Unduh BUKU Dakwah Rasul SAW Metode Supremasi Ideologi Islam

Sabtu, 31 Januari 2015

Umat Terpecah Belah Menjadi Banyak Golongan

kelompok-kelompok harus bersama-sama berpegang pada tali agama Allah


Terpecah-belahnya umat menjadi beberapa golongan, bukan beberapa golongan yang bersama-sama berpegang pada tali agama Allah

        Nabi SAW telah memperingatkan terhadap kelompok-kelompok yang memecah-belah umat karena mereka bersikap mengambil sebagian dari isi Kitabullah dan mengabaikan sebagian isinya yang lain. Mereka tidak menjadikan Islam sebagai ideologi (akidah dan syariah). Mereka tercemari oleh paham-paham kufur semacam sekularisme, ashobiyah nasionalisme, pluralisme. Sekularisme menanamkan ajaran bahwa Islam tidaklah memiliki aturan lengkap yang wajib diterapkan, bahwa Islam tidak punya hukum-hukum dalam bidang politik, ekonomi, kebijakan militer, kebijakan luar negeri. Sekularisme mengajarkan bahwa Islam tidak boleh mencampuri urusan publik termasuk politik pemerintahan beserta segala kebijakan publik dan pengaturan masyarakat.
Kelompok-kelompok banyak yang terinfeksi paham kufur karena itulah yang terus diupayakan oleh kaum kafir imperialis beserta para penguasa batil antek mereka di negeri-negeri Muslim. Sebagian kelompok kaum Muslimin itu tertipu oleh paham-paham kufur yang dibungkus citra Islami. Para penguasa batil bekerjasama dengan para ulama duniawi yang menyukai sekularisme untuk memberi tipuan dalih-dalih yang tampak Islami dan indah sehingga umat mengira paham kufur itu memang ajaran Islam.
"..Allah ridha terhadap mereka (shahabat) dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)Nya. Mereka itulah partai Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya partai Allah itulah yang beruntung" (QS. Al Mujadalah: 22)

Sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dengan sanad yang shahih [Lihat Sunan Abu Dawud, hadits no. 4338; Sunan Tirmidzi, hadits no. 3059; Sunan Ibnu Majah, hadits no. 4005; Sunan Ibnu Hibban hadits no. 1837]:
"Jika masyarakat kaum Muslimin melihat penguasa yang zhalim lalu tidak mencegahnya dari kezhaliman itu, maka hampir-hampir ditimpakan azab atas diri mereka".
Sabda Rasul ini merupakan penjelasan tentang amal jama'i atau kegiatan da'wah yang dilakukan oleh masyarakat atau sekelompok dari antara kaum Muslimin dalam wadah minimal satu partai yang diperintahkan untuk membentuknya agar dapat melaksanakan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar. Perintah dakwah untuk dilaksanakan oleh setidaknya satu kelompok dari antara kaum Muslimin lebih ditegaskan lagi dalam firman Allah SWT:
"(Dan) Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang beruntung". (Ali Imran: 104)

        Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa akidah bukan barang untuk diperjualbelikan di antara golongan-golongan, karena permasalahan pemikiran termasuk mengenai hukum bukanlah permasalahan yang diserahkan kepada manusia namun itu adalah kedaulatan Tuhannya manusia, karena Dialah yang menghakimi di antara hamba-hamba-Nya pada hari Kiamat bukan dengan hukum buatan nafsu manusia melainkan dengan hukum Allah. Andai saja Allah mau, pastilah akan memberikan hidayah dan petunjuk kepada semua manusia.
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS. Al-An'aam: 57)
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang zalim (TQS al-Maidah [5]: 45)
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang fasik (TQS al-Maidah [5]: 47)
Adapun tidak berhukum dengan hukum Islam karena mengingkari Islam dan menganggap Islam itu TIDAK LAYAK untuk memutuskan perkara, maka itu merupakan kekufuran. Kita berlindung hanya kepada Allah dari hal itu.
Siapa saja yang tidak berhukum dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir (TQS al-Maidah [5]: 44)

Semoga Allah menyelamatkan kita dari fitnah/kerusakan baik yang nyata maupun yang tersembunyi. Apabila aku salah, maka itu asalnya dari diriku, adapun jika aku tepat dalam satu sisi kebenaran, maka itu berasal dari petunjuk Allah. Aku berharap semoga kita semua selalu dalam petunjuk Allah.

  1. Dari ‘Arfajah r.a. dia berkata: “Aku mendengar Nabi SAW bersabda: “Nanti akan ada dosa-dosa kecil namun tersebar luas sehingga menimbulkan kekacauan. Maka siapa saja yang ingin memecah-belah persatuan kaum Muslimin, maka penggallah kepalanya siapapun dia.
(Disebutkan dalam at-Taaj al-jaami’: hadist ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya kitab al-jihad, juga Abu Dawud dan an-Nasa’i)

Mengenai kewajiban persatuan kaum Muslimin di bawah seorang khalifah yang sah juga ditunjukkan dalam hadits:
"Siapa saja yang membai'at seorang imam (khalifah) dan memberikan kepadanya genggaman tangan dan buah hatinya (bertekad janji), maka hendaklah dia menaatinya sekuat kemampuannya. Dan jika ada orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah batang lehernya." (HR. Muslim)

