir Quraisy dan Ghathafan) Dan Allah menghindarkan orang-orang Mu’min dari perang. Dan Allah itu Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
Dan Dia menurunkan orang-orang Ahli Kitab yang membantu golongan-golongan yang bersekutu dari benteng-benteng mereka. (Yaitu Bani Quraizhah) Dan Dia memasukkan rasa takut ke dalam hati mereka; sebagian mereka kalian bunuh dan sebagian yang lain kalian tawan. Dan Dia mewariskan kepada kalian tanah-tanah, rumah-rumah, harta benda mereka, dan tanah (Yaitu tanah Khaibar) yang belum kalian injak. Dan Allah itu Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (TQS. al-Ahzab [33]: 9-27)

(artikel ini tanpa tulisan Arabnya)

Bacaan: Prof. Dr. Muh. Rawwas Qol’ahji, SIRAH NABAWIYAH Sisi Politis Perjuangan Rasulullah Saw., Al-Azhar Press

Senin, 30 Oktober 2017

Membebaskan Umat Dari Jeratan Sekularisme-Demokrasi



Format sebuah negara maupun masyarakat sangat ditentukan oleh asas yang mendasarinya. Jika sejak awal asasnya rusak dan bathil dengan sendirinya bangunan negara dan masyarakat juga rusak dan batil. Oleh karena itu, pembahasan tentang asas negara dan masyarakat, UUD, dan yang sejenisnya tidak dapat dianggap enteng. Implikasinya amat luas dan berkelanjutan. Pasalnya, rusak dan bathilnya asas bernegara dan bermasyarakat, sebagaimana yang kita saksikan saat ini, jelas akan mengakibatkan rusak dan -tidak mustahil- hancurnya negara dan masyarakat tersebut.

Negara yang berasas Islam saja, jika penguasa dan rakyatnya tidak menjaga penerapan sistem Islam itu sebaik-baiknya, tetap bisa hancur; apalagi jika asasnya memang bukan-Islam –semacam sekularisme-demokrasi, jebakannya yahudi- dan cacat parah sejak lahir, sudah barang tentu hidupnya sakit-sakitan dan umurnya tidak lama.

Telah tampak bahwa demokrasi yang juga dipraktekkan di negeri ini (lebih-lebih demokrasinya negara jajahan, bukan negara penjajah) semakin lama hanya bisa semakin rusak, penduduknya mengalami krisis multidimensi yang semakin parah, upaya-upaya perbaikan sesuai sistem itu hanya sedikit saja memperlambat kerusakan laten.

Semakin lama umur negara sistem bukan-Islam, maka semakin banyak undang-undang yang pro-imperialis (dan pro-setan). Dan setelah ratusan aturan diterapkan –yang merugikan penduduk negeri dan menguntungkan asing-aseng beserta segelintir antek-anteknya- maka dapat dipastikan sistem tidak-Islam itu tidak bisa diharapkan sama sekali untuk memperbaiki kerusakan. Semakin lama, semakin rusak, maka semakin tampak jelas kecacatan sistem republik/demokrasi yang memang diimpor dari hawa nafsu kaum kafir itu.

Kehancuran sebuah negeri bisa terjadi bukan semata karena dampak faktor internal sistemnya, tapi juga karena kaum kafir imperialis Timur dan Barat tidak akan menghentikan nafsu penjajahannya.

Pemegang tampuk kepemimpinan yang baru dalam sistem bukan-Islam pasti terjebak dan terikat ratusan aturan bathil yang telah diterapkan -yang terus menghasilkan kerusakan- sehingga wajah-wajah baru penguasa itu meski seandainya dengan semangat untuk memperbaiki melalui sistem, akan tersandera oleh sistem rusak itu sendiri. Sistem tidak-Islam itu memang tidak memiliki mekanisme dan landasan untuk sungguh-sungguh melawan kebathilan undang-undang yang bathil, serta tidak mampu sungguh-sungguh membela kebenaran dan keadilan, karena sekularisme-demokrasi semata-mata menuruti hawa nafsu, tanpa kejelasan mana yang haq dan mana yang bathil, mana yang adil dan mana yang zhalim, mana yang taqwa dan mana yang maksiat. Ketidakjelasan itu memanglah cacat permanen dalam demokrasi, ingat, demokrasi ada untuk memfasilitasi hawa nafsu. Sistem aturan yang rinci, jelas, dan selalu tepat untuk memperbaiki kehidupan umat manusia –yaitu dalam sistem Islam- nyata bertentangan dengan demokrasi.

Kampanye yang pro terhadap sistem bukan-Islam selalu berupaya untuk mengesankan seakan-akan pemerintahan baru –yaitu pemenang pemilu- nantinya mampu mewujudkan mimpi-mimpi masyarakat. Namun, masyarakat saat ini berada dalam iklim kesadaran untuk perubahan dari status quo; dan perubahan itu sudah seharusnya ke arah Islam, dengan perjuangan metode Rasul Saw., demi ridha Allah Swt., untuk kemenangan kebenaran dan keadilan Islam beserta umat, kemenangan dalam hidup di dunia dan di akhirat.

Manusia akan diadili di Hari Pembalasan dalam hal aqidah dan syariahnya, apakah aqidahnya Islam, apakah mengimani dan membenarkan ayat-ayat al-Qur’an seluruhnya, apakah rela diatur dengan syariah Islam, apakah menolak semua hukum selain syariah Islam, apakah perbuatannya selama hidup di dunia sesuai syariah Islam, apakah menolak sistem negara bukan-Islam, apakah membela Islam dan umatnya atau justru membela kebathilan, apakah menerima syariah Islam sebagai standar perbuatan dan untuk menghukumi manusia.

Ideologi Islam (aqidah dan syariah) inilah faktor yang menentukan nasib kaum Muslimin, jika berpegang teguh dengannya maka mereka akan ditolong Allah Swt. di dunia dan di akhirat mendapat kemenangan hakiki. Sebaliknya, jika umat terjauhkan dan awam terhadap ideologi Islam, maka bahaya akan menjadi semakin besar meski perasaan mereka tulus terhadap agama Islam. Ideologi pada diri umat haruslah ideologi Islam, jika ideologinya tidak jelas maka kondisi memprihatinkan akan terus berlanjut, kehidupan umat akan jauh dari kemuliaan Islam.

Kondisi realitas buruk akibat bercokolnya sistem bukan-Islam yang menjadi bahaya laten, yang terus berpotensi memakan korban, terjauhkannya umat dari aqidah dan syariah Islam, inilah yang harus diprihatinkan oleh setiap elemen umat Islam. Para nabi dan rasul diutus oleh Sang Pencipta pada dasarnya adalah untuk mewujudkan ideologi yang berasal dari Allah Swt. kepada umatnya sehingga diterima dan diamalkan, bukan lain-lain.

“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka hukumilah di antara manusia dengan kebenaran dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (TQS. Shad: 26)

“Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang haq); dan kepada masing-masing mereka (Dawud dan Sulaiman) telah Kami berikan hikmah dan ilmu...” (TQS. Al-Anbiya: 79)

“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israel dengan lisan Dawud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.” (TQS. Al-Maidah: 78)

Nabi Ibrahim dan Ismail telah sabar –atas dasar keimanan- menerima perintah, syariat dari Allah Swt. untuk mereka:

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (TQS. Ash-Shaffat: 102)
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim.
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu," sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.
Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.
(yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim."
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.
Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.” (TQS. Ash-Shaffat: 103-111)

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu (Muhammad) sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, Isa, Ayub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Dawud.” (TQS. An-Nisa’: 163)

Kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya juga diturunkan ayat:

“dan hendaklah kamu menghukumi di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka.” (TQS. Al-Maidah: 49)

Asas bagi negara haruslah al-Qur’an dan as-Sunnah:

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (as-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (TQS. an-Nisa’: 59)

Alhamdulillah. []

Artikel terkait: “Tawaran Perubahan Di Tengah Euforia Perubahan” Majalah Al-Wa`ie No.13 tahun 2, 1-30 September 2001

Jumat, 27 Oktober 2017

Gerakan Islam dan Komitmen Terhadap Ideologi Islam


Ketika Barat yang kafir mampu menjadikan metode kehidupannya sebagai metode yang diikuti oleh umat manusia, kaum Muslim justru hidup dalam berbagai kondisi pemikiran, sosial, ekonomi, politik sistem kufur yang menyengsarakan. Mereka hidup dengan pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam mereka. Akibatnya, mereka kehilangan jejak yang lurus.
Mereka pun telah kehilangan kepribadian ketika berusaha mengkompromikan berbagai pemikiran yang memancar dari akidah Islam dengan berbagai pemikiran asing (non-Islam) yang sebetulnya tidak diakui oleh umat ini. Akan tetapi kemudian, “asap” pemikiran asing ini masuk juga menyelimuti umat karena kebodohan dan karena tidak adanya upaya mereka untuk mengambil segala persoalan dengan dilandaskan pada akidah Islam.

Pada gilirannya, umat terjebak pada sinkretisme atau ekletisisme (pencampuradukan) absurd antara Islam dengan berbagai pemikiran atau metode kehidupan bukan-Islam yang kontradiktif. Umat pun menjadikan kemaslahatan yang didasarkan hawa nafsu sebagai maksud syariat (maqshûd syarî’ah). Mereka juga menerima segala bentuk penakwilan dan melakukan justifikasi atas semua penyimpangan yang terjadi. Akibat lanjutannya, seluruh kehidupan sosial-ekonomi umat manusia dipenuhi dengan berbagai kontradiksi, dan berbagai realitas politik pun diarahkan untuk memperkuat berbagai pemikiran asing pada posisi pemikiran umat yang asli.

Di dalam berbagai situasi yang sangat buruk semacam ini, bermunculanlah berbagai gerakan Islam untuk menghadapi akumulasi berbagai pemikiran yang salah, pemahaman yang keliru, perasaan yang menyimpang, dan kondisi politik yang terikat dengan pihak asing.