        Imam Ahmad telah menyebutkan dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a. dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Hati-hatilah terhadap dosa-dosa kecil, karena apabila dosa-dosa tersebut berkumpul pada seseorang maka akan mencelakakannya”. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah membuat permisalan bagi dosa-dosa kecil tersebut. Beliau mempermisalkannya dengan suatu kaum yang tiba di suatu tanah lapang, kemudian pemimpin kaum memerintahkan orang-orang untuk mencari ranting kayu bakar, satu orang dengan satu ranting, sehingga akhirnya terkumpul tumpukan kayu bakar yang banyak, lalu mereka membakarnya dan memanggang daging dengan api dari kayu bakar tersebut”. [Lihat ad-daa`wa ad-dawaa` Ibnu Qayyim al-Jauziyah hal.68]
        Ini adalah permisalahan dosa-dosa kecil, apabila berkumpul dan banyak akan mencelakakan suatu kaum. Disebutkan dalam shahih Bukhari dari Anas bin Malik r.a. dia berkata: “Sungguh kalian akan melakukan dosa-dosa yang lebih kecil dari rambut menurut mata kalian, sedangkan pada masa Rasulullah SAW kami menganggapnya sebagai dosa-dosa besar”.
        Ini adalah permisalahan perbuatan maksiat yang telah sering dilakukan sehingga menjadi kebiasaan dan tersebar di mana-mana.

Download Buku Membereskan Fitnah Kerusakan Umat

Jumat, 30 Januari 2015

Bentuk-Bentuk Kerusakan Umat



Bentuk-bentuk fitnah

  1. Dari Abdullah bin Amru r.a. dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Hari Kiamat tidak akan datang, sehingga muncul pesta kegembiraan di Tamud sampai sepanjang jalan menuju al-Himyar”.
(Disebutkan dalam Majma’uz Zawa`id: hadits ini diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani. Perawi-perawi dari al-Bazzar sesuai dengan syarat shahih)
       
2.   Dari Abu Musa r.a. dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Hari Kiamat tidak akan datang sampai Al-Qur’an menjadi aib, waktu semakin cepat, ikatan-ikatannya tercerai-berai, tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan dikurangi. Orang-orang jahat dipercaya dan orang-orang terpercaya dituduh jahat. Kedustaan dibenarkan dan kebenaran didustakan dan al-haraj banyak terjadi di mana-mana. Mereka bertanya: “Ya Rasulullah, apakah al-haraj itu?” Nabi menjawab: “Itu adalah pembunuhan”. Setelah itu maraknya pelacuran, kedengkian dan kesenjangan sosial. Persoalan di antara manusia kacau-balau, hawa nafsu diikuti, menghukumi dengan prasangka, ilmu dicabut, kebodohan di mana-mana, anak menjadi sumber kemarahan orang-tua, kemarau berkepanjangan, perbuatan keji dilakukan secara terang-terangan, dan bumi dialiri dengan darah”.
(Disebutkan dalam Majma’uz Zawa`id: “... kemudian penulis mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani. Perawi-perawinya tsiqat dan ada sebagian yang diperselisihkan)

        Dalam hadits ini terdapat kabar mengenai masa yang mengerikan. Akan datang generasi-generasi yang merasa aneh dengan Al-Qur’an, merasa malu untuk membacanya dan memandangnya sebagai aib, naudzubillah. Sehingga mereka menjauhinya atau bahkan meninggalkannya sama-sekali. Mereka menganggap akidah dan syariah Islam tidak ada gunanya. Mereka menganggap bahwa ilmu pengetahuan semata-mata dari pemikiran manusia lebih baik daripada apa yang diturunkan Allah Swt. Kerusakan akidah mereka seperti itu juga tampak dari sikap mereka yang mengagungkan ilmu psikologi, ilmu hukum kufur Barat, ekonomi kapitalisme, filsafat, budaya kufur, ilmu politik kufur demokrasi, sistem pemerintahan kufur sekularisme, dan prinsip Hak Asasi Manusia kebebasan hawa nafsu.

        Hari demi hari kehilangan keberkahannya karena kosong dari penerapan sistem syariah Islam. Tercerai-berai persatuan karena diterapkannya sistem kufur sekularisme. Kebaikan semakin sedikit dan nilai-nilai terbalik sehingga banyak terjadi pembunuhan dan hawa nafsu legislatif menjadi tuhan yang disembah selain Allah.
Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah serta mempertuhankan al-Masih putra Maryam. Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. [QS. (9) at-Taubah: 31]
Penjelasan Rasulullah Saw. terhadap ayat ini: Diriwayatkan dari Adi bin Hatim:
Saya mendatangi Rasulullah dengan mengenakan kalung salib dari perak di leherku. Rasulullah Saw. bersabda, “Wahai Adi, lemparkanlah patung itu dari lehermu.” Kemudian saya melemparkannya. Usai saya lakukan, Beliau membaca ayat ini: Ittakhadzû ahbârahum wa ruhbânahum min dûni Allâh, hingga selesai. Saya berkata, “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Beliau bertanya, “Bukankah para pendeta dan rahib itu mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, lalu kalian mengharamkannya; menghalalkan apa yang diharamkan Allah, lalu kalian menghalalkannya.” Aku menjawab, “Memang begitulah.Beliau bersabda, “Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka.” (HR. ath-Thabrani dari Adi Bin Hatim)
Jika demikian, apa bedanya para pembuat hukum dalam sistem kufur demokrasi yang bertindak sebagai legislatif dan eksekutif itu dengan para pendeta dan rahib yang dalam ayat ini disebut sebagai tuhan-tuhan selain Allah Swt.? Mereka disebut demikian lantaran didudukkan sebagai pembuat hukum yang wajib ditaati. Dengan demikian, siapapun yang ditahbiskan memiliki otoritas yang sama, merekapun layak disebut sebagai arbâb min dûni Allâh, tuhan-tuhan selain Allah Swt.
Jika demikian, alasan batil apa lagi yang dapat digunakan untuk mendukung demokrasi?!