Sebuah gerakan atau partai Islam sudah seharusnya memiliki penawar racun dan obat yang menyembuhkan. Gerakan atau partai Islam juga sudah seharusnya meretas jalan yang lurus yang bisa dilewati manusia berdasarkan bimbingan ideologi Islam, bukan jalan “nyaman” yang justru menjerumuskan manusia ke dalam lubang biawak yahudi semacam demokrasi.

“dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (TQS al-An’am [6]: 153)

Sebuah jamaah atau partai Islam juga sudah selayaknya memiliki sejumlah sifat yang menjadikannya mampu mencapai tujuan. Sifat-sifat itu antara lain kejelasan pemikiran Islam dan semangat untuk mencapai tujuan; upaya mempersiapkan kelompok yang tercerahkan dan mempersiapkan umat, serta komitmen terhadap berbagai hukum Islam yang terkait dengan metode (tharîqah) dalam merealisasikan gagasan (fikrah), dengan kata lain, komitmen terhadap ideologi Islam.

Gagasan atau pemikiran (fikrah) Islam sudah seharusnya mendapatkan perhatian utama dari sebuah jamaah atau partai Islam. Bagi sebuah jamaah atau gerakan Islam, pemikiran Islam harus dipandang sebagai kebenaran yang wajib diyakini oleh setiap manusia; sebagai petunjuk yang dapat menyinari setiap orang yang dibimbingnya; sebagai rahmat yang diberikan oleh Allah Swt. kepada para hamba-Nya; sekaligus sebagai cahaya yang mampu mengeluarkan manusia seluruhnya dari kegelapan hawa nafsunya.
Pemikiran Islam harus dipandang sebagai sesuatu yang layak bagi manusia, sesuai dengan fitrahnya, memuaskan akalnya, dan menentramkan hatinya. Pemikiran Islam pun harus dipandang sebagai sesuatu yang mampu membahagiakan kehidupan dan membangkitkan harapan. Di dalamnya terdapat kedalaman dan kesempurnaan.
Oleh karena itu, pemikiran Islam akan mampu menjawab setiap persoalan manusia tentang kehidupan yang dihadapinya; mampu menghubungkan manusia secara benar dengan Hari Perhitungan Amal; serta mampu mengikat manusia secara shahih dengan Penciptanya sehingga ia bisa memahami tujuan hidupnya dan menjadikannya bahagia hakiki.

Sebuah jamaah atau partai Islam yang meyakini pemikiran Islam harus pula meyakini bahwa seandainya bukan pemikiran Islam (akidah maupun syariah) yang mendominasi masyarakat, maka kebatilan akan berkuasa, kemungkaran akan merajalela, hawa nafsu akan diikuti, kezaliman akan menyebar, kegelapan akan merata, dan kehidupan yang sempit akan membuat manusia tidak bisa tidur. Akibatnya, jiwa-jiwa manusia tampak tidak pernah merasakan ketenangan, fitrah mereka tidak pernah merasakan kedamaian, dan akal-akal mereka pun tidak pernah lurus.

Dengan demikian, topik utama yang harus diperhatikan dengan cermat oleh jamaah atau partai Islam adalah menentukan pemikiran Islam secara tepat dari nash-nash wahyu. Dengan begitu, jamaah atau partai akan selalu memegangnya; menjaga kejernihannya, sehingga ia akan terhindar dari segala anasir yang bukan berasal dari Islam; mencegahnya dari percampuradukan dengan berbagai pemikiran asing yang bukan bersumber dari Islam; serta menentukan sikapnya terhadap berbagai propaganda lain.
Kejernihan pemikiran diharapkan menciptakan kecemerlangan pandangan yang dimiliki oleh jamaah. Kecemerlangan pandangan diperoleh melalui pemahaman terhadap hukum syariat dengan metode penggalian dalil (istidlâl) yang benar. Hukum ini wajib berasas akidah Islam.

Ketika pemikiran yang jernih, cemerlang, mengkristal, dan jelas itu hilang maka akan hilang pula keistimewaannya; cahaya, petunjuk, dan rahmat pun tidak akan kembali. Akibat lanjutannya, legitimasi keberadaan partainya pun akan hilang, sehingga ia menjadi seperti gerakan-gerakan lainnya yang pasrah menyerah di hadapan realitas yang berhasil mempengaruhinya.

Sejauh mana kristalisasi pemikiran (fikrah) terjadi pada anggota-anggota gerakan akan berbanding lurus dengan kristalisasi metode (tharîqah) untuk mewujudkankannya ke dalam realitas praktis. Jalan untuk mencapai tujuan adalah termasuk hukum syariat yang harus direalisasikan sebagaimana halnya hukum-hukum syariat yang lain.

Sebuah jamaah atau partai politik berideologi Islam adalah jamaah atau partai yang senantiasa mengikatkan diri dengan ideologi Islam di dalam setiap gerak dan diamnya. Sebab, sebuah pemikiran ideologis sejatinya akan mencegah para penganut dan pengembannya untuk mengambil ideologi lain. Di samping itu, sebuah pemikiran ideologis merupakan pemikiran pokok yang pertama-tama membahas segala perkara dari dasarnya dan memberikan jawaban yang khas tentang arti keberadaan manusia di alam ini. Semua pemikiran cabang lahir dan memancar dari pemikiran pokok ini. Segala pemikirannya tentang kehidupan, berbagai pemahamannya tentang segala sesuatu, dan berbagai hukum tentang perbuatan-perbuatan semuanya berasal dari pemikiran pokok ini.

Bangunan Islam demikian sempurna, tidak ada sedikitpun kekurangan, meskipun hanya satu topik. Semua ajaran yang ada di dalam Islam sangat harmonis satu sama lain karena memancar dari landasan ideologis yang sama dan baku serta menyatu dengan fitrah kehidupan dan tabiat penciptaan.

Siapa saja yang beriman dengan Islam, maka halal dan haram –bukan asas manfaat- menjadi standar (miqyâs) bagi setiap perbuatan dan pandangannya terhadap segala sesuatu. Sebab, manfaat –menurut pendapat akal manusia- pada dasarnya selaras dengan pemikiran tidak-Islam bahwa manusialah yang membuat hukum, bukan Allah Swt. Oleh karena itu, kebahagiaan seorang Muslim sejatinya adalah memperoleh keridhaan Allah, bukan memperoleh sebanyak-banyaknya kelezatan.
Kehidupannya pun merupakan kehidupan yang penuh pengabdian kepada Allah dan ketundukkan pada segala perintah-Nya, bukan kehidupan yang berdiri di atas ide kebebasan yang menjadikannya terlepas dari ikatan syariat. Sebab, siapa saja yang menerima asas, ia akan menerima apa saja yang lahir dari asas itu. Siapa saja yang ingin melakukan perubahan, ia mesti memulainya dari asasnya dulu, di samping harus memperhatikan kesesuaian antara berbagai pemikiran cabang dengan asasnya. Inilah watak dari sebuah pemikiran dan dakwah yang bersifat ideologis yang seharusnya menjadi titik-tolak sebuah jamaah atau partai Islam.

Oleh karena itu, kaum Muslim tidak layak untuk mencampuradukan (sinkretisasi) Islam dengan ideologi ataupun sistem hidup yang lain. Islam menolak sistem pemerintahan sekularisme-demokrasi yang menjadikan Islam sebagai salah satu faktor berpengaruh di samping berbagai sumber perundang-undangan lainnya.
Islam juga menolak jika sejumlah jamaah Islam melakukan upaya sinkretisasi ini, misalnya dengan melaksanakan sebagian hukum Islam dan sebagian hukum bukan-Islam. Tindakan demikian merupakan bentuk penghancuran Islam yang ditolak oleh Allah Swt. dan hamba-hamba-Nya yang beriman.

Dengan demikian, seluruh jamaah atau partai Islam yang berdiri di atas asas Lâ Ilâha Ilâ Allâh Muhammad Rasûlullâh atau tidak ada yang berhak disembah dan ditaati kecuali Allah, haram untuk berkiblat ke Barat atau ke Timur di dalam mengambil berbagai hukum tentang kehidupannya. Artinya, setiap pemikiran apapun harus bersumber dari akidah Islam, diambil dari sumber-sumber syariat yang terpercaya, dan digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Lalu, bagaimana mungkin kalimat Lâ Ilâha Ilâ Allâh dapat selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa sosialisme -yang tegak di atas konsepsi atheisme dan materialisme- adalah berasal dari Islam; atau selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi -yang berdiri di atas aqidah sekularisme- adalah berasal dari Islam; atau selaras dengan pendapat yang mengatakan bahwa primordialisme dan nasionalisme -yang berlandaskan pada sikap fanatisme yang telah dianggap hina oleh Islam- adalah berasal dari Islam?

Bagaimana mungkin kalimat Lâ Ilâha Ilâ Allâh Muhammad Rasûlullâh -yang berarti hanya Allah Yang berhak membuat undang-undang- bisa sesuai dengan pendapat yang mengatakan bahwa kita juga bisa ikut serta untuk membuat undang-undang? Bagaimana mungkin pula kalimat Lâ Ilâha Ilâ Allâh Muhammad Rasûlullâh -yang tegak di atas sikap merendahkan diri, ketaatan, dan ibadah kepada Tuhan semesta alam- akan selaras dengan kebebasan (liberalisme) yang ada di dalam sistem Barat yang menjadikan manusia sebagai tuan bagi dirinya sendiri dalam segala sesuatu, serta tidak tunduk kepada Tuhan kecuali kalau ketundukan itu sesuai dengan syahwat, keinginan, dan kepentingannya?