        Banyak terjadi praktek menjatuhkan hukuman bukan berdasarkan cara pembuktian dalam Islam, sehingga orang yang tak bersalah dimasukkan ke dalam penjara dan orang yang tidak bersalah dijatuhi hukuman dengan dzalim berdasarkan hukum kufur, yang diterapkan oleh penguasa batil sistem kufur.
Aturan-aturan Allah dalam bidang keluargapun semakin diabaikan. Apa yang dijumpai masyarakat melalui media massa mainstream adalah semua yang kosong dari aturan Allah Swt. namun justru penuh dengan keliaran hukum jahiliyah. Anak-anak tumbuh besar dengan kejahiliyahan di sekitarnya, di semua tingkatan. Ikatan dan hubungan antar anggota keluarga terputus, sehingga anak menjadi sumber kemarahan bagi keluarga dan bukan lagi menjadi penyejuk mata mereka.
Renungkanlah wahai pembaca! Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan yang berusaha membereskan fitnah/kerusakan, memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia.

Download Buku Membereskan Fitnah Kerusakan Umat

Rabu, 28 Januari 2015

Pemimpin Sesat Dan Menyesatkan



  1. Dari Hudzaifah bin al-Yaman r.a. dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Demi Allah yang jiwaku berada dalam kuasa-Nya, Hari Kiamat tidak akan datang sampai kalian membunuh pemimpin kalian, kalian saling menyabetkan pedang-pedang kalian dan dunia kalian diwarisi oleh orang-orang jahat di antara kalian”.
(H.R. at-Tirmidi, dia berkata: “Hadits hasan”)

        Sesungguhnya melawan khalifah yang sah yang tetap menerapkan sistem syariah Islam adalah permulaan kehancuran masyarakat, bahkan menjadi salah satu tanda dekatnya Hari Kiamat. Kelompok-kelompok yang terbiasa melawan khalifah yang adil, perselisihan bersenjata antara berbagai kelompok yang menyimpang dari ideologi Islam, dan dunia dikuasai oleh orang-orang jahat termasuk dari kalangan kapitalis, kafir imperialis, sekularis, liberalis; dan orang-orang jahat ini dengan kekuasaan sistem kufurnya menentukan nasib manusia, sehingga mereka menggiring umat manusia semuanya kepada kerusakan dan kehancuran.
        Hal ini akan terjadi –wallahu a’lam- ketika manusia meninggalkan memerintah kepada kebaikan ideologi (aqidah dan syariah) Islam dan mencegah dari kemungkaran sistem kufur di berbagai bidang; dan Islam menjadi sesuatu yang asing karena tidak terap dalam kehidupan bernegara. Semoga Allah menyelamatkan kita semua.

  1. Dari Tsauban r.a. dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya yang paling aku takutkan terhadap umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan”. Tsauban berkata: Rasulullah SAW menambahkan: “Segolongan umatku senantiasa berjuang menegakkan kebenaran, tidak akan mendatangkan kerugian kepada mereka orang-orang yang memusuhi mereka, sampai datang keputusan Allah”. (H.R. at-Tirmidzi)

        Betapa buruknya akibat dari berkuasanya para thoghut dan betapa bahayanya!!! Para penguasa sistem kufur semacam demokrasi menjerat umat hingga umat tunduk pada hukum thaghut. Para penguasa sistem taghut terus berkuasa dengan terus-menerus membohongi umat. Mereka menggandeng para ulama duniawi untuk menipu umat bahwa kekuasaan para toghut itu sah dan umat tidak dibolehkan melarang kemungkaran mereka. Mereka mewajibkan yang haram dan mengharamkan yang wajib. Mereka menipu umat dengan mengatakan bahwa “musyawarah” manusia mengalahkan hukum-hukum Allah itu adalah sesuai Islam. Mereka bungkam dari membongkar kebatilan hukum-hukum serta sistem kufur.

Dari Aus yang berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda:
Aku tidak takut (ujian yang akan menimpa) pada umatku, kecuali (ujian) para pemimpin sesat.” (HR. Ibnu Hibban)

Dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah Saw berkata kepada Ka’ab bin Ajzah:
Aku memohon perlindungan untukmu kepada Allah dari kepemimpinan orang-orang bodoh.” (HR. Ahmad)
Dalam hadits riwayat Ahmad dikatakan bahwa pemimpin bodoh adalah pemimpin yang tidak mengikuti petunjuk dan sunnah Rasulullah Saw. Yakni pemimpin yang tidak menerapkan syariah Islam.

Dari Ubadah bin Shamit berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang memerintah kalian dengan hukum yang tidak kalian ketahui (imani). Sebaliknya, mereka melakukan apa yang kalian ingkari. Sehingga terhadap mereka ini tidak ada kewajiban bagi kalian untuk menaatinya.” (HR. Ibnu Abi Syaibah).

Dari Abu Hisyam as-Silmi berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
Kalian akan dipimpin oleh para pemimpin yang mengancam kehidupan kalian. Mereka berbicara (berjanji) kepada kalian, kemudian mereka mengingkari (janjinya). Mereka melakukan pekerjaan, lalu pekerjaan mereka itu sangat buruk. Mereka tidak senang dengan kalian hingga kalian menilai baik (memuji) keburukan mereka, dan kalian membenarkan kebohongan mereka, serta kalian memberi pada mereka hak yang mereka senangi.” (HR. Thabrani)
Hilangnya Amanah
Dalam kitab, al-Mustadrak ‘ala as-Sahihain, al-Hakim mengeluarkan hadits:
Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang “Ruwaibidhah” berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala as-Shahihain, V/465)
Mengenai hadits ini, al-Hakim berkomentar, “Ini adalah hadits dengan isnad sahih, meski al-Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya. Imam ad-Dzahabi menyetujuinya.” Jadi, hadits ini adalah hadits sahih, yang dinyatakan sahih oleh al-Hakim dan ad-Dzahabi.
Lafadz “Ruwaibidhah” merupakan bentuk lafadz Mujmal, yang dijelaskan oleh Nabi saw dalam redaksi berikutnya, ketika ditanya oleh para sahabat:
Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. al-Hakim)

Dari berbagai gambaran di atas, bisa disimpulkan bahwa hadits ini menjelaskan tentang kelompok orang yang tidak peduli terhadap urusan agama. Mereka adalah budak hawa nafsu dan dunia. Mereka mengibarkan bendera Jahiliyyah. Menyeru kepada ideologi dan isme sesat dan merusak, seperti Kapitalisme, Sosialisme, Sekularisme, Liberalisme, Demokrasi. Mereka berambisi menjadi penguasa, padahal mereka adalah orang bodoh, tidak bermutu, fasik dan hina. Mereka bukanlah orang yang mencari kebenaran, bukan pula orang yang menggengamnya dengan jujur, tetapi mereka adalah para pembohong yang pandai memutar lidahnya. Bagi orang yang mempunyai kepekaan dan akal sehat, tentu tidak sulit mengetahui kondisi mereka. Meski mereka mengklaim membela dan menolong kebenaran.
Mereka adalah dedengkot kesesatan, pengikut hawa nafsu dan syahwat. Mereka didukung orang-orang Munafik, ekstrim, jahil tentang Islam dan lalai. Kadang mereka tampak berilmu dan benar, namun mereka menjual agama mereka untuk secuil dunia. Mereka menggunakan ilmunya untuk menjustifikasi kerusakan, dan sistem Kufur. Mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Akibatnya, halal dan haram, makruf dan munkar menjadi kabur di mata umat.

Hadits yang kedua menyatakan bahwa ada golongan dari umat yang kuat dan menang. Mereka memenuhi kewajiban amar makruf nahi mungkar kepada semua yang berhak mendapatkannya, bukan dakwah yang tebang pilih. Mereka berani berhadapan dengan kemunkaran yang besar. Mereka tiada henti terus istiqomah berjuang meruntuhkan sistem kufur diganti dengan sistem Islam. Mereka tidak mengikuti metode perjuangan melainkan itu metode perjuangan Rasul Saw. yang dengannya dahulu Rasul Saw. berhasil menegakkan sistem Islam tanpa Beliau berkompromi dengan sistem kufur. Maka, atas izin dan pertolongan Allah Swt. golongan yang teguh atas ideologi (akidah dan syariah) Islam ini akan mendapatkan keberhasilan.

Rasulul­lah Saw. bersabda:
Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.” (HR. Abu Dawud 4346, Tirmidzi no.2265, dan Ibnu Majah no.4011)
سَيِّدَ الشُّهَدَاءِ حَمْزةُ بن عَبْدِ المُطَلِّبْ وَرَجُلٌ قَامَ إلَى إمامٍ جَائِرٍ فَأمره وَ نَهَاه فَقتَلهُ
"Penghulu para syuhada' ialah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri di hadapan penguasa zhalim, lalu orang itu memerintahkannya berbuat ma'ruf (menjalankan apa yang diwajibkan oleh syara') dan melarangnya berbuat mungkar (kekufuran/ kezhaliman/ kemaksiatan), kemudian penguasa itu membu­nuhnya." (HR. Al Hakim)

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur :55)
        Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang menang.