Memang, sesungguhnya berpegang teguh pada akidah Islam menuntut pula untuk berpegang teguh pada apa saja yang terpancar dari akidah tersebut. Jika tidak demikian, akan hilanglah kepribadian atau karakter jamaah atau partai Islam, tergilas oleh sikap kompromi yang tidak diridhai Allah dan hamba-hambanya yang beriman.

Untuk memelihara pemikiran agar tetap jernih, cemerlang, jelas, dan terkristal, ia wajib dijauhkan dari pengaruh realitas rusak yang ada; dari ketundukan pada berbagai situasi dan kondisi; dan dari penyimpangan, penggantian, dan proses tawar-menawar. Sebab, sebagaimana pengemban dakwah ingin mengubah masyarakat sesuai dengan pemahamannya, maka penguasa pun -dengan berbagai pemahaman dan pemikirannya yang salah serta dengan berbagai hukumnya yang bathil- akan berusaha menekan pengemban dakwah dan jamaah atau partai Islam yang berusaha untuk melakukan perubahan ke arah sistem Islam.

Menolak Kompromi

Sebuah jamaah, gerakan, atau partai Islam, ketika melandaskan dirinya pada pemikiran ideologi Islam dan kemudian terjun ke dalam realitas masyarakat, ia pasti akan diterpa “angin ribut” yang berusaha untuk mencerabutnya dari akarnya. Sikap penguasa terhadap jamaah ini akan berbeda dengan sikap mereka terhadap gerakan-gerakan lainnya. Hal itu terjadi karena jamaah lain hanya melontarkan pemikiran yang bersifat parsial dan tidak ideologis sehingga tidak secara langsung menohok sistem yang ada. Kadang-kadang, berbagai jamaah tersebut tidak jarang malah berfungsi sebagai penutup berbagai borok yang dihasilkan oleh sistem penguasa yang ada.

Kenyataan ini akan berbeda dengan jamaah yang mengemban dakwah yang mengakar dan berlandaskan pada pemikiran ideologi Islam. Jamaah semacam ini akan senantiasa mencari solusi atas berbagai masalah dari akarnya. Ia tidak akan pernah rela jika persoalan yang dihadapi diselesaikan secara tambal sulam atau dengan sikap kompromi.
Ia akan menolak prinsip “jalan tengah”, tidak akan mau menerima penyelesian yang ditawarkan oleh sistem yang ada, tidak akan meninggalkan dakwah yang ditujukan bagi sebuah perubahan total dan komprehensif, serta tidak akan mau mengambil hanya yang cabang seraya meninggalkan asasnya. Oleh karena itu, “wajar” jika penguasa atau sistem bukan-Islam yang ada akan berusaha menghancurkannya. Kadar permusuhan dan perlawanan penguasa sistem kufur terhadap sebuah jamaah Islam ideologis semacam ini tentu akan sebanding dengan kadar konsistensi jamaah tersebut terhadap perubahan fundamental dan total yang diperjuangkannya.

Kerasnya perlawanan penguasa tidak jarang ditujukan secara langsung terhadap para individu pengemban dakwah atau aktivis jamaah tersebut. Ia harus menjauhi pikiran untuk lebih bersikap “moderat” dan “lunak”. Kedzaliman penguasa bisa saja mulai menekan jamaah dan mendesaknya untuk mengganti tuntutannya dari perubahan total dan revolusioner (taghyîr) ke arah perubahan parsial (ishlâhiyyah). Jamaah yang rela dengan upaya-upaya parsial minimalis menyangka bahwa mereka tetap mampu berusaha demi dunia dan agamanya serta dapat tetap memperoleh ridha Tuhannya. Dalam kondisi semacam ini, sebuah jamaah yang tetap memegang teguh komitmennya terhadap ideologi Islam laksana menggenggam bara.

Seandainya jamaah Islam lebih memilih sikap kompromi dan tawar-menawar, maka jamaah itu berarti telah menjual umat dan ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Sebaliknya, jika gerakan Islam tetap konsisten dengan komitmen ideologi Islamnya, ia tentu harus siap berhadapan dengan sikap keras dan permusuhan penguasa.

“Jika Allah menolong kamu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakal.” (TQS. Ali Imran: 160)

Dari paparan di atas, jelas sekali bahwa pemikiran Islam yang bersifat ideologis dan benar membutuhkan jamaah Islam yang bersifat ideologis dan benar pula. Para pemimpin dan para anggota partai seperti ini harus memiliki keterikatan yang kuat dengan -sekaligus menjunjung tinggi- syariat Islam. Mereka juga akan senantiasa berusaha keras untuk memelihara kejernihan dan kecemerlangan pemikiran Islam yang mereka emban; menjaga kesucian dan kesabaran mereka. Semua itu dimaksudkan agar tidak terjadi penyelewengan dari jalan dakwah dan proses pelemahan cita-cita ideologisnya.