Download Buku Membereskan Fitnah Kerusakan Umat

Minggu, 25 Januari 2015

Larangan Memata-Matai Rakyat



  1. Dari Ibnu Abbas r.a. dia berkata: Nabi SAW bersabda: “Tidak ada seorangpun yang menguasai suatu wilayah, kecuali dihadapkan padanya keselamatan, apabila dia menerimanya maka akan diluaskan dan disempurnakan, namun apabila dia menjauhinya, maka akan dibukakan perkara yang dia tidak akan sanggup menanggungnya”. Perawi dari Ibnu Abbas bertanya kepada Ibnu Abbas: “Apa maksud menjauhi keselamatan?” Ibnu Abbas menjawab: “Mencari-cari kesalahan dan aib”.
(Disebutkan dalam Majma’uz Zawa`id: hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani)

        Seorang penguasa sistem khilafah Islamiyah harus mencari keselamatan dengan memenuhi kewajiban menerapkan keadilan syariah Islam sehingga tersebar kepercayaan antara khalifah dan bawahannya serta antara mereka dan rakyat. Dalam kondisi ini seorang khalifah akan merasa tenang dan memberikan ketenangan kepada keluarganya, bawahannya dan rakyatnya. Dengan tekad dan usaha khalifah menyebarluaskan rahmat akibat dari tegaknya keadilan syariah maka akan semakin banyak keberhasilan jihad penaklukan/futuhat meninggikan kalimat Allah, kestabilan dalam negeri, dan berkah kesejahteraan.
Khalifah dilarang mencari-mencari aib dan kesalahan, dalam keadaan ini seorang penguasa akan mencari kesalahan dengan membentuk mata-mata dan spionase terhadap rakyatnya.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain (tajassus)..” [al-Hujurat:12]
Dalam Sunnah, Nabi Saw. bersabda, “..Janganlah kalian saling memata-matai, janganlah kalian saling menyelidik, janganlah kalian saling berlebih-lebihan, janganlah kalian saling berbuat kerusakan….” [HR. Ibnu Majah dari Abu Hurairah, lihat hadits-hadits senada dalam Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat 49:12, semisal riwayat Imam Malik dari Abu Hurairah].
        Nabi Saw. bersabda, artinya, “Sungguh, seorang amir (pemimpin) akan mendurhakai rakyatnya, bila ia memburu kecurigaan pada mereka”. [HR. Abu Dawud dari Abu Umamah]

Khilafah akan punya aparat keamanan tapi sangat berbeda perannya. Islam mengharamkan memata-matai warga, perkara ini bukan sesuatu yang bisa diubah oleh siapapun, atau oleh karena situasi keamanan nasional apapun. Cakupan, penggunaan dan wilayah hukum aparat penegak hukum dalam Islam adalah terikat syariah sebagaimana dinyatakan dalam banyak Hadits. Aparat keamanan dalam negeri tidak punya wewenang atau hak untuk memata-matai atau menyelidiki keyakinan pribadi rakyat. Jika dibolehkan maka akan berakibat mendapatkan bukti melalui cara sembunyi-sembunyi, memata-matai dan melanggar privasi warga negara. Privasi rumah dan warga adalah haram dilanggar. Wilayah hukum mereka yaitu menegakkan hukum dalam negara, hal ini adalah dalam perkara publik. (Lebih lanjut lihat "The institutions of state in the Khilafah in ruling and administration," Hizb ut-Tahrir)
       
  1. Dari Miqdad bin al-Aswad r.a. dan Abu Umamah r.a.: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya seorang penguasa bila mencari-cari kesalahan rakyat, maka akan menghancurkan mereka”.
(Disebutkan dalam Majma’uz Zawa`id: hadits Abu Umamah diriwayatkan oleh Abu Dawud, kemudian penulis berkata hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ath-Thabrani, perawi-perawinya adalah tsiqat)

        Bukan menjadi hak penguasa untuk memata-matai rakyatnya. Barangkali ada baiknya, di sini penulis akan menyebutkan suatu kisah yang berhubungan dengan pembahasan kita ini:
        “pada suatu ketika Umar melewati suatu kebun, kemudian dia mendengar suara-suara yang mencurigakan, lalu dia mengintainya dan memanjat pagar kebun tersebut. Dia melihat seorang laki-laki dengan satu gentong khamr. Umar menampakkan diri dan menegur laki-laki tersebut: “Hai musuh Allah! Tidakkah engkau tahu bahwa Allah telah menutupi aibmu, namun engkau tetap melakukan kejahatan ini?”
laki-laki menjawab: “Amirul Mukminin! Apabila aku telah mendurhakai Allah dalam satu hal, maka anda telah mendurhakai-Nya dalam tiga hal:
  • Allah berfirman: “Janganlah kalian mencari-cari kesalahan orang lain”. (QS. Al-Hujuraat :12), namun anda mengintaiku.
  • Allah berfirman: “Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya”. (QS. Al-Baqarah :189), namun anda tidak melakukannya.
  • Allah juga berfirman: “Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya”. (QS. An-Nuur :27).
Menghadapi logika yang kuat ini Umar tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghukum laki-laki tersebut, walaupun beliau adalah seorang Amirul mukminin. Lalu beliau berkata kepadanya: “Apakah kamu akan meninggalkan khamr selamanya, jika aku mengampunimu?”. Laki-laki itu menjawab: “Benar, ya Amirul mukminin”.
        Riwayat lain barangkali bisa menyempurnakan kisah ini, telah diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khattab r.a. bertanya kepada sahabat-sahabatnya, diantara mereka ada Ali bin Abi Thalib. Beliau menanyakan pendapat mereka tentang kecurigaan yang dilihatnya? Ali r.a. berkata: “Amirul Mukminin! Berterus teranglah... dan hadirkan para saksi, jika tidak maka hukuman cambuk atas punggung anda” (mungkin maksudnya adalah hukuman orang yang menuduh tanpa bukti/Qadzaf).
        Riwayat-riwayat ini –jika benar- menunjukkan betapa besar perhatian terhadap kebebasan pribadi umat Islam. Kebebasan ini apabila dilanggar akan menjadi kerusakan yang besar dalam masyarakat. Apabila penguasa mencari-cari kecurigaan atau berprasangka yang bukan-bukan dan meragukan kepercayaan rakyat, mengawasi setiap gerak-gerik mereka, maka hal itu akan merusak mereka dan menimbulkan permusuhan mereka terhadap dirinya dan orang lain.

Adapun terhadap kafir dzimmiy yang menjadi warga negara di Daulah Khilafah, maka kedudukan mereka setara dengan kaum muslimin, sehingga seorang muslim dilarang [diharamkan] memata-matai mereka. [Taqiyyuddin al-Nabhani, al-Syakhshiyyah al-Islamiyyah Juz II, ed.III, 1994, Daar al-Ummah, Beirut, Libanon, hal. 212.] Adapun memata-matai kafir harbiy [kafir yang harus diperangi], baik kafir harbiy haqiqiy, maupun hukman, hukumnya adalah jaiz (boleh) bagi seorang muslim, atau sekelompok kaum muslimin, namun wajib bagi negara [Daulah Khilafah], baik kafir harbiy yang berada di dalam Daulah Khilafah Islamiyyah, maupun yang berada di negaranya sendiri.

Dalilnya adalah riwayat yang disebut dalam Sirah Ibnu Hisyam, bahwa Nabi saw pernah mengutus ‘Abdullah bin Jahsiy bersama 8 orang dari kalangan Muhajirin. Kemudian Rasulullah saw memberikan sebuah surat kepada  ‘Abdullah bin Jahsiy, dan beliau saw menyuruhnya agar tidak melihat isinya. Ia boleh membuka surat itu setelah berjalan kira-kira 2 hari lamanya. Selanjutnya mereka bergegas pergi. Setelah menempuh perjalanan selama dua hari, barulah ‘Abdullah bin Jahsiy membuka surat, dan membaca isinya. Isinya adalah, “Jika engkau telah melihat suratku ini, berjalanlah terus hingga sampai kebun korma antara Mekah dan Tha’if, maka intailah orang-orang Quraisy, dan khabarkanlah kepada kami berita tentang mereka (orang Quraisy).”

Dalam surat itu, Rasulullah saw memerintah ‘Abdullah bin Jahsiy untuk memata-matai orang Quraisy, dan mengabarkan berita tentang mereka kepada Rasul. Akan tetapi, beliau saw memberikan pilihan kepada para shahabat lainnya untuk mengikuti ‘Abdullah bin Jahsiy, atau tidak. Akan tetapi, Rasulullah saw mengharuskan ‘Abdullah bin Jahsiy untuk terus berjalan hingga sampai ke kebun kurma antara Mekah dan Tha’if, dan memata-matai orang Quraisy. Riwayat ini menyatakan bahwa Rasulullah saw, telah meminta shahabat untuk melakukan aktivitas spionase, yakni wajib bagi ‘Abdullah bin Jahsiy, namun shahabat yang lain diberi dua pilihan, ikut bersama ‘Abdullah bin Jahsiy atau tidak. Dengan demikian, tuntutan untuk melakukan spionase bagi amir jama’ah, yakni ‘Abdullah bin Jahsiy [dinisbahkan kepada negara] adalah pasti, sehingga hukumnya wajib, sedangkan bagi kaum muslimin tuntutan tidak pasti, sehingga hukumnya jaiz (boleh). Hadits ini menunjukkan kepada kita, bahwa hukum memata-matai kafir harbiy adalah wajib bagi negara, sedangkan bagi kaum muslimin adalah jaiz.

        Ada sebagian orang berpendapat bahwa spionase yang dilakukan oleh badan-badan intelejen negara adalah boleh. Sebab, spionase yang dilakukan oleh negara akan membawa kemashlahatan bagi negara. Pendapat semacam ini tidak disandarkan kepada dalil syara’. Mereka hanya bertumpu kepada mashlahat untuk membangun pendapatnya; misalnya spionase untuk memonitoring aktivitas rakyat yang berpotensi melakukan makar terhadap negara, menggali keadaan rakyatnya lebih dalam lagi, dan lain-lain. Namun perlu diingat, bahwa mashlahat tidak ada artinya sama sekali untuk membangun hukum syara’.

Seorang muslim diwajibkan untuk hanya bertahkim (berhukum) dengan apa-apa yang diturunkan oleh Allah swt, bukan bertahkim dengan mashlahat yang bersifat temporal dan berubah-ubah. Allah swt berfirman, artinya,
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu  mengikuti hawa nafsu…”[al-Maidah”48]
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang yang dzalim.” [al-Maidah:45]
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa dasar untuk membangun hukum syara’ adalah al-Quran dan Sunnah, bukan mashlahat.