Agar gerakan ideologi Islam tetap bisa berjalan dengan senantiasa memelihara aktivitasnya serta terjauh dari penyelewengan, ia wajib selalu mengikatkan setiap pemikiran dengan akidah Islam. Dengan begitu, sikap tegar dan sabar dalam dakwah akan mengalahkan keinginan nafsu cinta dunia dan takut mati. Fitnah dan ujian yang menderanya, jika selalu disikapi dengan sikap tegas dan sabar, justru akan semakin mensucikan diri mereka sebagaimana api membersihkan emas dari kotoran.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum kamu (Muhammad) beberapa orang rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan (yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa. Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman.” (TQS. Ar-Rum: 47)

Lebih dari itu, agar “perahu” jamaah ideologi Islam tidak karam dan tenggelam di tengah samudera realitas yang demikian buruk, ia mesti memiliki pijakan ideologis yang kuat yang menentukan corak pemikiran (fikrah) dan metode (tharîqah) untuk mewujudkannya. Jika pijakan ideologis jamaah telah melemah dan bahkan hilang, jamaah tersebut akan dengan mudah dikendalikan oleh realitas di sekelilingnya. Dalam kondisi semacam ini, jamaah tidak boleh mendistorsi pemikiran Islamnya dan malah mendukung kepentingan penguasa sistem bukan-Islam.
Inilah yang telah diperingatkan oleh Allah Swt. ketika berfirman kepada Rasul-Nya dan kepada umatnya:

“Waspadalah engkau terhadap mereka, jangan sampai mereka memalingkan dirimu dari sebagian wahyu yang diturunkan Allah.” (TQS. al-Maidah [5]: 49).

Semoga Allah Swt. menguatkan dan selalu menolong kami dalam kebenaran Islam.

Bacaan: Jurnal Politik Dan Dakwah Al-Wa'ie No.07 Tahun I, 1-31 Maret 2001

Senin, 18 September 2017

Survei: Syariah Disetujui 67 Persen Penduduk Pakistan Sebagai Hukum Satu-Satunya yang Diterapkan



Survei di tahun 2017 ini dilakukan secara kerjasama oleh Gallup Pakistan dan Gilani Research Foundation. Dari total yang disurvei, berjumlah 1.846 laki-laki dan perempuan, hanya 5% yang menolak Syariah sebagai hukum yang berlaku. 24% responden setuju Syariah menjadi hukum yang berlaku tapi bukan satu-satunya. Sementara 4 persen mengatakan mereka tak punya pendapat dalam hal itu.

Sebelumnya, pada tahun 2010 Gallup Pakistan-Gilani Research Foundation telah melakukan survei yang sama di mana 51% setuju bahwa Syariah harus menjadi hukum satu-satunya, 8% mengatakan Syariah tidak boleh menjadi hukum yang berlaku, dan 11 persen menyatakan tidak punya pendapat atau pandangan mengenai hal itu.

Jika dilakukan perbandingan, maka survei itu menunjukkan adanya 16% peningkatan jumlah penduduk di Pakistan yang meyakini Syariah dan mendukung diterapkannya hukum Syariah semata, sebagai konsekuensi akidah Islam yang mereka imani.

Seperti biasanya, media massa Barat sekular menstigma negatif ketakwaan kaum Muslimin kepada Allah Swt. Demikian pula financialexpress.com menyebut keinginan umat Islam untuk tegaknya Syariah Islam secara totalitas, termasuk dalam mengatur negara, sebagai keinginan untuk meradikalisasi negara. Mereka membuat judul mengenai hasil survei Syariah itu, “Pakistanis want a radicalised Pakistan: Poll”. Tentu saja kaum penganut aqidah sekularisme meyakini bahwa Syariat dari Allah Swt. adalah hukum kuno yang berbahaya bagi peradaban umat manusia, mereka tentu akan mencari-cari dalih untuk menghina Syariah Islam dan memaklumi rusaknya peradaban sekularisme-kapitalisme-demokrasi di depan mata mereka sendiri.

Kepedulian kaum muslimin terhadap politik dan kewajibannya untuk melakukan aktivitas politik sudah dimulai sejak pertama kali diutusnya Rasulullah Saw., yaitu pada saat Beliau Saw. mulai membentuk partai politik di kota Mekah. Lalu beliau tampil bersama-sama dengan kelompoknya, yaitu para sahabat, menyerang sistem pemerintahan jahiliyyah. Beliau membongkar kezaliman dan menyerang kesesatan penguasa-penguasa kota Mekah dengan serangan politik yang amat keras. Dilihat dari sisi Shira' al-fikri (serangan pemikiran) terhadap aqidah kufur di Mekah, kaum muslimin yang ada di Mekah saat itu telah mencurahkan kemampuan maksimalnya untuk merubah sistem yang rusak itu.