Download Buku Membereskan Fitnah Kerusakan Umat

Sabtu, 24 Januari 2015

Larangan Memerangi Pemimpin Yang Sah Menurut Hukum Allah Swt.



  1. Dari Ummu salamah r.a. dia berkata: Nabi SAW bersabda: “Akan hadir pada kalian para penguasa yang kalian kenal namun kalian ingkari (yakni kalian mengetahui perbuatan-perbuatan mereka dan mengingkarinya karena bertentangan dengan syari’at), barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh dia telah terbebas (yakni terbebas dari tuntutan dan tanggung-jawab), dan barangsiapa yang membenci maka sungguh dia telah selamat dari siksa. Namun celakalah orang yang membiarkannya dan mengikutinya. Ada seseorang yang bertanya: “Apakah kita boleh memerangi mereka?” “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat (hukum Islam)” jawab Nabi SAW”. (H.R. at-Tirmidzi, dia menyatakan hadits hasan shahih)

        Hadits ini sangat jelas menyatakan tidak dibolehkannya memerangi para pemimpin yang kekuasaannya sah menurut hukum Allah Swt. yaitu khalifah yang dibai’at oleh umat untuk menerapkan sistem Islam walaupun mereka melakukan perbuatan dzalim/bermaksiat, selama mereka masih menjadikan syariah Islam sebagai hukum yang diterapkan.
Apabila mereka mengganti hukum Islam dan berbalik menerapkan hukum kufur maka boleh memerangi mereka bahkan wajib memerangi mereka, karena hadits:
Sebuah riwayat dari 'Ubadah bin Ash Shamit, ia berkata:
        "Kami membai'at Rasulullah Saw. untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka (rela) maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin kecuali (sabda Rasulullah:) 'Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan, yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah (Al wahyu)'" (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, An Nasa'i dan Ibnu Majah)

Menurut Imam Al Khathabi arti bawaahan dalam hadits di atas adalah nampak secara nyata atau terang-terangan. Begitu pula dengan riwayat lain yang menggunakan huruf ra' -baraahan, yang juga mempunyai makna yang sama. [Lihat Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, jilid VII, hal.197] Imam Thabrani meriwayatkannya dengan lafadz "kufran sarrahan" artinya kekufuran yang sangat jelas. Riwayat yang lain menyebutkan dengan lafadz "illa an takuna makshiyatullahi bawaahan" artinya kecuali apabila maksiyat kepada Allah nampak secara terang-terangan. Sedangkan Imam Ahmad meriwayatkannya dengan lafadz "maa lam yakmurka bi itsmin bawaahan" artinya kecuali jikalau penguasa tidak memerintahkan mengerjakan maksiat secara terbuka.

Tidak diragukan lagi bahwa apabila penguasa yang sah menurut hukum Islam (Imam/Khalifah) sudah tidak menerapkan hukum-hukum dan aturan-aturan Islam, lalu mengambil perundang-undangan atau sistem selain Islam (misalnya dari Barat), maka tindakan itu adalah bentuk kekufuran yang nyata; meskipun penguasa tersebut melaksanakan shalat, shaum, haji serta mengaku bahwa dirinya adalah seorang muslim.
Sebab Allah SWT berfirman, artinya:
"Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak bertahkim (merujuk) kepada thagut (selain hukum Islam), padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkarinya". (An Nisaâ: 60)

Membolehkan Riba, minuman keras, membudayakan busana yang menampakkan aurat wanita, membolehkan syiar agama kufur di tengah-tengah umat, membiarkan terjadinya pemurtadan di kalangan kaum muslimin, dan tidak melaksanakan hukum-hukum pidana Islam, memproklamasikan kebudayaan Barat, serta menjauhkan kebudayaan Islam; maka semua tindakan itu dapat dikategorikan ke dalam teks hadits di atas, yaitu kekufuran yang ditonjolkan secara terang-terangan. Sebab semua hal di atas termasuk "ma'luumun minad diini bizh Zharurah", yaitu hal-hal yang sudah diketahui kepentingannya di dalam Islam secara pasti.

Harus dibedakan antara penguasa batil yang ada saat ini di Darul Kufur –negara yang di dalamnya diterapkan undang-undang dan peraturan-peraturan kufur, serta didominasi oleh ide-ide, tolok ukur dan kecenderungan pada kehidupan kufur- dengan imam/khalifah yang kekuasaannya sah di Darul Islam, negara sistem syariah khilafah Islamiyah.

Di masa sekarang ini di mana tidak ada seorang khalifah yang sah (tidak ada negara khilafah) maka mengubah darul kufur menjadi darul Islam tidak boleh dengan kekerasan. Akan tetapi yang dituntut adalah mengenalkan dakwah yang bersifat ajakan untuk berfikir secara Islami dan meningkatkan kesadaran ummat, berkecimpung dalam dakwah untuk mempersiapkan masyarakat, melenyapkan ide-ide, tolok ukur, perundang-undangan dan kecenderungan yang menyeleweng dari Islam dan berlandaskan kekufuran. Setelah mempersiapkan masyarakat dengan mengemban dakwah ke tengah-tengah ummat, kemudian dapat dilanjutkan dengan usaha-usaha memperoleh pertolongan atau perlindungan dari pihak-pihak yang mau memeluk Islam serta memiliki kekuasaan untuk mengambil alih kekuasaan.
Semua ini lazim dilakukan untuk mengubah keadaan negeri-negeri kaum muslimin pada saat sekarang. Ini semua karena fakta kondisi saat ini sama dengan fakta kondisi di masa jahiliyah dahulu, di mana sistem Islam tidak terap keseluruhan dalam kehidupan dan penguasa tidaklah sah menurut hukum Allah Swt., maka kita harus mengikuti syariat Islam dalam hal cara menerapkan sistem Islam, yaitu dengan metode Rasul Saw. ketika zaman jahiliyah dahulu yang mana beliau tidak berkompromi dengan sistem kufur.

  1. Dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a. dia berkata: “Pada suatu hari Nabi SAW berkata kepada kita: “Sesungguhnya kalian akan melihat atsrah (egoisme dan mencintai diri-sendiri) sepeninggalku nanti dan penguasa-penguasa yang kalian ingkari”. Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah! Apa yang harus kami lakukan?” “Tunaikanlah hak mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah”.
(Disebutkan dalam at-Taaj al-Jaami’: hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan at-Tirmidzi)

        Nabi SAW telah memposisikan umat Islam pada posisinya yang benar. Sesungguhnya individu adalah batu-bata dalam bangunan sosial, untuk itu harus menjalankan perannya dengan benar. Tidak menjadikan kelemahan, kelalaian, kemalasan atau penyimpangan khalifah dari syari’at sebagai alasan untuk tidak melaksanakan hak atau memerintahkan kebenaran, dan tidak pula menjadikannya sebagai alasan untuk tidak melarang kemunkaran dan kewajiban-kewajiban lainnya.
        Sesungguhnya orang mukmin dituntut untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya, melarang kezaliman, dalam hal ini dia berbuat hanya karena Allah semata. Dunia baginya adalah tempat bekerja dan berbuat bukan tempat menerima balasan.
        Bagi orang-orang malas yang berdiam diri dari dakwah kepada umat dan penguasa maka mereka akan tertinggal dan pertolongan Allah Swt. akan didapat oleh mereka yang mengusahakannya.

  1. ‘Alqamah bin Wa`il bin Hujr meriwayatkan dari ayahnya, dia berkata: “Aku mendengar ada seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah! Apa pendapat anda, apabila kita dipimpin oleh penguasa yang menahan hak kita padahal dia meminta kita untuk menunaikan hak mereka?” Rasulullah menjawab: “Tunduk dan patuhilah. Sesungguhnya mereka akan menerima balasan perbuatan yang telah mereka lakukan demikian pula kalian”.
(H.R. at-Tirmidzi, dia berkata: “Hadits hasan shahih)

        Semua manusia bertanggung-jawab terhadap perbuatan masing-masing di hadapan Allah SWT. Hadits ini mengajak untuk beramal dan aktif. Setiap manusia harus berbuat sesuai dengan kewajibannya. Apabila masing-masing kita ikhlas dalam amal, dan beramal sesuai tuntunan Islam, maka hasilnya adalah kebaikan. Termasuk kewajiban berdakwah untuk memperbaiki masyarakat, menyingkirkan kezaliman yang terus mendera. Sebaliknya, masyarakat yang hidup terlena dalam kemalasan dan berpangku-tangan, tidak akan menghasilkan perubahan sistem yaitu sistem kufur diganti dengan sistem Islam. Jika perubahan itu tidak diusahakan maka umat akan terus berkubang dalam dosa dan kerusakan yang dihasilkan oleh sistem kufur, yang dihasilkan oleh banyak sekali hukum kufur yang diterapkan atas umat.

10.    Dari Abdullah Ibnu Mas’ud r.a. dia berkata: Nabi SAW bersabda: “Apa yang akan kalian lakukan, bila para penguasa sepeninggalku saling memperebutkan harta fai` (harta dari perang)?” Ibnu Mas’ud menjawab: “Demi Dzat yang telah mengutus anda dengan kebenaran, aku akan meletakkan pedangku di pundakku kemudian menyabetkannya (yaitu mengangkat pedang untuk perang), sehingga aku bisa menyusulmu Ya Rasulullah”. Nabi SAW berkata: “Maukah engkau aku tunjukkan yang lebih baik dari itu? Bersabarlah! Sampai engkau meninggal dan menemuiku”.
(Disebutkan dalam at-Taaj al-Jaami’: hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud)

        Ini adalah suatu karakter penguasa, khalifah kaum muslimin yang kuat dan mujahid, berperang fi sabilillah lalu mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) dan al-fai` (harta yang ditinggalkan musuh tanpa perang), lalu pemimpin ini ingin menguasai harta tersebut atau sebagian besar darinya.
        Terhadap khalifah yang sah yang berbuat dzalim maka tidaklah diangkat pedang atasnya yang dapat menyulut api peperangan yang menyebabkan pelanggaran terhadap larangan Rasulullah. Kata-kata kebenaran di hadapan khalifah sah negara sistem Islam adalah kewajiban atas umat. Dalam hal ini tentu diperlukan kesabaran.

Download Buku Membereskan Fitnah Kerusakan Umat

Download BUKU Sistem Negara Khilafah Dalam Syariah Islam