Rasulullah Saw. memberikan predikat kapada seseorang yang menyampaikan kalimat haq (Islam) di hadapan penguasa yang dzalim sebagai jihad yang paling utama. Mendakwahkan kalimat haq merupakan refleksi dari kepedulian terhadap urusan kaum muslimin. Dalam hadits dinyatakan: “Barangsiapa menyaksikan penguasa yang dzalim yang suka melanggar perintah Allah, menghalalkan apa yang diharamkan Allah, serta bergelimang dengan dosa dan kelaliman, tidak (berusaha andil) merubahnya dengan perkataan atau perbuatan, maka Allah pasti memasukkannya kepada golongan mereka (penguasa dzalim itu).” (HR. Thabrani)

Tatkala kaum muslimin menjauhi politik dan aktivitas politik Islam untuk melawan penyelewengan dan penyimpangan para penguasa, maka pada saat itu penguasa akan tetap leluasa mempermainkan rakyat seenak perutnya dengan hukum jahiliyah. Ini adalah akibat umat berpaling dari aktivitas politik Islam melawan para penguasa, umat tidak lagi peduli terhadap sepak terjang sistem bukan-Islam atas segala aspek kehidupan mereka.

Dengan bantuan dan makar jahat negara-negara kafir, dahulu para penguasa semacam itu merobohkan negara mereka sendiri, yakni Daulah Khilafah Islamiyyah pada tahun 1924, mengerat-ngeratnya menjadi lebih dari 50 negara, dilanjutkan dengan mengeksploitasi kekayaan negeri-negeri umat Islam, lalu menyembelih dan merobek kehormatan kaum muslimin.

Mereka berhasil menerapkan sistem politik tidak-Islam dengan bertuankan Yahudi dan negara-negara Barat kafir. Bagaimana tidak! Sejak diruntuhkannya Khilafah dan diterapkannya sistem politik kufur di negeri-negeri Islam, keberadaan Islam sebagai institusi politik telah berakhir. Kedudukannya digantikan oleh pemikiran-pemikiran politik barat yang terpancar dari ideologi Kapitalisme, yaitu berakidah sekulerisme, beristem politik demokrasi, bersistem ekonomi kapitalisme, bersistem sosial liberalisme.

Umat harus memahami bahwa pengaturan urusan mereka dengan sistem Islam tidak akan pernah terwujud tanpa keberadaan Daulah Khilafah. Pemisahan Islam dari kehidupan bernegara adalah liang lahat bagi Islam, sistem dan aturannya, serta menjadi penghancur umat, nilai-nilai, peradaban dan pengembanan risalah Islam yang kaffah.
Keberadaan Daulah Khilafah Islamiyah akan melahirkan eksistensi dan kejayaan umat, penyebaran rahmat Allah Swt. kepada umat manusia dengan tegaknya syariah Islam. Sebaliknya, ketiadaannya dapat pula meniadakan eksistensi umat Islam.

Umat Islam meyakini aqidah Islam sebagai sebuah pemikiran yang menyeluruh tentang alam semesta, manusia dan kehidupan, Islam sebagai aqidah siyasah (aqidah politis), qa'idah fikriyyah, qiyadah fikriyyah (kepemimpinan berpikir), memiliki sudut pandang yang khas.

Meskipun dunia tengah berada di bawah dominasi politik dan ekonomi ala yahudi, tunduk kepada kekuatan lalim, mengerang-erang di bawah penderitaan, perbudakan, dan kehinaan; umat Islam tetap harus berupaya membebaskan dunia dan mengentaskannya dari kesesatan dan penyesatan menuju petunjuk, cahaya (Islam), dan kebahagiaan hakiki. Upaya memenuhi kewajiban umat Islam ini niscaya mendapatkan pertolongan Allah Swt.

Contoh Multi Akad: Mendapat Utang Dengan Harus Mengutangi


Ditulis oleh Annas I. Wibowo, SE

Dalil haramnya melakukan transaksi multi-akad:

نَهَى عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

“Nabi Saw. telah melarang adanya dua jual-beli dalam satu jual-beli.” (HR. at-Tirmidzi, hadits shahih).
(pembahasan mengenai multi akad lihat: Majalah al-Wa’ie edisi 144)

Dari Ibnu Mas’ud ra.:

نَهَى عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ واَحِدَةٍ

“Rasulullah Saw. melarang dua akad dalam satu akad (transaksi).” (HR. Ahmad: 2/174, hadits shahih)

Maksud hadits ini adalah adanya dua akad dalam satu akad, seperti seseorang yang mengatakan, “Saya jual rumah ini kepada anda dengan harga sekian, dengan catatan lima tahun kemudian saya jual kepada anda rumah yang lain dengan harga sekian,” atau, “dengan  catatan kamu menjual rumah anda pada saya,” atau, “dengan syarat anda mau mengawinkan aku dengan putrimu.” Model seperti ini tidak diperbolehkan, karena ucapan “saya menjual rumahku kepada anda” adalah satu transaksi, dan ucapan “dengan syarat saya juga menjual rumah yang lainnya kepada anda” adalah transaksi yang berbeda. Dan keduanya dikumpulkan dalam satu transaksi. (lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, As-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz 2 (terjemahan)

Contoh multiakad:

Sekelompok orang, yaitu si E, D, C, B, dan si A melakukan kesepakatan hutang (qardh) dengan cara sebagai berikut:
1.  Mereka sepakat mengumpulkan uang iuran sebesar Rp1.000.000/orang setiap bulan untuk dihutangkan kepada masing-masing dari mereka sendiri.
2.  Orang yang akan mendapat utangan pertama kali, yaitu di bulan Januari, dari kumpulan uang itu sebesar Rp5.000.000 belum diketahui, dan baru dapat diketahui setelah diadakan undian di antara mereka.
3.  Lalu ternyata, dari hasil undian, yang pertama mendapat utangan adalah si A.
4.  Maka diserahkanlah Rp5.000.000 kepada si A, yang artinya bahwa si E, D, C, dan si B memberi utang kepada si A sebesar masing-masing Rp1.000.000.
5.  Di awal ketika mereka mengumpulkan uang sebelum mengundi, mereka juga telah bersepakat untuk terus melakukan iuran bulanan yang akan digunakan dalam utang-piutang itu selama 5 bulan ke depan.
6.  Siapa yang akan diberi utang pada masing-masing bulan Februari hingga Mei oleh masing-masing mereka, baru akan diketahui dengan melakukan undian pada bulan yang bersangkutan.

Sampai di sini tampak bahwa apa yang mereka lakukan tidak sesuai syariat Islam, (salah satunya) yaitu bahwa kesepakatan mereka di awal belumlah merupakan akad utang yang lengkap rukunnya, di mana tidak diketahui siapa memberi utang kepada siapa, meskipun jumlah uang dan jatuh temponya sudah diketahui. Bahkan si A menjadi memberi utang kepada dirinya sendiri sebesar Rp1.000.000?

Demikian pula, kesepakatan mereka untuk terus saling mengadakan utang-piutang pada bulan-bulan berikutnya hingga bulan Mei, juga tidak jelas siapa yang akan diberi utang oleh siapa.

Menyadari hal ini, mereka lalu melakukan utang-piutang sebagai berikut:
1)    Mereka melakukan undian untuk menentukan siapa yang mendapat utangan.
2)    Ternyata si A adalah yang pertama mendapat utangan.
3)    Mereka terus mengundi untuk menentukan siapa orang yang akan mendapat utangan pada bulan-bulan berikutnya yang hasilnya secara urut adalah si B, C, D.
4)    Mereka menuliskan:
a.  Pada bulan Januari si B, C, D, E masing-masing memberi utang Rp1.000.000 kepada si A, total Rp4.000.000.
b.  Pada bulan Februari si A melunasi utang Rp1.000.000 kepada si B terlebih dahulu. Dan si C, D, E masing-masing memberi utang Rp1.000.000 kepada si B. (Rp1 juta dari si A adalah uangnya si B sendiri yang sebelumnya telah diutangkan kepada si A, bukan mendapat utangan dari si A. Jadi total utangan yang diterima si B adalah Rp3.000.000)
c.   Pada bulan Maret si A melunasi utang kepada si C. Dan si B melunasi utang kepada si C terlebih dahulu. Dan D, E masing-masing memberi utang Rp1.000.000 kepada si C. (Rp1 juta dari si A adalah uangnya si C sendiri yang sebelumnya telah diutangkan kepada si A, bukan mendapat utangan dari si A. Demikian pula Rp1 juta yang dari si B. Jadi total utangan yang diterima si C adalah Rp2.000.000)
d.  Pada bulan April si A, B, C melunasi utang kepada si D. Dan E memberi utang Rp1.000.000 kepada si D. (Rp1 juta dari si A adalah uangnya si D sendiri yang sebelumnya telah diutangkan kepada si A, bukan mendapat utangan dari si A. Demikian pula Rp2 juta yang dari si B dan C. Jadi total utangan yang diterima si C adalah Rp1.000.000 dari si E)
e.  Pada bulan Mei si A, B, C, D melunasi utang kepada si E.
5)  Berarti si A mendapat utang totalnya Rp4 juta dan tidak memberi utang kepada siapapun. Sementara si E memberi utang yang totalnya Rp4 juta dan tidak mendapat utang dari siapapun.
6)  Mereka semua menandatangani kesepakatan utang-piutang di atas.

Dengan demikian maka menjadi jelas siapa memberi utang kepada siapa dalam 5 bulan itu. Namun, akad utang mereka ini masih juga menyalahi syariah yaitu jelas merupakan multi-akad yaitu si B, C, D harus memberi utang untuk mendapatkan utang sebagaimana skema yang mereka sepakati di atas. Maka haram hukumnya bagi si A, B, C, D, maupun si E melakukan undian, menentukan dan melangsungkan transaksi multiakad.

Menyadari hal ini, mereka lalu saling bertanya, siapakah di antara mereka yang memang memerlukan utang, berapa besarnya dan kapan, apakah yang memerlukan utangan itu sanggup melunasi, perlukah agunan, berapa lama temponya, kemudian siapa di antara mereka yang sanggup memberi utang kepada yang memerlukan itu. Wallahu a’lam. []

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam